Senin, 18 Agustus 2014

Persahabatanku dengan Tutup Botol Kecap

Aku tidak punya teman.
Batman


Malam sangat getir ketika aku menemukan sebuah tutup botol kecap, yang kelak menjadi sahabatku selama bertahun-tahun. Bahkan meski peristiwa itu telah terjadi bertahun lalu, dalam bayanganku seperti baru berlangsung kemarin. Well, biar kuceritakan kepadamu.

Kaki-kaki kecilku melangkah lunglai di larut malam, waktu itu, saat aku memutuskan untuk pulang, tanpa sekeping receh pun yang kudapat. Di alun-alun, setiap malam aku mencari receh demi bisa mendapat uang saku, bersama bocah-bocah malang lain. Kadang hidup berbaik hati membagikan rezekinya, kadang tidak. Kadang aku pulang dengan langkah ringan bersama beberapa keping receh, kadang kakiku melangkah gontai karena tak ada yang kudapat.

Langkah gontai yang kurasakan saat itu, setelah malam larut tapi tak ada sekeping pun receh kuperoleh. Besok pagi aku harus sekolah, dan sekarang harus pulang, untuk tidur, dan besok terbangun untuk pergi ke sekolah tanpa uang saku lagi. Hidup yang malang, pikirku. Oh, well, bocah yang malang...

Dan aku yang malang menunduk menekuri trotoar alun-alun yang lengang, membayangkan suramnya hidup. Pada waktu itulah, tanpa sengaja, aku menemukan sebuah tutup botol tergeletak di trotoar. Dia seperti aku, pikirku tiba-tiba. Dia seperti aku—tanpa teman, terasing, dan sendirian.

Nyaris tanpa sadar aku memungut tutup botol itu, dan memperhatikannya. Ternyata tutup botol kecap. Ada nama merek di bagian atasnya, dan aku tahu itu merek kecap yang kukenal. Saat menggenggam tutup botol kecap itu, aku merasa menemukan seorang teman. Bagi bocah malang yang kesepian sepertiku, sebenarnya apa pun bisa menjadi teman. Pecahan genteng, bungkus permen, kunci yang patah—sebut apa pun.

Aku tidak punya teman, karenanya aku bisa berteman dengan apa pun. Termasuk dengan tutup botol kecap. Dan menemukannya di trotoar alun-alun yang sepi, tepat ketika aku sedang bersedih, membuatku merasa menemukan teman sejati. Jadi, kusimpan tutup botol kecap itu di saku bajuku yang dekil, dan sejak itulah kami menjadi sahabat. Atau, lebih tepat, dia menjadi sahabatku.

Ketika sampai di rumah, aku naik ke tempat tidur, dan meletakkan tutup botol kecap di dekatku. “Besok aku harus ke sekolah,” bisikku kepadanya sambil menarik selimut, “jadi sekarang aku harus tidur.”

Kupegangi sejenak tutup botol itu, dan kupandangi wujudnya yang agak dekil, sepertiku. Lalu kembali berbisik padanya, “Kamu lebih beruntung dari aku. Kamu tidak perlu sekolah, tidak perlu menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak kamu sukai. Oh, apa? Kamu ingin sekolah? Oh, tidak, kamu tidak akan menyukainya. Percayalah, itu bukan kegiatan menyenangkan. Bahkan, kalau boleh memilih, aku ingin menjadi tutup botol kecap sepertimu, agar tidak perlu sekolah.”

Besok paginya, saat memakai seragam sekolah, aku melihat tutup botol kecap tergeletak di tempat tidur. Tiba-tiba aku tidak tega meninggalkannya sendirian di kamar sementara aku pergi sekolah. Dia pasti akan kesepian, pikirku. Jadi aku pun memungutnya, dan menyimpannya di saku baju. Biarlah dia ikut ke sekolah. Sepertinya itu bahkan lebih baik, agar aku juga merasa punya teman di sekolah.

Waktu itu aku kelas 5 SD. Dan memiliki teman sebuah tutup botol kecap terasa menyenangkan, karena aku sering merasa kesepian. Saat jam istirahat di sekolah, teman-temanku berlarian menuju para penjual jajan atau mainan di depan sekolah, dan aku tidak bisa mengikuti mereka, karena tidak punya uang. Biasanya, saat itu, aku masuk perpustakaan sekolah untuk membaca buku atau apa pun, yang bisa kugunakan menunggu habisnya jam istirahat.

Kini, setelah memiliki sahabat berbentuk tutup botol kecap, aku pun mengajaknya ke perpustakaan. Saat mulai bosan membaca, kukeluarkan tutup botol kecap dari saku, lalu mencoba mengajaknya bercakap-cakap, meski dengan berbisik. Bagaimana pun, aku tidak ingin dianggap gila karena ketahuan mengobrol dengan tutup botol kecap.

Sebenarnya, aku memang telah dianggap gila. Bahkan oleh orangtuaku sendiri. Aku pernah memergoki orangtuaku bercakap-cakap mengenai “ketidakwarasanku”, dan menyebutku “tidak sama seperti anak-anak lain umumnya”. Mereka mengira aku sudah tidur waktu itu, tapi sebenarnya aku masih terjaga.

Waktu itu, sebenarnya, aku sempat berpikir. Bagaimana aku bisa sama seperti anak-anak lain, kalau kenyataannya aku memang tidak sama dengan mereka? Anak-anak lain tidak merasakan kemiskinan seperti aku, anak-anak lain tidak merasakan kesepian seperti aku, anak-anak lain tidak menghadapi kenyataan hidup yang berat seperti aku. Bagaimana aku bisa sama seperti mereka?

Tapi aku tidak pernah menyatakan hal itu, karena khawatir dianggap kurang ajar. Lebih dari itu, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku bocah yang malang, dengan bicara yang gagap, dan sering bingung ketika harus mengatakan sesuatu. Jadi kupendam saja sendirian, dan tidak kukatakan pada siapa pun. Diam sering menjadi senjataku waktu itu, karena kupikir tak ada yang mendengarkanku.

Sekarang, saat memiliki sahabat berbentuk tutup botol kecap, aku pun mulai curhat kepadanya, menceritakan semua yang kupendam dalam-dalam, dan sepertinya dia memang sahabat yang baik—tutup botol kecap itu. Ketika di perpustakaan sekolah, saat ruangan sepi, aku berbisik-bisik kepadanya, menceritakan apa saja. Tidak ada teman sebaik dia, pikirku. Dan aku bersyukur telah menemukannya.

Saat di rumah atau di mana pun, aku mulai tak bisa jauh dari tutup botol kecap itu. Aku merasa membutuhkannya. Untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa aku punya teman. Untuk menyadarkanku bahwa kini ada yang mau mendengarku. Jika seluruh dunia tidak ada yang bisa memahamimu, maka kau bisa menemukan persahabatan dengan tutup botol kecap. Dia akan mendengarkanmu. Percayalah, aku telah membuktikannya.

Dan persahabatanku dengan tutup botol kecap terus berlangsung sampai kelas 6, bahkan saat aku akhirnya lulus SD. Seperti bocah-bocah lain, aku harus melanjutkan sekolah ke SMP, meski orangtuaku harus susah-payah membiayainya. Padahal aku akan senang kalau saja tidak perlu sekolah lagi, tapi orangtuaku—seperti umumnya orangtua lain—menganggap sekolah adalah hal paling penting di bawah langit. Khususnya untuk bocah tidak waras sepertiku.

Jadi, aku pun sekolah lagi. Di SMP, kadang ada teman yang punya buku khusus untuk perkenalan, dan mereka memintaku mengisikan biodata—nama, nama panggilan, alamat, asal sekolah, hobi, cita-cita, dan lain-lain. Di kolom “sahabat”, aku selalu menuliskan “tutup botol kecap”. Karena kenyataannya memang dia satu-satunya sahabatku. Tapi teman-temanku menganggap itu aneh. Ya, tentu saja, karena mereka tidak berteman dengan tutup botol kecap. Dan, kupikir, itu masalah mereka.

Aku memang punya beberapa teman di SMP, tapi semuanya tidak ada yang sedekat pertemananku dengan tutup botol kecap. Ketika bercakap-cakap dengan mereka, aku merasa tidak bebas mengobrolkan apa saja. Sangat beda ketika aku bercakap-cakap dengan tutup botol kecap. Hanya bersamanya aku bisa mengatakan apa pun, dan dia tidak pernah menuduhku gila, atau setidaknya tidak pernah memandangku dengan tatapan aneh.

Suatu hari, aku pernah curhat panjang lebar pada tutup botol kecap, memuntahkan semua yang ada di pikiranku, lalu mengatakan, “Semuanya ini tidak masuk akal, kan? Hidup ini kalau dipikir-pikir tidak masuk akal. Oh, sangat tidak masuk akal! Tapi yang paling tidak masuk akal, tidak ada orang yang mau berpikir bahwa hidup ini tidak masuk akal!”

Tutup botol kecap pastilah makhluk bijaksana. Karena dia tidak pernah menyalahkanku waktu aku berkata seperti itu. Oh, well, kenyataannya dia bahkan lebih bijaksana dari rata-rata guruku yang suka menganggap dirinya pasti benar, hanya karena dia mengajar di sekolah. Itu pun sebenarnya tidak masuk akal, pikirku, tapi aku bisa apa? Hanya kepada tutup botol kecap aku bisa mengatakan segalanya—semua yang ada di kepalaku—tanpa khawatir disalahkan atau dianggap gila.

Setiap hari, seusai sekolah, aku masih harus sibuk mencari uang, demi bisa menyambung hidup sebagai bocah. Kegiatan itu bahkan terus kulakukan saat akhirnya duduk di bangku SMA. Sepanjang perjalanan waktu itu, persahabatanku dengan tutup botol kecap semakin erat. Dia satu-satunya sahabat yang kumiliki, yang benar-benar kumiliki. Meski di SMA aku punya beberapa teman berwujud manusia, tapi tak ada yang lebih sempurna selain teman berbentuk tutup botol kecap.

Suatu hari, aku diikutkan sekolahku untuk mengikuti lomba antar SMA se-Indonesia. Entah alam semesta sedang ingin bercanda atau karena juri-jurinya sedang mabuk, aku dinyatakan sebagai pemenang. Jadi, dengan kebingungan waktu itu, aku diminta maju ke podium, untuk—sesuai istilah mereka—“memberikan sepatah dua patah kata”. Oh, well, sepatah dua patah kata. Tapi apa yang harus kukatakan?

Dengan panik, aku berbisik pada guruku, “A-apa yang harus saya katakan?”

Guruku tersenyum menenangkan, dan menjawab dengan santai, “Ucapkan saja terima kasih pada dewan juri, pada sekolah, serta pada yang lain yang kamu anggap layak diberi ucapan terima kasih.”

Jadi, itulah yang kulakukan. Di hadapan banyak orang waktu itu, di hadapan perwakilan sekolah dari seluruh Indonesia, di depan para juri dan orang-orang lain, aku berkata dengan agak tergagap bahwa aku berterima kasih kepada mereka semua—kepada sekolahku yang tercinta, kepada guru-guruku, kepada dewan juri yang terhormat, dan kepada sahabat baikku si tutup botol kecap. Kupikir itu wajar saja, tapi entah kenapa mereka menatapku dengan bingung.

“Kenapa kamu mengucapkan terima kasih kepada tutup botol kecap?” bisik guruku dengan panik, saat aku kembali ke tempat duduk.

“Karena dia teman terbaik saya,” jawabku dengan berbisik pula.

“Kamu berteman dengan tutup botol kecap?”

“Iya.”

Detik itu, dari raut wajahnya, guruku seperti memperoleh kesimpulan tak terbantah kalau aku memang tidak waras.

Sejak itu pula, setiap kali aku menang lomba, guruku tidak lagi mengizinkanku cuap-cuap di podium. Biasanya, mereka akan menunjuk seseorang untuk—sesuai istilah mereka—“mewakiliku”. Sama sekali tidak masalah bagiku. Bahkan umpama aku tidak menang di lomba apa pun juga tidak masalah. Mereka yang memintaku mengikuti lomba-lomba itu, mereka yang berkepentingan. Sebagai bocah, aku sudah senang kalau dari kemenangan itu bisa mendapat beberapa buku, alat sekolah, atau apa pun.

Di dunia yang gila, rasanya sulit sekali menjadi orang waras. Itulah yang kupikir. Atau, secara terbalik, di dunia yang waras sungguh sulit menjadi gila. Dan aku tak pernah tahu siapakah di antara kami yang gila. Aku selalu berpikir dunia di sekitarku sungguh gila, sementara dunia menatapku dengan pandangan seolah aku yang gila. Aku sering berpikir mereka tidak masuk akal, sementara mereka menilaiku tidak masuk akal. Di tengah-tengah kegalauan seperti itulah, aku bersyukur karena memiliki teman tutup botol kecap. Dia selalu mau mendengarkanku.

Dan teman yang kaumiliki di saat susah, sering kali tetap menjadi temanmu di saat senang. Itulah persahabatanku dengan tutup botol kecap. Dia telah menjadi sahabat baik ketika aku harus melewati perjalanan hidup yang berat, ketika aku masih menjadi bocah miskin, dekil, dan dianggap gila. Dia telah menjadi sahabatku ketika orang-orang lain menjauh, ketika nasib dan takdir berpaling, ketika dunia menatapku seolah aku tidak waras.

Ketika akhirnya aku bisa meninggalkan kemiskinan, dan menjalani hidup yang jauh berbeda, dia tetap menjadi sahabat terbaik tak tergantikan. Dia telah menjadi teman baikku dalam kemiskinan dan kemelaratan, maka aku pun tetap menjadikannya teman baik saat dalam kekayaan dan keberlimpahan.

Tutup botol kecap yang kutemukan tergeletak di trotoar bertahun-tahun lalu, yang wujudnya dekil dan kotor sepertiku, telah menjadi teman seperjalanan terbaik. Selama bertahun-tahun bersamaku, dia tidak pernah menyalahkan, tidak pernah menatapku seolah aku tidak waras, tidak pernah berpaling, tidak pernah menuduhku gila. Dia selalu menemani kesepianku. Mendengarkan keluh kesahku. Tutup botol kecap adalah teman terbaik yang bisa diperoleh seorang bocah sepertiku.

Tetapi, tampaknya, tidak ada yang abadi di muka bumi. Dalam suatu perjalanan, aku kehilangan tutup botol kecap yang telah menemaniku bertahun-tahun. Aku sama sekali tidak tahu di mana tutup botol itu terjatuh, sebagaimana aku tidak ingat kapan terakhir kali masih bersamanya. Yang jelas, sejak itu aku benar-benar berpisah darinya, dengan tutup botol kecap itu, dan aku menghabiskan banyak malam untuk menangisinya, merindukannya, mengenang saat-saat bersamanya...

Sudah cukup lama aku kehilangannya, meski aku belum bisa melupakan. Kau tak pernah bisa berpisah dengan sahabat terbaikmu, begitu pula aku. Meski hanya sebuah tutup botol kecap, dia sahabat tak tergantikan. Tentu saja aku bisa mengumpulkan sebanyak apa pun tutup botol kecap yang lain, tapi aku tahu semuanya itu bukan tutup botol kecap sahabatku. Di dunia ini, hanya ada satu tutup botol kecap yang menjadi temanku, dan dia tak tergantikan.

Sekarang, aku tidak bisa membayangkan ada di mana tutup botol kecap temanku itu. Mungkin dia terlempar ke tengah jalan raya, digilas roda-roda mobil yang angkuh. Mungkin dia tenggelam di sungai, menggigil keindinginan bersama ikan dan batu-batu. Mungkin pula dia tergeletak di trotoar, menunggu seorang bocah kesepian memungutnya, seperti aku bertahun-tahun lalu... 

 
;