Minggu, 19 April 2015

Cinta Putih

Kalau kita mencintai sepenuhnya,
kita tak pernah kehilangan sepenuhnya.
@noffret 


Saya melihat perempuan itu pertama kali, tepat pada hari ketika saya memutuskan untuk bunuh diri. Dia tidak tahu, tak pernah tahu, bahwa keberadaannya bukan hanya menyelamatkan hidup saya, tetapi juga mengubah total kehidupan yang kemudian saya jalani. Selama bertahun-tahun saya menyimpan kisah ini di hati, hingga sekarang saya memutuskan untuk menuliskannya di sini.

Kalau kau pernah mengalami kehidupan sebagai bocah miskin, bodoh, dan terbelakang, kau akan memahami kisah yang akan saya ceritakan ini.

Waktu itu saya kelas dua SMP—bodoh, miskin, kuper, dan menatap hidup begitu gelap. Beratnya hidup semenjak kecil telah memaksa saya dewasa sebelum waktunya. Dan dengan “kedewasaan” yang begitu naif waktu itu, saya menatap masa depan begitu suram. Tidak ada masa depan bagi bocah tanpa harapan seperti saya.

Di sekolah, setiap bulan saya khawatir dipanggil ke kantor TU untuk ditagih pembayaran SPP yang selalu nunggak. Setiap saat saya prihatin jika ada guru yang mewajibkan murid-murid membeli buku, atau memfotokopi sesuatu, dan saya tidak bisa melakukannya karena ketiadaan uang. Setiap waktu saya terus makan hati karena tidak bisa seperti teman-teman. Tetapi, di atas semua itu, yang paling membuat saya depresi adalah mimpi-mimpi buruk yang sering mencengkeram saya setiap malam.

Entah karena banyaknya pikiran atau beratnya beban yang saya tanggung, saya sering mengalami mimpi buruk saat tidur. Sering saya terjaga di tengah malam, dengan keringat membasah, lalu kebingungan sendirian, dan merasakan kepala yang sangat berat. Kelak, bertahun-tahun kemudian, saya harus mengonsumsi berbutir-butir pil pereda sakit kepala setiap hari, demi mengatasi pusing yang setiap saat menyerang.

Tapi waktu itu saya belum mengenal obat sakit kepala. Waktu itu, dengan segala kepolosan sebagai bocah, saya bahkan memutuskan untuk bunuh diri—tepat ketika saya baru naik kelas dua SMP. Dengan segala beban hidup dan masa depan yang gelap dan suram, ditambah mimpi buruk setiap malam, saya pikir tak ada gunanya meneruskan hidup, karena sama artinya menyiksa diri sendiri.

Waktu itu belum ada internet, dan metode bunuh diri—yang tidak menyakitkan—masih merupakan pengetahuan rahasia. Jadi, meski telah memutuskan untuk mengakhiri hidup, saya belum yakin bagaimana caranya. Seorang teman di sekolah, yang juga sering bermain dengan saya, bersedia membantu rencana itu, dan dia akan menanyakannya pada orang dewasa yang “lebih tahu mengenai soal itu”.

Suatu hari, saat istirahat di sekolah, dia berbisik, “Aku sudah mendapatkan caranya. Nanti kita ketemu di belakang.”

“Di belakang” yang dia maksud adalah kamar kecil untuk siswa laki-laki—suatu tempat di bagian belakang sekolah yang juga berfungsi sebagai zona merokok murid-murid nakal.

Jadi, pada waktu jam pelajaran, saya pun izin pada guru yang sedang mengajar, lalu keluar kelas dan menuju ke “belakang”. Di kamar kecil tidak ada siapa pun—teman saya belum datang. Sambil menunggu kedatangannya, saya mengeluarkan rokok, dan menyulutnya. Kalau kau terlahir sebagai bocah miskin, bodoh, kuper, dan kesepian, kau akan tahu bahwa rokok bisa menjadi temanmu.

Selama beberapa saat saya duduk sendirian di sana, mengisap rokok, sampai kemudian teman saya datang dengan langkah bergegas. Dengan bergegas pula dia mendekati saya, dan berbisik, “Buang rokokmu! Ada guru BP mau ke sini!”

Semua penghuni sekolah tahu bahwa kamar kecil itu memang sering digunakan murid-murid nakal untuk merokok, dan Mister X—guru BP (Bimbingan Penyuluhan)—cukup sering melakukan inspeksi ke sana. Tidak jarang ada murid yang tertangkap sedang merokok, dan biasanya mendapat aneka hukuman. Jadi, ketika teman saya berbisik ada guru BP yang akan datang, saya pun secara spontan menjentikkan rokok di tangan ke tempat yang cukup jauh.

Sialnya, karena terburu-buru, rokok yang terbuang itu belum sempat saya matikan apinya, hingga asapnya masih mengepul.

Dengan panik, saya segera menuju tempat rokok itu, bermaksud memadamkan apinya sebelum Mister X tiba. Pada waktu itulah, saya melihat perempuan yang kelak membuat saya jatuh cinta bertahun-tahun....

Ketika saya tiba di tempat rokok itu, untuk memadamkan apinya, tanpa sengaja saya menoleh ke jendela kaca sebuah kelas, tepat di samping saya berdiri. Ruang kelas itu hening, murid-murid sedang khusyuk mendengarkan guru yang sedang mengajar, dan tatapan saya jatuh pada seraut wajah lembut yang membuat saya terlupa segalanya. Lupa pada rokok yang harus saya matikan segera, lupa pada bunuh diri yang saya rencanakan semula.

Mister X tiba di sana. Dan saya seperti tikus terperangkap. Dia memerintahkan saya ke kantor BP bersama puntung rokok yang menjadi “bukti kejahatan”. Tetapi, berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya, kali ini saya datang ke kantor BP dengan hati berbunga. Pada waktu itu pula, saya memutuskan untuk membatalkan niat bunuh diri, karena saya masih ingin melihat perempuan itu lagi... melihatnya lagi... melihatnya lagi....

....
....

Perempuan itu bernama Nadia (bukan nama sebenarnya). Dia adik kelas saya. Sejak pertama kali melihatnya hari itu, saya tahu telah jatuh cinta kepadanya. Dia sangat indah, lembut, dan kemudian saya tahu dia juga terkenal pintar. Sejak hari itu dan di waktu-waktu kemudian, saya mabuk kepayang merindukannya. Itu cinta pertama dalam hidup, juga cinta terbesar.

Cinta mampu mengubah neraka tampak surga—setidaknya itulah yang saya alami. Jika hari-hari sebelumnya sekolah terasa sangat membosankan, kini terasa menyenangkan. Jika hari-hari sebelumnya saya menatap hidup penuh kegelapan, kini seperti melihat cahaya terang. Meski mungkin terdengar naif, sekarang saya tahu alasan untuk hidup, sekarang saya menyadari mengapa harus hidup... untuk melihat perempuan yang membuat saya jatuh cinta.

Tetapi, bahkan waktu itu pun saya menyadari siapa saya dan siapa Nadia. Meminjam pepatah terkenal, itu seperti pungguk merindukan bulan. Jadi, saya pun memendam cinta diam-diam. Menyimpan kerinduan dalam-dalam. Dan sesekali memandanginya dari kejauhan. Tidak masalah, itu sudah cukup bagi saya. Melihatnya sesekali saat di sekolah sudah terasa sangat indah.

Ketika saya naik kelas tiga SMP, Nadia naik ke kelas dua. Dan selama waktu-waktu itu, saya tetap jatuh cinta kepadanya, dan tetap memendamnya diam-diam. Sampai kemudian saya lulus SMP, saya tetap jatuh cinta kepadanya, dan tetap tidak pernah menyatakannya. Kadang-kadang, ada cinta yang sebaiknya tidak dikatakan, dan saya anggap itu sebagai kesimpulan.

Selepas SMP, saya masuk ke sebuah SMA. Mendapatkan teman-teman baru, guru-guru baru, serta pengalaman baru. Di SMA, saya masuk dalam kepengurusan OSIS, dan sesekali mewakili sekolah dalam beberapa lomba. Kesibukan dan segala aktivitas selama menjalani satu tahun pertama di SMA sempat melenakan angan saya dari Nadia... sampai kemudian perempuan itu muncul di SMA saya!

Ketika saya naik kelas dua SMA, ada pendaftaran murid baru. Salah satu murid baru yang mendaftar ke sana adalah Nadia. Saya mendapatinya tanpa sengaja pada masa orientasi, dan saya nyaris pingsan.

Pagi itu, hari kedua masa orientasi, siswa-siswi baru berkumpul di lapangan sekolah, dan beberapa pengurus OSIS melakukan inspeksi untuk mengecek perlengkapan mereka. Saya termasuk yang bertugas pagi itu, dan saya pun melakukan pengecekan pada siswa-siswi baru. Di tengah barisan, sesosok perempuan menatap saya, dan wajahnya tampak familier. Oh, well, saya bahkan sangat hafal wajahnya. Itu Nadia.

Ya Tuhan, bagaimana perempuan itu ada di sini?

Sesaat, waktu seperti berhenti. Saya terpaku menatapnya, tak bisa bergerak, dan tak memahami kenapa tiba-tiba dia ada di depan saya. Dia tidak tahu bahwa saya telah jatuh cinta kepadanya bertahun-tahun, dia tidak tahu bahwa saya sering memimpikannya, dia tidak tahu bahwa saya merindukannya setiap saat... dan sekarang dia ada di sini. Tepat di depan saya, dengan keindahan dan kelembutan mempesona.

Karton besar yang terpasang di dadanya kemudian menyadarkan saya bahwa perempuan itu ada di sana karena menjadi salah satu siswa baru. Dari tatapannya, Nadia tampak masih mengenali saya sebagai kakak kelasnya dulu.

Dengan gerak seperti robot, saya memeriksa perlengkapan yang dibawa Nadia tanpa mengucapkan apa pun, dan segera menganggapnya beres. Oh, well, bahkan umpama dia tidak membawa perlengkapan apa pun, saya tidak akan mempermasalahkannya. Persetan dengan perlengkapan! Keberadaannya di sana bahkan melebihi harapan saya yang paling liar.

Lalu kisah baru dimulai di sekolah itu.

Menjalani hari-hari seusai masa orientasi rasanya seperti mengalami déjà vu. Saya seperti mengulang masa-masa SMP, memiliki adik kelas yang membuat jatuh cinta, dan hari-hari di sekolah terasa lebih indah. Setiap hari, saya selalu merindukan sekolah—bukan untuk apa pun, hanya untuk bisa melihat Nadia. Hari-hari libur, apalagi liburan panjang, sering kali terasa menyiksa karena saya tidak bisa melihatnya, dan saya merindukannya, merindukannya, merindukannya....

Tetapi, sebagaimana di SMP, saya tidak pernah menyatakan perasaan kepadanya. Saya tetap menyadari—dan mungkin terlalu menyadari—siapa saya, dan siapa dia. Jadi, saya tetap memendam cinta itu diam-diam, menikmatinya diam-diam, dan merindukannya diam-diam. Entah dia menyadari atau tidak, saya juga sering memandanginya diam-diam.

Orang Melayu punya pepatah terkenal, berbunyi, “Kau merak kahyangan, dan aku unggas di rimba.” Tepat seperti itulah yang saya rasakan.

Di SMA, Nadia tumbuh menjadi gadis remaja dengan keindahannya yang makin mempesona, sementara saya masih bocah lusuh yang nakal. Tidak perlu genius untuk menyadari bahwa saya tidak layak untuknya. Dalam cinta diam-diam, saya bahkan diam-diam pula bersyukur karena dia telah menyelamatkan hidup saya dari rencana bunuh diri bertahun-tahun lalu—meski dia tidak menyadarinya. Itu sudah cukup. Saya tidak perlu merusak hubungan kami dengan pernyataan cinta yang hanya akan sia-sia.

Kadang-kadang, saat melangkah ke perpustakaan sekolah, tanpa sengaja kami berpapasan. Biasanya, ketika itu terjadi, kami akan sama-sama menunduk. Dan jika wajah kami kebetulan bertatapan, kami akan saling mengulum senyum dengan kaku. Saya mengganggap itu ekspresi dua orang yang merasa saling kenal, tapi sebenarnya tidak saling mengenal, karena kenyataannya kami tidak pernah bercakap satu patah kata pun, meski telah saling melihat bertahun-tahun.

Dan ketika itu terjadi, saya merasa berdebar—sangat berdebar. Lalu bayangan indah itu melekat dalam benak saya hingga lama.

....
....

Tiga tahun di SMA terasa sangat singkat. Entah karena banyaknya kesibukan yang saya jalani di sekolah, atau karena saya menganggap hari-hari di SMA sangat indah dengan keberadaan Nadia. Yang jelas, akhirnya saya sampai di ujung kelulusan kelas tiga, dan harus segera meninggalkan sekolah. Untuk kedua kalinya, saya meninggalkan Nadia karena kelulusan sekolah. Dan, entah konyol atau tidak, selama bertahun-tahun itu kami belum pernah bercakap sedikit pun.

Selepas SMA, saya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena alasan klise—tidak ada biaya. Jadi, saya mencoba melamar kerja ke sana kemari, lalu sempat bekerja di beberapa tempat—termasuk di tempat ini—sambil berusaha menabung dan terus memutar otak bagaimana caranya agar hidup saya lebih baik. Selama waktu-waktu itu, saya bekerja seperti robot, nyaris tanpa henti. Saya sering berangkat kerja jam tujuh pagi, lalu lembur, dan baru pulang jam dua dini hari.

Meski hari-hari saya telah dihabiskan untuk bekerja dan bekerja, namun ada saat-saat jeda ketika saya merasa waktu berhenti—saat saya tiba-tiba merasa kangen pada Nadia.

Saya tidak tahu bagaimana kabarnya waktu itu. Setelah tiga tahun di SMA, dia tentu sudah lulus, dan melanjutkan kuliah entah di mana. Saya tidak tahu. Yang jelas, saat kerinduan begitu menyesakkan, dan kerja sedang libur, saya kadang pergi ke tempat tinggal Nadia. Saya tahu di mana alamat rumahnya. Tetapi, saya tidak pernah memberanikan diri mengetuk pintu dan menemuinya. Yang saya lakukan waktu itu hanya lewat depan rumahnya, dan merasa kerinduan saya sedikit terobati.

Ada banyak waktu ketika saya melakukan kegiatan aneh itu—merasakan rindu yang tak tertahan, kemudian sendirian pergi ke tempat tinggal Nadia, melewati depan rumahnya. Selama waktu-waktu itu, saya tak pernah melihatnya satu kali pun. Tetapi melihat genteng rumahnya pun sudah cukup.

Selama empat tahun sejak lulus SMA, saya terus bekerja keras dan mulai membangun usaha sendiri. Kisah menyangkut hal itu bisa panjang sekali jika saya ceritakan di sini. Yang jelas, dalam waktu empat tahun itu kemudian saya bisa menikmati kehidupan yang jauh lebih baik. Saya keluar dari rumah orangtua, dan mengontrak rumah sendiri. Waktu itu usia saya baru 20 tahun, dan telah mencapai hampir semua hal yang saya impikan sebagai bocah.

Suatu malam, ada beberapa teman datang ke rumah. Dua orang telah saya kenal sejak SMA, sementara dua lainnya belum saya kenal. Yang jelas, mereka semua kuliah di—sebut saja—Universitas X. Kami pun mengobrol asyik di rumah saya sampai larut malam. Selama mengobrol itu, mereka sempat membicarakan seorang mahasiswi teman mereka, bernama Nadia, yang menjadi salah satu aktivis kampus.

Entah mengapa, waktu itu naluri saya tergelitik. Meski Nadia yang mereka bicarakan bisa jadi orang lain, namun saya penasaran. Jadi, saya pun menanyakan pada mereka, siapa Nadia yang mereka sebut tadi. Mereka pun menjelaskan. Saya tanya seperti apa ciri-cirinya, di mana alamatnya, dari mana asal sekolahnya, dan lain-lain. Semua jawaban mereka tepat merujuk pada Nadia yang saya kenal.

Jadi Nadia sekarang kuliah di Universitas X, batin saya.

Saat itu pula, sambil menahan gelora yang membuncah tiba-tiba, saya bertanya, “Omong-omong, kapan kampus kalian membuka pendaftaran mahasiswa baru?”

“Dua bulan lagi,” jawab salah satu dari mereka. “Kenapa?”

“Tiba-tiba aku ingin kuliah di kampusmu.”

....
....

Dua bulan kemudian, saya mendaftar sebagai mahasiswa baru di Universitas X. Tanpa motivasi apa pun, selain hanya ingin melihat Nadia, hanya ingin kembali bersamanya. Oh, well, ini mungkin terdengar gila. Tapi cinta katanya memang bisa membuat orang menjadi gila.

Maka saya pun mulai menjalani kehidupan baru sebagai mahasiswa. Di Universitas X, saya mencari informasi mengenai Nadia. Berdasarkan informasi dari teman-teman seangkatannya, Nadia sekarang tinggal menggarap skripsi, jadi sudah jarang masuk kampus. “Paling dia ke kampus kalau ada jadwal dengan dosen pembimbing,” ujar seorang teman karib Nadia.

Setiap hari, saya masuk kampus tanpa motivasi apa pun, selain hanya ingin melihat perempuan yang saya rindukan. Sebagaimana di SMA, di kampus pun saya kembali rajin masuk perpustakaan. Jadi, di sela-sela masuk kelas dan di sela-sela ngobrol dengan teman-teman, saya selalu menyempatkan diri masuk perpustakaan. Sampai hampir dua bulan kuliah di sana, belum pernah sekali pun saya bertemu Nadia.

Sampai suatu hari, saya masuk perpustakaan setelah mengisi perut di kantin. Sebenarnya itu jadwal biasa. Di perpustakaan, saya menuju ke tempat duduk yang biasa, lalu membaca majalah terbitan baru.

Ketika sedang asyik menekuri majalah, saya merasa ada seseorang sedang menatap saya. Saat mengangkat muka, detak jantung saya nyaris berhenti. Hanya tiga meter dari tempat saya duduk, perempuan yang saya rindukan bertahun-tahun sedang berdiri. Menatap saya. Dengan keindahan yang telah menghapus mimpi-mimpi buruk dalam hidup saya.

Waktu seperti berhenti. Saya merasa mengalami déjà vu.

Siang itu, di perpustakaan kampus, saya merasa kembali ke masa lalu... saat kami biasa bertemu di perpustakaan SMA namun saling diam... masa-masa di SMP saat saya mulai memendam cinta diam-diam... dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, kami kembali bertemu, bertatapan... seperti dulu. Dari tatapannya, dia masih mengenali saya.

Dengan kaku, saya mengulum senyum, dan Nadia membalas dengan senyum yang sama kaku.

“A-aku tidak mengira...” ujar saya tergagap. “Aku tidak mengira kita bertemu di sini.”

Dia mengangguk, namun tampak salah tingkah. “Aku lagi nyari referensi buat skripsi,” ujarnya kemudian. “Jadi, kamu kuliah di sini?”

“Ya.” Kali ini saya yang salah tingkah. “Aneh, ya?”

Dia memahami yang saya maksud, dan tersenyum. Saat di SMA, dia yang “menyusul” saya. Kini, saat kuliah, saya yang “menyusulnya”. Entah bagaimana, alam semesta tampaknya berkonspirasi untuk terus mempertemukan kami.

Lalu kami bercakap-cakap di sana, meski dengan agak kaku. Bagaimana pun, itu percakapan pertama kali, meski kami telah saling kenal bertahun-tahun lalu. Kami sama-sama menyadari, itu moment yang sangat aneh. Pertemuan yang diawali di SMP, kebersamaan selama di SMA, dan sekarang di perpustakaan kampus. Selama bertahun-tahun saling mengenali, baru sekarang kami berkomunikasi.

Nadia telah tumbuh dewasa, dan keindahannya semakin mekar. Wujud kelembutan dan pesona yang pernah saya kenali bertahun-tahun lalu kini tampak semakin indah, dan saya tetap merasakan debar yang dulu saya rasakan, getar yang dulu saya hayati. Saya ingin waktu benar-benar berhenti, agar kami bisa selamanya di sana... bercakap-cakap tanpa usai, melepaskan kerinduan yang telah lama tersimpan.

Mungkin karena telah sama-sama cukup dewasa, kami pun akhirnya bisa bercakap-cakap secara normal—tidak lagi sekaku atau semalu-malu jika kami masih remaja. Di akhir percakapan, saat dia akan pergi, saya memberanikan diri bertanya, “Kapan-kapan, aku boleh menilponmu?”

Dia mengangguk, dan menyebutkan nomor telepon rumahnya (waktu itu ponsel belum menjadi barang populer). Setelah dia selesai menyebutkan nomornya, saya hanya mengangguk. Sebelum itu, sebenarnya, saya telah hafal nomor teleponnya. Buku tebal Yellow Pages telah memberitahu sejak lama, dan nomornya bahkan telah tersimpan di ponsel saya.

Sekitar seminggu setelah pertemuan itu, saya benar-benar meneleponnya. Butuh waktu lama bagi saya untuk menenangkan debaran jantung, sebelum kemudian memberanikan diri memencet nomornya, dan mendengarkan dering panggilan. Dia yang menerima. Dan menyapa ramah. Lalu kami bercakap-cakap.

Mendengar suaranya lewat telepon, gemuruh jantung saya makin tak karuan. Rasanya dia sedang berbisik tepat di telinga. Terus terang saya masih agak kaku, dan belum bisa berkomunikasi dengan lancar. Untungnya, Nadia memahami. Dia tahu bagaimana menghadapi saya yang kikuk, hingga pelan-pelan saya bisa menikmati percakapan, sampai obrolan kami perlahan-lahan makin lancar. Lalu semuanya berlangsung dengan alami.

Di lain waktu, saya kembali menelepon. Dan percakapan kami makin lancar, bahkan kami mulai bisa bercanda. Segala kekakuan yang semula menyelimuti kami menghilang perlahan-lahan, dan kami mulai bisa saling tertawa. Sampai kemudian, saya memberanikan diri untuk datang ke rumahnya.

“Kamu tahu alamatku?” dia bertanya.

“Ya,” saya menyahut. Sambil diam-diam membatin, “bahkan sambil memejamkan mata pun, aku tidak akan tersesat.”

Suatu malam, saya datang ke rumahnya. Tak perlu dikatakan bagaimana debaran jantung yang saya rasakan. Setelah puluhan atau bahkan ratusan kali melewati depan rumahnya selama bertahun-tahun, kini saya benar-benar datang ke rumahnya, mengetuk pintu, dan dia muncul. Saat melihat senyumnya yang merekah, saya merasa betapa dunia ini sangat indah, dan saya bersyukur karena masih dapat bernapas.

Dari kunjungan pertama, saya kembali mengunjunginya di lain waktu. Dan itu menjadi saat-saat termanis dalam hidup yang pernah saya alami. Saat mengetuk pintu rumahnya, dan melihatnya keluar dengan senyum mekar, saya tidak hanya menyaksikan perempuan yang begitu saya cintai, tetapi juga sosok yang pernah menyelamatkan hidup saya dari akhir yang tragis... seseorang yang selalu saya rindukan bertahun-tahun.

Selama kami bersama dan bercakap-cakap, saya belum pernah menceritakan kepadanya bahwa dulu saya hampir bunuh diri, kalau saja tidak melihatnya di sekolah waktu SMP. Waktu itu, saat duduk di rumahnya, dan bercakap-cakap menyenangkan, khayalan saya begitu indah. Dalam bayangan, saya akan menceritakan hal itu, kelak jika hubungan kami benar-benar telah jelas. Berdasarkan kebersamaan yang kami jalani, saya memang sempat yakin bahwa kami akan menuju ke arah itu.

Tapi rupanya takdir berkehendak lain.

....
....

Suatu waktu, karena pekerjaan yang harus saya hadapi, kami kehilangan kontak sampai hampir empat bulan. Selama waktu-waktu itu, konsentrasi saya hanya tercurah pada urusan kerja, agar selesai secepatnya. Ketika akhirnya urusan itu selesai, dan saya kembali menemui Nadia di rumahnya, saya mendapati sesuatu yang tak pernah saya sangka.

Saat percakapan kami makin intens dan menjurus, Nadia berbisik parau, “Aku telah bertunangan.”

Dia dijodohkan dengan lelaki yang masih kerabat dari pihak ayahnya. Nadia tidak bisa menolak, karena kenyataannya memang belum punya calon pasangan. Hubungan kami waktu itu belum jelas. Pertunangan itu terjadi tiga bulan setelah kami kehilangan kontak. Sebelumnya, Nadia sudah mencoba menghubungi ponsel saya. “Tapi ponselmu tidak pernah aktif,” bisiknya.

Saya tidak tahu harus mengatakan apa waktu itu. Yang masih saya ingat, malam itu bagian paling dalam jiwa saya menggigil kedinginan, seolah diterpa angin kencang. Sesuatu dari diri saya seperti dicerabut dan hilang, hingga yang saya rasakan hanya kehampaan... dan kekosongan.

Tiga bulan kemudian, Nadia menikah.

Saya diundang ke acara pernikahannya, dan saya datang. Sepulang dari resepsi, saya masuk kamar, dan menangis semalaman.

Itu duka paling dalam yang pernah saya alami dalam hidup, kehilangan terbesar yang pernah saya rasakan. Sejak itu, saya menjalani hari-hari seperti mayat hidup. Tanpa energi, tak bisa berpikir, hampa. Teman-teman dekat saya, yang mengetahui hal itu, berdatangan dan menghibur, tapi luka kehilangan yang saya alami telah begitu dalam.

Saya tidak menyalahkan siapa pun atas hal itu. Yang jelas, butuh waktu lebih dari setahun bagi saya untuk memulihkan diri. Selama waktu-waktu itu, saya menjalani kehidupan yang benar-benar kacau. Hingga puncaknya terjadi saat saya mengalami kecelakaan parah yang hampir merenggut nyawa. Peristiwa tragis itu tidak hanya menghentikan kekacauan hidup saya, tapi juga memberi kesempatan bagi saya untuk mulai berpikir jernih.

Saya telah kehilangan Nadia. Selama masa-masa itu, setiap kali teringat kepadanya, memori saya seperti rangkaian flashback menyiksa dan berulang-ulang. Saat pertama kali melihatnya di SMP... mencintainya diam-diam... lalu kembali bertemu saat SMA, memandanginya setiap hari... perjumpaan di perpustakaan kampus... saat-saat kami bercakap di telepon... saat saya mengunjunginya... senyumnya, suaranya... tawanya... lalu saya terisak.

....
....

Kehilangan adalah satu hal, pikir saya suatu ketika. Tapi melanjutkan hidup adalah hal lain. Bagaimana pun, bertahun-tahun lalu, Nadia telah menyelamatkan hidup saya dari kemungkinan kematian yang tragis. Tanpa disadarinya, takdir telah menggunakan dirinya untuk memperpanjang sejarah hidup saya... dan itu tentu bukan tanpa alasan. Fakta bahwa dia akhirnya tak bisa saya miliki, bukan berarti hidup saya harus berhenti. Suatu saat, rasa kehilangan akan terlalui, dan luka akan sembuh. Tapi hidup saya belum berakhir.

Sampai hari ini, saya tak pernah takut mati. Kematian adalah teman dekat yang dulu pernah akan saya temui. Tetapi, kini saya tahu, ada yang lebih berharga daripada berhenti hidup. Yakni meneruskan hidup, mengisinya dengan hal-hal baik, dan menyentuh kehidupan orang lain. Seperti catatan ini. Mungkin catatan ini tak akan pernah tertulis jika bertahun-tahun lalu saya tidak melihat Nadia, dan kalian tak akan pernah membaca kisah ini kalau saja dulu saya memutuskan untuk mati.

Kini, saat menulis catatan ini, saya tidak tahu apakah Nadia membacanya atau tidak. Tapi saya merasa perlu menuliskannya, agar dunia tahu... bahwa bertahun-tahun lalu, seorang bocah miskin, dekil, dan putus asa, hampir mengakhiri hidup kalau saja tidak melihat dirinya. Saya merasa berutang budi untuk hal itu, dan menulis pengakuan ini secara jujur membuat saya merasa utang telah terbayar lunas.

Tuhan tahu, saya sangat mengasihinya. Dia cinta terputih yang pernah saya miliki... meski tak pernah saya miliki.

 
;