Kamis, 13 Februari 2014

Cinta yang Tolol

Semua drama cinta panjang lebar dan bertele-tele di muka bumi ini
sebenarnya bisa disingkat dalam satu kata, “Kamu.”
@noffret


Ada suatu masa ketika saya sangat suka lagu-lagu Saleem Iklim. Bagi yang mungkin belum tahu, Saleem adalah salah satu penyanyi top Malaysia, dan ia punya group musik bernama Iklim, hingga ia pun terkenal dengan nama Saleem Iklim. Ia punya suara serak-serak basah, dan dengan suaranya yang khas itu ia menyanyikan lagu-lagu cinta yang menyayat sukma pendengarnya.

Di antara lagu-lagunya, yang pernah sangat terkenal di Indonesia adalah “Suci Dalam Debu”, dan “Puteri”. Nah, saya sukaaaa banget lagu “Puteri”, karena waktu itu kebetulan saya sedang jatuh cinta setengah mati pada seorang teman sekolah. Lagu itu seperti tepat mewakili perasaan, harapan, impian, dan rahasia hati saya.

Jadi, ada suatu masa ketika saya sangat suka lagu-lagu Saleem Iklim. Ketika saya masih remaja, ketika saya masih mudah galau oleh rasa cinta. Dan lagu-lagu Saleem Iklim memang seperti mewakili semua yang saya rasakan—cinta diam-diam, kasih tak sampai, harapan yang kandas, atau kebahagiaan kecil ketika bertemu seseorang yang kita rindukan.

Bagi para remaja, tak ada yang lebih indah di dunia ini selain hal-hal berbau asmara, termasuk lagu cinta. Begitu pula yang terjadi dengan saya. Masa-masa remaja adalah masa-masa awal ketika kita mengenal cinta, ketika kita baru menyadari ada sesuatu yang indah di kedalaman hati kita. Cinta, kerinduan, kasmaran, hasrat ingin memiliki dan dimiliki seseorang. Juga kegalauan yang menyertainya.

Pada waktu SMA, saya menyatakan cinta pada seorang perempuan teman sekolah. Dan dia menolak. Penolakan itu membuat saya galau setengah mati, dan tiap malam saya merindukannya, berharap—entah bagaimana caranya—dia mau meralat keputusannya, dan mau menerima saya sebagai pacarnya. Tapi hal ajaib itu tidak terjadi, dan saya hanya bisa galau setiap hari, setiap malam, mengingatnya, merindukannya.

Jadi, saya suka lagu-lagu Saleem Iklim. Karena lagu-lagunya mewakili perasaan saya. Hampir tiap hari saya menyenandungkan lagu-lagu tersebut, membayangkan orang yang saya rindukan, merindukan orang yang saya cintai, dan sama sekali tidak menyadari betapa konyolnya semua itu.

Oh, well, bertahun-tahun kemudian, ketika dewasa, saya menyadari bahwa semua yang saya rasakan di masa-masa remaja itu sungguh konyol sekaligus tolol. Dan kadang saya malu sendiri kalau mengingatnya.

Sekarang, saya menganggap semua itu konyol, karena perbuatan itu sungguh sia-sia. Saya mengingat seseorang yang sama sekali tidak mengingat saya, merindukan seseorang yang sama sekali tidak merindukan saya, berharap memiliki seseorang yang tak ingin dimiliki saya—jatuh cinta pada seseorang yang tidak jatuh cinta kepada saya. Konyol.

Tapi setiap kita memang sepertinya harus mengalami dan menjalani masa-masa konyol semacam itu. Masa-masa ketika kita masih punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal tolol, semisal jatuh cinta dan merindukan seseorang yang sama sekali tidak ingat kita. Atau mengejar-ngejar seseorang yang sama sekali tidak akan jatuh hati hanya karena kita mengejar-ngejarnya.

Sekarang, ketika dewasa, saya tidak bisa lagi menikmati hal-hal semacam itu. Bukan hanya karena menyadari itu konyol, tetapi juga karena saya tidak punya waktu lagi untuk mengurusi hal-hal tolol semacam itu.

Saya tidak tahu apakah hal ini dialami setiap orang, atau hanya saya. Yang jelas, saya sudah malas melakukan hal-hal yang dulu pernah saya lakukan, dalam hal yang berhubungan dengan jatuh cinta dan semacamnya. Misalnya, kalau dulu saya suka pedekate atau mengejar-ngejar seseorang seperti dalam sinetron, sekarang saya tidak bisa melakukannya. Masalahnya sederhana, saya sudah tak punya waktu untuk melakukan hal-hal seperti itu.

Jadi, kalau dulu saya suka membaca novel cinta yang termehek-mehek, sekarang bacaan semacam itu membuat saya bosan. Kalau dulu saya terkesan ketika menyaksikan film romantis yang memperlihatkan adegan dramatis—misalnya cowok mengejar-ngejar cinta seorang cewek—sekarang saya malah menertawakannya. Drama cinta hanya cocok bagi mereka yang punya waktu luang untuk memikirkan dan mengerjakan hal-hal tolol.

Di Formspring, seseorang pernah bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan, kalau pernyataan cintamu ditolak seseorang?”

Saya jujur menjawab, “Saya akan menertawakannya!”

Dulu, saya mungkin bisa sedih berhari-hari ketika mendapat penolakan cinta dari seseorang. Sekarang, saya menyadari hal itu sia-sia, karena tak mengubah apa pun. Tak peduli sesedih apa pun, dia tetap menolak saya. Tak peduli sebesar apa pun cinta saya kepadanya, itu tidak mengubah keputusannya. Karena itu, sekarang, jika saya menyatakan cinta pada seseorang, dan dia menolak, saya akan menertawakannya.

Sialnya, atau untungnya, hal itu belum pernah terjadi.

Jangankan sampai pada penolakan—yang artinya saya telah menyatakan cinta pada seseorang—bahkan baru tahap pedekate pun, saya sudah langsung mundur dan menjauh begitu orang yang saya dekati menunjukkan sikap negatif. Artinya, jika saya mendekati seseorang, dan sikap atau responnya tidak manis, saya akan langsung berhenti. Saya tidak akan buang-buang waktu dan energi untuk hal-hal tolol seperti pedekate dalam sinetron!

Ehmmm....

Sekitar dua tahun yang lalu, saya datang ke kampus tempat saya kuliah dulu, untuk suatu urusan. Setelah menyelesaikan urusan, saya masuk kantin kampus untuk mengisi perut yang lapar. Di kantin, tampak kerumunan mahasiswa dan mahasiswi yang sedang mengobrol sambil menikmati hidangan kantin. Pada waktu itulah saya melihat seorang mahasiswi yang membuat saya tertarik.

Dia tipe perempuan yang sering membuat saya tertarik. Manis, dan bersahaja.

Saya tidak tahu dan tidak kenal mahasiswi itu. Jadi, saya pun mendekati mahasiswa yang saya kenal di sana, dan berbisik menanyakan namanya. Mahasiswa itu menjelaskan, “Namanya Via (bukan nama sebenarnya). Dia teman sekelasku. Kalau kamu mau, aku juga punya nomor hape-nya.”

Ketika Via memisahkan diri dari teman-temannya untuk membayar di kantin, saya mendekatinya, dan dengan sopan mengajaknya kenalan. Kami berkenalan dengan kaku. Mungkin karena tidak nyaman dilihat teman-temannya, dia segera pergi.

Mahasiswa tadi memberikan nomor ponsel Via, dan menyebutkan alamat rumahnya. Keesokan harinya, saya mencoba menelepon Via, tapi sambutannya kurang menyenangkan, karena mungkin dia sedang sibuk. Saya menyabarkan diri. Beberapa hari kemudian, saya mencoba menelepon lagi, dan sambutannya masih tetap seperti itu.

Maka saya pun berhenti.

Saya tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal tolol seperti ini. Alih-alih bersedih atas hal itu, saya malah tertawa sendiri.

Sekitar dua atau tiga minggu kemudian—saya lupa persisnya—Via menelepon saya. Tidak saya urusi. Dia juga berkirim SMS, dan tetap tidak saya urusi. Mungkin, sikap awal yang ia perlihatkan kepada saya hanya untuk jaim—tapi sayangnya dia keliru. Saya tidak tertarik mengurusi cewek sok jaim!

Kalian yang membaca catatan ini mungkin ingin bilang, “Yeah, namanya juga cewek, wajarlah kalau cuma begitu. Dia tentu ingin jaim, biar tidak terlihat gampangan.”

Pemahaman seperti itu pula yang mungkin selama ini bercokol di kepala banyak cewek. Sekarang biar saya beritahu, tidak semua cowok suka cewek sok jaim. Lebih spesifik lagi, tidak semua cowok punya waktu luang untuk mengurusi cewek sok jaim. Sebagian cowok—termasuk saya—justru lebih suka cewek yang apa adanya, tanpa kesan sok jaim yang sia-sia. Sedikit saja sikap tidak mengenakkan—semisal sok jaim yang menjengkelkan—sudah langsung membuat saya mundur dan menjauh.

Dalam hidup, saya telah menerima banyak luka hati yang bekasnya belum juga sembuh hingga hari ini. Karenanya, saya sangat peka dan sensitif, karena tak ingin menerima luka apa pun lagi, sekecil apa pun. Jika saya tidak yakin seseorang membuat saya nyaman, saya lebih memilih untuk tidak mendekat. Jika seseorang menunjukkan sedikit saja sikap yang mungkin akan melukai hati, saya akan segera pergi.

Omong-omong, sampai hari ini saya masih suka lagu-lagu Saleem Iklim. Dan saya senang karena bisa menikmati lagu-lagunya tanpa membuat saya galau.

Maaf, saya tidak punya waktu mengurusi hal-hal tolol semacam itu.

 
;