Minggu, 01 November 2015

Bertarung Melawan Takdir (2)

Post ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Wafatnya ibu angkat Larry Ellison mengharuskannya keluar dari kuliah, karena kini tidak ada lagi yang bisa membiayainya. Jadi, dengan terpaksa, Larry Ellison pun drop out dari kampus, lalu mulai bekerja serabutan. Ia masih tinggal bersama ayah angkatnya, dan berdua mereka bekerja seadanya demi bertahan meneruskan hidup.

“Takdir memang kejam, Nak,” ujar ayah angkat Larry Ellison setiap kali.

Larry Ellison nyaris bosan mendengar ucapan itu. Ayah angkatnya selalu dan selalu menyatakan bahwa semua ini terjadi karena takdir. Dulu, ayah angkat Larry Ellison adalah pialang real estate yang sukses. Sampai kemudian dia mengalami kerugian, dan bisnisnya hancur. Dia tidak mencoba bangkit lagi, karena berpikir bahwa itu sudah kehendak takdir. “Percuma melawan kehendak takdir,” ujarnya berkali-kali.

Tetapi, diam-diam, Larry Ellison punya pikiran berbeda. Jika dia harus berhadapan dengan takdir, pikirnya, maka dia tidak sudi mengalah. Jika takdir menghendakinya bermain keras, dia akan bermain jauh lebih keras. Dia telah menyaksikan ayah angkatnya dikalahkan oleh takdir, dan dia tak sudi menghadapi kekalahan yang sama. Kesadaran itu pula yang kemudian membangkitkan motivasi di dalam diri Larry Ellison untuk terus bertahan.

Jadi, setelah tidak lagi kuliah, Larry Ellison bekerja apa saja—untuk menyambung hidup, juga berusaha menabung. Dia masih menyimpan keinginan untuk kuliah, dan sekarang dia harus mengumpulkan uang agar bisa mendaftar kuliah. Setelah cukup lama bekerja serabutan dan menabung, akhirnya Larry Ellison cukup punya uang yang dapat digunakan untuk mendaftar di Universitas Chicago. Impiannya berhasil, dia kembali duduk di bangku kuliah. Untuk menyambung biaya kuliah, pikirnya, dia akan bekerja apa saja.

Tapi ternyata kenyataan tak semudah harapan, karena lagi-lagi takdir menghantamnya dengan keras. Baru satu semester Larry Ellison kuliah, dia kehabisan uang. Tabungannya habis, sementara pekerjaan tiba-tiba sulit didapatkan. Mati-matian Larry Ellison mencoba bertahan, tapi akhirnya dia harus drop out sekali lagi karena tidak ada biaya untuk membayar semesteran.

“Apa kubilang, Nak, takdir memang kejam,” ujar ayah angkatnya. Kemudian, karena berharap membesarkan hati Larry Ellison, dia menyatakan, “Sebaiknya berpikirlah realistis, tidak usah muluk-muluk. Bekerja sajalah apa adanya, tidak usah berpikir ingin kuliah dan segala macam. Kita sudah beruntung bisa bertahan hidup sejauh ini. Simpan saja impian mulukmu, karena itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang lebih beruntung.”

Larry Ellison diam, tapi tidak mempedulikan ucapan ayah angkatnya. Dia telah bertekad melawan takdir, sampai titik darah penghabisan, dan dia tidak akan dapat dihentikan. Tidak oleh ayah angkatnya, tidak oleh masyarakatnya, tidak oleh dunia, bahkan tidak oleh takdir sekali pun.

Jadi, Larry Ellison kembali bekerja serabutan untuk bisa makan, juga untuk menabung. Dia tahu, bahwa akar kemiskinan adalah kebodohan, dan akar kebodohan adalah kemiskinan. Itu seperti lingkaran setan, pikirnya. Bagaimana pun, dia harus keluar dari lingkaran terkutuk itu, agar terbebas dari kebodohan, dari kemiskinan, agar bisa membangun hidup lebih baik. Untuk tujuan itu, dia harus belajar agar dapat keluar dari kebodohan dan kemiskinan.

Karena menyadari bahwa kuliah di universitas membutuhkan biaya besar, dia pun terpikir untuk kursus saja. Waktu itu, dia mendapat pekerjaan sebagai pelayan toko. Dengan melakukan penghematan di sana-sini, dia bisa menabung. Saat tabungannya mencukupi, dia mendaftar ke sebuah tempat kursus komputer. Sejak itu, pagi sampai sore dia bekerja sebagai pelayan toko, dan malamnya belajar komputer di tempat kursus.

Larry Ellison berhasil lulus dari kursusnya. Berbekal ijazah kursus, dia kemudian pergi ke Berkeley, California, dengan harapan mendapat penghidupan yang lebih baik. Di Berkeley, dia mendatangi kantor demi kantor perusahaan, mencari kerja dengan menawarkan ijazah kursusnya, tapi tidak ada satu kantor pun menerima. Bahkan, selama berkeliling ke sana kemari, uang sakunya habis, hingga sempat kebingungan bagaimana dia harus membeli makan.

Di tengah keputusasaan itu, lamaran Larry Ellison diterima di sebuah perusahaan investasi, bernama Fireman’s Fund. Ia pun bekerja di sana sebagai teknisi komputer. Di sana dia bekerja cukup lama, menangani segala masalah perangkat keras dan perangkat lunak, dan diam-diam pekerjaan itu menambah pengetahuannya seputar komputer. Tapi nasib baik tidak bertahan lama. Takdir kembali menghantam. Larry Ellison dipecat dengan alasan tenaganya tidak lagi dibutuhkan.

Berbekal ijazah kursus dan pengalaman, Larry Ellison kemudian melamar kerja di Bank Wells Fargo. Dia diterima sebagai teknisi komputer, dan sekali lagi dapat menunjukkan kinerja yang baik. Tetapi, bagaimana pun, dia hanya teknisi. Di bank yang mewah itu, orang-orang tampak hebat dengan penampilan hebat, sementara dirinya hanyalah bocah pendiam dan pemurung, yang bekerja sebagai teknisi. Kenyataannya, orang-orang di sana sering meremehkan Larry Ellison, dan lama-lama Larry Ellison tidak tahan dengan kenyataan itu.

Maka dia pun keluar dari sana, dan pindah kerja lagi ke perusahaan komputer bernama Ampex Corporation. Kali ini, dia bekerja sebagai programmer. Di Ampex, Larry Ellison menemukan suasana kerja yang menyenangkan. Dia memiliki atasan yang baik, dan teman-teman kerja yang bisa memahami dirinya. Dia masih pendiam dan pemurung seperti dulu, seperti biasa. Tapi programmer komputer diizinkan untuk menjadi pendiam dan pemurung.

Di Ampex pulalah, Larry Ellison menemukan paper karya Edgar F. Codd, seorang programmer di perusahaan IBM. Paper itu berjudul “A Relational Model of Data for Large Shared Data Banks”, yang mempresentasikan teori database relasional untuk mengolah data berskala besar. Tampaknya, Edgar F. Codd menulis paper itu untuk IBM, tapi atasannya di sana tidak memahami maksud isi paper itu. Entah bagaimana caranya, paper itu kemudian sampai di Ampex, dan lagi-lagi tidak ada orang yang bisa memahami isinya.

Sekarang, paper itu sampai di tangan Larry Ellison. Sebagai bocah cerdas, Larry Ellison tahu yang dimaksud Edgar F. Codd dalam paper tersebut, dan dia bahkan tahu cara mengaplikasikannya.

“Konsep ini hebat jika dikembangkan,” pikir Larry Ellison setelah membaca paper tersebut. Dalam paper itu, Edgar F. Codd telah menunjukkan pemikiran yang jauh melampaui masa depan, dan orang-orang di sekelilingnya tidak bisa memahami. Tapi Larry Ellison memahami. Dan dia mulai mengembangkan kerangka teori yang ditulis Edgar F. Codd.

Menggunakan posisinya di Ampex, Larry Ellison kemudian mengimplementasikan ide yang dirumuskan Edgar F. Codd. Konsep itu di kemudian hari dikenal sebagai SQL (Structured Query Language), sebuah program databese canggih yang waktu itu belum dikenal siapa pun. Larry Ellison menamai program buatannya sebagai “Oracle”.

Melihat pekerjaan Larry Ellison dalam membangun sistem canggih itu, atasannya di Ampex terkagum-kagum. Robert Miner, bos di Ampex, memuji Larry Ellison, dan berniat mempromosikannya sebagai kepala programmer di perusahaan. Tapi Larry Ellison tak tertarik. Dia ingin setara dengan pemilik Ampex—bukan lagi sebagai karyawan, tapi sebagai rekanan bisnis.

Akhirnya, Larry Ellison, Robert Miner (bos Ampex), dan Ed Oates (teman karib Larry Ellison) bersatu untuk mendirikan perusahaan sendiri, yang dinamai Software Development Labs. Mereka mengumpulkan modal sebesar 2.000 dollar. Larry Ellison menyetor 1.200 dollar, sementara sisanya dibagi antara Robert Miner dan Ed Oates. Perusahaan itu sempat berganti nama menjadi Relational Software Incorporation, lalu berganti nama lagi menjadi Oracle. Setelah itu... sejarah besar dimulai.

Langkah pertama yang harus dilakukan Larry Ellison dan dua rekannya adalah mencari klien. Kebetulan, waktu itu, CIA (Central Intelligence Agency—Dinas Intelijen Amerika Serikat) sedang membuka tender untuk menyusun database raksasa milik mereka. Larry Ellison mendaftarkan perusahaannya, Oracle, dan berhasil memenangkan tender. Oracle kemudian berhasil pula memenuhi kontrak dengan CIA, yang menyatakan puas dengan hasil kerja Larry Ellison.

Kabar itu pun seketika menyebar dengan cepat. Jika CIA yang terkenal detail dan rewel bisa puas dengan hasil kerja sebuah perusahaan, maka itu artinya jalan bagi Larry Ellison terbentang lebar. Sejak itu, Larry Ellison—melalui Oracle—menangani klien-klien besar lain, termasuk Wright Patterson Air Force Base, hingga perusahaan raksasa IBM. Setelah itu, Oracle mulai mengembangkan sayap, dan terus terbang.

Memasuki pertengahan 1990-an, Oracle juga mulai membuat produk-produk non-database server, seperti application server (web DB, OAS), development tool (Oracle Developer, Oracle Designer), dan application suite (Oracle Apps). Seiring dengan itu, Oracle pelan-pelan menjadi perusahaan perangkat lunak raksasa.

Kini, Larry Ellison telah terkenal sebagai salah satu tokoh penting di bidang komputer, sementara Oracle menjadi perusahaan perangkat lunak terbesar kedua setelah Microsoft. Berdasarkan desas-desus di Silicon Valley, di dunia ini hanya ada satu orang yang ditakuti Bill Gates, yaitu Larry Ellison. Selangkah lagi Larry Ellison maju, maka Oracle akan menumbangkan dominasi Microsoft yang saat ini masih menjadi nomor satu.

“Takdir memang kejam, Nak.” Larry Ellison masih mengingat kata-kata ayah angkatnya. Tetapi sekarang dia tahu, bahwa takdir hanya kejam kepada siapa pun yang tak berani berjuang. Sepanjang hidup, Larry Ellison telah mati-matian berjuang dan bertarung melawan takdir, dan sekarang dia menjadi pemenang. Takdir pernah mengejeknya, mengecewakannya, menghantamnya, melukainya, dan berupaya mengalahkannya. Tapi Larry Ellison terus melawan... terus melawan... terus melawan.

Saat dilahirkan, dia lahir tanpa ayah, hingga sering diejek anak haram. Saat berusia 9 bulan, dia menderita penyakit parah. Saat berangkat remaja, dia tahu kenyataan dirinya hanya anak pungut. Saat sedang senang karena baru kuliah, ibu angkat yang sangat dikasihinya meninggal dunia, hingga dia harus drop out. Saat mencoba kuliah lagi, dia harus drop out lagi karena kehabisan biaya. Dan sepanjang kehidupan yang pahit itu, ayah angkatnya terus menerus mengingatkan bahwa takdir memang kejam... takdir memang kejam.

Oh, well, takdir memang kejam, pikir Larry Ellison. Tapi sekarang dia berhasil mengalahkannya. Kini, Larry Ellison tinggal di rumah super mewah di Woodside, California, selain memiliki tempat berlibur di Cabron Beach, Malibu. Karena menyukai golf, dia pun membeli sebuah klub elit golf di Rancho Mirage. Majalah TIME memasukkannya dalam daftar 10 besar orang terkaya di dunia, karena bocah itu memiliki kekayaan senilai 54,3 miliar dollar.

Larry Ellison masih sama seperti dulu—pendiam, pemurung. Tapi sekarang senyum juga sering menghias wajahnya. Mungkin, sekali waktu, dia tersenyum sendiri... menertawakan takdir.

 
;