Senin, 14 Desember 2009

Pintu Menuju Pembaruan



Bila kau merasa kehidupanmu tengah memburuk, kau bisa menenangkan hati dengan mengharapkan bahwa keadaan tidak akan menjadi bertambah buruk. Apabila keadaan benar-benar menjadi bertambah buruk, kau pun bisa berpikir positif bahwa keadaan pasti akan menjadi baik.

Apapun yang terjadi dan menimpa hidup kita, kita masih memiliki sesuatu bernama akal sehat untuk menghadapinya. Apa yang kita miliki, yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kita gunakan dalam hidup ini, kuasanya lebih besar dibandingkan dengan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita.

Denis Waitley, seorang pakar kepemimpinan, memberikan nasihat untuk hal ini, “Kesulitan dan kegagalan hidup, sekiranya dapat disesuaikan dan dilihat sebagai umpan balik koreksi yang positif, dapat digunakan untuk membetulkan kembali sasaran awal; di samping dapat membangkitkan potensi diri agar kebal terhadap setiap kebimbangan, kekecewaan, serta mengantisipasi stres.”

Tidak ada pendidikan yang lebih baik daripada kesusahan. Setiap kekalahan, setiap penderitaan, setiap patah hati, setiap rasa kehilangan, setiap tangis dan air mata, semua mengandung benihnya sendiri, pelajarannya sendiri, tentang bagaimana cara meningkatkan kepribadian serta kehidupan kita. Kesusahan yang kita hadapi adalah jalan setapak pertama menuju kebenaran, karena dengan itulah kita akan belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kehidupan.

Tetapi, kesusahan tidak pernah menghancurkan orang yang mempunyai keberanian dan keyakinan. Kita semua diuji dalam sebuah bencana dan tidak semuanya dapat muncul kembali. Hanya orang-orang yang mau belajar dari kesusahannya dan menyadari bahwa kesusahan adalah proses dari jalan menuju kesempatan yang lebih baik sajalah yang dapat keluar dari jalan setapak kesusahan. Emas akan menghasilkan kemurniannya setelah ia dibakar dalam bara api tanpa henti, bunga akan menyarikan inti keharumannya setelah diperas dan dijadikan minyak wangi. Penderitaan, masalah dan kesusahan adalah pintu menuju pembaruan diri.

Orang-orang bijak sering mengumpamakan penderitaan itu ibarat telur. Orang menyangka bahwa kulit telur merupakan penjara bagi janin yang ada di dalamnya, padahal dia menjaganya, melindungi dan menolongnya, agar janin dalam telur itu tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Tidak ada jalan lain selain dari sabar menunggu waktu dan merasa senang dengan tujuan yang akan dia capai. Bila tiba waktunya telur itu pecah, maka keluarlah sebangsa makhluk baru.

Di dalam penderitaan, masalah dan kesusahan, setiap kita diuji—untuk kalah, atau untuk menang. Jika kita menyerah dan kalah, kita hanya menjadi janin dalam telur yang kemudian membusuk. Tetapi jika kita menang—jika kita mau berjuang hingga cangkang bernama penderitaan dan masalah dan kesusahaan itu akhirnya retak dan pecah—maka kita pun akan mewujud sebagai makhluk baru; sosok yang lebih baik dibanding sebelum menjalani segala masalah, penderitaan dan kesusahan itu...


 
;