Senin, 06 Juni 2011

Kesunyian Khidhir

Kita dapat berbicara tanpa suara kepada pohon-pohon, awan,
dan gelombang lautan. Tanpa kata-kata mereka menanggapi melalui
desau-desauan, geseran awan, dan bisikan lautan.
Paul Tillich

Sekarang aku belajar mendengar keheningan, yang menggema
melantunkan nyanyian dari zaman ke zaman, menyanyikan pujian angkasa,
dan menyingkap kerudung rahasia keabadian.
Kahlil Gibran


Musa baru mendengar nama Khidhir ketika Tuhan menceritakan kepadanya. Khidhir, sang nama tanpa wujud, ternyata memiliki wujud—dan Musa ingin menemuinya. Maka Tuhan pun mempertemukan mereka.

Setelah mereka bertemu, Musa berkata kepada Khidhir, “Bersediakah kau menerimaku sebagai muridmu?”

Khidhir menjawab, “Ya, tapi dengan syarat.”

“Apa pun,” sahut Musa, nyaris tanpa berpikir.

“Kau tidak boleh mempertanyakan apa pun, terhadap apa pun yang kulakukan.”

Musa tersenyum percaya diri. “Tidak masalah.”

“Kau harus berjanji,” ucap Khidhir sungguh-sungguh. “Jika tiga kali kau mempertanyakan apa yang kulakukan, maka kau harus berhenti menjadi muridku, dan kau harus pergi meninggalkanku.”

“Aku berjanji.”

Maka sejak itu resmilah Musa menjadi murid sang Khidhir. Tetapi Musa salah sangka. Dia menyangka menutup mulut terhadap perbuatan sang guru adalah mudah, tapi ternyata lebih sulit dari dugaannya.

Pelajaran itu bahkan belum dimulai, tetapi Musa sudah melanggar janjinya. Mereka melangkah berdua, menyusuri perkampungan, dan suatu ketika Khidhir membunuh seorang anak yang sedang asyik bermain. Musa segera lupa pada janjinya, dan dia bertanya ‘mengapa’.

Khidhir tidak menjawab.

Ketika mereka harus menyeberangi sungai, Khidhir memanggil tukang perahu untuk mengantarkan mereka ke seberang, dan Musa mengikutinya. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah sungai, Khidhir mengayunkan kapaknya dan membelah perahu itu. Sekali lagi Musa terlupa pada janjinya, dan bertanya ‘mengapa’.

Khidhir masih bungkam.

Mereka naik ke daratan setelah meninggalkan perahu yang bocor. Dan kembali melangkah. Dan kembali Musa terlupa pada janjinya untuk diam. Di tengah perjalanan, sebuah gubuk reyot nyaris ambruk, dan Khidhir dengan susah-payah memperbaiki gubuk reyot itu. Musa menganggap usaha itu sia-sia, dan dia kembali mempertanyakan ‘mengapa’.

“Sudah tiga kali kau melanggar janjimu,” ucap Khidhir dengan dingin kepada Musa. “Jadi perjalananmu bersamaku selesai sampai di sini.”

“Tapi… tapi kau tak bisa memperlakukanku seperti ini!” Musa memprotes. “Kau harus memberikan penjelasan atas perbuatan-perbuatanmu tadi!”

“Akan kuberikan,” jawab Khidhir. “Tapi setelah itu kau harus pergi.”

Dan Khidhir pun memberikan penjelasannya. Setelah itu, mau tak mau, Musa harus pergi meninggalkannya, dan Khidhir pun kembali melangkah dalam kesunyian yang biasa disetubuhinya.

....
....

Jika sebuah gelas telah penuh dengan air, tak peduli sekeruh apa pun air itu, ia tak bisa lagi menampung air baru. Untuk dapat menampung air baru yang lebih segar dan lebih jernih, air di dalam gelas itu harus dikeluarkan, isinya harus dikosongkan. Setelah gelas itu kosong, maka air baru yang lebih jernih akan dapat memasukinya.

Ketika seorang murid mendatangi guru dan berkata, “Beri aku ilmu,” maka dia harus mengosongkan terlebih dulu segala ilmu kadaluwarsa, dan paradigma-paradigma lama yang telah mengendap di dalam otak dan pikirannya. Tanpa pengosongan segala hal yang telah kadaluwarsa, maka pengetahuan baru akan sulit memasukinya. Untuk memperoleh paradigma yang lebih jernih, paradigma lama yang telah mengendap harus disingkirkan terlebih dulu.

Musa tidak menyadari kenyataan itu. Ia mendatangi Khidhir dengan harapan mendapatkan pengetahuan baru, tetapi dia tidak mau menyingkirkan terlebih dulu pengetahuan lama yang ada di dalam benaknya. Khidhir sudah tahu apa yang akan terjadi, karenanya ia meminta Musa untuk berjanji—toh nyatanya Musa tetap saja tak mampu memenuhi janjinya sendiri.

Musa mempertanyakan segala perilaku Khidhir, karena dia menggunakan perspektif dan paradigma lama yang ada di dalam benaknya. Kalau saja Musa menyadari bahwa waktu itu dia adalah sang murid dan Khidhir adalah sang guru, maka Musa akan menyadari bahwa kewajibannya adalah menyimpan atau mengosongkan perspektif serta seluruh paradigmanya yang lama.

Tetapi tidak—Musa tetaplah manusia yang manusiawi, meski dia memiliki takdir seorang nabi. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, mereka sering kali terlalu bangga pada apa saja yang mereka pikir dipahaminya.

Jadi (mungkin) itulah sebenarnya rencana Tuhan untuk Musa, hingga Dia mempertemukan nabinya dengan sang Khidhir—untuk menyentuh keheningan, memahami kesunyian, untuk tidak mempertanyakan apa pun, selain hanya menerima dan memahami, menerima dan memahami, menerima dan memahami. Pelajaran dalam hening, kesadaran dalam sunyi.

“Kosongkan semua yang ada di dalam pikiranmu.” Sebenarnya itulah yang dimaksudkan Khidhir ketika ia meminta agar Musa tidak mempertanyakan apa pun yang akan dilakukannya. Jika pikiranmu kosong, kau tidak punya kehendak untuk mempertanyakan apa pun—dan seperti itulah hakikat belajar, maqam seorang murid. Seseorang hanya benar-benar bisa belajar jika ia mau menerima apa pun dengan sepenuh kerelaan, tanpa keangkuhan untuk mempertanyakan segala sesuatunya.

Akan tiba saatnya ketika kita harus bertanya. Mempertanyakan apa pun yang ingin kita tanyakan. Tetapi selama pelajaran diberikan, simpanlah seluruh pertanyaan itu, dan biarkan pikiran mengendapkan semua pengetahuan baru yang kita dapatkan. Biarkan air keruh di dalam gelas pikiran kita kosong terlebih dulu, agar air yang lebih jernih mengisi kekosongannya. Jadilah rendah hati. Jadilah orang yang merasa bodoh sehingga bisa menahan mulutnya, dan bukannya seperti orang congkak yang merasa sudah tahu segala-galanya.

Ketika kita diam dan mampu menerima apa yang kita lihat dan kita dengar, tanpa merasa lebih tahu dan kemudian ribut mempertanyakannya, maka kita akan memahami apa sebenarnya pelajaran yang sedang kita terima.

Khidhir menjadi guru abadi, karena ia mampu bertahan dalam sunyi, tanpa mempertanyakan, tanpa mengeluarkan suara, tanpa ribut-ribut—selain hanya menerima dan memahami, menerima dan memahami, menerima dan memahami.

Dalam kesunyian, pikiran diilhami dan jiwa diisi. Dalam kesunyian, manusia bersatu dengan pelajaran hidupnya—persetubuhan murni antara mikrokosmos dengan makrokosmos, antara kebodohan dengan pengetahuan, antara kenaifan dengan kesadaran, antara kegelapan dengan pencerahan.

Di dalam kedalaman paling dalam yang dapat disentuh manusia, yang ada hanya sunyi.

 
;