Selasa, 14 April 2015

Pertanyaan Paling Sia-sia di Dunia

Pertanyaan “kapan cerai?” pasti dianggap tidak sopan.
Tapi kenapa pertanyaan “kapan kawin?” dianggap sopan?
@noffret


Pertanyaan paling sia-sia di dunia adalah pertanyaan, “Kapan kawin?” Tidak ada yang lebih sia-sia di bawah langit dibanding pertanyaan itu. Sebegitu sia-sia, hingga pertanyaan itu seharusnya disimpan di dasar kerak neraka.

Di sekeliling kita ada orang-orang kurang kerjaan atau kurang belajar, yang kebetulan sudah kawin atau sudah menikah. Karena kurang kerjaan—atau kurang belajar—mereka suka nyinyir pada orang-orang yang tidak atau belum menikah, dan mengajukan pertanyaan sia-sia sekaligus paling klise di dunia, berbunyi, “Kapan kawin?”

Mari kita pikirkan pertanyaan itu secara dewasa, dan—kalau bisa—secara adil dan bijaksana. Kita mulai dari premis awal; apa manfaat pertanyaan itu?

Ada banyak orang yang tidak atau belum menikah di sekitar kita, baik pria maupun wanita. Mereka tidak atau belum menikah dengan berbagai alasan dan latar belakang. Ada yang memang memutuskan hidup melajang, ada yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan, ada yang sudah punya pacar tapi masih menyiapkan masa depan, dan lain-lain, dan sebagainya.

Jika kita bertanya “kapan kawin?” pada orang yang memutuskan melajang, maka pertanyaan itu sungguh sia-sia. Karena hidup adalah soal pilihan. Ada yang memilih menikah, ada yang memilih melajang. Mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” pada orang yang memutuskan melajang sama artinya tidak menghormati pilihan orang lain. Jika kita tidak senang mendapati orang lain mencampuri urusan pribadi kita, begitu pun orang lain.

Kemudian, ada yang belum menikah karena memang belum menemukan jodoh atau pasangan. Orang-orang semacam itu banyak di sekeliling kita. Mereka sebenarnya ingin menikah, punya harapan dan cita-cita membangun keluarga, punya pasangan dan anak-anak. Tapi kenyataannya mereka belum menemukan jodoh yang tepat. Jika kita mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” kepada mereka, sama artinya kita menyakiti perasaan mereka.

Itu tak jauh beda dengan mendapati orang kelaparan karena tidak punya uang untuk membeli makanan, kemudian kita bertanya dengan sok jumawa, “Kapan kamu mau makan?” Kira-kira, bagaimana perasaan mereka? Kalau saja diizinkan berkata kasar, mungkin mereka akan mengatakan, “Tutup mulutmu, bangsat! Aku kelaparan setengah mati karena tidak punya makanan, dan sekarang kamu bertanya kapan aku mau makan?”

Karenanya, saat mendapati orang lain belum menikah, dan kita tahu dia belum menikah karena belum memiliki pasangan, langkah terbaik dan lebih bijak adalah mengenalkan temanmu yang mungkin berjodoh dengan dia. Itu jauh lebih baik, daripada bertingkah sok-sokan dengan mengajukan pertanyaan keparat berbunyi, “Kapan kawin?”

Kemudian, ada pula orang yang telah punya pacar tapi belum menikah. Meski mereka jelas telah memiliki calon pasangan tetap pun, kita tetap tidak layak bertanya-tanya “kapan kawin?” pada mereka. Kita tak pernah tahu urusan pribadi dalam hubungan mereka. Bisa jadi, mereka sebenarnya ingin segera menikah, tapi mungkin masih perlu mengurus banyak hal yang lebih penting, dari urusan kuliah, kerja, atau urusan keluarga. Bertanya “kapan kawin?” pada mereka sama artinya mengerecoki urusan orang lain. Jika tidak membuat mereka marah, pertanyaan itu bisa membuat mereka tertekan.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan itu, kita melihat bahwa pertanyaan “kapan kawin?” sama sekali tidak bermanfaat apa apa. Diajukan kepada siapa pun, pertanyaan itu sungguh sia-sia. Bukannya memberi manfaat, pertanyaan itu justru mengundang mudarat. 

Sekarang, kita masuk pada premis selanjutnya; apa sebenarnya tujuan atau motivasi orang yang suka bertanya-tanya, “Kapan kawin?”

Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari pertanyaan itu. Pertama karena ketulusan, kedua karena kebodohan, dan ketiga karena kedengkian. Mari kita ulas satu per satu.

Kadang-kadang, orang yang bertanya “kapan kawin?” adalah orang terdekat kita, semisal famili, atau keluarga, atau setidaknya sahabat dekat. Biasanya, orang-orang itu mengajukan pertanyaan tersebut semata karena ketulusan.

Seorang ibu yang melihat anaknya betah melajang, atau seorang tante yang melihat keponakannya terus asyik bermain-main, mungkin sengaja mengajukan pertanyaan itu untuk mengingatkan si anak atau si keponakan agar mulai hidup serius. Kenyataannya, ketika kita menikah, mereka pun benar-benar membantu kita sekuat tenaga. Mereka orang-orang yang memang mengajukan pertanyaan “kapan kawin?” semata karena ketulusan.

Kemudian, latar belakang kedua, adalah karena kebodohan. Ada banyak orang tolol yang suka bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun yang ditemuinya. Biasanya orang-orang semacam itu sudah menikah—biasanya pula sudah punya anak-anak—dan berpikir bahwa semua orang seharusnya juga menikah seperti dirinya. Jadi, ketika mendapati orang lain belum menikah—apa pun alasannya—orang-orang tolol itu akan bersikap jumawa, dan bertanya, “Kapan kawin?”

Oh, well, seolah-olah mereka akan terlihat hebat dengan bertanya-tanya seperti itu. Ya namanya juga orang tolol.

Terakhir, latar belakang ketiga, adalah karena kedengkian, atau karena hati dan pikiran yang rusak. Jika kalimat itu terdengar mengerikan, ingat-ingatlah yang akan saya katakan ini.

Kapan pun kalian mendapati orang yang rajin bertanya-tanya “kapan kawin?”, perhatikan dan lihatlah dengan cermat. Apakah perkawinannya bahagia? Apakah keluarganya menjalani hidup yang damai? Apakah hubungannya dengan pasangan tidak mengalami masalah? Jika dia telah punya anak-anak, apakah anak-anaknya hidup secara layak? Semakin dalam kalian mencermati, kalian akan terkejut. Sering kali, orang yang paling rajin bertanya “kapan kawin?” justru orang yang menjalani kehidupan menyedihkan!

Jadi, mereka kecewa dengan kehidupan dan perkawinannya. Karena mereka tidak bisa menyalahkan dan mengutuk diri sendiri, mereka menujukan pandangannya ke luar. Bukannya introspeksi dan berusaha memperbaiki perkawinan yang rusak, mereka justru bertingkah sok dan bertanya-tanya “kapan kawin?” pada yang masih lajang. Itu semacam "ego defense mechanism" dalam wujud yang mengerikan, karena didasari kedengkian akibat hati yang rusak, pikiran yang rusak.

Oh, well, mereka iri melihat para lajang bisa menjalani kehidupan yang bebas tanpa beban. Mereka menyesali perkawinannya, dan diam-diam mengutuk kehidupannya. Karena tidak mungkin terang-terangan menyatakan bahwa mereka menyesali perkawinannya, mereka pun menutupi kenyataan itu dengan bersikap sok, dan bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun. Dan, begitu kalian benar-benar menikah, orang-orang dengki itu akan tersenyum diam-diam, dan berpikir, “Gotcha! Kena kau!”

Yang mengerikan, orang-orang semacam itu banyak sekali di sekeliling kita. Yang lebih mengerikan, mereka tidak menyadari latar belakang perbuatannya. Mereka bertanya-tanya “kapan kawin?” pada siapa pun, tanpa menyadari kenyataan perkawinannya sendiri yang menyedihkan. Jadi, pertanyaan “kapan kawin” yang kerap mereka lontarkan adalah desakan bawah sadar mereka, akibat kekecewaan diam-diam. Kekecewaan pada diri sendiri, kekecewaan pada pasangannya, kekecewaan pada perkawinannya, kekecewaan pada hidupnya.

Karenanya, seperti yang saya nyatakan tadi, jika kalian mendapati orang yang sangat suka bertanya “kapan kawin?”, perhatikan dan cermati kehidupannya. Kalian akan mendapati, bahwa sebagian besar orang yang paling rajin bertanya “kapan kawin?” justru orang yang paling tidak bahagia dalam perkawinannya! Mereka orang-orang yang menjalani kehidupan menyedihkan. Sebegitu menyedihkan, hingga hati dan pikiran mereka sama menyedihkan.

Sekarang, akhir premis; apa kesimpulannya?

Kesimpulan pertama, pertanyaan “kapan kawin?” adalah pertanyaan sia-sia—oh, hell, sangat sia-sia. Karenanya, kepada siapa pun yang suka nyinyir bertanya “kapan kawin?”, belajarlah untuk lebih bisa menjaga ucapan dan perasaan orang lain. Karena selain sia-sia, pertanyaan itu berpotensi menyakiti perasaan orang lain. Tidak semua orang harus menikah sepertimu. Dan kalau kebetulan perkawinanmu tidak bahagia, jauh lebih baik introspeksi dan memperbaiki kehidupanmu, daripada sibuk mengurusi orang lain.

Kesimpulan kedua, bagaimana pun kadang ada orang terdekat kita yang secara tulus mengajukan pertanyaan itu, semata-mata karena rasa sayang. Jika kita menghadapi orang-orang tulus semacam itu, mungkin langkah terbaik yang bisa kita lakukan adalah bersikap jujur.

Jika kita memang memutuskan melajang, nyatakan itu secara jujur, bahwa kita memutuskan untuk hidup melajang. Jika kita memang sudah ingin menikah, namun belum menemukan jodoh atau pasangan, katakan apa adanya. Atau jika kita kebetulan sudah punya pacar, tapi belum memutuskan kapan akan menikah karena berbagai hal tertentu, katakan terus terang. Pernyataan jujur itu bisa membuat kita terlepas dari beban, sekaligus membuat mereka mulai menyadari.

Akhirnya, pelajaran penting dalam hidup dan dalam berurusan dengan orang lain, adalah pelajaran berempati. Sebelum kita mengucapkan atau menanyakan apa pun kepada orang lain, pikirkan terlebih dulu; apakah pertanyaan atau ucapan itu akan menyakiti atau tidak.

Dalam hidup, dan dalam hubungan dengan sesama manusia, sering kali lebih baik menyesal karena diam, daripada menyesal karena telanjur mengeluarkan ucapan. Orang-orang bijak menyadari hal itu, hingga mereka berpikir terlebih dulu sebelum bicara, sementara orang-orang tolol berbicara tanpa berpikir.

 
;