Minggu, 05 Januari 2014

Saya Tahu Cewek Memang Pencemburu, Tapi Saya Tidak Tahu Cemburunya Sebesar itu (1)

Laki-laki punya sepuluh alasan untuk cemburu.
Perempuan punya sejuta alasan untuk cemburu.
@noffret


Tadi sore, saat bersih-bersih rumah, tanpa sengaja saya menemukan diary lama yang dulu sering saya gunakan untuk curhat sewaktu galau. Oh, well, dulu kan belum ada blog—setidaknya blog belum sepopuler sekarang. Jadi, kalau ingin curhat atau menumpahkan pikiran, saya akan menuliskannya di buku diary. Kalau kau berpikir hanya cewek yang suka nulis diary, kau keliru, karena Leonardo Da Vinci pun menulis diary!

Nah, setelah menemukan diary itu, saya senyum-senyum sendiri. Itu diary yang dulu saya pakai untuk curhat di awal-awal kuliah. Setelah capek bersih-bersih, saya pun iseng membuka-buka diary itu, dan membacanya sambil cekikikan serta geleng-geleng kepala. Berikut ini kisah yang mungkin asyik untuk saya ceritakan…

….
….

Pada waktu semester satu, saya naksir seorang cewek teman kuliah. Pertama kali melihatnya pas ospek, saat kami ada dalam satu ruangan. Cewek itu tidak terlalu cantik—biasa-biasa saja—tapi di mata saya dia istimewa. Setiap cowok punya gambaran “ideal” mengenai cewek yang ingin dijadikannya pacar, dan cewek itu terlihat “ideal” bagi saya. Ya Mama, dia lembut, dan manis.

Ketika ospek selesai dan jadwal kuliah mulai berjalan, perhatian saya pun terpusat pada cewek itu. Seiring berjalannya hari, kami mulai saling kenal. Kita sebut saja namanya Dian.

Di dalam psikologi, ada pepatah yang menyatakan, “Cewek pemalu, tapi berubah jadi pemberani ketika jatuh cinta. Cowok pemberani, tapi berubah jadi pemalu ketika jatuh cinta.”

Nah, parahnya, saya tergolong cowok pemalu. Jadi, saya pun tambah pemalu ketika jatuh cinta. Akibatnya, saya deg-degan tidak karuan setiap kali berpapasan dengan Dian.

Jika cowok tidak punya “perasaan” apa pun terhadap seorang cewek, biasanya dia dapat bersikap wajar. Tapi ketika seorang cowok punya “perasaan” tertentu pada seorang cewek, sikapnya jadi kurang wajar—minimal salah tingkah. Begitu pula yang terjadi dengan saya. Dan, sialnya, cewek bernama Dian itu kemungkinan besar tahu yang saya rasakan.

Jadi, setiap kali kami berpapasan, Dian akan mengulumkan senyum (yang terlihat) menggoda, dan dia akan menyapa, “Hei, Hoeda.”

Dan, sambil deg-degan, saya akan membalas, “Hei, Dian.”

Lalu saya kabur.

Tentu saja saya yang terlalu ge-er. Faktanya, Dian menyapa saya dengan cara yang wajar-wajar saja, sebagaimana dia menyapa temannya yang lain. Selain itu, dia memang cewek yang ramah dan murah senyum, tidak sombong dan mungkin rajin menabung. Pokoknya dia top banget, deh. Ya iyalaaaah, orang lagi jatuh cinta ini!

Lalu saya mulai curhat pada teman terdekat—curhat soal perasaan saya kepada Dian. Lalu mulai nyari-nyari info tentang status Dian, apakah dia masih jomblo, ataukah sudah punya pacar. Berdasarkan investigasi (maksudnya berdasarkan tanya sana-sini), diperoleh kesimpulan ilmiah bahwa Dian masih jomblo, dengan bukti sampai saat itu belum ada satu cowok pun yang terlihat dekat dengannya, dan teman-teman di kampus tidak ada yang tahu siapa pacar Dian.

So, saya pikir, dia memang masih jomblo. Maka, dengan dikompori teman-teman yang ingin menjerumuskan saya ke lembah nista, saya pun mulai melancarkan pedekate ke Dian. Setelah kami cukup akrab, saya “nembak” dia. Hasilnya, saya ditolak!

“Jadi, kamu udah punya pacar?” tanya saya dengan bingung setelah mendengar penolakannya, sambil diam-diam berharap semoga semua ini hanya mimpi buruk.

Dian menjelaskan, dirinya sudah bertunangan dengan seseorang, tepat dua bulan setelah dia resmi kuliah. Mengingat kepribadiannya yang saya kenal selama ini, saya tahu dia tidak berbohong. Pertunangannya dengan seseorang yang ia jadikan dasar penolakan terhadap saya memang benar-benar fakta. Dan saya percaya.

Jadi, kasus pun selesai. Saya menyatakan cinta kepadanya, dan dia menolak pernyataan saya karena sudah bertunangan dengan seseorang. Tidak ada masalah.

Lanjut ke sini.

 
;