Minggu, 10 April 2016

Hati Nelangsa (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Karena kondisi itu pula, perlahan-lahan modal yang dimiliki Nizar makin tersedot, dan habis. Saat hal itu terjadi, Nizar bertahan hidup dengan menjual alat-alat tekstil yang dimilikinya, dan menjual apa saja yang masih memiliki nilai jual, termasuk dua motor yang dulu dimilikinya. Ia menceritakan, bungkusan yang tadi dibawanya ke Pasar Senggol adalah salah satu alat tenun miliknya, yang sekarang sudah tak terpakai. “Lumayan, bisa buat makan,” ujarnya.

Saya mengenal Nizar sebagai pribadi ulet yang tidak suka merepotkan orang lain. Selama menjadi temannya, saya juga tahu dia orang baik dan bisa dipercaya. Saya menyayangkan kehancuran usaha yang dulu dimilikinya, dan mencoba membesarkan hatinya agar tidak putus asa. Sejujurnya, saya tidak tahu kondisinya sekarang. Dalam beberapa kali pertemuan, Nizar tidak pernah menceritakan hal itu. Karenanya, semula saya pikir dia masih lancar menjalankan usaha tekstilnya.

“Kenapa kamu tidak cerita dari dulu?” saya bertanya.

Dia mencoba tersenyum. “Orang senang mendengar kabar baik, tapi belum tentu senang mendengar kabar buruk. Beberapa orang, bahkan, tidak peduli dengan masalah kita. Jadi, aku pun tidak merasa perlu menjelaskan keadaanku pada siapa pun.”

Saya mengangguk, memahami sepenuhnya. Hanya sedikit orang yang peduli—benar-benar peduli—dengan orang lain. Kebanyakan orang bahkan lebih peduli denganmu saat kau sukses, dan tiba-tiba menghilang atau berpaling saat kau hancur. Itu pula yang kemudian diceritakan Nizar siang itu.

“Aku pernah jalan kaki ke Pasar Senggol seperti tadi, untuk menjual sesuatu,” Nizar menceritakan. “Waktu itu, ada temanku yang kebetulan melihat. Tapi dia tidak menegur atau menyapa. Sebaliknya, dia malah diam-diam membuntutiku dari belakang dengan motornya. Aku tahu hal itu, ketika dia sendiri menceritakan ulahnya. Suatu waktu, saat kami kebetulan bertemu, dia bercerita bahwa dia pernah melihatku jalan kaki membawa sesuatu, dan dia diam-diam mengikutiku dari belakang, hingga sampai di Pasar Senggol.”

Nizar terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Sejujurnya, aku heran mengetahui hal itu. Teman yang kuceritakan ini bukan sekadar kenal. Dia orang yang kuanggap teman dekat. Bahkan, keakrabanku dengannya lebih dekat daripada keakrabanku denganmu. Tapi ketika mengetahui aku hancur, dia mulai jaga jarak. Bahkan saat melihatku jalan kaki menuju Pasar Senggol, dia tidak menyapa atau menegur, atau bertanya, tapi malah diam-diam mengikutiku dari belakang.”

“Kamu akan tahu siapa temanmu, saat kamu hancur,” ujar Nizar dengan pahit. “Seperti teman yang kuceritakan barusan. Dulu, saat aku masih sukses, dia temanku yang paling dekat. Tanpa bermaksud mengungkit kebaikan, dulu aku banyak membantunya. Bahkan, setiap kali kami ke luar, jalan-jalan atau pergi ke mana pun, aku yang selalu mengeluarkan uang. Kupikir, dia temanku yang terbaik dan terdekat. Tapi dia lalu menjauh, saat usahaku mulai hancur dan aku tidak punya apa-apa.”

“Tapi aku tidak menyalahkannya,” ujar Nizar melanjutkan. “Karena teman-temanku yang lain juga begitu. Masing-masing mereka mulai menunjukkan aslinya ketika aku mulai hancur, dan aku kehilangan mereka satu per satu. Tetapi, sekali lagi, aku tidak menyalahkan mereka. Karena jangankan sekadar teman, bahkan orangtua dan para familiku pun berubah sikap terhadapku.”

Saya masih mendengarkan.

“Dulu,” ujar Nizar, “saat aku masih sukses, sikap para familiku sangat manis. Mereka berupaya mendekatiku. Sekarang, setelah aku tidak punya apa-apa, sikap mereka berubah. Jangankan mendekati, bahkan ketika aku datang pun sikap mereka tidak sebaik dulu. Tetapi, sekali lagi, aku tidak menyalahkan mereka. Karena jangankan famili, bahkan orangtuaku pun berubah sikap.”

Nizar anak sulung dari empat bersaudara. Ayah Nizar telah meninggal, tapi dia masih punya ibu. Nizar menceritakan, dulu sikap ibunya sangat baik kepadanya, jauh lebih baik dibanding kepada adik-adiknya. Dulu, saat masih sukses, Nizar rutin menyantuni ibu dan adik-adiknya. Setiap kali dia datang ke rumah orangtua, ibunya selalu menyambut hangat. Tapi semua berubah saat usahanya hancur, dan dia mulai tak punya apa-apa.

“Karena itu pula,” ujar Nizar dengan nelangsa, “aku segan setiap kali mau datang ke rumah orangtua. Niatku tulus mau mengunjungi, tapi sikap yang kudapati tidak mengenakkan. Jadi, seperti yang kubilang tadi, aku tidak heran pada sikap teman-teman atau para familiku yang berubah, karena bahkan ibuku sendiri pun berubah sikap, hanya karena aku sudah tak punya apa-apa.”

Saya mencoba membesarkan hatinya, “Setidaknya, kamu masih punya rumah untuk berteduh.”

“Ya.” Dia mengangguk. “Sebenarnya, dulu aku sempat berniat menjual rumah ini untuk modal usaha lain. Tapi setelah mendapati sikap orangtuaku yang tidak sebaik dulu, aku tidak jadi menjual rumah ini. Kalau rumah ini kujual, dan aku kembali hidup di rumah orangtua, aku pasti akan sering mengalami tekanan batin.”

Kemudian, dengan serbasalah, Nizar berujar, “Sori, seharusnya aku tidak mengatakan semua ini kepadamu. Kita baru saja ketemu, dan aku membebanimu dengan semua cerita ini.”

“Tidak apa-apa,” saya menyahut. “Aku senang mendengarkan.”

“Dan aku sangat berterima kasih, karena kamu mau mendengarkan.”

Lalu kami mengobrolkan hal-hal lain. Tentang beberapa teman yang sama-sama kami kenal, dan lain-lain. Di tengah percakapan, Nizar berujar, “Eh, baru ingat, kadang-kadang aku membaca blogmu. Aku suka tulisanmu yang selalu jujur dan apa adanya.”

Saya tersenyum. “Semoga kamu terhibur.”

Dia ikut tersenyum. “Kamu juga akan menulis pertemuan ini di blogmu?”

“Kalau kamu mengizinkan.”

“Ya. Tentu aku mengizinkan. Pasti menyenangkan membacanya di blogmu.”

Siang itu, saat saya akan pulang, Nizar berkata, “Kapan-kapan, kalau kamu pas ada waktu, main-mainlah ke sini. Aku akan senang, karena merasa masih memiliki teman.”

Saya mengangguk. “Aku pasti datang.”

 
;