Selasa, 01 Desember 2015

Bayang-bayang Kasih

Pada rindu, pada waktu.
Ada yang tak pernah selesai di hatiku.
@noffret


Keluar dari kantor pos, seketika kulit saya merasakan sengatan matahari. Siang itu sangat terik. Jadi, saya pun menuju ke tempat penjual es kelapa muda yang ada di samping kantor pos. Jam di tangan menunjukkan hampir pukul 13:00.

Duduk di bangku penjual es, dan merasakan minuman dingin mengalir ke kerongkongan, rasanya sangat menyegarkan. Apalagi di terik siang semacam itu. Hampir seketika saya menghabiskan es dalam gelas, dan merasakan tubuh yang segar, lalu mengeluarkan bungkus rokok. Saat menyulut rokok, terlihat anak-anak berseragam keluar berjubel dari sebuah sekolah, dan tiba-tiba dada saya berdesir.

Lalu saya ingat... bertahun lalu, saya pernah menjemput pacar dari sekolah itu, saat dia menjalani PPL. Dulu, setiap hari, saya mengantarkannya ke sekolah itu, dan menjemputnya saat pulang... menyaksikan senyumnya yang selalu cemerlang... merasakan kedekatan bersamanya yang meninggalkan debar keindahan.

....
....

PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) adalah fase dalam pendidikan di kampus kami, yang harus dilalui sebelum menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata). Biasanya, PPL dan KKN dilakukan dalam satu semester, setelah mahasiswa menyelesaikan semua teori mata kuliah. PPL yang dijalani pacar saya adalah praktik mengajar di sebuah SMP yang telah ditentukan oleh pihak kampus.

Ketika pacar saya mulai PPL, saya sudah drop out dari kampus. Tetapi, sebagai pacar, saya pun memiliki kewajiban untuk mengantar dan menjemputnya selama PPL berlangsung. Jadi, selama waktu-waktu itu, setiap pagi saya menjemputnya, lalu mengantarkan ke sekolah tempat dia praktik mengajar. Siang hari, saya kembali menjemput ke sekolah untuk mengantarnya pulang.

Karena saya sering tidur larut malam, saya pun berpesan pada pacar agar dia membangunkan setiap pagi, agar tidak terlambat mengantarkan. Pacar pun selalu rutin membangunkan saya—biasanya jam enam pagi—dengan menelepon ke ponsel. Lalu saya terbangun, dan menerima teleponnya, dan mendengar dia berkata, “Udah bangun?”

Selama waktu-waktu itu, rutinitas pagi saya adalah cuci muka, bikin kopi, lalu merokok sambil memanaskan mesin. Setelah rokok habis, saya berangkat ke rumah pacar, untuk mengantarkannya ke sekolah tempat mengajar. Jika tidak ada halangan, acara pagi itu dapat berjalan lancar, dan pacar saya pun tidak terlambat. Setelah menurunkannya di sana, biasanya saya memandangi sejenak dari belakang, lalu pulang.

Siang hari, seusai mengajar, pacar akan kembali menelepon, dan biasanya saya sudah stand by di depan sekolah beberapa menit sebelum dia muncul dari dalam sekolah. Biasanya pula, saya akan langsung mengenali meski jaraknya masih jauh. Dia mudah terlihat, mudah dikenali, dan saya tak pernah bosan memandanginya. Saat jarak kami telah dekat, dia akan tersenyum, dan diam-diam saya jatuh cinta kepadanya sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi....
 
Lalu saya mengantarkannya pulang. Kalau kebetulan saya sedang tidak sibuk, kami akan keluar lagi setelah dia berganti pakaian. Tapi sering kali saya sibuk, jadi acara kencan kami bisa dibilang sangat minim. Kadang-kadang, saat kami telah sampai di rumahnya, dia akan berdiri melepas kepergian saya, dan saya melihat tatapannya. Saya tahu, dia menginginkan lebih banyak kebersamaan, lebih banyak pertemuan, tapi saya terus sibuk dan jarang punya waktu luang.

Saya memahami, saya bukan pacar yang baik. Ada banyak malam Minggu yang saya lewati tanpa datang menemuinya, ada banyak akhir pekan yang saya lalui tanpa kebersamaan dengannya. Kadang-kadang, saya menyadari bahwa dia mungkin kecewa, tapi selama waktu-waktu itu dia hanya diam, mungkin karena memahami kesibukan saya, mungkin pula karena dia tidak suka meminta.

Masa-masa PPL bisa dibilang masa-masa yang sangat mendekatkan kami, karena selama waktu-waktu itu kami selalu bertemu, setiap pagi, setiap siang. Tapi pertemuan itu pun bukan pertemuan intens, karena kami hanya bersama dalam waktu sesaat. Pagi hari, saya datang mengantarkannya ke sekolah, dan pertemuan itu hanya beberapa menit. Lalu siang hari saya menjemputnya dari sekolah, dan lagi-lagi pertemuan itu hanya beberapa menit.

Bagi saya, menit-menit itu sangat indah, dan kesan serta kenangan yang ditimbulkannya tak pernah hilang. Itu menjadi saat-saat termanis yang pernah saya jalani, saat mencintai dan dicintai seseorang yang begitu indah.

Setiap pagi, kami telah berangkat dari rumahnya pukul 06:30, sehingga dia sampai di sekolah tanpa terlambat. Tetapi, karena suatu hal, kadang-kadang jadwal itu meleset—saya baru sampai di rumahnya saat hampir pukul 07:00. Akibatnya, saat melaju ke sekolah, kami harus terjebak dalam kemacetan yang biasa muncul di pagi hari, saat anak-anak sekolah mulai menguasai jalan raya. Dia pun terlambat masuk sekolah beberapa menit, dan itu akan berpengaruh pada nilai yang kelak didapatkannya dalam PPL.

Keterlambatan itu kadang membuatnya jengkel. Dan saya akan tahu dia jengkel dari ekspresi wajahnya yang tidak semanis biasa. Saat saya datang menjemput di pagi hari, dan agak terlambat, dia tidak tersenyum. Selama perjalanan ke sekolah, dia juga tidak ngomong apa-apa. Biasanya, untuk mengisi suasana kaku, saya akan bersenandung lagu Peterpan, “Tak bisakah kau menungguku, hingga nanti tetap menunggu...”

Biasanya dia tidak tahan untuk tidak tertawa, lalu mencubit pinggang saya, dan saya ikut tertawa. Beberapa kali peristiwa lucu semacam itu terjadi. Lalu dia mengingatkan dengan manis, “Tolong besok jangan terlambat lagi, ya.”

Sampai suatu hari, sebuah bencana terjadi.

Waktu itu saya benar-benar sangat sibuk sekaligus stres. Saya baru tidur jam lima pagi, dengan tubuh dan pikiran yang luar biasa lelah. Seperti hari-hari sebelumnya, pacar saya menelepon jam enam pagi. Saya sempat terbagun setelah ponsel berdering-dering lama, dan menerima panggilan itu. Pacar saya pun lega, karena akhirnya saya terbangun. Tapi karena sangat kelelahan, tanpa sadar saya kembali tertidur. Mungkin satu jam saya kembali tertidur, sampai kemudian ponsel kembali berdering-dering. Saya kembali terbangun, dan mendengar suara pacar, “Kok belum sampai sini?”

Saat saya menjawab dengan suara mengantuk, dia pun langsung tahu kalau tadi saya tertidur lagi. Seketika saya sadar telah melakukan “kesalahan besar”. Waktu itu sudah hampir pukul 07:00. Dengan tubuh yang masih letih, buru-buru saya lari ke kamar mandi, cuci muka, lalu pergi ke rumahnya. Sial, pagi itu jalanan sangat macet, dan saya harus merayap di tengah kemacetan, sementara ponsel terus berdering-dering. Saya tahu pacar saya pasti gelisah.

Saat sampai di rumahnya, jam telah menunjukkan pukul 07:20. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak tersenyum, karena hari itu dia terlambat sangat lama. Pacar saya yang biasanya tampak cantik, pagi itu tampak murka. Saat dalam perjalanan, kami kembali dalam suasana kaku. Dia hanya diam, tidak menyahut saat disapa atau ditanya. Bahkan, saat saya menyanyi lagu Peterpan, dia juga tidak tertawa. Atau mungkin ingin tertawa tapi mati-matian ditahan.

Saat kami sampai di depan sekolah, pintu gerbang telah ditutup. Dia langsung turun, meninggalkan saya tanpa pamit. Saya memandanginya dari belakang, dan dia terlihat berbicara dengan satpam sekolah, lalu diizinkan masuk. Saya pun pulang, dan kembali tidur.

Siang hari, seperti biasa, dia menelepon untuk mengabarkan sudah pulang, dan itu artinya saya harus menjemputnya ke sekolah. Tetapi, tidak seperti hari-hari sebelumnya, siang itu dia tidak bicara apa-apa. Begitu saya terima teleponnya, dia langsung menutup telepon. Saya pun paham, dan pergi menjemputnya ke sekolah.

Di depan sekolah, saya melihat dia melangkah ke arah saya. Tidak tersenyum seperti biasa. Wajahnya kaku. Saya tahu dia pasti marah. Karena tadi pagi dia terlambat masuk, karena saya tertidur lagi setelah dibangunkan.

“Sori, tadi pagi terlambat,” ujar saya saat dia sampai.

Dia tidak menjawab, hanya diam. Lalu, seperti sepasang robot, kami melaju pulang ke rumahnya. Kami hanya diam selama dalam perjalanan. Saat sampai, dia langsung masuk rumah tanpa bicara apa-apa.

Sampai dua hari dia bertingkah seperti itu, dan selama waktu-waktu itu saya tidak tahu bagaimana cara membuka percakapan dengannya. Akhirnya, saat kebetulan akhir pekan, saya pun menawari, “Besok mau keluar?”

Dia mengangguk.

Besoknya, pas hari Minggu, kami menikmati kebersamaan seharian, dan dia mulai mencair kembali, dan kami bisa berkomunikasi sebagaimana mestinya sepasang pacar. Kami bergandengan, bergenggaman tangan, dan saya merasakan getar yang selalu saya rasakan setiap kali bersentuhan dengannya. Saya tahu, itulah cinta. Saya tahu, itulah getar, debar, suatu perasaan yang hanya terasa ketika bersentuhan dengan seseorang yang membuat jatuh cinta... sebentuk getar dan debar yang tak bisa saya temukan pada orang lain.

....
....

Siang itu, saat menghabiskan es di pinggir jalan, dan mengisap rokok yang tinggal separuh, saya kembali teringat masa-masa itu. Bukan hanya teringat pada bayang-bayang kenangan yang saya lalui, tapi juga teringat pada getar yang pernah saya miliki, saat berdekatan dan bersentuhan dengan orang yang saya cintai. Bahkan saat melihatnya saja, saya telah merasakan debar itu, getar itu, perasaan itu....

Saya bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah perasaan semacam itu akan terulang kembali? Mungkinkah, entah di suatu hari kelak, saya akan menemukan seseorang yang mampu membuat saya merasakan hal itu? Mungkinkah saya bisa kembali merasakan debar saat melihat seseorang yang membuat jatuh cinta? Mungkinkah saya akan bisa kembali merasakan getar-geletar-tipis-halus-indah seperti yang pernah saya rasakan dulu?

Saya tidak tahu.

Dan bayang-bayang kasih dari masa lalu perlahan memudar, di tengah kemacetan jalanan berdebu.

 
;