Kamis, 26 November 2009

Cintaku di Kampus yang Tak Biru

Hari-hari berlalu dan pergi, dan aku tetap di sini, di kampus tempatmu pernah hadir di dalamnya, merasakan yang kurasakan, memikirkan yang kupikirkan, dan mengerjakan yang kini kukerjakan.

Aku tahu saat-saat itu kau pasti tak punya waktu untuk teringat kepadaku, apalagi mengenang waktu saat kau masih bersamaku, karena semuanya telah menjadi bayang-bayang buram... yang mungkin juga ingin kaulupakan. Buku-buku tebal, makalah-makalah bertumpuk dan sekeranjang teori tentang kehidupan baru telah menyita isi otak, pikiran, bahkan mungkin hatimu, hingga tak sejengkal pun tersisa untukku. Kau mungkin telah melupakanku, melupakan segala yang pernah terjadi, meski sampai hari ini aku tetap mengenangmu, dan mengabadikan segala yang pernah terjadi.

Saat aku hadir di kampus ini, aku tahu kau telah tak ada lagi. Kau telah menghilang bersama sejuta impian baru untuk meninggalkan segala masa lalu, untuk membangun hidup yang benar-benar baru. Aku memasuki kampus ini hanya untuk menjumpai kehampaan tanpa dirimu, tanpa wujud indahmu yang kurindukan... tetapi wangimu masih tertinggal di sini.

Di sini, di kampus ini, aku tetap mencium harum keindahanmu meski kau tak ada lagi. Dan saat aku duduk di bangku taman ini, aku membayangkan kau juga pernah duduk di sini, pada suatu waktu, sekian tahun yang lalu... Aku merasa seperti napak tilas dalam bayang-bayang buram tak berwujud, tetapi aku meyakini itu bayangmu, itu wujudmu, karena... aku masih merasakan mencium harum wangi keindahanmu.

Aku memahami sepenuhnya, kinilah saatnya harus bisa menjalani hidupku sendiri yang utuh, tanpa kembali ke masa lalu dan terus terbelenggu pesonamu. Aku menyadari dengan segenap kesadaran bahwa inilah saatnya aku harus bisa melupakanmu, dan mencoba mencari penggantimu, mencari wangi lain untuk kucium, mencari keindahan lain untuk kupeluk, mencari bayang lain untuk kurengkuh, mencari cinta lain untuk kucintai... Tetapi tetap saja aku tak pernah bisa, aku tak pernah mampu. Kalau kau bisa melakukannya, tolong, tolong ajarilah aku....

Hidupku di kampus ini tak lama lagi. Keberadaanku di sini akan segera berakhir, dan aku pun akan kembali mengikutimu untuk masuk ke dalam hidup yang sebenarnya. Maklumat tentang itu bahkan telah tertancap dalam-dalam di lubuk hatiku yang paling dalam. Tetapi, bahkan sampai detik ini pun aku masih merasa gamang, aku terus merasa berada di ruang hampa, tanpa udara tanpa cahaya tanpa cinta.

Ke mana lagi harus kucari kedamaian itu? Ke mana lagi harus kulabuhkan kerinduanku...?

Aku sudah berupaya mencarinya, menggalinya, menantinya dengan sepenuh hati, tapi tak juga kutemui, tak juga kudapati. Aku sudah mencarinya di balik tembok-tembok kampus yang angkuh, tapi yang kudapati hanya wangimu yang tertinggal. Aku sudah mencarinya di antara tumpukan buku tebal dan membosankan, tapi yang kuperoleh hanya benih-benih baru dari sebuah kerinduan. Aku sudah mencarinya di antara sekian banyak diskusi yang panjang dan melelahkan, tapi yang kutemui hanyalah bayangmu yang membisu, dan tetap diam. Kau pernah ada di sini, kau pernah ada di kampus ini... dan hanya itulah yang hingga kini kumengerti.

Kepada kampus, kepada rak-rak buku di perpus, kepada pohon dan bunga di taman, kepada rumput, kepada lorong-lorong kelas dan bangku-bangku kasar, kepada bayangmu, juga kepada wangimu yang tertinggal, aku ingin menyatakan aku merindukanmu... aku merindukanmu....

Tolong, Tolonglah Aku…

Dari diaryku, waktu tak diketahui.

Aku adalah bocah yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, dan aku ketakutan di sini, kesepian, sendirian…

Aku telah lelah menjerit, memanggil-manggil siapa pun yang mungkin dapat mendengarku, untuk menolongku… Tapi tak ada yang datang—tak pernah ada yang datang. Sementara aku terus menjerit di sini, menangis di sini, kesepian dan sendirian di sini. Aku ingin keluar dari tubuh ini untuk bermain-main dengan bebas di duniaku yang tak terbatas, tapi aku terkurung dalam tubuh ini. Tolong, tolonglah aku…

....
....

Aku adalah orang tua yang terperangkap dalam tubuh seorang anak muda, dan aku kebingungan di sini, kesepian, gamang…

Aku telah mondar-mandir kesana-kemari, mencari jalan atau lorong atau pintu yang sekiranya dapat kugunakan untuk keluar dari tubuh ini, tetapi sampai waktu lama berlalu, pintu yang kucari tak pernah kutemukan, dan aku makin kebingungan, makin kesepian, makin gamang... Aku tak tahu harus berapa lama lagi terkurung dalam tubuh anak muda ini, dan aku ingin keluar… Tolong, tolonglah aku…

Tolong, tolonglah aku…

Tolong…

Tolonglah aku…

Lost in The Dark

Bayangkan dirimu memasuki perpustakaan umum, dan kau melihat perpustakaan tengah sepi pengunjung, selain seorang lelaki yang sedang duduk membaca buku di salah satu meja. Dia mengangkat mukanya saat melihatmu, dan kau pun tersenyum kepadanya.

Kau mulai mengitari rak-rak perpustakaan, mencari buku yang kauinginkan, kemudian duduk membaca di dekat lelaki tadi. Setelah beberapa saat membaca, kau meletakkan bukumu, menyandarkan punggungmu di kursi, dan kau melihat lelaki itu pun telah selesai membaca bukunya. Kau menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap—dan itulah kesalahan terbesarmu.

Lelaki itu tahu siapa dirimu, dia dapat membaca pikiranmu, dia bisa mengetahui seluruh hidupmu, siapa nama pacarmu, di mana rumahmu, apa pekerjaanmu, bahkan dia pun dapat meramalkan kapan saat kematianmu. Kau sedang berhadapan dengan seorang yang dapat membunuhmu tanpa harus menyentuhmu.

Dan tepat seperti yang diramalkan lelaki itu, kau pun tewas karena kecelakaan dalam kondisi yang amat parah. Kau bukan korbannya yang pertama, karena lelaki itu telah membunuh banyak orang sebelumnya tanpa harus menyentuh mereka.

Polisi-polisi di berbagai tempat berupaya menangkap pembunuh tak dikenal itu, siaran-siaran televisi mengumandangkan kehati-hatian, berita-berita di koran mengumumkan agar waspada, bahkan selebaran-selebaran resmi pun dicetak dan disebarkan dengan tujuan yang sama; menangkap sosok pembunuh itu.

Tetapi... bagaimana mungkin kau dapat menangkap seseorang yang dapat membaca pikiranmu, dan selalu tahu apa yang akan kaulakukan? Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan orang yang dapat membunuhmu, bahkan tanpa harus menyentuhmu...?

 
Lost in The Dark menantang imajinasi kita yang paling liar. Apa yang akan kaulakukan jika kau bisa membaca pikiran orang lain, dan dapat mengetahui seluruh hidup—bahkan menentukan kehidupan seseorang—hanya dengan melihat isi pikirannya? Ini bukan novel biasa—ini literatur rahasia kekuatan pikiran yang belum pernah kita bayangkan.
Deni Suryawinata, Jurnalis

Cerdas, tegang dan mencekam—dari awal sampai akhir...
Diany N. Natasha, Penulis dan Praktisi Media

Dia menguasai apa yang ditulisnya—itulah yang membuat buku ini terkesan begitu nyata sekaligus ilmiah, meski terus membuat kita tercekam dalam ketegangan cerita yang dibangunnya. Penuh pemaparan ilmiah dan trik kejutan yang tak pernah kita bayangkan—sungguh, saya tak bisa berhenti membacanya sejak membuka halaman pertama...
Xaverius Very, Penulis & Penggila Thriller

Kamis, 19 November 2009

Obrolan Bocah



“Apakah di sana itu tempatnya?”

“Ya, di sana itulah tempatnya.”

“Apakah di sini juga tempatnya?”

“Ya, di sini pula tempatnya.”

“Aneh, kan?”

“Oh, tidak ada yang lebih aneh dibanding ini.”


Serendipity: Sesuatu Tentang Hidup

Apa yang kita pungut dari kehidupan ini
adalah apa yang kita tanam di dalamnya.
Marion Hillard


Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang menilponmu, juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kaupacari. Bukan tentang siapa yang telah kaucium, olah raga apa yang kaumainkan, atau cowok atau cewek mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, atau rambutmu, atau warna kulitmu, atau tempat tinggalmu, atau sekolahmu, atau kampusmu.

Bahkan juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, bukan tentang uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu. Hidup bukan sekadar apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak oleh lingkunganmu.

Hidup bukan sekadar tentang itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kaucintai dan kausakiti. Tentang bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih.

Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, iri hati, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kaukatakan dan yang kaumaksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Dan yang terpenting, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah pilihan-pilihan itu.

....
....

Ya, bagi saya pribadi, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidup saya untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Ketika saya mulai mengenali hal itu, saya pun mulai menggunakannya sebagai salah satu misi hidup yang terpenting—menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain, ataupun oleh orang lain.

Dan hidup ini begitu menakjubkan, bukan? Ketika kita telah menemukan misi kita dalam hidup, maka hidup pun akan membawakan begitu banyak hal baru bagi kehidupan kita—hal-hal baru yang semakin memperkaya batin, sekaligus mendewasakan nalar kemanusiaan kita.

Ketika kita membuka pintu hati kita untuk orang lain, maka kehidupan pun akan membukakan pintunya untuk kita. Dan jika kehidupan telah membukakan pintunya untuk kita, tak ada seorang pun yang dapat menutupnya kembali.

Ketika kehidupan telah membentangkan pintunya untuk kita, tak ada lagi batas yang memisahkan antara diri kita dengan hidup—kita menyatu bersamanya. Dan apa yang lebih indah selain menyadari bahwa kita telah bisa menyatu dengan hidup...?

....
....

Salah satu misteri dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang dalam literatur Barat disebut ‘serendipity’. Secara definitif, saya tidak dapat menemukan arti atau makna kata itu. Saya sudah mencoba mencari arti kata itu di kamus bahasa Inggris, namun tidak ada. Saya sudah mencoba mencarinya di kamus elektronik di komputer, namun ketika mengetikkan kata itu, arti yang muncul  adalah ‘serendipas’.

Nah, saya juga tidak tahu arti serendipas—saya pikir itu kosakata bahasa Indonesia yang tidak dikenal. Maka saya pun mencoba mencarinya di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun hasilnya nihil. Kamus yang besar itu sama sekali tak memuat suku kata ‘serendipas’. Rupanya, arti ‘serendipity’ sudah mengandung kemisteriusan tersendiri.

Nah, apa sesungguhnya definisi serendipity?

Saya sudah mencoba mencarinya dalam ratusan buku yang sekiranya memuat kata itu beserta definisinya, namun tidak berhasil menemukannya. Satu-satunya kalimat yang bisa dirujukkan untuk menjadi definisi serendipity adalah kalimat yang ditulis Kahlil Gibran dalam bukunya yang agung, The Prophet.

Di dalam The Prophet, saya menemukan kata-kata, yang bagi saya, mampu melukiskan serendipity. Inilah kata-katanya, “Jangan mengundang makan orang kaya ke rumahmu. Kau akan dibalas dengan undangan makan ke rumahnya. Undanglah orang miskin untuk makan ke rumahmu. Mereka tidak bisa membalasmu, maka alam yang akan membalasmu. Dan bila alam membalasmu, maka tunggulah datangnya keajaiban.”

Kata-kata yang ditulis Gibran itu bukan definisi serendipity, tetapi kata-kata itulah yang menurut saya paling tepat untuk dijadikan sandaran bagi serendipity.

Jadi, sekali lagi, apa serendipity itu? Sekarang kita mulai memiliki suatu bayangan. Bahwa ketika kita mengulurkan tangan pada orang lain yang tak mampu membalas uluran tangan kita, maka kehidupan ini yang akan membalasnya, kehidupan akan mengulurkan tangannya kepada kita. Dan jika kehidupan ini mengulurkan tangannya kepada kita, persoalan apa yang tak dapat kita atasi?

Begitu pun sebaliknya. Ketika kita melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tak mampu membalas kejahatan kita, maka kehidupan ini pun yang akan membalasnya, kehidupan akan membalaskan kejahatan yang setimpal. Dan jika kehidupan ini melancarkan pembalasan kepada kita, kemanakah dapat bersembunyi, dan siapa yang sanggup menolong?

Ketika kita semakin menyelami kehidupan, kita semakin tahu betapa menakjubkannya hidup ini, dan betapa ajaibnya cara kehidupan mengatur dan menjalankan aturan-aturannya.

Tanamkanlah biji mangga ke dalam bumi yang kita tinggali, maka biji mangga itu tidak akan menumbuhkan pohon durian—ia akan menumbuhkan pohon mangga, sesuai biji benihnya. Begitu pun, segala hal dan perbuatan yang kita tanamkan dalam hidup ini, tepat seperti itulah yang akan diberikan hidup untuk kita. Jika kita menanamkan kebaikan, maka hidup akan memberikan kebaikan. Jika kita menanamkan kejahatan, maka hidup pun akan memberikan hal yang sama.

Sebagaimana biji mangga tidak akan menumbuhkan pohon durian, tepat seperti itulah kehidupan yang kita jalani, ia hanya merefleksikan yang telah kita tanamkan kepadanya.

Selama bertahun-tahun saya menyaksikan, betapa hidup yang kita jalani ini tak pernah berubah menjalankan hukum-hukumnya yang abadi. Saya menyaksikan seorang kawan yang melakukan tabrak lari, dan sekian waktu kemudian ia pun menjadi korban tabrak lari.

Begitu pun, saya menyaksikan tangan-tangan pemurah, yang penuh ketulusan terulur kepada orang yang membutuhkan, dan saya membuktikan bahwa kehidupan pun selalu mengulurkan tangan kepadanya. Tangan yang mengulurkan bunga harum kepada orang lain akan ikut berbau harum, meskipun bunga itu telah berpindah tangan.

Ketika kita menyadari hakikat hidup yang semacam itu, kita pun tak akan lagi mengatakan bahwa hidup tidak adil. Hidup sudah berlaku dengan sedemikian adil—ia hanya menumbuhkan benih yang ditanam, ia hanya merefleksikan yang pernah kita berikan.

Apakah kalau kau menyakiti seseorang, kemudian orang itu pasti akan membalas menyakitimu? Belum tentu! Tetapi saya hampir bisa memastikan suatu saat akan ada orang lain yang akan datang dalam hidupmu, dan kemudian menyakitimu. Kau akan menerima sesuatu yang tepat sama seperti yang pernah kauberikan—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.

Begitu pun, ketika kau membahagiakan hati seseorang, atau membantu kesulitan seseorang. Mungkin orang yang kautolong tidak mampu membalas kebaikanmu. Tetapi kau bisa membuktikan ketika kau sendiri membutuhkan pertolongan, selalu ada orang-orang yang akan datang menolongmu—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.

Hidup ini tidak buta. Ia selalu melihat tangan mana yang mengulurkan bunga kepada orang lain, ia pun selalu menyaksikan tangan mana yang menancapkan duri kepada orang lain. Siapa yang mengulurkan bunga akan ikut mendapatkan wanginya, siapa yang menancapkan duri akan ikut berdarah.

Terkadang, cara kehidupan ini membalas perbuatan kita tidak persis sama dengan yang (pernah) kita lakukan, namun pembalasan itu ada—dan itulah yang disebut serendipity. Tidak ada benih yang sia-sia. Semua benih yang ditanamkan akan menghasilkan buah—tak peduli buah kebaikan ataupun buah kejahatan.

Lebih dari dua ratus tahun yang lalu sebelum saya menulis catatan ini, filsuf Epictetus sudah menyatakan bahwa kita akan menuai apa yang kita tanam, dan bahwa nasib mengharuskan kita membayar kembali perbuatan jahat yang telah kita perbuat.

“Pada akhirnya nanti,” kata Epictetus, “setiap orang harus menebus hukuman atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat hukum ini, ia pasti tidak akan marah kepada siapa pun, tidak akan dendam, tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan, tidak akan melukai hati, tidak akan benci, kepada siapa pun.”

Begitulah hukum kehidupan ini. Setiap orang akan menuai yang telah ditanamnya. Siapa yang memberi akan diberi, siapa yang merenggut akan direnggut. Siapa yang mengasihi akan dikasihi, siapa yang mencaci-maki akan dibalas caci-maki. Siapa yang setia akan dibalas cinta, siapa yang berkhianat akan dikhianati.

Siapa yang menyebar kebaikan akan menuai kebaikan, siapa yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan. Siapa pun tak ada yang bisa lepas dari hukum kehidupan ini, karena siapa yang menabur... dialah yang akan menuai.

Berciuman Dengan Mata Terpejam

Kehidupan itu laksana air teh. Semakin rakus kita meminumnya,
semakin cepat pula kita sampai pada ampasnya.
James M. Barrie


Salah satu kekuatan terbesar di dunia ini adalah Cinta. Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika kekuatan yang lain tak sanggup melakukannya? Apa yang tak mampu dilakukan oleh Cinta ketika segala yang lain menyerah dan kalah? Cinta bukan hanya sekadar kekuatan, ia pun keajaiban—sebuah mukjizat.

Cinta menjadikan seorang perempuan lemah rela menanggung penderitaan kehamilan selama berbulan-bulan untuk kemudian merasakan sakitnya melahirkan, dan perjuangan selama berbulan-bulan lagi dalam merawat dan membesarkan bayinya. Cintalah yang menjadikannya tersenyum setelah merasakan kesakitan, cintalah yang membuatnya mampu terjaga sepanjang malam hanya untuk memastikan buah hatinya terlelap tanpa gangguan. Cintalah yang mampu menjadikannya sosok tegar yang rela meninggalkan kenikmatan tidur karena mendengar bayinya menangis di tengah malam.

Cinta pula yang menjadikan seorang lelaki yang terbiasa hidup bebas dan tak terikat menjadi sosok yang tak kenal lelah. Cintalah yang menjadikan seorang lelaki rela bekerja keras siang malam, mengucurkan keringat, air mata bahkan darah, demi bisa menyaksikan anak-istrinya bahagia.

Cintalah yang menjadikan seorang lelaki bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi bisa menyaksikan keluarganya tersenyum. Cinta pulalah yang mampu menjadikan seorang lelaki siap menerjang apa pun ketika telinganya mendengar suara kecil yang memanggilnya, “Ayah...”

Apa yang lebih kuat dan lebih menakjubkan dibanding Cinta...?

Di dalam buku Love, Medicine and Miracles, Dr. Bernie Siegel bahkan membuktikan salah satu penelitiannya menyangkut cinta yang unik berikut ini:

Di sebuah kota kecil di Eropa, sejumlah besar suami yang pergi bekerja dengan menggunakan mobil dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja, dan kelompok kedua adalah para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat akan berangkat kerja.

Setelah beberapa tahun semenjak penelitian itu pertama kali dilakukan, terbukti sesuatu yang amat mencengangkan. Para suami yang selalu dicium istrinya saat akan berangkat kerja lebih kecil kemungkinannya mengalami kecelakaan di jalan, sementara para suami yang tidak pernah dicium istrinya saat berangkat kerja lebih sering mengalami kecelakaan di jalan!

Tentu saja kita boleh meragukan hasil penelitian ini. Namun, betapa pun juga, ciuman, pelukan, dan belaian—secara langsung maupun tak langsung—memberikan pengaruh terhadap kualitas hubungan manusia.

Nah, omong-omong soal ciuman, terkadang saya bertanya-tanya sendiri—mengapa sih kaum perempuan biasanya memejamkan mata ketika berciuman?

Tentu saja kaum lelaki juga terkadang memejamkan mata saat berciuman, namun perempuan lebih sering—dan hampir bisa dipastikan. Ada lebih banyak perempuan yang memejamkan mata saat berciuman dari pada yang tidak. Pertanyaannya, mengapa?

Saya sudah mencoba menanyakan hal itu pada banyak perempuan, dan jawaban dari mereka semua bisa disimpulkan dalam kalimat yang luar biasa ini, “Perempuan memejamkan mata ketika berciuman, karena sadar sedalam-dalamnya bahwa keindahan di dalam jauh lebih meneduhkan dan mendamaikan dibanding keindahan di luar.”

Jadi, dalam hal berciuman, perempuan lebih mampu menghayatinya dibandingkan lelaki.

Tetapi, sebenarnya itu pulalah yang terjadi dalam kehidupan kita ini—kalau saja kita juga mau menghayatinya—bahwa keindahan di dalam lebih meneduhkan dan lebih mendamaikan dibanding ‘sekadar’ keindahan di luar.

Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah dunia yang sedemikian maju dan amat kompetitif. Sebegitu kompleksnya, sampai-sampai kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang mengalami sebuah kebingungan dan kepanikan batin. Mereka sudah tak bisa lagi berjalan dengan tenang dan damai, tapi terus-menerus berpacu dengan semrawut. Dan kemudian, di atas segala-galanya, manusia yang hidup dalam peradaban sekarang telah menjadikan uang—materi—di atas segala-galanya.

Ada jutaan orang yang hidup hari ini berpacu dengan waktu hanya untuk mengejar hal yang satu itu—uang, materi, kekayaan. Mereka berpikir bahwa dengan uang, mereka akan mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Tetapi kebanyakan mereka lupa bahwa kebahagiaan dan kedamaian dimulai dari dalam—dari hati, dari batin, dari jiwa. Tanpa kebahagiaan dan kedamaian di dalam, uang sebanyak apa pun dan kekayaan sebesar apa pun tak akan sanggup menghadirkan kebahagiaan dan kedamaian hidup.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa uang tidak penting. Yang ingin saya katakan adalah; bahwa sebanyak apa pun uang yang kita miliki, selamanya kita akan merasakan hidup yang kering tanpa kebahagiaan selama kita belum mampu menumbuhkan kebahagiaan di dalam hati terlebih dulu. Sebesar apa pun kekayaan yang kita miliki, selamanya kita akan hidup dalam kegersangan tanpa kedamaian selama belum mampu merasakan kedamaian di dalam batin.

Mengapa Marilyn Monroe lebih memilih mengakhiri hidupnya sendiri, bahkan ketika dia berada di puncak popularitasnya sebagai artis? Karena dia merasakan kekeringan batin di tengah-tengah gemerlapnya popularitas dan kekayaannya! Dia tidak kekurangan uang, tidak kekurangan pengagum dan pemuja, dia pun tidak kekurangan harta benda. Tetapi Marilyn Monroe lebih memilih bunuh diri, bahkan ketika dunia tengah berada dalam telapak tangannya.

Orang-orang yang lebih memfokuskan pandangannya keluar dan melupakan kesejatiannya di dalam, selamanya akan tetap merasakan kekeringan dan kegersangan meskipun dunia beserta isinya telah menjadi miliknya. Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, seharusnya begitu pulalah kita dalam menghayati kehidupan.

Jika kita bisa menghayati kebahagiaan saat tidak memiliki apa-apa, maka kebahagiaan itu akan tetap bersama kita ketika telah memiliki sesuatu. Tetapi jika kita menyangka kebahagiaan adalah jika telah memiliki sesuatu, maka selamanya kebahagiaan tak akan pernah menjadi milik kita.

Apabila kita mendasarkan kebahagiaan hidup pada hal-hal di luar diri kita, maka kebahagiaan hanya akan seperti bayang-bayang. Ia begitu tampak dalam pandangan mata, tetapi segera menjauh saat kita bergerak mendekatinya. Sebaliknya, jika kita mendasarkan kebahagiaan hidup di dalam batin kita, maka hidup pun akan seperti dasar samudera. Sebesar apa pun gejolak dan badai yang terjadi di permukaan, dasar samudera tetap hening dan selalu tenang.

Sebagaimana kita memejamkan mata saat berciuman, begitu pun seharusnya kita dalam memeluk kehidupan.

Minggu, 15 November 2009

Karena Hidup adalah Soal Pilihan

Kita berusaha menghindari membuat pilihan-pilihan dengan
tidak melakukan apa pun, tapi itu pun sesungguhnya suatu pilihan.
Gary Collins


Kita pasti sudah sering mendengar seseorang mengatakan, “Hidupku ini mengalir, seperti air,” atau yang semacam itu. Intinya, orang-orang yang mengatakan hidupnya mengalir seperti air itu secara tak langsung ingin menyatakan bahwa mereka bukanlah orang yang ngoyo dalam menjalani hidup, bahwa mereka adalah orang yang hanya mengikuti apa maunya hidup; mengalir seperti air.

Tentu saja orang berhak untuk memegang atau menjalani atau mempercayai filosofi hidupnya masing-masing. Begitu pula dengan orang-orang yang menjadikan air mengalir sebagai filosofi hidupnya. Saya sendiri terkadang membayangkan hidup ini memang mengalir seperti air—ia tak pernah berhenti bergerak, ia terus mengalir dan mengalir. Sebagaimana air, laju atau perjalanan hidup tak bisa dibendung, karena jika dibendung maka ia akan mencari celah lain untuk terus mengalir.

Sampai kemudian saya melihat, atau lebih tepat lagi memahami, bahwa hidup seorang manusia memiliki perbedaan yang sangat esensial dengan air. Meskipun hidup dan kehidupan manusia mengalir, tetapi cara mengalirnya amat berbeda dengan cara mengalirnya air. Hidup tidak sekadar mengalir, dan manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan dirinya, untuk mengalirkan kehidupannya. Air tidak memiliki pilihan, sementara manusia selalu memiliki pilihan, serta diberi kekuatan untuk memilih.

Ketika air mengalir, ia mengalir kemana saja, ke celah mana pun selama memungkinkan, tak peduli mengalir ke sungai yang bersih ataupun mengalir ke comberan yang kotor. Air tidak memiliki pilihan, ia hanya mengalir—sebatas mengalir.

Tetapi berbeda dengan manusia, atau lebih tepatnya dengan hidup manusia. Manusia memiliki pilihan untuk mengalirkan kehidupannya, dan ia selalu memiliki hak untuk memilih di dalamnya. Ketika hidup mengalir ke tempat yang tidak diinginkannya, manusia (selalu) bisa mengubah haluannya.

Saya pun menggunakan kekuatan pilihan saya ketika menulis di blog ini. Sebagai manusia, khususnya sebagai penulis, sebenarnya saya telah memiliki ‘celah-celah’ yang disediakan oleh kehidupan ini untuk mengalirkan p(em)ikiran-p(em)ikiran saya. Celah-celah itu bisa berupa penerbit buku, penerbit surat kabar, majalah, ataupun media-media lain yang memungkinkan serta memberikan kesempatan pada siapa saja yang ingin menyumbangkan karya tulisnya.

Tetapi ada kalanya ‘celah-celah’ tersebut tidak memungkinkan saya untuk mengalirkan sesuatu yang tengah bergejolak dalam pikiran saya. Ada kalanya yang ingin saya sampaikan tidak sejalan dengan yang mereka inginkan, ada kalanya sesuatu yang ingin saya alirkan bertabrakan dengan kepentingan mereka. Hal-hal semacam itu tentu bukan sesuatu yang aneh, karena perbedaan sudah menjadi hukum alam kehidupan, bahwa apa yang dipikirkan seseorang belum tentu dapat diterima oleh pikiran lainnya.

Karenanya, saya pun menulis di blog ini, sebagai salah satu bentuk pilihan dalam mengalirkan yang ingin saya alirkan dalam kehidupan saya. Karena, seperti halnya air, ketika ia merasa terbendung oleh sesuatu maka ia pun akan mencari celah lain yang dapat digunakannya untuk terus mengalir. Dan sebagaimana air yang mengalir, ada kalanya air itu dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, namun ada kalanya pula menjadi sarana pencemaran lingkungan. Untuk hal itu, saya berharap tidak menjadi si pencemar.

Blog ini adalah salah satu tempat saya mengalirkan apa saja yang ingin saya alirkan dari pikiran, dan saya berharap aliran pikiran di blog ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Tetapi, sebagaimana air yang tak terhitung banyaknya di dunia, blog ini pun bukan apa-apa; hanya satu di antara sekian juta blog lain, dan sungguh bukan blog yang istimewa. Blog ini hanya ditulis oleh orang yang biasa-biasa saja. Atau, lebih tepat lagi, oleh orang biasa-biasa saja yang memilih untuk menggunakan pilihannya….

 
;