Senin, 15 Agustus 2011

Kata Sartre, Buku Lebih Hebat Dibanding Tuhan

L’existence précède l’essence. L’homme est condamné
à être libre. L’enfer, c'est les autres.
Jean-Paul Sartre


Hei, apa yang ada dalam benakmu ketika membaca judul post ini? Tak perlu pusing atau marah-marah, juga tak perlu jadi freak hanya karena judul posting.

Well, ini post tentang buku. Berikut ini adalah pertanyaan dari teman-teman yang saya ambil dari inbox, dan kebetulan satu di antaranya menyinggung soal Jean-Paul Sartre, si filsuf Prancis kontemporer. Karena alasan etika, judul buku dan nama-nama di bawah ini terpaksa saya samarkan. Yang penting orang yang menanyakan soal ini bisa mendapatkan jawaban, dan teman-teman pembaca lainnya dapat mengetahui inti persoalannya.

***

Empat tahun yang lalu, saya membaca sebuah novel filsafat berjudul “S” yang ditulis oleh “M”—novel Indonesia yang diterbitkan penerbit Indonesia. Di dalam salah satu bab novel itu diceritakan tentang masa kecil Jean-Paul Sartre yang sedang ngobrol dengan kakeknya.

Kita tahu, Sartre mencintai buku sejak kecil, dan di dalam novel itu dikisahkan bahwa suatu hari Sartre berkata pada kakeknya, bahwa menurutnya buku lebih hebat dibanding Tuhan. Si penulis novel “S” itu menyatakan bahwa dialog antara Sartre dengan kakeknya tersebut terdapat di dalam buku biografi Jean-Paul Sartre. Artinya, dialog itu otentik—bukan hanya rekaan atau khayalan si penulis novel tersebut.

Nah, gara-gara membaca novel itu, saya jadi penasaran setengah mati ingin membaca langsung buku biografi Jean-Paul Sartre. Setelah dua tahun keluyuran kesana-kemari, akhirnya saya menemukan biografinya, berjudul “Les Mots” (edisi terjemahan Indonesia). Yang jadi masalah, di dalam buku itu sama sekali tidak ada dialog antara Sartre dengan kakeknya, sebagaimana yang saya baca di dalam novel di atas.

Sekarang, yang ingin saya tahu, apakah Sartre memiliki buku biografi lain selain “Les Mots”? Jika ya, apa judulnya? Dan jika tidak, kenapa si “M” yang menulis novel filsafat itu menyatakan bahwa dialog di dalam novelnya diambil dari buku biografi Sartre?

Coba kita luruskan dulu. Pertama, sejauh yang saya tahu, biografi Jean-Paul Sartre memang hanya “Les Mots”. Setidaknya, buku itulah yang selama ini dianggap sebagai biografi (mungkin lebih tepat jika disebut autobiografi) Jean-Paul Sartre.

Sekarang tentang novel filsafat “S” yang ditulis oleh “M”. Di dalam novel itu memang ada dialog antara Sartre dengan kakeknya (sebagaimana yang kamu baca), yang kata penulisnya berasal dari buku biografi Sartre. Kamu termasuk pembaca yang jeli, karena informasi mengenai sumber dialog itu hanya diselipkan dalam narasi—bukan dalam footnote atau daftar pustaka.

Nah, inti persoalannya, kenapa dialog itu tidak kamu temukan di dalam buku biografi Sartre yang kamu baca? Ini kesalahpahaman yang mungkin sepele, tapi mungkin tak terbayangkan—baik oleh pihak penulis novel tersebut maupun oleh penerbitnya.

Di dalam biografi Sartre edisi bahasa Prancis, dialog-dialog itu ada. Tetapi—entah kenapa—dialog-dialog itu dihapus atau ditiadakan dalam biografi Sartre edisi bahasa Indonesia. So…? Yang terjadi di sini tentu hanya kesalahpahaman. “M” yang menulis novel filsafat di atas mendasarkan rujukannya pada biografi Sartre edisi bahasa Prancis, sedangkan kamu merujuknya ke biografi Sartre edisi bahasa Indonesia.

Ini memang masalah yang mungkin belum terbayangkan dalam penerbitan novel di Indonesia. Selama ini, ada semacam kesepakatan di antara penulis dan penerbit untuk meniadakan sumber referensi (daftar pustaka) untuk novel-novel yang menggunakan rujukan atau referensi, karena novel dianggap berbeda dengan buku ilmiah. Jujur saja, saya pun begitu—tidak menuliskan sumber referensi dalam novel.

Namun, ketika terjadi kesalahpahaman seperti di atas, maka kita tentunya melihat perlunya mencantumkan referensi atau daftar pustaka yang dirujuk dalam penulisan sebuah novel—atau setidaknya mencantumkan footnote atau catatan kaki agar pembaca dapat memverifikasi secara langsung ke sumber rujukan.

Akhirnya, kalau kamu ingin membaca dialog antara Sartre dengan kakeknya sebagaimana yang kamu baca di dalam novel “S” tersebut, bacalah biografinya yang edisi bahasa Prancis.


Pertanyaan saya ini mungkin tidak penting, tapi saya benar-benar penasaran dan ingin tahu jawabannya.

Dulu, saya pernah membeli buku berjudul “X” yang diterbitkan Penerbit “Y”. Buku itu ditulis penulis terkenal Indonesia, yang saat ini masih hidup.

Nah, baru-baru ini, saya ke toko buku, dan mendapati buku “X” di atas diterbitkan oleh penerbit lain (Penerbit “Z”). Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Apakah si penulis di atas memberikan naskahnya kepada dua penerbit sekaligus? Dan kalau memang seperti itu, apakah hal semacam itu diperbolehkan (dalam dunia penerbitan)?

Ini juga kasus kesalahpahaman. Deskripsi yang kamu berikan memang benar, bahwa buku “X” dulunya diterbitkan oleh Penerbit “Y”, dan sekarang diterbitkan oleh Penerbit “Z”. Bagaimana hal semacam itu bisa terjadi?

Ketika seorang penulis bekerjasama dengan sebuah penerbit, ada satu pasal di dalam surat kontrak mereka yang menyebutkan bahwa pihak penulis dapat mengalihkan hak penerbitannya ke penerbit lain jika telah mencapai batas waktu tertentu. (Penjelasan mengenai hal itu bisa berbeda-beda antar penerbit).

Intinya, jika sampai batas waktu tertentu yang disepakati dan pihak penerbit yang memperoleh hak penerbitan buku itu tidak akan mencetak lagi, maka pihak penulis dapat menarik hak penerbitan itu, dan mengalihkannya ke penerbit lain.

So, itulah yang (kemungkinan) terjadi pada buku “X” di atas. Buku “X” itu pertama kali diterbitkan oleh Penerbit “Y” sudah lebih dari dua belas tahun lalu. Bisa jadi Penerbit “Y” memutuskan untuk tidak akan mencetak buku itu lagi, dan kemudian mengembalikan hak penerbitannya kepada penulis. Oleh si penulis, hak penerbitan buku itu kemudian dialihkan ke Penerbit “Z”.

Jika memang seperti itu yang terjadi, maka “X” (si penulis) tentu saja tidak menyalahi aturan penerbitan. Dan, saya yakin, memang seperti itulah yang terjadi menyangkut penulis terkenal di atas.


Saya suka post tanya-jawab seputar buku di blogmu, karena baru kali ini saya menemukan yang seperti ini. Meski kesannya remeh, tapi jawaban dan penjelasanmu selama ini sangat detail, sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, khususnya seputar buku dan dunia penerbitan.

Kalau boleh usul, bagaimana kalau isi tanya-jawabnya diperluas, dalam arti tidak hanya menyangkut buku saja, tapi juga membahas hal-hal lain, meski kamu tetap menggunakan buku sebagai acuan dalam menjawabnya?

Usulmu ini juga telah diusulkan oleh tiga juta empat ratus tiga puluh empat orang lainnya. *ngarang*

So, saya memposting usulmu di atas untuk mewakili usul teman-teman lain yang juga mengusulkan hal sama.

Sebenarnya, sebagian besar post yang ada di blog ini juga berasal dari pertanyaan-pertanyaan seperti yang kamu maksudkan di atas. Itulah kenapa kadang saya menulis topik-topik tertentu yang mungkin masih asing atau aneh—karena topik itu sebenarnya berawal dari pertanyaan teman-teman yang ada di inbox email saya.

Dulu, pada awal-awal blog ini lahir, saya biasanya menuliskan penjelasan bahwa topik itu berawal dari usul atau pertanyaan si anu atau si itu. Tetapi lama-lama penjelasan itu saya hilangkan karena sepertinya tidak terlalu penting, dan hasilnya seperti sekarang ini.

Nah, yang masih membuat saya bingung adalah pertanyaan-pertanyaan tertentu yang jawabannya cukup singkat, sehingga tidak mungkin dikembangkan menjadi sebuah posting. Untuk hal tersebut, saya sedang mencari formula yang tepat untuk mewadahinya.

Saat ini saya masih memikirkan cara yang paling mudah untuk mengintegrasikan blog dengan Formspring, sehingga teman-teman nantinya bisa langsung mengirimkan pertanyaan apa pun tanpa harus repot-repot menulis email secara khusus, juga tanpa harus membuka Formspring. Kemungkinan besar nanti wujudnya adalah sebuah blog baru yang benar-benar unik dan belum pernah ada sebelumnya. Dan blog baru itu akan segera lahir dalam minggu ini. Ditunggu ya... :)

 
;