Minggu, 01 Desember 2013

Percakapan di Bawah Bulan

Ada bagian yang hilang
Ada yang tak pernah kita kisahkan
Selalu, dalam masamu
Sesuatu ingin kausimpan,
hanya menjadi milikmu
Yang kaupeluk
—@noffret


—Terima kasih untuk S.A.

Mereka duduk berhadapan, dipisahkan meja dengan gelas dan poci teh di atasnya, beserta asbak dan bungkus rokok. Mereka menikmati malam di halaman belakang rumah tanpa atap, hingga rembulan seolah tepat di atas kepala. Mereka telah bercakap-cakap lama, dan sepertinya masih lama untuk berakhir.

....
....

Lelaki Pertama berkata perlahan, “Ketika kepalamu sakit seperti tadi, apa yang kaurasakan?”

“Amarah,” jawab Lelaki Kedua. “Amarah dan luka.”

“Dan kau merasakan sakit kepala seperti itu... setiap hari?”

“Ya, bahkan setiap saat. Karena itulah aku sering tersiksa. Oh, terpujilah paracetamol.” Setelah terdiam sesaat, Lelaki Kedua melanjutkan sambil tersenyum, “Kadang-kadang, aku membayangkan diriku menjadi Hulk akibat efek yang kurasakan. Mungkin begitulah yang dirasakan Bruce Banner—menyimpan amarah dan perasaan lukanya dalam diam, sampai kemudian tak mampu lagi menahannya hingga ia berubah menjadi Hulk.”

“Kuharap kau tidak menjadi Hulk di sini,” ujar Lelaki Pertama sambil membalas senyum temannya. “Rumahku bisa berantakan jika itu terjadi.”

Mereka menuangkan teh dari poci, kemudian menyeruput gelasnya masing-masing. Lelaki Pertama mengambil rokok dan menyalakannya, diikuti Lelaki Kedua. Setelah mengisap rokoknya sesaat, Lelaki Pertama berujar, “Kapan kau pertama kali menyadari ada yang tidak beres dengan kepalamu?”

“Sudah lama sekali,” sahut Lelaki Kedua. “Tapi aku benar-benar menyadarinya ketika SMA. Pada waktu itu aku mulai memahami apa yang terjadi, dan diam-diam aku merasa ngeri.”

Lelaki Pertama mengangguk. “Itu mengingatkanku pada percakapan kita dan teman-teman dulu, waktu kita membahas ingatanmu yang tidak wajar.”

“Susahnya,” sahut Lelaki Kedua, “memoriku semakin tidak wajar seiring aku bertambah dewasa. Kau tahu, sampai hari ini aku masih payah mengingat arah jalan. Tapi hal-hal lain selain itu bukannya mengabur kemudian terlupa perlahan-lahan, tapi justru semakin kuat tertanam dalam ingatanku. Itu menjadikanku sering depresi.”

Setelah mengisap rokoknya sesaat, Lelaki Pertama berkata, “Kalau aku menjadi dirimu, sepertinya aku tak punya alasan untuk merisaukan hal itu. Maksudku, kalau aku memiliki memori seperti yang kaumiliki, mungkin aku justru akan bersyukur karena bisa mengingat banyak hal dengan mudah. Itu karunia yang tak dimiliki setiap orang.”

“Karena kau tidak menjalani kehidupan yang kujalani,” sahut Lelaki Kedua. Kemudian, dengan suara perlahan, ia melanjutkan, “Kita telah berteman sejak lama sekali, dan kau tahu sebagian hidupku yang penuh kepahitan. Itulah gambaran yang terus terulang dalam memoriku, tak bisa kuhapuskan sedikit pun. Hampir tiap malam, selama bertahun-tahun, aku selalu terbangun ketakutan karena mimpi buruk, hingga aku tak berani tidur di kamar yang gelap.”

Lelaki Pertama mengangguk, memahami maksud temannya.

Lelaki Kedua melanjutkan, “Selama bertahun-tahun aku mengutuk hidupku, bahkan kadang di masa sekarang. Aku mengutuk diriku sendiri, mengutuk kelahiranku, mengutuk semua yang terjadi. Sering kali, saat sampai di puncak depresi, aku menangis sendirian, dan satu-satunya hal yang kuinginkan hanyalah kematian. Agar semuanya berakhir.”

“Itu alasanmu memilih hidup melajang?”

“Di antaranya, ya.” Lelaki Kedua mengisap rokoknya sesaat, kemudian melanjutkan, “Sebagai lelaki, kadang aku juga membayangkan ingin hidup dengan seorang wanita yang kucintai. Tetapi, yang paling kurisaukan, jika kemudian aku memiliki anak yang akan mengutuk hidupnya seperti aku mengutuk hidupku. Aku akan merasa menjadi manusia paling keparat kalau sampai mewariskan kutukan pada orang lain, apalagi pada anakku sendiri. Itu yang paling kutakutkan. Dan ketakutan itu pula yang selalu membuatku meredam perasaanku sendiri setiap kali merasa jatuh cinta pada seseorang. Setiap kali aku ingin menjalin hubungan dengan seseorang, saat itu pula aku menghentikan langkahku.”

Mereka menyesap minuman di gelasnya, lalu terdiam, sambil mengisap rokok masing-masing. Langit masih sunyi, dan bulan masih di atas kepala mereka.

Lelaki Pertama berkata hati-hati, “Amarah dan luka. Aku bisa membayangkan kerisauan yang kaurasakan.”

“Kuharap begitu,” sahut Lelaki Kedua.

“Tapi aku yakin kau lebih tegar dari yang kaurasakan. Aku mengenalmu sejak lama, dan telah melihatmu bisa melewati semuanya. Nyatanya kau masih hidup sampai sekarang, tetap menjadi dirimu yang tak tergantikan.”

“Karena aku tak punya pilihan.”

“Jangan begitu.” Lelaki Pertama tersenyum. “Kau sendiri yang selalu mengajarkan bahwa hidup adalah soal pilihan.”

“Ya, dan apa pilihanku? Aku tak punya pilihan, selain melanjutkan hidupku. Karena pilihan lain, mengakhiri hidup, tak mungkin kulakukan.”

Lelaki Pertama mengisap rokoknya, kemudian berkata dengan asap mengepul dari mulut, “Ada masanya ketika seseorang mengalami titik balik dalam hidup. Pernah membayangkan hal semacam itu? Kau sampai di suatu tempat, atau waktu, kemudian menyadari betapa beruntungnya dirimu karena masih hidup. Mungkin kau menemukan seorang wanita yang benar-benar bisa memahami, yang membuatmu tenteram bersamanya...”

“Ada terlalu banyak luka yang kurasakan,” potong Lelaki Kedua. “Sebegitu banyak, hingga aku terlalu sensitif untuk menerima luka lagi, sekecil apa pun.”

“Dan dia akan mengobati semua lukamu—siapa tahu?”

Lelaki Kedua tersenyum. “Kenapa kau tampak begitu yakin?”

Lelaki Pertama membalas senyum temannya. “Karena aku juga yakin kau masih menyimpan keyakinan semacam itu. Bahwa kau akan menemukan seseorang yang membuatmu jatuh cinta, yang membuatmu rela membagi hidupmu, karena menyadari bahwa dia bisa mengobati semua lukamu.”

“Entahlah...” Setelah mengisap rokoknya, Lelaki Kedua berkata lirih, “Kadang-kadang, aku merasa jatuh cinta pada seseorang. Tapi aku selalu ragu untuk melangkah lebih jauh—karena ketakutanku untuk terluka, lagi. Oh, kau tahu aku sangat peragu. Jadi aku lebih memilih memendam perasaanku diam-diam, dan membiarkan hidup terus mengalir seperti biasa. Hidupku sudah penuh luka, dan hubungan dengan seseorang hanya akan mendatangkan luka yang lain.”

“Dalam banyak hal, kau selalu berpikir positif. Kenapa dalam satu hal ini kau berpikir negatif?”

Lelaki Kedua tersenyum. “Sepertinya kau terlalu banyak membaca tulisanku.”

Lelaki Pertama membalas senyum temannya. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Selama aku hidup sendirian, aku memegang kendali,” ujar Lelaki Kedua. “Aku bisa menentukan bagaimana caraku menjalani hidup. Kau tahu, selama bertahun-tahun aku menyepi, menyisih dari keramaian masyarakat, menghindari publisitas sekecil apa pun, dan menjaga jarakku dari orang lain. Karena aku ingin terbebas dari semua luka yang pernah kurasakan, ingin menghapus semua derita dan amarah yang pernah kualami, agar aku tak mendapatkan luka yang lain lagi.”

Setelah mengisap rokoknya sesaat, Lelaki Kedua melanjutkan, “Jika aku menjalin hubungan dengan seseorang, maka aku memasukkan orang lain ke dalam hidupku. Siapa yang menjamin dia akan bisa mengikuti gaya hidup yang kujalani? Siapa yang menjamin dia tidak akan melukaiku? Oh, sialan, aku sudah terlalu rapuh untuk terluka lagi, dan kenyataan itu pun sudah membuatku frustrasi. Kau tahu, aku sangat sensitif—sedikit luka saja bisa membuatku meledak, karena aku sudah sangat tersiksa oleh luka dan amarah yang kuperoleh sepanjang hidup.”

Lelaki Pertama mengangguk, memahami maksud temannya. “Sepertinya kau memang cocok berteman dengan Bruce Banner.”

“Mungkin,” jawab Lelaki Kedua sambil tersenyum. 

“Dan, kalau tak salah ingat, Hulk—maksudku Bruce Banner—punya pasangan yang bisa meredam lukanya, mendinginkan amarahnya.”

“Sayangnya aku tak seberuntung dia.”

“Dalam hal itu, mungkin, yang kauperlukan hanya sedikit keyakinan. Bahwa ada seseorang yang akan mampu menyembuhkan semua lukamu.” Lelaki Pertama mengisap rokoknya, lalu berkata perlahan-lahan, “Maksudku, kau mungkin memang bisa meneruskan hidup yang kaupilih—sendirian, dan seorang diri berusaha menyembuhkan semua lukamu. Kemudian, mungkin, kau akan bisa mati dengan tenang, ketika saatnya tiba. Tapi mengapa memilih jalan itu, jika ada jalan lain yang mungkin lebih baik?”

“Aku mendengarkan.”

Lelaki Pertama tersenyum. “Aku tidak akan memberikan penjelasan panjang lebar. Tapi jawab saja pertanyaanku; apa yang akan kaulakukan jika memiliki seorang kekasih yang membuatmu nyaman bersamanya, dan kau tahu dia benar-benar mencintaimu?”

“Kalau pertanyaannya ‘jika’, maka jawabannya bisa ‘mungkin’.”

“Tidak masalah—jawab saja.”

“Mungkin aku akan terlelap di pangkuannya, setelah lelah menceritakan semua luka hidupku kepadanya.”

Lelaki Pertama mengangguk, dan tersenyum. “Dan selama kau terlelap, dia akan menyembuhkan semua luka yang kau alami. Hingga saat kau terjaga, dan membuka mata, kau akan merasa dilahirkan kembali.”

....
....

Mereka masih bercakap-cakap lama, bersama teh yang terus tertuang ke gelas-gelas mereka, bersama asap rokok yang mengepul, bersama malam yang semakin larut.

Dan bulan masih di atas kepala mereka.

 
;