Selasa, 10 Juli 2012

Cowok-cowok Idiot (3)

Flashback sejenak ke masa SD Valentino. Waktu itu, seorang guru di kelas mengajak murid-muridnya untuk melakukan permainan interaktif dengan cara meminta murid-murid menebak sesuatu yang dipegangnya. Menurutnya, itu akan menguji daya imajinasi anak-anak didik.

“Nah, Anak-anak,” kata ibu guru, “saat ini saya memegang sesuatu di balik punggung saya. Benda yang saya pegang ini berbentuk bulat dan berwarna merah. Coba, siapa yang bisa menerka benda apakah yang saya pegang ini?”

Valentino mencoba menjawab, “Buah apel, Bu Guru!”

“Salah,” sahut gurunya sambil tersenyum. “Yang Ibu pegang buah manggis. Tapi tak mengapa, sekarang Ibu jadi tahu apa yang ada dalam pikiranmu.”

Lalu Valentino berkata, “Bu Guru, apakah saya boleh bertanya dan Bu Guru yang menerka?”

“Oh, tentu saja boleh,” sahut ibu gurunya.

Dari tempat duduknya, Valentino lalu menyatakan, “Saat ini saya memegang sesuatu yang panjangnya sekitar lima sentimeter, dengan ujung agak besar berwarna merah kehitaman. Coba terka benda apakah yang saya pegang ini, Bu?”

“Valent!” hardik ibu gurunya, “kamu tidak boleh main tebakan seperti itu!”

Tapi Valentino menjawab dengan kalem, “Yang saya pegang ini korek api, Bu Guru. Tapi tak mengapa. Sekarang saya jadi tahu apa yang ada dalam pikiran Bu Guru.”

***

Kejadian di atas terjadi saat Valentino duduk di bangku SD. Anehnya, kejadian yang mirip terjadi lagi saat dia duduk di bangku kuliah.

Hari itu, pada mata kuliah psikologi, ibu dosennya memberikan pertanyaan dengan tujuan untuk melihat cara berpikir mahasiswanya. Sang dosen mengajukan pertanyaan ini, “Apabila di sebuah pohon ada tiga ekor burung yang sedang bertengger, dan kemudian ada seorang pemburu menembak satu burung itu, berapa yang masih tinggal di pohon?”

Para mahasiswa tahu pertanyaan itu memiliki cukup banyak jawaban, karena memang pertanyaan jebakan. Namun Valentino nekat mengacungkan jarinya untuk menjawab.

“Ya...?” sang dosen menatap ke arah cowok itu.

Valentino pun menjawab, “Karena yang satu telah tertembak, maka di pohon itu kini tinggal dua burung, Bu.”

“Salah!” sahut ibu dosennya. Dan seperti yang telah dibayangkan para mahasiswa lainnya, dosen itu pun menjelaskan, “Yang benar, di pohon itu sudah tak ada burung lagi, karena yang dua pasti kabur ketakutan. Tapi tidak apa-apa, Valent. Saya suka cara berpikirmu yang jujur.”

Kemudian Valentino mengacungkan jarinya lagi. “Apakah saya boleh mengajukan pertanyaan, Bu?”

“Tentu saja,” jawab dosennya sambil tersenyum.

“Di sebuah gerai es krim ada tiga wanita yang tengah menikmati es krim. Wanita pertama menggunakan sendok untuk menikmati es krimnya. Wanita kedua mencolek es krimnya dengan jari tangan. Sementara wanita ketiga menjilati dan mengulum es krim itu dalam mulutnya. Nah, di antara ketiga wanita itu, yang manakah yang sudah menikah?”

Dengan yakin sang dosen menjawab, “Jawabannya tentu wanita ketiga, yang menjilati dan mengulum es krimnya.”

“Salah!” sahut Valentino. “Yang benar adalah yang memakai cincin kawin di jarinya. Tapi tidak apa-apa, Bu. Saya suka cara berpikir Ibu yang jujur.”

***

Sejak lulus SMA, Jonah tak pernah lagi bertemu Gito, salah satu karibnya di SMA dulu. Karenanya, ketika tanpa sengaja mereka berpapasan di jalan tak jauh dari kampus Jonah, dia pun girang banget.

“Hei, Git!” sapanya dengan hangat. “Apa kabar?”

“Baik, Jo,” sahut Gito. “Kabarnya kamu kuliah di kampus itu, ya?”

“Iya, kamu sendiri, kuliah dimana sekarang?”

“Di kampus biru.”

“Wah, hebat dong,” komentar Jonah. “Ngambil apa di sana?”

“Yah... nggak mesti, Jo.”

“Nggak mesti...? Nggak mesti gimana?”

“Yaah, kadang ngambil kacamata, kadang ngambil dompet, kalau beruntung sih bisa ngambil motor. Emang kamu mau pesan apa, Jo?”

***

Abigail dikirim oleh kampus untuk mewakili mereka dalam suatu acara yang tidak ilmiah (karena itulah Abigail yang dikirim!). Di dalam pertemuan tidak ilmiah yang diadakan di sebuah hotel itu, rupanya ada banyak mahasiswa yang datang dari berbagai negara.

Pada waktu acara istirahat, Abigail ngobrol-ngobrol dengan mahasiswa dari Italia. Si Italia bisa berbahasa Indonesia sedikit-sedikit.

“Kalau kamu punya waktu, kapan-kapan berkunjunglah ke negeri kami,” kata si Italia. “Kamu akan menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di sana.”

Abigail tertarik. “Hmm... memang apa sih yang menakjubkan itu?”

“Menara Pisa.”

Dasar Abigail, dia tidak kenal dan tidak tahu menara Pisa yang terkenal itu. Dengan culun dia malah bertanya, “Menara...? Apa anehnya sebuah menara? Di kotaku saja, ada banyak menara yang dibangun!”

“Tapi Menara Pisa ini lain,” ujar si Italia. “Menara itu miring, hingga orang merasa ngeri kalau melihatnya. Pokoknya dijamin kamu akan takjub kalau melihatnya!”

“Ah, kamu ini ada-ada saja,” ujar Abigail sok cool. “Menara miring aja kok menakjubkan. Di kampusku, ada banyak mahasiswa yang miring, dan kami sama sekali nggak pernah takjub!”

***

Valentino punya teman yang sudah bisa dibilang sukses, bernama Firman. Meski masih kuliah, Firman sudah punya usaha toko bahan bangunan. Karena tertarik dengan kesuksesan kawannya, suatu hari Valentino bertanya bagaimana ceritanya hingga Firman bisa mengelola sebuah usaha seperti itu.

“Kenapa kamu pilih usaha bahan bangunan, Fir?” tanya Valentino penuh minat.

“Itu bermula sejak bertahun-tahun yang lalu, Val,” jawab Firman dengan semangat. “Ceritanya berawal dari warung bubur ayam tempatku biasa sarapan.”

“Kok bisa...?” sahut Valentino dengan heran. “Gimana tuh ceritanya?”

Firman pun lalu menceritakannya. Dan inilah kisahnya....

Sudah sejak lama Firman jadi pelanggan bubur ayam di depan gang kompleknya. Ketika pertama kali menikmati bubur ayam di sana, Firman mendapati sebuah sekrup di dalam mangkuk bubur ayamnya. Karena sedang lapar, Firman tak menghiraukannya. Diambilnya sekrup itu, dan diteruskannya menikmati bubur ayam.

Besoknya, saat membeli bubur ayam di sana lagi, Firman mendapati dua buah paku di dalam mangkuk bubur ayamnya. Sekali lagi Firman tak menghiraukan. Diambilnya dua paku itu, dan diteruskannya makannya.

Karena melihat Firman menjadi pelanggan tetapnya sampai bertahun-tahun, suatu hari si penjual bubur ayam mendekati Firman, dan bertanya, “Dik, kayaknya saya lihat situ cocok sekali dengan bubur ayam saya?”

“Sebenarnya bukan gitu sih, Pak,” jawab Firman, “cuma, sejak saya langganan bubur ayam di sini, saya bisa memiliki toko bahan bangunan.”

Begitulah ceritanya.

***

Jonah terkejut mendengar Ervina, salah satu cewek yang akrab dengannya, tewas karena kecelakaan tadi malam.

Untuk menunjukkan duka citanya yang mendalam, Jonah pun segera menghubungi jasa penyediaan karangan bunga agar membuatkan bunga duka cita khusus untuk pemakaman Ervina.

“Gunakan pita warna putih yang besar,” kata Jonah melalui telepon pada tempat jasa pembuatan karangan bunga, “dan tulis kata-katanya dengan huruf warna biru. Isi tulisannya: ‘Istirahatlah dengan tenang dan damai’, pada kedua sisinya. Dan kalau masih ada tempat: ‘Kita akan bersama lagi di surga nanti’.”

Jonah juga meminta agar karangan bunga itu langsung diantarkan ke rumah duka nanti sore.

Ketika karangan bunga itu diantarkan, semua orang yang hadir pada acara pemakaman itu benar-benar terkejut melihatnya.

“Ya ampun, kok aneh sekali bunyi teksnya,” komentar Abigail saat membaca tulisan yang ada di bunga duka cita itu.

Di sana tertulis: ISTIRAHATLAH DENGAN TENANG DAN DAMAI PADA KEDUA SISINYA, DAN KALAU MASIH ADA TEMPAT KITA AKAN BERSAMA LAGI DI SURGA.


Kisah-kisah lain tentang mereka bisa dibaca di sini.

 
;