Minggu, 01 November 2015

Bertarung Melawan Takdir (1)

Tidak ada takdir, selain yang kita pilih.
@noffret


Di New York, salah satu tempat paling kumuh dan berbahaya adalah kawasan Bronx. Di Bronx, orang bisa terbunuh hanya karena masalah sepele. Di Bronx, siapa pun bisa tergeletak mati di jalanan, dan ditinggalkan. Di Bronx, beragam penjahat beroperasi, dari para bandit perampas mobil sampai para pencopet. Di Bronx, berbagai jenis narkoba beralih dari pengedar ke pengguna dengan mudah. Di Bronx, asap pabrik bercampur asap kendaraan, dan udara terasa berat menggantung.

Di kawasan Bronx yang suram itu pulalah, seorang bocah dilahirkan untuk bertarung melawan takdir. Namanya Lawrence Joseph.

Bahkan sejak dilahirkan, bocah itu sudah harus bertarung dengan takdir. Beberapa bulan setelah lahir, takdir mulai menyerangnya. Dan kelak, saat usianya menanjak besar dan dewasa, takdir terus menghantamnya dengan keras, berusaha menjatuhkan, melukai, mengalahkan. Tapi kali ini rupanya takdir harus menghadapi lawan seimbang. Lawrence Joseph benar-benar bocah tangguh yang tak sudi dikalahkan, termasuk oleh takdir.

Lawrence Joseph lahir dari rahim seorang wanita bernama Florence Spellman, yang waktu itu berusia 19 tahun. Florence Spellman adalah gadis miskin yang tinggal di Bronx. Dia berkenalan dengan seorang lelaki, berpacaran, dan hamil. Saat kandungannya makin besar, si lelaki menghilang. Jadi, Florence Spellman pun melahirkan anaknya sendirian, dan bertekad merawat serta membesarkannya. Anak yang dilahirkannya itulah yang kemudian dinamai Lawrence Joseph.

Dengan segala kesabaran dan kondisi hidup pas-pasan, Florence Spellman merawat bayinya, bulan demi bulan, tapi bayi itu rupanya mengalami masalah kesehatan. Dia tidak seceria bayi-bayi lain. Akhirnya, setelah bisa mengumpulkan cukup uang, Florence Spellman memeriksakan bayinya ke dokter. Waktu itu, si bayi berusia 9 bulan. Dokter yang memeriksa menyatakan bayi itu menderita pneumonia atau radang paru-paru.

“Udara di Bronx tidak baik untuk pertumbuhannya,” ujar si dokter.

Karena kenyataan itu, dan karena harapan bayinya dapat tumbuh sehat, Florence Spellman terpikir untuk menyerahkan sang bayi ke keluarga paman dan bibinya, yang kebetulan tidak punya anak. Dia punya paman dan bibi yang tinggal di daerah South Shore, Chicago, bernama Louis Ellison dan Lillian Spellman Ellison. Dibandingkan Bronx di New York, udara Chicago lebih bersih. Singkat cerita, Lawrence Joseph kemudian diadopsi oleh pasangan Ellison. Dari situ, namanya menjadi Lawrence Joseph Ellison.

Lalu bayi itu pun tumbuh... dan terus tumbuh. Orangtua angkatnya membesarkan dengan baik, dan penuh kasih. Pasangan Ellison adalah keluarga kelas menengah. Louis Ellison semula pialang real estate yang sukses, tapi kemudian bangkrut, dan sekarang bekerja serabutan, sementara Lillian Ellison bekerja sebagai guru. Bisa dibilang, ibu angkat Lawrence-lah yang menghidupi keluarga mereka. Dan pasangan suami istri itu biasa memanggil anak angkat mereka dengan sebutan “Larry”. Kelak, nama panggilan itu pulalah yang populer saat si bocah mulai dewasa, hingga ia lebih dikenal dengan nama Larry Ellison.

Saat mulai bersekolah, Larry Ellison masuk Eugene Field Elementary School, Sekolah Dasar di utara Chicago. Dia tumbuh sebagai anak ceria, dan guru-gurunya di sekolah mengenalnya sebagai bocah cerdas. Tetapi, keceriaan Larry Ellison seketika lenyap, ketika ia tahu bahwa orangtua yang selama ini membesarkannya bukanlah orangtua kandung. Kenyatan itu ia ketahui ketika umurnya 12 tahun.

Sebagai bocah, Larry Ellison terluka mengetahui kenyataan itu. Luka batin Larry Ellison semakin parah ketika mengetahui bahwa ayah biologisnya tidak jelas, karena lelaki itu telah lama menghilang sebelum Larry Ellison lahir. Dia kecewa, merasa dicampakkan orangtua kandungnya, merasa dikhianati, dan sejak itu dia menjadi pemurung.

Lillian, ibu angkatnya, mencoba membesarkan hati Larry Ellison. “Meski kami bukan orangtua kandungmu, Larry, kau perlu tahu kami menyayangimu seperti anak kandung sendiri.”

Larry Ellison menyadari kenyataan itu. Orangtua angkatnya sangat baik. Ibu angkatnya adalah wanita yang lembut dan penuh kasih, meski ayah angkatnya cukup keras dan galak. Sepahit apa pun, Larry Ellison bersyukur hidup bersama mereka, mendapatkan kasih sayang mereka. Tetapi kenyataan bahwa ayah kandung Larry Ellison tidak jelas kadang menjadikannya bahan olok-olok di sekolah. Larry Ellison sering diejek sebagai anak haram, atau anak alien, dan olok-olok itu meninggalkan luka yang terus berdarah... dan menganga.

Larry Ellison menjadi pendiam dan pemurung, tapi diam-diam menyimpan jiwa pemberontak. Ia mudah marah pada apa pun. Sebagai bocah, dia merasa telah dipecundangi oleh hidup, telah dipermainkan oleh takdir, dan kenyataan itu merampas senyum dari wajahnya, mengubur keceriaan kanak-kanak yang seharusnya masih miliknya.

Sering kali, saat diejek teman-temannya, Larry Ellison berteriak, “Ayahku seorang pilot! Dia sedang bertugas di negeri jauh!”

Tetapi bahkan dia sendiri tahu, itu tidak benar. Kenyataannya, Larry Ellison tidak tahu siapa ayahnya, meski kadang dia mencoba menghibur diri bahwa ayahnya adalah sosok hebat yang sekarang sedang pergi entah ke mana.

Lulus sekolah dasar, Larry Ellison melanjutkan pendidikan di sekolah menengah bernama Sullivan High School. Selama waktu-waktu itu, dia masih terkenal cerdas, tapi juga terkenal pendiam dan pemurung. Dia selalu mendapatkan nilai A untuk matematika dan pelajaran ilmu pasti, tapi sering kesulitan ketika harus berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain.

Selepas SMA, Larry Ellison mendaftar kuliah jurusan fisika di Universitas Illinois. Sama seperti sebelumnya, Larry Ellison segera menonjol sebagai mahasiswa pintar. Bahkan, baru dua semester kuliah di sana, dia terpilih sebagai “Science Student of The Year”. Sesaat, senyum sempat merekah di bibir Larry Ellison, sampai kemudian takdir menghantamnya dengan keras. Ibu angkatnya meninggal dunia, dan kehidupan Larry Ellison terasa runtuh.

Selama ini, ibu angkatnya telah menjadi malaikat penuh kasih, yang selalu mampu menenteramkan kegalauan batin Larry Ellison. Ibu angkatnya selalu tahu cara mendamaikan hatinya yang gersang. Bahkan, ibu angkatnya yang selama ini bekerja keras membiayai pendidikan Larry Ellison, hingga ia bisa kuliah. Sekarang, wanita yang amat dikasihinya itu meninggal, dan Larry Ellison merasa sangat kehilangan.

Lanjut ke sini: Bertarung Melawan Takdir (2)

 
;