Kamis, 15 November 2012

Kata

Ironi, kau tahu, ketika ketiadaan dianggap ada,
dan kekosongan dianggap makna.
@noffret


Dua lelaki—entah siapa nama mereka—duduk berdampingan di pinggir sungai sambil memancing. Tampaknya mereka sebaya, dan keduanya menikmati keheningan di pinggir sungai sambil mengobrol dengan suara perlahan. Air sungai di hadapan mereka mengalir lembut bersama embusan angin, sementara kedua lelaki itu memegangi tangkai pancingnya, mungkin sambil berharap ada ikan yang cukup apes memakan umpan yang mereka pasang.

“Kadang-kadang aku heran dengan kata,” terdengar suara Lelaki Pertama. “Kau tahu, sebuah kata kadang bisa membunuh atau menghidupkan seseorang.”

“Atau membelah laut?” sahut Lelaki Kedua sambil tersenyum.

“Aku tidak memaksudkannya secara harfiah.” Lelaki Pertama membalas senyum kawannya. “Maksudku, kadang-kadang aku bisa tersenyum, atau tertawa, atau bahkan tercenung, karena sebuah kata. Atau kalimat. Kau tahu bagaimana, misalnya, sebuah kalimat yang ditulis atau diucapkan seseorang mampu mempengaruhi perasaan orang lainnya, kan?”

“Ya, aku juga cukup sering merasakan itu.”

“Yang aneh,” kata Lelaki Pertama, “kadang-kadang sebuah kata yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kita bisa membuat kita sangat terpengaruh. Maksudku, kadang-kadang kita menemukan sebuah kata tertentu, dan kita mempersepsikan kata itu ditujukan untuk kita. Padahal, bisa jadi orang yang menulis kata itu sama sekali tidak mengenal kita, dan sama sekali tak bermaksud menuliskannya untuk kita.”

“Misalnya?”

“Sayap.”

Lelaki Kedua tertawa perlahan. “Coba katakan.”

“Pernah dengar kisah seorang gadis yang terbang di hutan Rusia?”

“Ya, itu cerita lama, kan? Dan dia terbang tanpa sayap. Kalau tak salah ingat, kalimat yang mendeskripsikannya berbunyi ‘seorang gadis melayang di hutan Rusia’. Kedengarannya seperti salah satu judul posting bombastis untuk menarik pengunjung internet. Tetapi, omong-omong, apa hubungannya dengan kita? Maksudku, apa hubungannya denganmu?”

“Jadi, kau sudah mengetahui berita itu?”

“Tentu saja. Google menyediakan jutaan halaman web yang berisi berita itu di internet.”

“Dan kau percaya?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Hampir semua ulasan yang memberitakan hal itu menyimpulkannya sebagai rekayasa.”

“Artinya, jika hampir semua ulasan yang kaubaca menyimpulkannya sebagai kebenaran, kau akan percaya?”

Lelaki Kedua tercenung mendengar pertanyaan itu. Kemudian Lelaki Pertama berkata, masih dengan perlahan, “Kalau boleh menyimpulkan, kita hidup di belantara kata, dan kepercayaan atau ketidakpercayaan kita ditentukan oleh kata-kata yang kita baca. Sayangnya, sumber besar kita sekarang dalam memperoleh kata adalah Google, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.”

Lelaki Pertama tertawa perlahan. “Bagaimana kalau kaukatakan itu pada orang-orang yang bekerja di kantor Google?”

Lelaki Kedua membalas tawa temannya. “Sebenarnya, mereka juga tahu bahwa mesin yang mereka ciptakan memang tidak tahu apa-apa.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, Google bukan tuhan—terserah bagaimana kita mendefinisikan makna Tuhan. Google hanyalah mesin yang dikendalikan teknologi manusia, dan mesin itu menghamburkan kata apa saja yang pernah dimasukkan manusia sebelumnya. Tapi pengetahuan manusia selalu terbatas. Karenanya, mesin bernama Google itu juga memiliki pengetahuan terbatas, tak peduli setinggi apa pun manusia menghormatinya.”

“Tetapi,” sahut Lelaki Kedua, “meski pengetahuan manusia terbatas, pengetahuan itu akan menjadi jutaan kali lipat lebih besar ketika ada jutaan manusia yang bergabung mengumpulkan pengetahuannya, kan? Google kemudian mengumpulkan semua pengetahuan itu, dan menyediakannya untuk orang lain. Seiring dengan itu, Google terus mengumpulkan pengetahuan demi pengetahuan lain.”

“Tetap saja terbatas.”

“Aku tidak paham.”

Lelaki Pertama tersenyum. “Kau tahu siapa diriku, dan aku tahu siapa dirimu, benar? Tapi Google tidak tahu siapa kita! Bahkan jika aku memasukkan namamu sebagai kata kunci di Google, mesin yang dianggap mahatahu itu juga tidak bisa menyodorkan apa pun. Dia tidak tahu apa-apa.”

“Tetapi,” sahut Lelaki Kedua, “Google tahu siapa kau. Kalau aku memasukkan namamu sebagai kata kunci, Google dapat mengindeks ribuan link yang terhubung dengan namamu.”

“I know.” Lelaki pertama tersenyum misterius. “Tetapi juga, dari sekian banyak link itu, tidak satu pun yang bisa mengungkapkan identitasku, apalagi menjelaskan siapa aku. Jadi, apa sebenarnya yang diketahui Google? Nothing!”

Lelaki Kedua kini memahami maksud temannya. Di dunia yang begitu sempit sekarang ini, Google memang telah menempati posisi yang amat mulia sebagai sumber pengetahuan berjuta-juta manusia. Tetapi, sekarang, sambil tersenyum ia membayangkan bahwa mesin itu sebenarnya tidak tahu apa-apa. Seperti apa air yang dimasukkan ke dalam botol, air itu pula yang akan dikeluarkannya ketika dituangkan. Dan setiap orang bisa memasukkan air apa pun ke dalamnya.

Lelaki Pertama kembali berkata, “Ironi, kau tahu, adalah ketika ketiadaan dianggap ada, dan kekosongan dianggap makna.” Kemudian, setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Dan kita semua sekarang terperangkap di dalamnya, hidup dengan bernapas melalui keberadaannya. Jika kita butuh sesuatu, kita temui Google. Jika perlu jawaban, kita membuka Google. Kita, tanpa sadar, telah menempatkan Google sebagai semacam tuhan yang selalu dapat menjawab doa-doa.”

“Dan kenyataannya Google tetap bukan tuhan,” lanjut Lelaki Kedua.

“Kau telah terbangun dari tidurmu, Kawan,” senyum Lelaki Pertama. “Sebenarnya, kita tentu bersyukur atas keberadaan Google. Tetapi, yang kadang kusayangkan, kita menggantungkan segalanya pada mesin itu. Keyakinan atau ketidakyakinan kita ditentukan olehnya, seolah kita tak memiliki sumber lain yang dapat digunakan. Akibatnya, seperti yang tadi kaukatakan, kebenaran bisa diragukan, dan kebohongan bisa dipercaya.”

“Aku… aku tak mengatakan begitu, kan?”

“Kau mengatakannya, secara tersirat. Kau menyatakan tak percaya pada gadis yang terbang atau melayang di hutan Rusia. Dan ketidakpercayaanmu karena persentase hasil yang disodorkan Google. Halaman-halaman web yang disodorkan Google mengatakan bahwa itu rekayasa, dan kau mempercayainya. Google telah menjadi tuhanmu, atau agamamu.”

“Jadi, kau percaya tentang gadis di hutan Rusia itu?” tanya Lelaki Kedua dengan heran.

“Aku tidak mengatakan begitu,” sahut Lelaki Pertama sambil menahan senyum. “Yang ingin kukatakan adalah bahwa kita—kau dan aku khususnya—telah begitu terikat oleh ketergantungan pada mesin yang sekarang kita tuhankan. Kita percaya pada yang diperlihatkannya, dan tidak percaya jika Google tidak bisa memperlihatkannya. Tetapi, sekali lagi, ironi kita dimulai. Aku percaya keberadaanmu meski Google tidak tahu siapa dirimu. Kau pun percaya keberadaanku, meski Google tak bisa mengungkap identitasku. Jadi, apa sebenarnya yang Google tahu?”

Mereka terdiam sesaat. Masih memegangi tangkai pancing di tangan, sambil menatap air sungai yang masih tampak mengalir perlahan. Kemudian, Lelaki Kedua berkata, “Tetapi, apa hubungan semua yang kita bicarakan ini dengan kata? Kalau tak salah ingat, kau memulai topik pembicaraan kita dengan pengaruh kata, kan?”

“Ya,” sahut Lelaki Pertama. “Karena pada mulanya adalah kata.”

….
….

Sampai hari ini, Google tetap tidak tahu apa-apa tentang mereka.

 
;