Senin, 14 Desember 2009

The Ghostwriter (2)



Apabila ditinjau dari sudut pandang etik, profesi ghostwriter mungkin tidak etis secara moral—khususnya jika pekerjaan menulisnya itu ditujukan untuk penilaian kredibilitas, semacam pembuatan skripsi, disertasi, ataupun sebuah buku tertentu yang ditujukan untuk kenaikan pangkat dan jabatan. Hanya saja, setiap kali kita mulai sampai pada masalah etika dalam profesi, setiap kali pula kita terbentur pada dinding ekonomi.

Hukum ekonomi—dalam profesi apapun—selalu saja memiliki ayat yang sama; permintaan menciptakan peluang.

Di satu sisi, ada banyak orang yang punya duit dan butuh punya buku tapi tak bisa menulis. Di sisi lain, ada banyak penulis yang bisa menulis dengan baik, tapi hidup pas-pasan karena royalti penjualan buku yang minim. Ini klop—seperti mur ketemu baut—dan transaksi bisnis pun terjadi.

Saya mengenal beberapa teman yang sering menjadi ghostwriter, dan saya melihat bahwa penghasilan mereka sebagai ghostwriter bisa dibilang lebih besar dibanding penghasilan yang mereka dapatkan dari royalti buku-buku yang mereka tulis. Ada teman yang mendapatkan bayaran sepuluh juta untuk menulis sebuah buku. Dia menggarap naskah buku itu selama dua bulan—dan langsung dibayar cash begitu naskahnya selesai.

Sepuluh juta dalam waktu dua bulan! Para penulis tahu, dibutuhkan ribuan buku yang harus terjual terlebih dulu untuk bisa mendapatkan royalti sejumlah itu.

Ada pula teman lain (yang juga ghostwriter) diminta menulis buku oleh seseorang dengan pesan seperti ini, “Intinya, saya hanya ingin nama saya tercantum di sampul buku itu. Soal bagaimana proses penulisan, penerbitan, dan urusan dengan penerbit, saya serahkan ke kamu. Yang penting buku itu memiliki nomor ISBN, dan nama saya tercantum di sampulnya. Saya akan membayarmu setelah buku itu terbit.”

Karena harganya disepakati, teman saya menyanggupi—dia mengerjakan naskahnya, mengurus penerbitannya, dan beberapa bulan kemudian bukunya terbit. Seperti yang sudah dijanjikan, dia langsung mendapatkan bayarannya begitu buku itu terbit dengan nama si pemesan tercantum manis di sampulnya. Bayangkan, si penulis langsung mendapatkan bayaran dalam jumlah besar, padahal buku itu belum terjual satu eksemplar pun!

Karena melihat tingkat penghasilannya yang besar, tidak heran kalau para penulis pun cukup banyak yang ‘nyambi’ jadi ghostwriter. Saya pernah tanya pada mereka yang ‘nyambi’ jadi ghostwriter semacam itu, “Bagaimana pandanganmu sendiri terhadap aktivitas ini (ghostwriter)?”

“Ini sebenarnya tak jauh beda dengan profesi artis,” jawab mereka. “Ketika seorang artis disodori tawaran film ‘panas’ dengan iming-iming bayaran mahal, dia tentunya berhak untuk menerima tawaran itu, karena itu memang profesinya. Kalau orang-orang ribut soal akting dalam filmnya yang dianggap panas, yeah… itu kan tuntutan profesi!”


Pesan Moral:
~ Kepada para penyewa ghostwriter: Belajarlah menulis!
~ Kepada pemerintah: Sejahterakan para penulis, hilangkan pajak buku!
~ Kepada para ghostwriter: Bagi-bagi rejekinya, dunk! :P


 
;