Rabu, 01 Mei 2013

Nyanyian Bumi

Dasar homosapiens!
Magneto


Ada tiga makhluk hidup di Bumi—setidaknya yang kita tahu—yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketiganya saling bergantung satu sama lain. Tetapi, kalau kita mau jujur, yang paling brengsek adalah manusia. Bahkan, kalau kita mau lebih jujur lagi, hewan dan tumbuhan bisa hidup tanpa manusia. Tetapi, manusia tidak akan bisa hidup tanpa hewan dan tumbuhan.

Dalam kondisi yang ideal, hewan, tumbuhan, dan manusia saling membentuk mata rantai kesalingtergantungan di alam. Hewan membutuhkan tumbuhan sebagai bahan makanan. Tumbuhan membutuhkan hewan untuk keperluan penyerbukan. Sampai di sini tidak ada masalah. Mereka—hewan dan tumbuhan—bisa hidup tanpa manusia. Ketika kemudian muncul manusia di Bumi, maka manusia mengambil peran dalam ekosistem sebagai penjaga keseimbangan.

Dulu, ribuan tahun yang lalu, manusia purba mengambil peran itu. Mereka memakan hasil alam, memanen tumbuh-tumbuhan, tapi tidak merusak dan menghabiskan. Mereka memburu hewan di hutan untuk keperluan makan, tetapi mereka juga membiarkan hewan-hewan terus hidup dalam kebebasan di alam liar.

Dengan segala kebodohan yang mungkin mereka miliki, manusia purba menyadari bahwa kehidupan manusia sangat tergantung pada hewan dan tumbuhan. Mereka tidak membiarkan hewan dan tumbuhan punah. Karena kepunahan mereka sama dengan kepunahan manusia. Ribuan tahun yang lalu, ketika manusia masa kini menyebut mereka sebagai kehidupan prasejarah, makhluk-makhluk purba itu justru bisa hidup dengan mematuhi hukum keseimbangan. 

Lalu manusia purba semakin pintar, bahkan modern. Taksonomi menyebut mereka homosapiens—spesies yang bijaksana. Dan spesies yang diharapkan menjadi “pemimpin” di muka Bumi itu kemudian menjadi perusak paling menghancurkan di muka Bumi, bahkan efek kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih mengerikan dibanding kehancuran akibat meteor raksasa yang pernah jatuh di Bumi jutaan tahun lalu.

Dan “sang perusak” itu semakin banyak jumlahnya dari tahun ke tahun, hingga populasinya mengalami ledakan. Semakin banyak jumlah manusia, semakin besar kerusakan yang ditimbulkannya.

Manusia butuh tempat tinggal. Karena lahan kosong telah habis akibat ledakan populasi, maka hutan dan alam liar ditebang dan dihancurkan untuk diubah menjadi komplek hunian. Pohon-pohon besar ditumbangkan, tumbuh-tumbuhan liar dibabat dan dihancurkan, sementara hewan-hewan yang hidup di dalamnya terpaksa pergi atau mati karena kehilangan habitat alami.

Kemudian rumah-rumah hunian manusia muncul di atas tanah yang sebelumnya hutan bagi ribuan hewan. Wilayah yang sebelumnya rimbun pepohonan kini berganti kabel-kabel dan antena parabola. Tempat yang semula menjadi rumah bagi hewan dan tumbuhan untuk saling berbagi, kini menjadi tempat bagi manusia yang selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Hutan yang dulu memperdengarkan kicau burung kini menjadi tempat bagi bising televisi.

Setelah mendapatkan tempat tinggal, manusia juga butuh pekerjaan, karena yang membedakan manusia dengan hewan dan tumbuhan adalah keberadaan uang. Satu-satunya makhluk hidup di dunia yang perlu uang hanya manusia. Dan untuk memiliki uang, manusia harus bekerja. Karena ledakan populasi, tempat bekerja semakin sempit. Untuk bisa menampung tenaga kerja yang berlebih, maka dibangunlah pabrik-pabrik baru.

Maka sekali lagi manusia menghancurkan kehidupan makhluk lain. Jika sebelumnya mereka membabat alam liar untuk tempat tinggal, sekarang mereka melakukan hal sama untuk mendirikan pabrik-pabrik demi bisa bekerja dan menghasilkan uang. Hutan-hutan kembali dihancurkan, pohon-pohon kembali ditumbangkan, hewan-hewan kembali terusir, demi memenuhi kebutuhan manusia. Setelah semua tumbuhan dan hewan dimusnahkan, tempat hidup mereka diubah menjadi pabrik-pabrik dan cerobong asap.

Bersamaan dengan itu, manusia terus mengeruk bahkan menguras hasil Bumi. Padi dipanen, jagung dikumpulkan, buah-buahan dipetik, sementara hewan-hewan disembelih untuk dimakan, atau diburu demi kesenangan. Permukaan Bumi dibabat kekayaannya, dan kedalaman Bumi digali untuk dikuras kandungannya. Seiring dengan itu, manusia menimbun sampah dan kotoran yang makin berlimpah dari tahun ke tahun, dan sampah serta kotoran mereka memasuki tanah, menggenangi lautan, mencemari udara.

Tetapi manusia tak pernah kenal kata cukup. Setelah merusak kehidupan makhluk lain untuk tempat tinggal dan membangun pabrik, mereka masih butuh hiburan, atau setidaknya sarana untuk jalan-jalan dan cuci mata. Maka sekian banyak hutan dan lahan kembali dibabat demi memuaskan kerakusan manusia. Hutan diubah menjadi sarana bermain, sawah dan ladang disulap menjadi mall dan swalayan.

Untuk setiap kelahiran manusia, ada banyak kematian bagi makhluk lain. Bumi semakin gersang, dan langit mungkin menangis. Oh, well, itu saja belum cukup. Di tengah sesaknya Bumi, sebagian manusia sibuk memikirkan cara menjarah manusia lainnya, mencari sarana memperbudak sesamanya. Maka senjata pun dibuat, bom dan nuklir dirancang, tank-tank serta pesawat tempur diciptakan, dan seribu alasan perang dilontarkan.

Lalu bom meledak. Di Romawi, Yunani, Mesir, Cina, Soviet, Argentina, Jepang, Iran, Irak, Afghanistan, Lebanon, Suriah, Bosnia, Palestina... sebut lainnya.

Mayat-mayat bergelimpangan. Yang hidup mengucurkan darah dan meneteskan tangis. Waktu, energi, dan biaya terbuang sia-sia demi kerakusan manusia. Dan tahun demi tahun terus berganti, sementara manusia tak pernah belajar dari sejarahnya sendiri. Yang paling mengerikan, perang antarmanusia tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga membunuh hewan dan tumbuhan yang tak bersalah. Mereka tak ikut perang, tapi ikut terbunuh, ikut terbakar, ikut musnah.

Kemudian, ketika kehidupan di Bumi makin semrawut, panas, dan tidak nyaman ditinggali, manusia pun sibuk mencari alasan dan kambing hitam untuk disalahkan. Maka lahirlah teori eugenika yang menjadi kebohongan paling mengerikan sepanjang zaman, musim dingin nuklir, sampai pembodohan massal bernama isu pemanasan global.

Manusia mati-matian mempercayai isu-isu tolol itu, demi bisa menemukan kambing hitam untuk dipersalahkan, dan bukannya berkaca pada perbuatan salahnya sendiri. Kemudian, ketika kebohongan mereka terungkap, mereka pun akan mencari dan membuat isu lain, teori lain, kebohongan lain, demi bisa terus membohongi diri sendiri.

Dan... di tengah-tengah kebodohan yang tak kunjung tersembuhkan itu, sebagian manusia masih terus berpikir untuk bisa menjarah dan merampas, mencuri dan membunuh, merampok dan memperkosa Bumi yang menjadi tempat tinggalnya sendiri. Alangkah kelam wajah manusia....

 
;