Jumat, 26 Februari 2010

Mengapa Cewek Suka Warna Pink



Selama ini, warna pink selalu identik dengan cewek. Mungkin ada beberapa cewek yang sama sekali tidak menyukai warna pink, tetapi warna ini sepertinya telah diidentikkan dengan kaum cewek. Sebegitu identiknya warna ini dengan cewek, sampai-sampai cowok pun jadi “risih” kalau harus menggunakan sesuatu yang berwarna pink. Kalau pun ada cowok yang sampai “nekat” menggunakan sesuatu berwarna pink (entah ponsel, baju, tas, aksesoris atau lainnya), biasanya dia pun akan diledek “kecewek-cewekan”.

Sepertinya, cewek memang telah cenderung dengan warna pink, bahkan semenjak mereka masih kecil. Ketika masih balita, misalnya, anak-anak cewek mendapatkan berbagai macam mainan yang didominasi oleh warna pink. Ketika beranjak remaja, cewek semakin lengket dengan warna pink, hingga warna ini pun seringkali digunakan untuk cat kamar tidur mereka, warna seprai dan sarung bantal, aneka aksesoris, hingga…celana dalam.

Nah, mengapa cewek menyukai warna pink? Atau, lebih tepatnya lagi, mengapa warna pink diidentikkan dengan cewek…?

Ada beberapa pendapat yang berbeda untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu pendapat menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena cewek telah dikondisikan untuk menyukai warna pink oleh orangtua mereka, bahkan semenjak mereka masih bayi. Para pakar yang mengajukan pendapat ini mendasarkan tesisnya pada kenyataan betapa banyaknya barang berwarna pink yang ditujukan untuk kaum cewek dari berbagai usia. Mereka bahkan menyebut hal ini sebagai “wabah pink”—sesuatu yang mereka sayangkan sebagai “alat cuci otak yang makin menegaskan dan memperkuat perbedaan gender”.

“Wabah pink” ini telah membuat banyak anak perempuan menjadi terikat dengan satu warna, bahkan sebelum mereka berusia tiga tahun. Akibatnya, mereka akan cenderung menolak apabila diberi mainan atau baju yang tidak berwarna pink. Sue Palmer, penulis buku Toxic Childhood, menyatakan, “Saat ini sulit mencari anak perempuan berusia di atas tiga tahun yang tidak terobsesi dengan warna pink.”

Jadi, apakah kecenderungan kaum cewek terhadap warna pink memang disebabkan oleh faktor di atas, yakni karena telah dikondisikan semenjak kecil…? Mungkin ya, tetapi mungkin pula bukan hanya itu penyebabnya semata-mata.

Di dalam jurnal Current Biology, Dr. Anya Hurlbert mencoba menjawab pertanyaan ini dengan cara yang ilmiah. Ilmuwan asal University of Newcastle itu melakukan survei terhadap 200 (dua ratus) orang cowok dan cewek berusia dua puluhan tahun. Semua responden survei ini terdiri dari dua ras yang berbeda, yakni Inggris dan China. Nah, hasil survei itu menyebutkan bahwa mayoritas cewek menyukai warna merah muda (pink) sebagai warna favorit mereka.

Dari hasil riset itu, secara sekilas kita dapat melihat bahwa kecenderungan atas suatu warna, atau selera seseorang terhadap suatu warna, tidak berdasarkan atau dipengaruhi oleh etnis atau budaya, melainkan karena faktor biologi. Jadi, cewek di mana pun memang menyukai jenis warna tertentu, dan warna pink diidentikkan dengan cewek—di berbagai belahan dunia mana pun—karena hal ini lebih bersifat biologis.

Dr. Anya Hurlbert menyatakan, “Evolusi menyebabkan perempuan menyukai warna kemerahan. Mereka cenderung memilih buah berwarna merah, atau juga wajah yang kemerahan. Budaya juga memberi andil di dalamnya.”

Tesisnya itu didasarkan pada kenyataan bahwa semenjak jaman dulu, kaum cewek memiliki peran dalam memilih bahan pangan untuk keluarga. Kebiasaan turun-temurun dalam mencari buah matang yang identik dengan warna merah ini kemudian mempengaruhi, bahkan menyebabkan, cewek-cewek keturunan mereka menyukai warna merah atau kemerahan—hingga saat sekarang.

Nah, kalau cewek diidentikkan dengan warna merah atau pink, maka cowok biasanya diidentikkan dengan warna biru. Ternyata, hal ini juga berawal dan bermula dari kenyataan masa lalu. Di masa lalu, semenjak jaman kakek-nenek moyang kita masih tinggal di goa-goa, kaum cowok bertugas mencari sumber air bagi keluarga dan sukunya. Warna biru identik dengan sumber air yang baik, bersih, dan dapat dikonsumsi. Mereka juga menganggap warna langit yang biru cerah sebagai pertanda bagus untuk memulai aktivitas berburu.

Berabad-abad kemudian, kecenderungan kaum cowok terhadap warna biru tetap berlanjut, dan cowok di abad sekarang pun tetap cenderung dengan warna biru—tak jauh beda dengan kecenderungan kaum cewek terhadap warna pink.


15 Rahasia Cowok yang Perlu Diketahui Cewek



Meskipun hubungan antar cowok-cewek telah dimulai semenjak Adam dan Hawa berabad-abad yang lampau, tetapi—entah mengapa—kedua jenis makhluk ini terkadang tetap saja kebingungan dalam menghadapi satu dengan lainnya, tidak yakin dengan apa yang diinginkan lawan jenisnya, bahkan seringkali keliru dalam memahami pasangannya.

Cewek seringkali salah paham terhadap cowok, sebagaimana cowok pun tidak jarang salah persepsi dalam menghadapi cewek. Di dalam kondisi semacam itu, anehnya, kaum cewek sepertinya lebih “rajin belajar” dalam upaya memahami lawan jenisnya, dibanding kaum cowok. Cowok seringkali merasa “sudah tahu” semuanya tentang cewek, meskipun diam-diam cowok juga seringkali kebingungan dalam menghadapi cewek pasangannya.

Berikut ini adalah daftar 15 rahasia cowok yang perlu diketahui cewek. Daftar berikut ini saya posting di sini karena banyaknya permintaan yang masuk ke email saya. Seperti yang telah disebutkan di atas, kaum cewek lebih rajin belajar dalam upaya memahami lawan jenisnya. Karenanya, kalau cowok-cowok juga meminta agar saya memposting rahasia cewek, silakan kirim email ke saya. Jika jumlah cowok yang meminta sama banyaknya dengan jumlah cewek yang meminta posting ini, permintaan kalian pasti akan muncul di sini. Jadi, hei cowok-cowok, ayo belajar! :)

Rahasia #1
Sesungguhnya, cowok tidak selalu menginginkan cewek cantik—yang mereka inginkan adalah cewek yang berpenampilan cantik. Kecantikan itu relatif, tetapi penampilan yang cantik menciptakan pesona dan daya tarik.

Rahasia #2
Cowok mungkin suka menggoda cewek, dimana pun. Tetapi itu sama sekali bukan indikasi bahwa dia cowok playboy atau tidak setia. Sebanyak apapun cewek yang digodanya, hanya satu cewek yang selalu diingat dan dipedulikannya.

Rahasia #3
Cowok mungkin suka dengan cewek yang jual mahal—tetapi tidak selalu suka jika harganya tidak sepadan. Bersikap wajar adalah pilihan yang terbaik.

Rahasia #4
Jika seorang cowok menyatakan cinta kepadamu, dia tidak peduli dengan segala keburukanmu, bahkan umpama kawan-kawannya memburuk-burukkanmu. Tetapi itu bukan berarti kau bisa menunjukkan keburukanmu.

Rahasia #5
Ketika seorang cowok menjalin hubungan dengan cewek, dia akan melekatkan egonya pada cewek pasangannya itu, sehingga dia akan memuja pasangannya, meskipun dia menyadari bahwa cewek pasangannya tidak terlalu istimewa.

Rahasia #6
Apabila cowok curhat atau mencurahkan sesuatu dalam pikirannya kepadamu, yang paling dibutuhkannya hanyalah didengarkan. Karenanya, tahanlah dirimu agar bisa tenang dan diam mendengarkannya, dan hindari memberikan nasihat apapun yang ingin kau berikan.

Rahasia #7
Fantasi dan khayalan di dalam pikiran cowok sama sekali tidak terbatas—sesederhana apapun cowok itu. Fantasinya tidak hanya sebatas pada seks dan hubungan dengan seseorang—cowok terkadang juga berfantasi menjadi Superman.

Rahasia #8
Cowok menyukai cewek yang apa adanya, dan cenderung ilfil dengan cewek yang berlebihan—baik dalam sikap, ucapan, tingkah laku, termasuk juga make up dan penampilan. Sekali lagi, bersikap wajar adalah pilihan yang terbaik.

Rahasia #9
Cowok tidak bisa membaca pikiran cewek. Karenanya, kalau kau ingin cowok pasanganmu mengetahui apa maksudmu, kau harus mengungkapkannya secara langsung dengan ucapan, sekaligus menyatakannya dengan jelas.

Rahasia #10
Apabila cowok mendengar jawaban “Tidak” satu kali, dia akan berasumsi besok dia akan mendengar jawaban “Ya”. Tetapi jika cowok mendengar jawaban “Tidak” berkali-kali, dia akan berasumsi “Tidak” selamanya.

Rahasia #11
Jika cowokmu diikat dengan ketat, dia akan memberontak karena tak tahan. Jika dibebaskan secara lepas, dia akan terbang. Jika cowokmu terlalu serius dalam hubungan, dia cenderung posesif. Jika dia diberi kesadaran bahwa kau mencintainya tanpa usaha untuk mengekangnya, dia akan belajar setia.

Rahasia #12
Cowok suka melihat bagian tubuh cewek yang terbuka. Tetapi cowokmu tidak akan suka jika bagian tubuhmu terbuka dan dilihat cowok lain.

Rahasia #13
Ketika belum menjalin hubungan, cowok mungkin suka dengan cewek yang aktif menggodanya—tetapi tidak selalu suka jika digoda atau didekati secara agresif. Ketika telah menjalin hubungan, cowok mungkin suka dengan cewek yang pasif—tetapi tidak selalu suka jika ceweknya terlalu pasif.

Rahasia #14
Saat melihat ceweknya menangis sesekali, cowok akan merasakan debar sayang dalam hati. Tetapi ketika melihat ceweknya selalu menangis setiap hari, cowok akan merasa ingin bunuh diri karena frustrasi.

Rahasia #15
Bila cowokmu tidak banyak bicara saat bersamamu, bukan berarti dia tidak ingin berbicara—dia hanya ingin lebih banyak mendengarmu berbicara.


Karena Simpati yang Tulus

Kita tentu pernah mendengar atau membaca kisah tentang skandal Watergate yang menghebohkan publik Amerika menyangkut salah satu presiden mereka, Richard Nixon. Ketika skandal itu terbongkar, banyak media massa yang meliputnya, termasuk media massa Indonesia.

Karena terlibat dalam skandal Watergate yang amat menghebohkan itu, Richard Nixon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Pada masa pensiunnya itu ia menulis sebuah buku berjudul In The Arena. Dalam bukunya ia bercerita tentang depresi yang dialaminya setelah menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden, dan tidak lama setelah itu ia harus menjalani sebuah operasi menyangkut kesehatannya. Waktu-waktu itu adalah masa depresi sekaligus putus asa yang amat mendalam bagi Nixon, hingga ia sampai ingin segera mengakhiri hidupnya.

Saat keadaan Richard Nixon sampai pada titik terendah itu, ketika ia terkapar tanpa seorang pun peduli di rumah sakit, seorang perawat masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat, membuka tirai ruangan, lalu menunjuk ke sebuah pesawat terbang ringan yang terbang bolak-balik di sekitar rumah sakit. Pesawat itu menarik sebuah spanduk bertuliskan, “Tuhan Mencintaimu, Begitu pula Kami”. Ungkapan sayang penuh simpati itu diprakarsai oleh Billy Graham, penulis buku-buku rohani terkenal itu.

Karena peristiwa itulah kemudian dalam bukunya tadi, In The Arena, Richard Nixon menulis bahwa itu adalah sebuah titik balik bagi hidupnya. Ia menjadi sadar bahwa ternyata masih ada orang yang peduli terhadapnya, dan semangat hidup Nixon pun bangkit kembali, serta memberinya keberanian serta kemauan menghadapi hari-hari selanjutnya.

Hanya karena ungkapan simpati yang tulus, suatu pemberian kata yang menghangatkan, seseorang bisa memperoleh kembali semangat hidupnya setelah ia menginginkan kematian. Pernahkah kita merenungkan dan menyadari hal itu?
Minggu, 21 Februari 2010

Maka Tersenyumlah



Kita tersenyum saat merasa bahagia,
dan kita pun akan merasa bahagia jika kita tersenyum.


Apakah kau pernah merasakan sakit gigi yang sedemikian parah sehingga perlu memeriksakannya ke dokter spesialis gigi? Jika kau pernah duduk di ruang tunggu dokter gigi, kau pasti akan menemukan suasana yang akan saya gambarkan ini.

Di ruang tunggu dokter gigi pagi itu, ada beberapa orang lelaki dan perempuan, yang sama-sama sakit gigi, sebagian dari mereka gusinya membengkak yang tampak jelas dari gelembung pipi mereka. Dari semua yang ada di ruang tunggu itu, tidak ada satu pun dari mereka yang tersenyum. Siapa yang masih mampu tersenyum ketika diserang sakit gigi? Semua orang di sana menampakkan wajah yang muram, cemberut, dan ekspresi kesakitan. Tidak ada yang mencoba membuka suara, memulai percakapan, ataupun memberikan sedikit keramahan. Ruangan yang paling muram di dunia ini adalah ruang tunggu tempat praktek dokter gigi.

Nah, di antara orang-orang yang duduk di ruang tunggu itu, ada seorang ibu yang menggendong seorang bayi berusia satu tahun. Bayi ini tentu saja tidak sakit gigi karena bahkan giginya pun mungkin belum tumbuh. Untungnya, bayi ini tidak rewel hingga tidak merepotkan ibunya yang sakit gigi, juga tidak menimbulkan kejengkelan orang lain yang tengah menderita sakit gigi. Bayi ini bahkan tampak tenang, dan menebarkan senyumnya yang begitu menggemaskan.

Seorang ibu lain yang ada di ruang tunggu itu kemudian melihat senyum si bayi, dan mau tak mau ibu ini pun membalas senyum itu. Siapa yang tahan untuk tidak membalas senyum seorang bayi? Dari senyuman itu kemudian ibu ini pun mencoba mengajak omong si bayi, dan si bayi menanggapinya dengan senyumnya. Ia mengatakan betapa lucunya si bayi itu kepada ibunya, dan ibu si bayi pun kemudian tersenyum. Lalu mereka bercakap-cakap, saling memberikan keramahan.

Orang-orang yang lain mulai ikut terpengaruh, dan mereka pun kemudian seperti mencoba melupakan sakit gigi mereka dan mulai ikut bercakap-cakap, mulai ikut memberikan keramahan pada orang yang lainnya. Dan ruang tunggu yang pada mulanya muram seperti kuburan itu pun kemudian berubah menjadi ruang tunggu yang cukup menyenangkan. Orang-orang yang mulai bisa tersenyum itu pun mulai merasakan rasa sakit giginya seperti agak berkurang.

Hanya karena sebuah senyuman tulus seorang bayi, orang-orang yang pada mulanya begitu muram itu mulai bisa tersenyum dan merasakan rasa sakit giginya mulai agak berkurang. Apakah kau pernah membayangkan kekuatan sebuah senyuman?

Satu minggu sebelum saya menulis catatan ini, saya pergi ke sebuah swalayan di kota saya untuk berbelanja. Saat menaiki eskalator dari lantai satu menuju ke lantai dua, saya agak terkejut ketika sampai di bibir atas eskalator di lantai dua, saya mendapati seorang perempuan berseragam yang menyambut setiap orang dengan senyuman yang begitu manis. Perempuan ini dibayar oleh pihak swalayan hanya untuk berdiri di sana dan memberikan senyumannya kepada orang-orang yang datang!

Sekali lagi, apakah kau pernah membayangkan kekuatan sebuah senyuman? Pihak pengelola swalayan itu tahu bahwa dengan menyambut pengunjung swalayan dengan senyuman akan membuat para pengunjung merasa diterima, dihargai, dan dihormati, dan itu satu langkah cerdas dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan dan calon pelanggan mereka.

Apakah kau menyadari bahwa tindakan fisik dari tersenyum membuatmu merasa enak? Dan, dengan cara yang sama, cemberut membuatmu merasa murung? Pada abad kesembilan belas, para psikolog menyatakan hal itu. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa ekspresi wajah seseorang memang mempengaruhi suasana hatinya. Salah seorang psikolog modern yang mendukung teori ini adalah Dr. Robert Zajanc dari University of Michigan. Selain dirinya, para psikolog dari Clark University di Worchester, Massachusetts, juga melaporkan hasil dari penelitian yang ekstensif bahwa bukti ilmiah itu benar; bahwa tersenyum membuatmu merasa senang, dan cemberut membuatmu merasa murung.

Dr. Paul Ekman dari University of California Medical School, menjelaskan dalam sebuah jurnal kedokteran bahwa ketika orang memerankan berbagai emosi, tubuh mereka menghasilkan pola fisiologis yang sesuai seperti perubahan pada denyut jantung dan pernapasan. Dokter ini berbicara tentang bagaimana cemberut mengencangkan otot-otot wajah, dengan reaksi yang dihasilkannya pada otak. Terus terang saya tidak dapat mengerti semua istilah ilmiahnya, tetapi saya benar-benar dapat mengerti bahwa ketika kita bertindak bahagia, kita pun akan merasa benar-benar bahagia. Dan begitu pula sebaliknya.

Intisarinya? Sederhana saja; Tersenyumlah.

Apa sih yang menjadikan hidup ini terasa lebih indah? Salah satu jawabannya adalah karena kita masih bertemu dengan orang-orang yang memberikan senyumannya untuk kita. Pernahkah kita merenungkan betapa kuatnya pengaruh sebuah senyuman? Banyak sekali teori yang mengajarkan manfaat senyuman, baik dari segi kesehatan, psikologi, sampai pada hubungan antar manusia. Senyuman adalah lengkungan lembut yang meluruskan banyak hal.

Senyuman memperkaya mereka yang menerimanya tanpa harus membuat lebih miskin mereka yang memberikannya. Ini hanya memerlukan waktu yang sesaat, tetapi kenangannya kadang-kadang bertahan selamanya. Tidak ada seorang pun yang begitu kaya atau perkasa sehingga dia bisa hidup tanpa senyuman, tidak ada seorang pun yang begitu miskin tetapi dia bisa diperkaya olehnya.

Senyuman menciptakan kebahagiaan di rumah, mendorong itikad baik dalam bisnis, dan merupakan pertanda persahabatan. Senyuman mendatangkan istirahat kepada orang yang kelelahan, kegembiraan kepada orang yang patah semangat, sinar matahari kepada orang yang sedih, dan itu merupakan penawar alam yang terbaik untuk kesulitan.

Namun senyuman tak bisa dipinjamkan atau dicuri, sebab itu adalah sesuatu yang tidak ada nilainya bagi siapa saja kecuali kalau diberikan. Beberapa orang terlalu kelelahan untuk memberi kita senyuman. Berilah mereka senyuman kita. Sebab tidak ada orang yang begitu membutuhkan seperti dia yang tak punya lagi senyuman untuk diberikan...


Lingkaran Hening

Mendengar malam bernyanyi, menyusuri jalan-jalan kegelapan yang tak diketahui. Aku melangkah dengan kaki tersuruk, atau lelah yang menikam hasrat. Sendiri, seperti hari yang kemarin.

Adalah rindu yang melingkari malam, batin yang merindukan bulan, kekosongan demi kekosongan. Aku ingin berlari... meninggalkan segala kebingungan demi kebingungan ini, melepaskan segala kerisauan dan keraguanku.

Suara yang tersiksa. Kehidupan yang tak kunjung entah kemana.

Lari, berlari, menyusuri kegelapan demi kegelapan, menyemai hati yang tak terpahami, dan di sinilah aku kembali. Seperti dulu, seperti mula, seperti biasanya. Kepada kosong aku berkata, kepada malam aku bicara, kepada sunyi aku bercerita, kepada gelap aku tertawa.

Menarilah denganku. Menarilah denganku dalam kegelapan ini. Beryanyilah bersamaku. Bernyanyilah dalam kebisuan ini. Ulurkan tanganmu dan akan kuajak kau merayapi bumi, menyentuh langit, merangkai kosong. Kosong dan hening....

Aku tak tahu... tak pernah tahu. Hanya bisa merasa. Hanya bisa melihat. Hanya bisa berdiri dalam hening. Di lingkar keheningan—kepadanyalah aku kembali.

Lacrymossa

Jalanan begitu sunyi, sementara langit gelap menghitam. Taburan bintang telah menghilang semenjak tadi, dan hujan turun amat lebat, deras, dengan petir yang menyambar dan halilintar menggelegar. Aku masih berusia sembilan tahun waktu itu, ketika sendirian duduk di bawah pohon beringin raksasa di alun-alun kotaku, tak bisa pulang, terjebak hujan, menggigil dalam kedinginan tengah malam.

Sampai hari ini aku masih dapat mengingat semua yang terjadi malam itu.

Malam itu aku berjalan sendirian, menyusuri jalanan kotaku yang mulai sunyi, ketika kejadian yang amat mengguncang pikiranku itu terjadi. Sesaat menjelang pukul sepuluh malam, aku sudah memutuskan untuk pulang ke rumah, namun kemudian hujan menjebakku, tepat ketika aku baru saja melangkah.

Jadi di sanalah kemudian aku berada. Di bawah pohon beringin yang besar namun tetap tak mampu melindungiku dari tempias hujan malam yang dingin, dan aku meringkuk, menggigil, kedinginan, terjebak hujan yang tak juga reda hingga tengah malam. Bajuku membasah, udara dingin malam menggigit, menusuk kulit, dan aku makin kedinginan.

Aku membayangkan anak-anak lain seusiaku waktu itu telah tertidur lelap di atas tempat tidur mereka yang hangat, di balik selimut tebal sambil mendekap guling. Aku membayangkan anak-anak lain yang terlindung oleh rumah-rumah mereka yang layak, aku membayangkan anak-anak lain yang tengah bermimpi indah tanpa menggigil kedinginan karena terjebak hujan, aku membayangkan anak-anak lain yang tak mengalami nasib sepertiku….

Dan jarum jam terus merangkak, sementara hujan tak kunjung reda. Aku semakin menggigil dalam kedinginan. Halilintar menggelegar, dan aku menutupi telingaku. Kilatan petir menyambar, dan aku memejamkan mata, membayangkan tak berada di sana.

Selama berjam-jam duduk meringkuk kedinginan di bawah pohon raksasa dengan ditimpa hujan lebat dan dihajar gelegar halilintar malam itu, pikiranku berkecamuk, dan jiwaku bergolak seperti lahar. Sesuatu yang menggelegak memenuhi batinku, memaksaku untuk berteriak marah, sementara jiwa kanak-kanakku ingin menangis.

Hujan masih deras mengguyur, petir saling bersahutan dengan guntur. Jalanan telah lama sunyi, sementara aku masih menggigil sendirian.

Malam itu, sesuatu yang amat mengerikan yang tak pernah kubayangkan mulai terlahir dalam diriku. Kelak, sesuatu yang terjadi malam itu akan menjadi serangkaian mimpi-mimpi buruk dalam perjalanan panjang kehidupanku….



Hoeda Manis mengungkapkan pikiran-pikirannya, perasaannya, jiwa serta rahasia-rahasia batinnya dengan cara yang amat memukau—dengan kedalaman makna yang luar biasa.
Mary Anastasya, Penulis & Novelis

Lacrymossa memberikan pengalaman batin tak terlupakan. Kisah perjalanan hidup yang menggetarkan tentang seorang lelaki yang menikahi ilmu pengetahuan—tema yang sama sekali tak pernah terbayangkan!
Dody Setyawan, Penyair

Sewaktu membacanya, saya tidak merasa sedang membaca buku dan menelusuri kata-kata. Yang saya rasakan, saya seperti sedang duduk berdekatan dengan Hoeda Manis, dan mendengarkannya bercerita, dan... saya tersenyum bersamanya, tertawa, menangis, untuk kemudian tersenyum lagi. Hoeda Manis bukan hanya penulis yang baik, dia juga pencerita yang luar biasa.
Lisliana Veronica, Cerpenis & Fotomodel

Ditulis dengan indah, dikerjakan dengan sepenuh cinta. Lacrymossa tak akan pernah dilupakan pembacanya.
Indra Gunawan, Jurnalis

Perspektif yang Berganti

Kebaikan hati merupakan milik kita yang terbaik dalam bentuk yang cantik.
Christopher Marlowe

Kebaikan hati adalah ketidakmampuan untuk tetap merasa tenteram
ketika ada orang lain merasa resah, ketidakmampuan untuk tetap merasa
nyaman ketika ada orang lain merasa gelisah, ketidakmampuan hati untuk
tetap senang ketika ada orang lain sedang merasa gundah.
R. Samuel H. Holdenson


Saya bersahabat dengan Widya, salah satu aktivis sebuah organisasi perempuan. Sebagaimana para perempuan aktivis lainnya, Widya juga memiliki jiwa pemberani. Di kampusnya, dia bergabung dengan kelompok pecinta alam, dan sudah beberapa kali dia bersama kawan-kawannya menaklukkan puncak gunung, dan berpetualang menjelajahi hutan. Satu-satunya hal unik yang paling menonjol dalam diri Widya adalah kebenciannya yang luar biasa kepada polisi.

Saya tidak tahu bagaimana awal mula munculnya kebencian itu, namun saya sudah berkali-kali mendengar Widya mengatakan kalimat-kalimat yang mengandung rasa bencinya terhadap polisi. Salah satu kata-katanya yang ‘terkenal’ adalah, “Satu dari sepuluh hal yang paling menjengkelkan di dunia ini adalah ketika berurusan dengan polisi. Kalau kau salah, kau akan tampak makin salah. Tetapi kalau kau benar, kau pun akan tetap tampak salah!”

Sebagaimana yang lain, saya pun tersenyum saat mendengar kalimat itu, dan bagaimana pun juga saya mulai membenarkannya. Barangkali kata-kata ataupun penilaian itu sangat subjektif, tetapi terkadang memang ada saja sosok polisi yang ‘berhasil’ mewakili perspektif Widya di atas.

Ada begitu banyak orang yang menyukai polisi, bahkan ingin menjadi polisi. Tetapi ada juga yang tidak menyukainya, dan Widya adalah salah satunya. Karenanya, setiap kali organisasinya mengadakan suatu aktivitas dan memerlukan surat izin dari kepolisian, Widya akan menjadi orang terakhir yang akan mau menangani tugas itu. Harus orang lain yang mengurus surat izin itu, dan Widya sepertinya ‘alergi’ jika harus masuk kantor polisi atau berurusan dengan polisi.

Sampai suatu hari, Widya bersama rombongan pecinta alam yang lain berkemah di sebuah dataran tinggi di daerah kami. Untuk mencapai tempat itu, kita harus melalui jalan yang menanjak dan berbelok-belok. Acara itu diadakan sebagai penyambutan bagi anggota baru kelompok pecinta alam tersebut. Rombongan itu membawa dua buah pick up, lengkap dengan perbekalan yang dibutuhkan di sana nantinya.

Acara kemah itu direncanakan berlangsung empat hari. Tidak ada yang terjadi selama dua hari berjalan, sampai suatu malam Widya butuh menelepon seseorang. Ponselnya tidak mampu mendapatkan sinyal di tempat itu, maka dia pun harus turun dari lokasi dan mencari wartel yang bisa digunakan.

Maka, bersama seorang kawan perempuan, Widya turun dengan mengendarai pick up. Berdua mereka melalui jalan yang berkelok-kelok di malam hari, namun keduanya tak terlalu merasa takut atau khawatir. Itu hal yang biasa, pikir mereka. Selain itu, mereka juga merasa aman karena berada di dalam mobil, dengan pintu dan kaca jendela yang tertutup rapat.

Di bawah, mereka mendapatkan sebuah wartel, dan Widya pun menelepon di sana, sampai sekitar setengah jam. Mereka membeli beberapa makanan kecil, kemudian naik pick up kembali menuju ke atas. Sekali lagi pick up itu melewati jalanan yang gelap, menanjak, dan berkelok-kelok.

Dua perempuan di dalamnya asyik bercakap-cakap untuk mengusir suasana yang sangat sepi, hingga sama sekali tak menyadari ketika tiba-tiba pick up yang mereka kendarai tersentak-sentak, kemudian berhenti. Widya mencoba menghidupkan mesin kembali, namun tetap saja mati. Di saat itulah mereka kemudian baru sadar kalau bensin di tangki telah habis.

Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Kedua perempuan itu memang aman karena berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci, dan jendela tertutup rapat. Tapi mobil itu tak bisa bergerak lagi. Jarak untuk turun kembali sudah jauh, jarak untuk naik juga masih jauh. Mereka ada di tengah-tengah perjalanan, dan kini mereka merasa terjebak.

Mereka tak dapat menghubungi kawan-kawan mereka, karena ponsel masih belum mendapatkan sinyal. Mereka tak berani turun dari mobil karena malam telah cukup larut, jalanan amat sepi sekaligus gelap. Seberani dan senekat apa pun, mereka tetap saja perempuan, dan mereka harus berpikir seribu kali untuk keluar dari mobil lalu berjalan menelusuri jalanan yang asing, gelap dan sepi seperti itu.

Maka satu-satunya hal yang masih dapat mereka lakukan hanyalah tetap duduk di dalam mobil, sesekali menyalakan lampu dan membunyikan klakson, dan berharap seseorang lewat dan sudi menolong. Jika keajaiban memang terjadi, saat itu mereka mengharapkan datangnya keajaiban.

Tetapi keajaiban itu tak kunjung datang. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh, dan jalanan tempat mereka berhenti bukanlah jalan umum yang biasa dilewati orang. Seiring waktu yang berjalan merangkak, Widya dan kawannya semakin dicekam kekhawatiran dan ketakutan. Dan jarum jam semakin merangkak. Semakin larut, semakin mustahil ada orang yang akan melewati jalan itu.

Ketika harapan di hati Widya dan kawannya sudah mulai pupus, tampak seseorang mengendarai sepeda motor datang dari arah depan mereka. Widya segera saja menyalakan lampu depan mobil, dan berharap orang dengan sepeda motor itu menangkap isyarat permintaan tolong tersebut.

Harapan Widya terkabul. Orang itu melambatkan laju motornya, dan mendekati pick up mereka. Sekarang keajaiban itu telah muncul. Sekarang, bantuan dan pertolongan yang semenjak tadi diharapkan telah datang. Dan sekarang Widya pun baru melihat bahwa orang yang tengah mendekatinya itu berseragam... polisi!

Secara spontan, didorong antipatinya yang luar biasa, Widya segera saja berpikir buruk. Polisi ini pasti akan mencari perkara, batinnya. Bisa saja dia meminta surat-surat kendaraan, lalu mencari-cari kesalahan, lalu memberikan surat tilang, lalu menawarkan ‘perdamaian’ dengan uang....

Keajaiban yang diharapkannya, ternyata bencana yang malah datang. Rasanya Widya tidak ingin membukakan kaca jendela mobilnya.

Polisi itu berhenti di sisi pick up, memperhatikan orang yang berada di dalam mobil melalui kaca jendela, dan mungkin dia melihat ada dua orang perempuan di dalamnya. Polisi itu mengetuk kaca jendela, dan Widya membukakan sedikit kacanya dengan muka masam. Namun kawan Widya segera mengambil inisiatif dan berkata sungguh-sungguh pada polisi itu, “Kami kehabisan bensin, Pak. Kami bisa minta tolong...?”

Polisi itu segera memahami persoalannya, dan dia mengangguk, kemudian berlalu pergi dengan suara motor yang meraung. Widya dan kawannya sama-sama berspekulasi apakah mungkin polisi itu akan kembali lagi dengan membawakan bensin untuk mereka. Widya merasa apatis, tetapi kawannya mencoba membesarkan hatinya.

Seperempat jam kemudian, di luar dugaan Widya, polisi itu kembali lagi. Dia masih sendirian, dan kali ini tampak membawa jerigen di motornya. Lalu tanpa berkata apa-apa, polisi itu membuka tangki bensin pick up, dan mulai mengalirkan bensin dari jerigen itu ke dalamnya.

Setelah bensin berpindah tempat dan jerigen telah kosong, polisi itu mendekati jendela mobil kembali, dan kali ini Widya menurunkan kaca jendelanya sampai penuh.

“Sekarang mobil Anda bisa dijalankan,” kata polisi itu dengan sopan.

Widya tak mampu berkata apa-apa, namun kawan di sebelahnya segera bertanya dengan gugup pada sang polisi, “Be... berapa harga bensin tadi...?”

Polisi itu hanya tersenyum. “Saya sedang patroli di sini, dan saya senang bisa membantu kalian. Selamat jalan.”

Saat polisi itu telah berlalu, Widya menghidupkan mesin mobil, dan pick up itu kembali bisa berjalan.

Tidak ada yang terjadi setelah itu, dan Widya maupun kawannya tidak pernah bertemu lagi dengan polisi baik hati itu, bahkan mereka pun sudah mulai melupakan wajahnya. Namun semenjak itu, perspektif Widya terhadap polisi pun mulai berubah. Dia tidak sebenci dan seantipati seperti sebelumnya. Kini dia mulai memiliki pandangan positif atas sosok polisi. Kalau dulu dia menganggap semua polisi sebagai penjahat berseragam, sekarang dia mulai memiliki perspektif baru, bahwa di balik seragam itu terkadang juga terdapat malaikat yang penuh kasih.

Ketika saya mendengarkan cerita itu, dan bagaimana bergantinya perspektif Widya, saya benar-benar takjub. Bagaimana tidak? Bayangkan, hanya karena satu orang polisi yang baik hati, integritas seluruh polisi di negeri ini ikut jadi positif. Apakah itu bukan sebuah keajaiban?

Kalau setiap satu orang yang berseragam polisi mau mengisi seragam itu dengan hati selembut malaikat, dengan jiwa yang penuh kasih, dan masing-masing orang berpikir seperti itu, bukankah negeri ini bisa menjadi sebuah surga kecil yang amat menenteramkan?

Dan yang paling ajaib dari semua yang telah saya tulis ini adalah, tiga tahun semenjak peristiwa tak terduga yang dialaminya itu, Widya kemudian menikah... dengan seorang polisi! Sekali lagi, apakah ini tidak ajaib...?

Ya, kebencian memang tak pernah abadi. Tetapi cinta kasih selalu abadi.

Catatan dari Sudut



Tersudut, tersuruk, diri yang kering menatap langit. Rembulan bisu, bintang membisu, awan-awan putih bergerak tanpa senyum. Menyusuri jalan, sepi di antara bising—jalan-jalan yang sama, sepi yang sama, kebisingan yang sama...

Oh angin, angin yang berhembus lelah dengan desah tak terdengar. Menaburi malam-malam yang terasa bagai ombak di neraka. Memahami apa yang tak juga terpahami, hati yang tak juga mengerti apa yang ingin dimengerti. Tersudut dalam hidup, menjerit dalam sunyi, bernyanyi dalam hening...

Pada apa yang mula-mula. Pada mula, pada apa pada siapa. Yang ditinggal, yang meninggalkan, ditinggal dan meninggalkan. Mengundang gelap, meratap sedih, menjerit rintih. Lagu-lagu sendu dalam senandung yang lirih...

Sampai di manakah perjalanan ini, jika hati bahkan tak tahu apakah hidup masih berjalan. Akan ke manakah perjalanan ini, kalau diri bahkan tak bergerak lagi...? Tak bisa memahami. Tak mampu mengerti. Sudut gelap datang bahkan saat segalanya semakin gelap. Yang dimiliki telah pergi. Yang dimimpi tinggallah mimpi. Mimpi yang pergi tak pernah pulang kembali. Tetapi di sini, hati ini ingin tetap bernyanyi...


Persamaan Kata Indonesia-Malaysia



Dulu, sewaktu SMP, guru bahasa Inggris saya pernah bercerita bahwa “rumah sakit bersalin” di Malaysia disebut “rumah sakit korban lelaki”. Teman-teman sekelas tertawa waktu itu, dan saya pikir guru saya itu hanya bercanda.

Bertahun-tahun kemudian, saya baru tahu kalau ternyata guru saya dulu itu tidak bercanda. Di Malaysia, rumah sakit bersalin memang disebut rumah sakit korban lelaki—Hospital Korban Lelaki. Kau boleh percaya boleh tidak, tetapi berikut ini adalah persamaan kata bahasa Indonesia dan Malaysia yang mungkin akan membuatmu tertawa. Tetapi, sungguh, ini sama sekali bukan bercanda!

Indonesia: Kementerian Hukum dan HAM
Malaysia: Kementerian Tuduh Menuduh

Indonesia: Kementerian Agama
Malaysia: Kementerian Tak Berdosa

Indonesia: Angkatan Darat
Malaysia: Laskar Hentak-Hentak Bumi

Indonesia: Angkatan Udara
Malaysia: Laskar Angin-Angin

Indonesia: “Pasukaaan, bubar jalan!”
Malaysia: “Pasukaaan, cerai berai!”

Indonesia: Merayap
Malaysia: Bersetubuh dengan bumi

Indonesia: Rumah sakit bersalin
Malaysia: Hospital korban lelaki

Indonesia: Telepon seluler
Malaysia: Talipon bimbit

Indonesia: Pasukan terjung payung
Malaysia: Aska begayut

Indonesia: Belok kiri, belok kanan
Malaysia: Pusing kiri, pusing kanan

Indonesia: Departemen Pertanian
Malaysia: Departemen Cucuk Tanam

Indonesia: 6.30 = jam setengah tujuh
Malaysia: 6.30 = jam enam setengah

Indonesia: Gratis bicara 30 menit
Malaysia: Percuma berbual 30 minit

Indonesia: Tidak bisa
Malaysia: Tak boleh

Indonesia: Satpam/sekuriti
Malaysia: Penunggu maling

Indonesia: Aduk
Malaysia: Kacau

Indonesia: Diaduk hingga merata
Malaysia: Kacaukan tuk datar

Indonesia: 7 putaran
Malaysia: 7 pusingan

Indonesia: Imut-imut
Malaysia: Comel benar

Indonesia: Pejabat negara
Malaysia: Kaki tangan negara

Indonesia: Pencopet
Malaysia: Penyeluk saku

Indonesia: Joystick
Malaysia: Batang senang

Indonesia: Tidur siang
Malaysia: Petang telentang

Indonesia: Pengacara
Malaysia: Penguam

Indonesia: Ban
Malaysia: Tayar

Indonesia: Remote
Malaysia: Kawalan jauh

Indonesia: Kulkas
Malaysia: Peti sejuk

Indonesia: Chatting
Malaysia: Bilik berbual

Indonesia: Rusak
Malaysia: Tak sihat

Indonesia: Keliling kota
Malaysia: Pusing pusing ke Bandar

Indonesia: Tank
Malaysia: Kereta kebal

Indonesia: Kedatangan
Malaysia: Ketibaan

Indonesia: Bersenang-senang
Malaysia: Berseronok

Indonesia: Bioskop
Malaysia: Panggung wayang

Indonesia: Rumah sakit jiwa
Malaysia: Gubuk Gila

Indonesia: Dokter ahli jiwa
Malaysia: Dokter Gila

Indonesia: Pintu darurat
Malaysia: Pintu kecemasan

Indonesia: Hantu pocong
Malaysia: Hantu bungkus


Sabtu, 13 Februari 2010

Huruf “S” di Dada Superman

Lambang berupa huruf “S” di dada Superman, boleh jadi merupakan lambang paling terkenal sedunia, karena lambang itu melekat pada sosok superhero paling terkenal seantero jagat. Superman—siapa yang tak kenal orang ini…? Dari anak-anak, remaja, sampai orangtua sedunia, hampir dapat dipastikan mengenal sosoknya, atau setidaknya mengenal namanya.

Nah, kalau orang ditanya mengenai arti lambang huruf “S” yang ada di dada Superman, hampir dapat dikatakan kalau 9 dari 10 orang, atau bahkan 10 dari 10 orang, akan menjawab bahwa huruf “S” tersebut adalah singkatan atau huruf awal nama “Superman”. Saya sendiri dulu juga berpikir seperti itu. Tetapi, benarkah seperti itu kenyataannya…?

Huruf “S” di dada Superman ini mengusik-usik pikiran saya, karena semakin saya pikirkan, semakin terlihat ketidaksinkronan antara huruf “S” itu dengan karakter Superman.

Ingat, Hollywood adalah “monster” yang sangat perhatian terhadap detail. Karenanya, lambang “S” yang ada di dada Superman itu pun pasti hasil kerja yang sangat detail—hasil pemikiran yang sangat detail. Sekarang kita akan lihat betapa huruf “S” itu merupakan KESALAHAN BESAR jika dianggap sebagai singkatan atau nama depan Superman.

Dalam bahasa universal, “Superman” diartikan sebagai “Manusia Super” atau manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Orang-orang sedunia tidak ada yang keberatan dengan nama tersebut, karena kenyataannya sosok superhero bernama Superman itu memang memiliki kekuatan luar biasa dahsyat.

Tetapi sekarang kita lihat karakter sosok superhero ini. Baik ketika menjadi Clark Kent ataupun menjadi Superman, orang ini sangat rendah hati. Dalam berbagai seri filmnya, Clark Kent atau Superman tidak pernah menunjukkan kecenderungan angkuh atau upaya membanggakan diri. Dia juga tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk tujuan yang menguntungkan diri sendiri. Pendeknya, Superman adalah sosok superhero dalam arti sesungguhnya—orang hebat yang tidak menjadi angkuh karena kehebatannya.

Berdasarkan kenyataan sifat dan karakternya yang seperti itu, mungkinkah sosok ini menyebut dirinya sendiri sebagai “Si Manusia Super”? Rasanya tidak mungkin sosok yang sedemikian humble seperti Clark Kent menyebut dirinya sendiri “Superman”. Jadi, dari mana penyebutan atau nama “Superman” itu berasal? Jawabannya menjadi jelas; nama itu adalah sebutan yang diberikan masyarakat kepada sosok superhero ini!

Nah, ketika sampai di sini, pikiran saya terus-menerus terusik-usik.

Kalau memang nama “Superman” adalah nama yang diberikan masyarakat—dan bukan nama yang sengaja dibuat atau diciptakan Clark Kent sendiri—lalu apa maksud huruf “S” di dada Superman itu? Sekali lagi, Clark Kent tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Mengingat karakternya, dia tidak mungkin sengaja melekatkan huruf “S” itu di dadanya sebagai atribut superioritasnya. Jadi, apa sesungguhnya makna huruf “S” itu…???

Jawabannya baru saya temukan dalam film Superman The Movie yang diproduksi tahun 1978. Pada adegan-adegan awal film itu digambarkan ilmuwan Jor El (ayah Clark Kent) mengungkapkan bahaya yang dihadapi planet Crypton pada Dewan Crypton (Crypton Council). Nah, setiap anggota dewan yang berkumpul di acara itu menggunakan lambang-lambang di dada mereka. Dan lambang yang digunakan oleh Jor El adalah lambang sama seperti yang digunakan Superman di dadanya!

Jadi, lambang yang menyerupai huruf “S” di dada Superman itu bukanlah huruf awal atau singkatan dari nama Superman, melainkan lambang keluarga El dalam aksara Crypton!

Apa makna analogi yang cukup panjang lebar ini? Tidak lain hanya ini: Sesuatu yang melekat pada diri seseorang belum tentu sesuai seperti yang kita bayangkan!

Tiga Bab Tentang Orang Lain



Bab I

Perjalanan hidup yang terkadang begitu berat dan melelahkan ini seringkali menyadarkan kita akan arti pentingnya kehadiran orang lain. Keberadaan sahabat di sekeliling kita bisa memberikan motivasi saat kita mulai menyerah, meringankan beban batin saat kita dirundung duka, serta melengkapi kebahagiaan saat kita meraih cita-cita.

Begitu pentingnya orang lain dan arti persahabatan ini, sampai-sampai Samuel Johnson mengatakan, “Saya menganggap hari dimana saya tak berhasil membina suatu persahabatan baru sebagai hari yang hilang percuma…dan membiarkan persahabatan mati serta mendiamkannya jelas tidak bijaksana. Ini berarti, dengan sengaja kita membuang satu hal yang sebenarnya bisa merupakan hiburan dalam perjalanan hidup yang meletihkan ini.”


Bab II

Ketika mendengar seorang kenalan, sahabat, tetangga atau kerabat kita yang meninggal dunia, biasanya yang kemudian meluncur dari bibir kita adalah ucapan berduka. Setelah itu, kita pun biasanya jadi teringat segala kebaikan orang yang telah meninggal itu; tentang keramahannya, tentang sifat pemurahnya, tentang kesetiaannya dan tentang segala hal yang baik dari orang itu. Dan kita pun memujinya. Saya belum pernah mendengar ada orang yang menjelek-jelekkan seseorang yang baru saja meninggal. Selalu terdengar pujian untuk orang yang telah meninggal.

Tetapi, apakah kita harus selalu menunggu seseorang meninggal terlebih dulu hanya untuk memujinya? Rasanya, segala pujian itu akan lebih berharga ketika disampaikan pada saat orang tersebut masih hidup.


Bab III

Ada orang yang di mata kita baik, ada pula orang yang kita anggap buruk. Ini menyangkut penilaian-penilaian yang biasa menghiasi hidup kita. Ketika ada seseorang yang datang menawarkan suatu kebaikan, kita akan langsung menganggapnya baik, begitu pula ketika seseorang datang dengan membawa sesuatu yang tidak kita sukai, kita pun secara otomatis menganggapnya tidak baik.

Penilaian baik dan buruk seperti itu sebenarnya sesuatu yang subjektif, karena seseorang tidak bisa dinilai secara bagian perbagian seperti itu. Kalau kau diminta untuk menuliskan bagian-bagian yang baik tentang seseorang, kau akan bisa menuliskannya dengan lancar sebagaimana jika kau diminta untuk menuliskan bagian-bagian yang buruk dari seseorang. Bukankah begitu...?


Penutup

Pada dasarnya setiap orang baik, hanya saja kadangkala sesuatu dari dia tidak kita sukai. Kita mungkin saja bisa dengan kukuh mengatakan bahwa orang itu buruk, jahat dan tidak baik. “Itu realitas!” Kita bisa begitu yakin. Padahal, itu hanyalah “realitas” yang kita ciptakan sendiri.


Hati yang Terpuji

Dimana ada kasih, Tuhan ada.
Leo Tolstoy


Ada tiga hal penting dalam hidup ini. Yang pertama adalah kebaikan hati, yang kedua adalah kebaikan hati, dan yang ketiga adalah kebaikan hati juga.

Mother Theresa menasihati, “Tebarkan cinta kemana pun kau pergi; pertama-tama di dalam rumahmu sendiri. Berikan cinta pada keluargamu, pada seorang tetangga sebelah rumah. Jangan pernah membiarkan seseorang datang kepadamu, lalu pergi begitu saja tanpa merasa lebih bahagia dan lebih baik. Jadilah ekspresi hidup dari kebaikan hati Tuhan; kebaikan hati di wajahmu, kebaikan hati di matamu, kebaikan hati dalam senyumanmu, kebaikan hati dalam salam hangatmu.”

Kebaikan hati adalah ketidakmampuan untuk tetap tenteram ketika ada orang lain merasa resah, ketidakmampuan untuk tetap merasa nyaman ketika ada orang lain merasa gelisah, ketidakmampuan untuk tetap merasa senang ketika ada orang lain sedang gundah. Abraham Lincoln, presiden terbesar Amerika yang namanya tetap dikenang hingga hari ini, menyatakan, “Saya prihatin terhadap orang yang tidak bisa merasakan cemeti yang hinggap di punggung orang lain.”

Apa yang bisa kita tangkap dari kalimat yang diucapkan orang besar itu? Hanya ini; kebaikan hati. Kehidupan umat manusia di bumi ini selalu melibatkan orang lain, dan segala urusan kehidupan akan tenang sekaligus tenteram jika masing-masing dari manusia yang saling terlibat itu saling memiliki kebaikan hati.

Menggunakan kalimat Mahatma Gandhi, “Memberikan kebahagiaan kepada sebuah hati dengan sebuah tindakan, masih lebih baik daripada seribu kepala yang menunduk berdoa.”

Senin, 08 Februari 2010

Malaikat Sewaktu-waktu

Kebaikan hati merupakan milik kita
yang terbaik dalam bentuk yang cantik.
—Christopher Marlowe


Ketika menonton film action, saya sering takjub menyaksikan orang-orang dalam film itu bisa tenang-tenang saja meski jatuh dari kendaraan yang tengah melaju kencang, atau bahkan tak mengeluarkan banyak darah meski menderita luka parah. Di dunia nyata, tentu saja hal semacam itu tak terjadi. Kalau kita terjatuh dari kendaraan yang sedang melaju kencang, hampir bisa dipastikan akan mengalami patah tulang. Atau, kalau mengalami kecelakaan yang parah, hampir bisa dipastikan pula tubuh kita akan berdarah-darah.

Saya tahu betul hal itu, karena sudah mengalaminya beberapa kali. Karena itu pula, teman-teman atau bahkan keluarga saya sepertinya sudah tak terkejut lagi kalau mendengar saya (lagi-lagi) mengalami kecelakaan. Dan salah satu kecelakaan paling parah adalah yang akan saya ceritakan berikut ini.

Sore itu saya tengah memacu motor dengan sangat kencang di jalanan, ketika sebuah angkot menepi tiba-tiba di depan saya. Secara spontan, saya menghindari angkot itu agar tidak menabraknya, tetapi kemudian sebuah truk dari depan melaju menghantam motor saya. Saya terkejut, tak sempat menghindar, dan tubuh saya pun terlempar, kemudian terjatuh dengan keras membantur aspal. Beberapa detik kemudian, saya pingsan.

Ketika tersadar dari pingsan, saya mendapati diri saya terbaring dengan tubuh seolah remuk, di atas sebuah pembaringan rumah sakit. Satu tangan saya diikat papan—pasti ada tulang yang patah. Sedang tangan yang lain ditancapi jarum infus. Saya baru menyadari ternyata ada banyak luka di tubuh saya, dan tampak perban mengikat di sana-sini dengan rembesan darah atau obat merah. Saya tak mampu bergerak, tak bisa berbuat apa-apa, dan satu-satunya hal yang masih dapat saya lakukan sebagai manusia hanyalah bernapas dan berteriak.

Jadi itulah yang kemudian saya lakukan ketika merasakan leher saya seperti tercekik dan tenggorokan terasa kering, haus luar biasa. Orang yang pernah mengalami kecelakaan parah pasti tahu bahwa “cobaan” pertama bagi korban kecelakaan adalah rasa haus luar biasa ketika tersadar dari pingsan. Meski sudah pernah mengalaminya, tetapi saya tetap saja tidak tahan dengan “cobaan” itu. Maka saya pun berteriak-teriak.

Saya berteriak, memanggil dokter, suster, perawat, atau siapa saja, untuk meminta minum. Tetapi tidak ada yang datang. Saya kembali berteriak, dan seorang suster datang menengok. Saya mengatakan rasa haus yang saya derita, dan suster itu mengangguk lalu pergi. Saya menunggunya sampai terasa satu abad, dan dia tidak juga datang. Mungkin karena keluhan rasa haus semacam itu sudah menjadi hal biasa bagi setiap korban kecelakaan, maka para dokter atau suster atau perawat pun sudah terbiasa pula mendengar teriakan semacam itu, hingga tidak terlalu memusingkan.

Sementara rasa haus di kerongkongan saya semakin menyiksa, leher saya terasa makin kering dan tercekik. Seumur hidup, baru kali itu saya merasakan rasa haus yang luar biasa seperti itu. Puasa di terik siang yang paling panas belum sampai membuat leher tercekik seperti itu, tapi rasa haus waktu itu benar-benar membuat saya amat tersiksa, dan saya merasa bisa mati bukan karena kecelakaan yang saya alami, tapi karena haus yang saya rasakan ini.

Maka saya pun kembali berteriak, kali ini dengan suara yang lebih parau karena leher yang makin kering, dan sekali lagi tak ada yang datang. Saya kembali berteriak dan makin putus asa, dan mengutuk mengapa saya harus masuk ke rumah sakit ini, dan sekali lagi tak ada yang datang. Tubuh saya semakin lemah, luka-luka yang saya rasakan terasa semakin pedih, dan saya mulai menghitung detik jam untuk menjemput kematian. Pandangan mata saya makin kabur, kepala terasa semakin berat, dan mata menjadi sulit dibuka. Mungkin saya telah ditakdirkan mati di sini, bersama luka-luka kecelakaan dan rasa haus yang mencekik kerongkongan ini.

Di titik nadir semacam itu, ketika seseorang telah berada di sebuah tempat antara hidup dan mati, saya baru menyadari bahwa ternyata apa yang saya kejar mati-matian setiap hari itu tidak ada gunanya. Bahwa semua kesibukan, jadwal kerja harian yang penuh, dan agenda yang menumpuk, semuanya sia-sia, karena ternyata yang paling saya butuhkan detik itu hanyalah segelas air.

Saya mulai menyadari bahwa semua acara dan rutinitas yang biasa saya jalani dengan terburu-buru itu tak ada gunanya lagi. Saya tak membutuhkan semua itu, tak menginginkan semua itu, karena kini yang paling saya butuhkan dan saya inginkan hanyalah segelas air untuk meredakan rasa haus di kerongkongan, segelas air yang bisa membantu agar leher saya tak tercekik seperti ini, untuk melepaskan saya dari jerat kematian.

Ketika detik-detik jam berlalu, dan saya merasa mulai pasrah menerima takdir kematian, seseorang tampak memasuki ruangan tempat saya terbaring. Apakah itu malaikat yang akan mencabut nyawa saya? Pandangan mata saya sudah kabur, dan tak bisa melihat dengan jelas lagi. Saya tak tahu apakah itu manusia atau malaikat atau siapa. Dan sosok itu tampak memperhatikan keadaan tubuh saya, kemudian duduk di dekat pembaringan, dan bertanya lembut.

“Kamu baru kecelakaan?” Suara seorang lelaki.

Saya hanya sanggup mengatakan, “Ya,” dengan suara lirih.

“Keluargamu sudah dikabari?” tanyanya lagi.

Dengan sama lirihnya saya menjawab, “Saya tidak tahu.”

Orang itu kemudian berkata, “Tadi saya mendengarmu berteriak-teriak. Ada yang kamu butuhkan?”

Detik itu rasanya saya ingin kembali berteriak dan menjerit bahwa saya ingin air, ingin minum, namun yang kemudian keluar dari mulut saya hanyalah bisikan lirih, “Saya haus....”

Orang itu lalu bangkit, dan berkata menenangkan, “Tunggulah sebentar. Saya akan carikan minum untukmu.”

Dan orang itu tidak sama seperti dokter atau suster atau para perawat yang kemudian menghilang tanpa pernah kembali. Tidak lama kemudian, dia kembali memasuki kamar saya dengan membawa sebotol air mineral yang masih tersegel rapat. Dia membuka tutup botolnya, memasukkan sedotan ke dalamnya, kemudian membantu saya duduk bersandar pada bantal. Dia memegangi botol itu, mendekatkannya pada mulut saya agar saya bisa mulai minum.

Ketika sedotan plastik itu masuk ke dalam mulut saya, dan air dalam botol itu mulai mengalir ke dalam kerongkongan, detik itu pula saya merasa kembali hidup. Hanya dalam waktu singkat, seluruh air dalam botol itu telah berpindah ke tubuh saya, dan pandangan mata saya mulai jernih kembali. Saya dapat melihat dengan jelas lagi, dan ternyata sosok yang berada di dekat saya bukan malaikat. Dia manusia, seorang lelaki, mungkin berusia sekitar 35 atau 40 tahun. Dia tersenyum saat melihat botol telah kosong, dan menawarkan kalau saya ingin minum lagi. Saya menggelengkan kepala. Saya sudah merasa cukup, rasa haus telah terobati.

Lelaki itu kembali membantu saya berbaring, lalu duduk di dekat saya. Dia berkata, “Tadi saya sudah menanyakan pada dokter, apakah keluargamu sudah dikabari, dan katanya mereka sudah menghubungi keluargamu. Mungkin tak lama lagi keluargamu akan datang.”

Kalau saja ada kata-kata atau kalimat yang bisa mewakili rasa syukur di hati saya waktu itu, saya ingin mengatakannya. Namun saya tak berhasil menemukan kata-kata atau kalimat itu, hingga kemudian yang dapat saya ucapkan hanyalah bisikan, “Terima kasih.”

Lalu lelaki itu bangkit kembali. “Saya harus menemani ibu saya lagi di kamar lain. Kamu tidak apa-apa saya tinggal?”

Saya menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum, dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Lelaki itu pun berlalu, dan saya mulai bisa berbaring dengan tenang.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001—lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dan sejak peristiwa itu hingga saya menuliskan kisah ini, saya belum pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Saya tidak sempat menanyakan namanya, dan dia pun mungkin tidak tahu nama saya. Kami tidak saling mengenal. Dan sekarang, ketika saya kembali mengenang peristiwa itu, kadang-kadang saya membayangkan, apakah lelaki itu malaikat yang sengaja datang menolong saya...? Dia hanya datang sekali, hadir dalam waktu sekejap, meskipun keberadaannya telah memberikan pertolongan yang sangat besar bagi saya. Namun saya tak pernah tahu siapa dia.

Tentu saja dia bukan malaikat. Dia manusia, hanya saja memiliki jiwa selembut malaikat. Dan di dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang kita menjumpai orang-orang semacam itu. Orang-orang dengan hati malaikat yang rela mengulurkan tangan pada orang-orang yang tidak dikenal dan tidak mengenalnya. Orang-orang yang secara tulus ikhlas memberikan bantuan pada yang membutuhkan tanpa ribut-ribut dan hanya dalam keheningan. Orang-orang yang datang ketika orang lain pergi dan berlalu....

Dan, saya pun kemudian menyadari, bahwa dalam kehidupan ini terkadang ada waktu-waktu ketika kehidupan meminta kita untuk menjadi malaikat bagi orang lain, ketika kita melihat tangan menengadah, ketika mendengar jerit permintaan tolong, ketika mendengar rintih kesakitan, ketika kita melihat derita dan kesusahan. Di waktu-waktu itu, kehidupan memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi malaikat sewaktu-waktu.

Merawat Peradaban

Peradaban adalah suatu gerakan dan bukan keadaan,
suatu perjalanan dan bukan pelabuhan.
Arnold J. Toynbee


Di zaman ketika kehidupan begitu kompetitif dan individualis seperti sekarang ini, manusia seperti sudah kehilangan rasa persaudaraan dengan sesama manusia lainnya. Masing-masing dari kita sudah terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, hingga sama sekali tak tahu atau tak peduli dengan orang lain. Dan di sela-sela waktu itu, kita dibombardir oleh berita-berita di koran, siaran-siaran di televisi, tentang aneka bentuk kejahatan manusia kepada sesama manusia lainnya.

Oh, itu saja belum cukup. Di sudut-sudut tersembunyi bumi ini, ada orang-orang yang juga mempersiapkan senjata-senjata mematikan untuk memusnahkan manusia lainnya. Mereka menciptakan nuklir, peluru kendali, pesawat penghancur, dan virus-virus berbahaya untuk menghancurkan manusia lainnya, seperti mereka membunuh lalat-lalat. Lengkaplah sudah peradaban ini berdarah-darah, dan manusia seakan memang telah menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Dr. Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang mengawasi penciptaan bom atom yang pertama, diminta hadir di hadapan panitia Kongres untuk menjelaskan kekuatan bom atom yang telah diciptakan itu. Mereka bertanya kepadanya apakah ada penangkal terhadap senjata yang mengerikan yang baru saja diciptakan itu.

“Tentu saja,” jawab Dr. Robert Oppenheimer.

“Dan apakah penangkal itu?” seseorang bertanya.

Ruangan seketika sepi, hadirin senyap, semuanya menunggu jawaban.

“Perdamaian.” Ilmuwan terkemuka itu menjawab.

Hanya perdamaianlah satu-satunya penangkal senjata mengerikan bernama bom atom yang mampu meluluh-lantakkan sebuah negara dan memusnahkan jutaan orang dalam sekejap. Perdamaian yang lebih dari sekadar menghentikan pertengkaran dan permusuhan. Lebih dari sekadar penghentian sementara perang dingin atau perang panas.

Perdamaian yang mampu mengalahkan kekuatan menghancurkan senjata pemusnah itu adalah perdamaian yang dibangun atas dasar kesadaran bahwa satu manusia dengan manusia lainnya adalah saudara; sebuah perdamaian dan kedamaian yang menghadirkan Tuhan di tengah-tengahnya, untuk menjalin hubungan antara sesama manusia dalam hubungan itu.

Tidak lama setelah bom atom yang pertama dikembangkan, Albert Einstein menyatakan dalam sebuah acara pertemuan, “Kekuatan yang dilepaskan oleh atom sudah mengubah segala-galanya, kecuali cara kita berpikir. Kita harus memiliki cara berpikir yang benar-benar baru kalau kita menginginkan kelangsungan hidup umat manusia.”

Melihat wajah Einstein yang begitu keruh, seseorang kemudian bertanya, “Apakah yang Anda maksud adalah tidak akan ada kedamaian lagi?”

“Ya,” jawab Einstein dengan air muka yang makin keruh. “Selama ada manusia, maka juga akan ada permusuhan, kedengkian, iri hati, perseteruan dan peperangan.”

Ketika pesawat Apollo 11 tinggal landas meninggalkan Bumi menuju Bulan, mereka membawa semboyan, “Kami datang dalam damai untuk semua umat manusia.”

Semboyan itu tertera pada plakat yang kemudian ditinggalkan di sana, menancap di permukaan Bulan. Para astronot yang mendarat di sana merasakan seolah tengah berada di sebuah samudera ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Neil Amstrong dan Edwin Aldrin mengakui bahwa mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang luar biasa damai di sana, di atas Bulan. Kita tahu mengapa? Karena di sana belum pernah ada manusia sebelumnya!

Bumi yang kita tinggali ini memerlukan berjuta-juta maaf dan tindakan mengampuni, serta pertaubatan yang sungguh-sungguh agar setiap kebencian, dendam, kejengkelan, iri hati, dan kemarahan, bisa terkuras habis.

Peradaban yang tengah kita langsungkan ini membutuhkan kesadaran yang lebih jernih dari hati kita masing-masing untuk menyadari bahwa sudah saatnya untuk menjernihkan kembali nurani kita agar kembali menjadi manusia seutuhnya, dengan hati yang tulus, dengan jiwa yang lembut.

Mungkin kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk melakukan itu, namun jika masing-masing dari kita punya kesadaran yang sama, kemudian masing-masing dari kita saling memperbaiki diri sendiri dengan hidup yang lebih baik, tentunya bumi yang kita tinggali ini bisa lebih membahagiakan untuk ditempati, dan peradaban yang kita jalani ini bisa lebih menyenangkan untuk dihayati.

Mari kita hadirkan kembali Tuhan dalam hidup kita, di bumi kita, dalam peradaban kita.

Babad Buruk Peradaban

Sejarah perkembangan manusia adalah perkembangan sejarah yang
paling menakjubkan di banding mahluk hidup manapun di bumi ini.
Perkembangan peradaban manusia dari awal adanya manusia
hingga saat ini adalah sesuatu yang tidak lahir begitu saja.
Anonimous

Peradabanlah yang membuatmu sakit.
Paul Gaugin


Saya sering kali membayangkan peradaban hidup kita saat ini adalah suatu peradaban yang mengerikan. Bagaimana tidak mengerikan? Pagi hari, saat kita baru selesai sarapan, pengantar koran sudah mengantarkan berita hari ini, dan kita bisa mendapatkan sekian banyak berita kejahatan yang telah terjadi kemarin atau malam tadi—pembunuhan, perkosaan, perampasan, dan aneka macam kejahatan lain. Kemudian siangnya, saat kita tengah makan siang, mata kita pun disuguhi acara di televisi yang menayangkan begitu banyak kejahatan lagi yang terjadi hari ini.

Dan acara itu terkadang disiarkan secara live, sehingga kita bisa menyaksikan bagaimana sibuknya para polisi dengan mobil dan motor-motor patroli mereka mengejar-ngejar penjahat yang baru saja merampok, membunuh, mencuri, atau mencopet. Terkadang bahkan sampai terjadi adegan baku tembak. Dan sambil menyantap makan siang, kita pun menikmati sajian berita itu seperti menikmati sebuah tontonan film seru yang mendebarkan.

Kejahatan telah dikemas menjadi suatu acara yang menarik untuk ditonton, dan para penjahat yang kejam telah berubah menjadi semacam tokoh atau bintang dalam film-film seru yang menegangkan. Bukankah ini peradaban yang mengerikan?

Mari kita mencoba melihat fenomena ini dari sudut pandang psikologis. Dulu, berita menyangkut kejahatan tidak diekspos secara besar-besaran atau dikemas dengan manis seperti sekarang. Dulu, nama-nama para penjahat, para tersangka atau para terdakwa, biasanya disamarkan dengan inisial, sementara foto-foto mereka diburamkan atau ditutup bagian matanya. Dulu, orang masih berpikir seribu kali atau bahkan mungkin sejuta kali untuk melakukan kejahatan, karena dulu image kejahatan masih begitu mengerikan.

Tetapi sekarang, zaman sudah berubah dan image kejahatan pun sekarang rupanya ikut berubah. Sekarang, kejahatan dan perilaku keburukan manusia telah menjadi sesuatu yang ‘wajar-wajar saja’. Begitu wajarnya, sampai-sampai koran dan majalah dan tabloid begitu asyik menurunkan berita pembunuhan seperti memuat cerita silat bersambung, memberitakan fakta perkosaan seperti menuliskan cerita porno yang seru, sementara televisi begitu asyik menyiarkan berita kejahatan yang beraneka ragam seperti menayangkan acara humor atau kisah serial yang menyenangkan dan mengasyikkan.

Kalau dulu orang masih berpikir seribu kali atau sejuta kali setiap kali akan melakukan kejahatan, sekarang mungkin orang hanya berpikir seratus kali atau mungkin sepuluh kali atau bahkan mungkin tak berpikir-pikir lagi ketika akan melakukan suatu kejahatan terhadap orang yang lainnya.

Mengapa? Karena kejahatan sudah menjadi sesuatu yang wajar, karena keburukan manusia terhadap manusia lainnya sudah bukan hal aneh atau haram lagi, karena ternyata ada begitu banyak orang lain yang juga melakukan kejahatan yang sama, dan mereka enjoy-enjoy saja; masuk koran, masuk televisi, ditonton orang, dan kita pun sudah merasa biasa dengan hal-hal semacam itu.

Jadi membunuh orang itu wajar-wajar saja. Merampas, memaksa, atau memperkosa orang lain itu biasa-biasa saja. Mencuri, merampok, mencopet, dan melukai orang lain itu hal yang biasa. Sekali lagi, bukankah ini fenomena yang mengerikan...???

Mungkin yang saya tuliskan ini terkesan ekstrim. Tetapi bukankah, dalam skala besar ataupun kecil, peradaban kita saat ini tengah menuju atau bahkan telah berada dalam kondisi semacam itu?

Hari ini, orang sudah tak bisa bersikap ramah kepada orang lain yang tak dikenalnya. Di zaman sekarang, orang lebih mudah curiga kepada siapa pun yang tak pernah dilihatnya. Ini fenomena kita, dan hal semacam itu tidak hanya melanda kota-kota besar yang konon memang individualis, namun juga telah menghinggapi kehidupan orang-orang yang hidup di kota-kota kecil, atau di tempat-tempat yang selama ini dikesankan ‘ramah’.

Keramahan dan kebaikan serta ketulusan hati sudah menjadi barang yang amat mahal nilainya di hari-hari ini, lebih mahal dari harga sembako yang terus melangit. Seperti pepatah yang dulu pernah populer, homo homini lupus, manusia sekarang memang seperti telah menjadi serigala bagi manusia lainnya. Mereka saling bunuh, saling paksa, saling rebut, saling renggut, saling menghancurkan, dan peradaban kita saat ini menganggap semua hal itu sebagai sesuatu yang ‘wajar-wajar saja’.

Sampai kapan babad peradaban mengerikan ini akan berlangsung...?

Life’s Paradox

Siapa yang berusaha menyelamatkan hidupnya sendiri
akan kehilangan hidupnya, tetapi siapa yang
memberikan hidupnya akan mendapatkannya.



Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk memahami filosofi itu. Tetapi kemudian saya melihat bahwa tepat seperti itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Siapa pun yang menutup pintu hatinya terhadap orang lain demi menyelamatkan kehidupannya sendiri, maka ia akan kehilangan kehidupannya. Dan siapa pun yang mau memberikan hidupnya serta membuka pintu hatinya untuk orang lain, ia akan mendapatkan kehidupannya.

Contoh paling nyata menyangkut hal ini adalah Mother Theresa, yang membaktikan seluruh hidupnya untuk orang-orang lain yang menderita. Dia hidup di jalanan, di tempat-tempat kotor, dan bergaul dengan para penderita kusta. Secara logika, tentunya Mother Theresa akan tertulari penyakit kusta pula, apalagi mengingat tempat yang biasa dihuninya bersama orang-orang itu bukan tempat steril seperti di rumah sakit. Tetapi apakah begitu kenyataannya? Tidak. Sampai usianya yang amat tua, Mother Theresa tidak pernah tertular penyakit, bahkan tidak pernah menderita sakit yang parah.

Sebaliknya, John D. Rockefeller, seorang multi-milyuner yang mendirikan perusahaan Standard Oil, hidup dengan amat mengenaskan karena usahanya yang mati-matian dalam mempertahankan kehidupannya sendiri. Ia melakukan monopoli dagang, menghancurkan banyak perusahaan pesaing, dan terus menumpuk milyaran dolarnya untuk dirinya sendiri. Secara finansial, kehidupannya benar-benar terjaga karena kekayaannya tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Ia mengkonsumsi makanan sehat dengan gizi dan nutrisi yang cukup. Ia tinggal di rumah besar yang mewah dan bersih, pendeknya ia terjaga dari segala macam hal yang bisa merenggut kehidupannya.

Tetapi ada satu hal yang tak bisa dielakkannya; dia menuai banyak kebencian dan sakit hati dari banyak orang yang pernah dilukainya. Hal itu kemudian menggerogoti kesehatannya, persis seperti rayap menghancurkan kayu. Rockefeller yang perkasa itu ambruk dihancurkan oleh kerakusannya sendiri, dan dalam usia yang belum mencapai 50 tahun ia telah menjadi sosok tengkorak hidup. Dia hanya bisa berbaring lemah di atas tempat tidur, dengan hanya kulit membalut tulang, dan hanya bisa mengkonsumsi bubur gandum yang diasamkan. Seluruh tubuhnya menyusut karena penyakit, dan uangnya yang milyaran dolar tak mampu menolongnya.

Dalam skala besar kita bisa menyaksikan dua orang itu. Dalam skala kecil kita bisa mempelajarinya dari kehidupan orang-orang di sekeliling kita. Kerakusan demi kehidupan diri sendiri akan menghancurkan; cinta kasih yang diberikan secara tulus akan membangun dan menumbuhkan. Lebih dari itu, kehidupan yang kita berikan kepada orang lain bukan hanya akan menolong kehidupan mereka, tetapi juga akan membuat kehidupan kita dikenang karena bermakna.

Sekali lagi, siapa saja yang berusaha menyelamatkan hidupnya sendiri akan kehilangan hidupnya, tetapi siapa saja yang memberikan hidupnya akan mendapatkannya.

Dingin dalam Hati



Ada lima orang yang tidak saling kenal berteduh dalam sebuah goa, sementara di luar hujan deras mengguyur dan halilintar menyambar-nyambar. Rasa dingin menggigit tulang, dan lima orang itu tampak menggigil dengan bibir membiru. Untungnya, di dalam goa itu menyala api unggun yang cukup membantu untuk menghangatkan mereka dari kedinginan.

Seiring waktu yang merangkak, kayu bakar yang menyalakan api unggun itu pun perlahan namun pasti semakin habis dan api semakin mengecil. Masing-masing dari lima orang yang berteduh di dalam goa itu memegang satu ikat kayu bakar, namun masing-masing tak ada yang mau merelakan kayu bakarnya untuk menyalakan kembali api yang hampir mati. Masing-masing dari lima orang itu begitu kukuh mempertahankan miliknya dan tak mau memberikannya sebelum orang lain melakukan hal itu.

Sementara api yang menyala di ujung goa itu semakin kecil dan semakin meredup, dan mereka berlima semakin merasakan kedinginan sekaligus kegelapan, namun tetap saja tak ada yang mau merelakan miliknya untuk menghangatkan dirinya sendiri dan orang lain. Api itu semakin mengecil dan semakin meredup, hingga kemudian kayu yang terbakar menjadi habis, dan api itu pun padam. Kedinginan semakin menusuk tulang, dan lima orang itu semakin menggigil dalam kegelapan.

Lima orang itu kemudian mati kedinginan dalam goa itu. Mereka bukan mati akibat udara dingin di luar—mereka mati karena dingin dalam hati.


Kegembiraan Berbuat Baik



Dunia ini adalah milik kita. Sebagaimana setiap orang memiliki kehidupannya, setiap orang juga ikut memiliki dunia ini. Dan di dunia ini, di dalam setiap kesempatan hidup yang kita miliki, ada begitu banyak waktu dan kesempatan untuk melakukan hal-hal baik, perbuatan-perbuatan yang mulia. Dalam lingkup yang lebih kecil, kita dapat mulai berbuat kebajikan itu pada orang-orang yang kita jumpai.

Apa gunanya kita berbuat seperti itu? Untuk mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar! Setiap orang yang membutuhkan yang kita jumpai adalah kesempatan untuk berbuat kebajikan. Dan kita akan mudah menemukannya, kan? Di halte-halte, di pom bensin, di perempatan lalu-lintas, di halaman komplek supermarket atau swalayan, di terminal, di stasiun dan di hampir semua lingkungan kehidupan, kita selalu menjumpai orang-orang yang membutuhkan. Sekali lagi, itu adalah kesempatan bagi kita untuk melakukan kebajikan.

Sekali lagi, untuk apa berbuat semacam itu?

Baiklah, kita tanyakan hal itu kepada orang bijak bernama Aristoteles. Filsuf ini mengatakan, “Berbuat baik kepada orang lain bukanlah suatu kewajiban, tetapi suatu kegembiraan, sebab perbuatan semacam itu menambah kesehatan serta memperbesar kebahagiaan kita.”

Apakah itu masih kurang? Sekarang mari kita bertanya kepada orang bijak modern bernama Benjamin Franklin. “Bila kau berbuat baik kepada orang lain,” kata Franklin, “kau berbuat paling tepat untuk kesehatan jiwamu.”

Meskipun kita hidup dari apa yang kita dapatkan, tetapi ganjaran yang sejati kita peroleh dari apa yang kita berikan. Kita tidak dapat menikmati hari-hari yang memuaskan, bahkan meskipun kita mungkin tergolong sukses menurut tolok ukur yang berlaku di masyarakat, kecuali bila kita telah berbuat sesuatu bagi seseorang yang tidak akan pernah mampu membalas perbuatan kita.

Tujuan hidup ini bukan sekadar untuk menang. Kita hidup agar berkembang dan saling berbagi. Kita akan memperoleh kepuasan lebih banyak dari kebahagiaan yang kita datangkan ke dalam hidup orang lain daripada sekadar yang akan kita dapatkan. Selain itu, apapun yang kita berikan kepada orang lain akan kita dapatkan kembali, yang kita kirimkan kepada orang lain akan kembali kepada kita, seperti juga apapun yang kita tanam, kelak kita pun akan menuai hasilnya.

Dengan kata lain, apabila kita memberikan kebaikan hati kita kepada orang lain, maka Tuhan pun akan memberikan yang terbaik untuk kita. Apabila kita mengulurkan tangan untuk orang lain, maka kehidupan pun akan mengulurkan tangannya untuk hidup kita.

Berbuat baik memang tidak perlu terburu-buru, tetapi...kita juga tidak pernah tahu kapan itu akan terlambat.


Hidup yang Mengalir



Tangan yang memberikan bunga mawar
kepada orang lain, akan ikut berbau harum.

Ada dua laut di Palestina. Laut yang satu memiliki air yang segar dan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Tanah di tepiannya kaya dengan pohon-pohon hijau yang menjulurkan cabang-cabangnya di atasnya dan juga akarnya yang menyerap air dari laut ini. Airnya yang bening tampak berkilau saat tertimpa sinar matahari, dan banyak orang yang membangun rumahnya dekat dengan laut ini. Burung-burung pun membangun sarangnya dekat laut itu, dan setiap jenis kehidupan menjadi lebih bahagia berkat laut yang pertama ini.

Sementara laut yang kedua memiliki air yang keruh. Tidak ada ikan yang hidup di dalamnya, tak ada dedaunan yang melambai dengan sejuk, tak ada suara burung yang berkicau, juga tak ada suara canda ria anak-anak yang bahagia. Orang-orang selalu menghindari rute laut ini, kecuali jika terdesak oleh suatu hal tertentu. Udara di atas laut yang kedua ini juga terasa berat, kotor, dan baik manusia maupun binatang atau unggas tidak ada yang meminum airnya.

Apa yang menjadikan perbedaan besar pada dua laut yang berdekatan itu? Bukan karena air yang mengalirinya. Bukan karena kondisi tanahnya, juga bukan karena negara dua laut ini yang berbeda. Yang menjadikan perbedaan di antara dua laut itu adalah; laut pertama, yakni Laut Galilea, menerima tetapi tidak menahan air yang diterimanya. Setiap tetes air yang mengalir kepadanya ia alirkan keluar dirinya. Memberi dan menerima berlangsung secara seimbang.

Sementara laut yang kedua berbeda. Laut ini hanya menimbun semua yang mengalir kepadanya dan tak pernah mengalirkannya keluar. Setiap tetes air yang diperolehnya, ditahannya. Karenanya, tidak ada air yang mengalir, dan laut ini pun dinamakan Laut Mati.

Sebagaimana ada dua jenis laut di Palestina, begitu pula halnya ada dua jenis manusia di dunia. Semakin banyak kita memberi kepada orang lain tanpa harapan untuk mendapatkan balasan, semakin banyak pula berkat yang akan kita peroleh dari hidup kita. Begitu pula sebaliknya.

Orang yang hanya mau mengambil tanpa mau memberi, mungkin berumur panjang, tapi sesungguhnya tidak pernah hidup. Dan hanya ada satu hidup yang segera berlalu; hanya yang dilakukan bagi orang lainlah yang akan tinggal.

Ristiana, seorang mahasiswi tingkat sarjana yang menjadi salah satu sahabat saya, mengalami kesedihan yang teramat sangat ketika saudara kembarnya, Ristiani, meninggal dunia pada satu semester karena kecelakaan. Pada awal semester berikutnya dia mengatakan kepada kami, “Saya telah mempelajari bahwa setelah kita tak ada lagi, kita tidak akan dikenang karena hal-hal yang kita lakukan kepada diri sendiri, melainkan karena hal-hal yang kita lakukan kepada orang lain.”


Sabtu, 06 Februari 2010

Keyakinan yang Keliru



Pernahkah kau menyadari, atau setidaknya membayangkan bagaimana akibat dari sebuah keyakinan yang salah atau keliru? Dari begitu banyak kasus yang pernah terjadi, kita bisa menyaksikan banyak orang yang terbunuh hanya karena keyakinan yang salah. Contoh paling nyata dari hal ini adalah tenggelamnya kapal Titanic yang telah menewaskan 1513 orang hanya karena keyakinan yang salah ini.

Titanic mulai berlayar pada bulan April 1912. Kapal super besar ini dirancang sebagai kapal yang tak mungkin tenggelam; terbuat dari baja, serta memiliki dasar ganda dan 16 kompartemen anti bocor. Hampir semua orang yakin bahwa ini kapal paling aman yang pernah dibuat, dan keyakinan inilah yang dipegang teguh oleh perancangnya, ahli mesinnya, karyawannya, ABK kapal, pemilik, dan penumpang, termasuk pula sebagian besar masyarakat umum. Keyakinan bahwa Titanic tidak akan pernah tenggelam inilah yang membawa kapal ini ke akhir yang tragis.

Titanic berangkat dari Inggris bertujuan untuk memecahkan rekor berlayar, dengan tujuan ke New York City. Umumnya, kapal yang berlayar di lautan membawa jumlah sekoci untuk menampung semua yang ada di kapal. Tapi tidak untuk Titanic. Kapal ini hanya membawa sekoci yang hanya mampu memuat sepertiga dari seluruh penumpang. Dan lagi, tidak ada alat yang praktis untuk digunakan evakuasi. (Sekali lagi, mereka sudah terlalu yakin bahwa kapal ini tidak mungkin tenggelam; jadi untuk apa mempersiapkan alat-alat penyelamatan?).

Log kapal awalnya mencatat peringatan akan adanya gunung es dalam steamer lane dalam waktu tiga hari mendatang. Pesan ini tidak digubris. Peringatan kedua dikirimkan, namun sang operator radio tidak memberi tanggapan juga. Mereka tetap teguh dalam keyakinan bahwa Titanic yang super besar ini tidak mungkin tenggelam.

Peringatan berikutnya muncul beberapa jam kemudian, namun kapten kapal ataupun manajernya tidak juga khawatir. Titanic sedang melaju penuh dengan kecepatan 22 knot per-jam. Menjelang pukul 21:30 malam, Titanic merekam lima peringatan akan kehadiran gunung es, dengan laporan terakhir yang menyebutkan kapal akan mengalami tabrakan. Tapi tindakan waspada yang dilakukan hanyalah menyuruh penjaga malam untuk tetap waspada. Dua jam kemudian, pada pukul 11:32 malam, pesan berikutnya diudarakan ke Titanic oleh seorang pelaut di sebuah kapal yang kebetulan berada tak jauh dari tempat Titanic melaju, tapi kapten kapal tetap saja tak menggubris. Dan Titanic, dengan sebongkah besar kebanggaannya akan kapal yang mustahil tenggelam pun terus melaju.

Pada pukul 11:40 malam, sebuah gunung es yang bukan main besarnya terlihat di depan…namun segalanya terlambat sudah. Titanic menabrak bongkahan gunung es yang tidak bergerak ini, dan bagian dasarnya yang dari baja menerima hantaman yang sangat keras. Pintu yang seharusnya anti bocor dan bulkhead-nya tidak dapat menahan serangan, dan Titanic yang katanya mustahil tenggelam itu pun mulai merunduk dan tenggelam. Sekoci dilempar ke air, namun hanya mampu menampung sedikit penumpang. Sinyal permintaan bantuan dikirimkan, namun tak ada yang terlalu menggubris karena dikira Titanic benar-benar tak mungkin tenggelam.

Dan Titanic pun akhirnya benar-benar lenyap dari atas perairan dalam waktu tak lebih dari tiga jam. Tenggelamnya Titanic dan tragedi besarnya adalah hasil dari sebuah keyakinan yang keliru…


Tiga Pertanyaan Penting

Legenda Leo Tolstoy dalam The Three Questions memberikan kepada kita tiga pertanyaan mendasar menyangkut kehidupan ini. Tiga pertanyaan itu adalah; Kapan saat yang tepat untuk melakukan hal yang tepat? Siapakah orang yang paling penting? Dan, masalah apakah yang paling penting serta membutuhkan prioritas utama?

Coba kita renungkan ketiga pertanyaan mendasar menyangkut hidup itu. Kapankah menurutmu saat yang tepat untuk melakukan hal yang tepat? Siapakah menurutmu orang yang paling penting? Dan masalah apakah menurutmu yang paling penting serta membutuhkan prioritas utama?

Legenda itu memberikan jawabannya, bahwa hanya ada satu waktu yang paling penting, yaitu saat ini. Kita tidak pernah memperoleh jaminan bahwa besok kita masih tinggal di dunia ini, kan? Sedangkan orang yang paling penting adalah seseorang yang saat ini bersama kita. Dan perbuatan paling penting adalah berbuat baik kepadanya. Keberadaannya adalah kesempatan bagi kita untuk berbuat sesuatu yang baik, yang berharga, bagi sesama kita. Tidak ada yang tahu bahwa kita akan bertemu lagi dengannya di lain hari, kan?

Berbuat baik memang tidak perlu terburu-buru. Tetapi, kita pun tak pernah tahu kapan itu akan terlambat.
 
Selasa, 02 Februari 2010

Cewek-cewek Perlu Baca Ini



Saya menulis catatan ini dengan hati yang lagi senang. Pasalnya, buku baru saya yang sudah lama saya tunggu-tunggu akhirnya akan terbit juga. Tadi sore editor di GagasMedia (yang akan menerbitkan buku itu) mengirim email yang isinya menyebutkan kalau buku itu akan segera terbit. Oh, akhirnyaaa…

Oke, mungkin kau agak heran dan bertanya-tanya, mengapa saya harus begitu senang hanya karena sebuah buku yang akan terbit? Bukannya itu sudah biasa bagi saya?

Benar, menunggu buku baru yang akan terbit bukanlah hal baru bagi saya, karena setidaknya saya telah mengalaminya lebih dari sepuluh kali. Tetapi buku yang akan diterbitkan GagasMedia ini bisa dibilang buku saya yang benar-benar “lain”—berbeda dari buku-buku saya sebelumnya. Dari judulnya saja, kau pasti sudah dapat memperkirakan kalau isi buku ini pastilah benar-benar spesial. Coba dengar, 100% Rahasia Cowok.

Di antara semua buku yang pernah saya tulis, buku 100% Rahasia Cowok ini adalah buku pertama yang saya tulis dengan cara yang berbeda. Tidak perlu mengerutkan kening, isi buku itu dapat dicerna dengan mudah. Karena segmen pembaca yang dituju adalah remaja, buku itu pun ditulis dengan bahasa yang sangat cair, meskipun tetap menggunakan gaya saya.

Apa sih isi buku itu…? Semuanya tentang cowok! Apa saja yang kaubayangkan—bahkan apa saja yang belum pernah kaubayangkan—tentang cowok, semua ada di buku itu. Dari hal-hal biasa—sampai hal-hal spesial dan rahasia—tentang psikologi cowok, semuanya ada di situ. Jadi, buat cewek-cewek yang selama ini tak kenal lelah berkirim email ke saya hanya untuk menanyakan hal-hal menyangkut rahasia cowok (hoho!), buku ini benar-benar ditujukan untuk kalian!

Nanti sampul buku dan sinopsisnya akan saya posting di blog ini kalau bukunya sudah terbit. Ditunggu ya…


Panggilan dari Facebook



Beberapa tahun yang lalu, ketika Friendster masih menjadi “primadona” sebagai situs jejaring sosial di internet, saya banyak mendapat email undangan dari teman-teman di Friendster untuk juga memiliki account di sana. Hari ini, ketika situs jejaring sosial sudah menjadi semacam “kebutuhan wajib” bagi setiap orang yang beradab, undangan di email pun semakin banyak dari berbagai tempat, dan yang terbanyak adalah dari Facebook.

Facebook memang sebuah pesona sekaligus sedang menjadi primadona. Meski banyak pula yang menggunakan situs jejaring sosial lain semisal Hi5 atau MySpace, tetapi Facebook (sepertinya) tetap yang paling populer. Apakah saya tidak tertarik untuk ikut menggunakannya...?

Sejujurnya, saya memang tertarik. Siapa yang tidak tertarik jika kita bisa memiliki sebuah sarana untuk dapat berkenalan, berhubungan bahkan berinteraksi dengan siapapun yang kita inginkan dengan cara yang mudah? Facebook memberikan semua yang dibutuhkan orang. Melalui sarana itu, orang bisa menjalin persahabatan baru, mencari kenalan, atau menyambung kembali persahabatan dengan kawan lama yang telah terpisah. Facebook, sebagaimana orangtua dulu menyatakan, “mampu menyambung tulang yang berserakan”.

Tetapi saya pun sadar bahwa saya belum tentu mampu mengelola account saya dengan baik jika saya membuka account di Facebook. Setiap kali terhubung dengan internet, biasanya saya langsung sibuk membuka email dan membalas email-email yang masuk bertumpuk. Saya sudah merasa kewalahan mengurusi email-email ini. Kalau membaca dan membalas email saja sudah bikin saya kewalahan, apalagi kalau punya account di Facebook yang (kata teman-teman) sangat menguras waktu itu?

Jadi, sampai sekarang saya merasa belum mampu memiliki account di Facebook, karena waktu saya (di internet) rasanya belum memungkinkan untuk itu.

Karenanya pula, saya pun ingin meminta maaf kepada teman-teman atau siapapun yang selama ini sudah menyempatkan diri untuk mengirimkan undangan ke email saya, baik dari Facebook, Hi5, Friendster ataupun yang lainnya. Saat ini saya belum bisa memenuhi undangan kalian. Namun, apabila suatu saat saya sudah merasa mampu untuk bergabung dengan kalian, entah di Facebook atau di tempat yang lain, saya ingin menjadikan kalian sebagai sahabat-sahabat pertama.


Diri Saya, Apa Adanya



Seperti yang sudah saya katakan di posting sebelumnya, sekarang saya akan menulis apa saja di blog ini. Kalau rencananya dulu saya hanya ingin memposting tulisan-tulisan yang bersifat kontemplatif dan motivasional, sekarang saya akan menulis apapun, dengan gaya seperti apapun, di blog ini.

Hmm… Ada seorang cewek (setidaknya nama di emailnya begitu) yang mengirim email ke alamat email saya, dan menulis kira-kira seperti ini, “Da’, aku sudah membaca buku-buku karyamu, dan aku jadi tertarik ingin mengenalmu lebih jauh. Ceritakan dong tentang dirimu.”

Sebenarnya, email seperti itu sudah biasa saya terima, khususnya dari para pembaca buku saya. Hanya saja, yang membuat saya jadi berdebar-debar, cewek ini menulis—di dalam emailnya itu—mengenai bayangannya terhadap diri saya. Dan yang membuat saya salah-tingkah, “bayangannya” itu benar-benar keliru. Saya tidak tahu bagaimana dia menarik asumsinya mengenai diri saya, tetapi dia membayangkan saya terlalu “tinggi” atau bahkan…uh, terlalu “hebat”.

Saya tidak perlu menulis-ulang isi email cewek itu, tetapi saya ingin menegaskan di sini, bahwa saya hanya cowok biasa. Kalau saya bisa menulis buku—dan kalau kemudian orang menyukai buku yang saya tulis—bagi saya itu bukanlah hal yang terlalu istimewa. Saya menulis buku, karena hanya itulah yang saya bisa. Sesederhana itu. Mungkin ada penulis buku yang memang orang hebat, tetapi banyak pula penulis buku yang “orang biasa-biasa saja”. Dan saya termasuk yang “biasa-biasa saja” itu.

Oh ya, cewek itu juga bilang, “Ceritakan dong tentang dirimu.” Kalau ini sih bukan permintaan spesial, karena pengirim email yang lain juga sering menulis seperti itu.

Ceritakan tentang diri saya…? Sepertinya juga tidak ada yang istimewa. Seperti yang dapat kalian lihat, isi blog ini lebih banyak berisi pemikiran saya, dan bukan berisi kisah keseharian saya. Karena saya memang berpikir kalau hidup atau keseharian saya memang tidak terlalu istimewa—khususnya tidak terlalu istimewa untuk dituliskan.

Tetapi, oke, mungkin jawaban seperti ini akan dianggap tidak memuaskan karena kesannya kurang transparan. Jadi baiklah, saya akan bercerita—tetapi tolong jangan kecewa jika kenyataannya memang tidak ada yang istimewa.

Dalam keseharian, saya biasa bangun tidur pada waktu yang tidak jelas. Saya lebih sering bangun tidur karena mendengar ponsel yang berdering daripada karena memang ingin bangun. Jadi, kadang-kadang saya bangun pada jam 9 pagi karena kebetulan ada telepon. Lain hari, saya kadang bangun jam 11 siang, juga karena ponsel yang berbunyi. Lebih parah, terkadang saya baru bangun tidur jam 1 siang, dan lagi-lagi itu pun karena bunyi panggilan telepon. Kalau kebetulan tidak ada telepon yang datang, saya pun tidur dengan tenang—dan biasanya bangun dengan waktu yang tidak jelas.

Kenapa bisa seperti itu…? Jawabannya sederhana, yakni karena saya tinggal sendirian di rumah, tidak bersama orangtua atau keluarga. Karena tinggal sendirian, tidur saya pun tidak ada yang membangunkan. Kalau kau berpikir saya sungguh nikmat karena bisa bangun tidur kapan pun saya mau, kau keliru. Cerita di atas itu baru separuhnya. Kau perlu mendengar yang separuhnya lagi.

Biasanya, kegiatan saya sehari-hari lebih banyak dihabiskan di depan komputer dan bersama buku-buku. Kalau kebetulan ada acara keluar, saya keluar rumah, entah belanja kebutuhan sehari-hari atau karena ada hal-hal lain yang memang mengharuskan saya keluar rumah.

Kadang-kadang ada teman yang datang dan mengajak keluar. Kadang-kadang ada cewek yang datang dan mengajak keluar. Kadang-kadang nyokap yang datang karena ada urusan. Tapi kalau tidak ada acara apapun atau tidak ada siapapun yang datang, saya lebih banyak tinggal di rumah. Oh ya, ngomong-ngomong, saya anti panas matahari. Jadi sebisa mungkin saya akan keluar rumah kalau cuaca lagi “adem”.

Selepas maghrib, saya pasti akan keluar rumah karena perlu beli nasi. Kadang naik kendaraan, kadang pula jalan kaki. Karena saya lebih suka makan di rumah, maka saya pun biasa membeli nasi untuk dibawa pulang. Biasanya, sambil menunggu nasi dan masakan pesanan saya disiapkan, saya akan membuka ponsel dan mengecek email yang masuk. Setelah itu, saya menikmati makan malam di rumah sambil menonton musik di VCD atau film terbaru yang saya sewa dari rental.

Sampai larut malam, saya menghabiskan waktu di depan komputer. Malam hari adalah jam kerja saya—dan jam kerja ini bisa dibilang tak terbatas. Ketika sedang mood, atau ketika sedang diburu-buru deadline, atau ketika sedang menggarap sesuatu yang asyik, saya bisa bekerja sampai subuh atau bahkan sampai pagi—dan seringnya memang begitu.

Selepas subuh atau setelah pagi, saya baru mematikan komputer untuk kemudian tidur. Tapi kalau ada hal lain yang masih perlu dilakukan, semisal beres-beres rumah karena sudah terlalu berantakan, saya pun baru bisa tidur jam 7 atau 8 pagi. Lebih parah, kadang saya baru tidur jam 10 atau 11 siang ketika ada urusan mendadak. Sudah begitu, baru lelap satu dua jam, ponsel di dekat saya berdering dan saya pun harus bangun untuk menerima telepon. Jadi, kalau kau berpikir saya sungguh nikmat karena bisa bangun tidur kapan pun saya mau, kau benar—selama tidak ada telepon yang masuk atau SMS yang nyasar.

Hidup yang biasa-biasa saja. Bukan begitu…?


Mengenang Gus Dur dengan Senyum

Jika kerut merut masih tertera di dahi kita, biarlah mereka tidak tertera
di hati kita. Jiwa kita jangan pernah menjadi tua.
James A. Garfield

Tak semua orang mempunyai hati dan senyum yang suci.
Thomas Carlyle


Anak perempuan itu berusia lima tahun. Dia mendengar dari gurunya bahwa memberikan senyum kepada seseorang bukan hanya akan membuat orang lain bahagia, tapi juga akan memberikan kebahagiaan dalam hati kita. Karena percaya pada ucapan gurunya, anak perempuan itu pun bertekad akan memberikan senyumnya kepada orang lain yang ia temui, begitu nanti pulang sekolah.

Siang hari, saat pulang dari sekolahnya, anak perempuan itu bertemu seorang lelaki yang tak dikenalnya. Lelaki itu tampak berjalan tergesa-gesa. Saat mereka berpapasan, anak perempuan itu pun tanpa pikir panjang segera tersenyum kepadanya. Si lelaki melihat senyum itu, membalasnya dengan sama tulusnya, dan lelaki itu pun merasa hatinya jadi lebih baik, hidupnya terasa sedikit lebih indah.

Lelaki itu seorang pengusaha yang tengah kebingungan memikirkan usahanya yang terancam bangkrut, dan senyuman dari anak perempuan tadi cukup memberikan ketenangan dalam batinnya. Ia terus melanjutkan perjalanannya menuju sebuah warung makan untuk mengisi perutnya yang lapar. Karena hatinya sedang tenteram berkat senyuman yang ia dapatkan dari anak perempuan kecil tadi, ia pun menyapa pelayan rumah makan itu dengan ramah, bahkan tersenyum kepadanya.

Si pelayan yang seharian itu merasa sangat capek dan lelah melayani pengunjung rumah makan, tampak bahagia mendapatkan senyuman dari lelaki itu, dan dia pun membalas senyum itu dengan sama tulusnya. Berkat senyuman itu pula, si pelayan yang tadinya mulai letih melayani pengunjung menjadi bersemangat kembali melakukan tugasnya. Ia menyambut setiap pengunjung rumah makannya dengan senyuman yang ramah, dan itu membuat para pengunjung merasa dihargai.

Salah satu pengunjung rumah makan itu adalah ibu muda yang tengah depresi karena rumah tangganya kacau; suaminya pergi entah kemana. Saat ia datang ke rumah makan itu dan mendapatkan senyuman dari si pelayan, ibu muda itu pun merasakan perasaannya lebih baik, hatinya lebih tenang. Ia pun membalas senyum si pelayan dengan sama tulusnya.

Si ibu muda kemudian pulang dari rumah makan, dan saat melangkah dia bertemu anak lelaki yang tengah berjalan dengan gontai. Wajahnya tampak muram. Si ibu muda seperti tahu anak lelaki itu tengah kalut memikirkan sesuatu, dan ibu muda itu pun ingat untuk memberikan senyumannya, berharap anak lelaki itu bisa meredakan kekalutannya, sebagaimana ia pun bisa meredakan rasa depresinya. Maka ibu muda itu pun tersenyum pada si anak lelaki, dan anak lelaki itu pun membalas senyumnya dengan ramah.

Anak lelaki itu baru ditinggal mati ayahnya, dan ia kini tengah kebingungan mencari cara untuk menghidupi adik-adiknya. Ia begitu sedih, kehilangan, dan kalut. Namun berkat senyuman dari ibu muda yang tak dikenalnya tadi, ia merasa hatinya menjadi lebih tenang; setidaknya ada orang lain yang masih mau peduli, masih ada orang lain yang mau memberikan senyum tulus untuknya. Saat anak lelaki itu meneruskan perjalanannya, langkahnya tidak lagi gontai. Ia merasa bisa berjalan dengan sikap yang lebih baik.

Di tengah perjalanan, si anak lelaki bertemu seorang ibu yang tengah hamil tua. Ibu yang hamil itu sedang duduk seperti kelelahan, di atas bangku di bawah sebuah pohon. Melihat ibu hamil yang tampak kelelahan itu, si anak lelaki memberikan senyumnya, berharap si ibu hamil bisa mengurangi penderitaannya dengan senyumannya. Harapan si anak lelaki terkabul. Ibu hamil itu melihat senyumnya, dan dia pun membalasnya.

Ibu yang hamil tua itu sedang dalam perjalanan menuju suatu tempat, sementara suaminya tidak bisa menemani karena tengah sibuk menangani urusan menyangkut negara. Ia tengah beristirahat karena kelelahan, dan begitu senang ketika melihat seorang anak lelaki yang tak dikenalnya tersenyum tulus kepadanya. Ibu yang hamil tua itu pun diam-diam berharap semoga anaknya nanti bisa menjadi orang yang murah senyum, dan selalu mampu membuat orang lain tersenyum.

Harapan diam-diam dari hati ibu itu terkabulkan. Beberapa waktu kemudian, ketika bayi dalam kandungannya terlahirkan, ibu itu memperoleh seorang bayi laki-laki. Kelak, ketika bayi laki-laki itu tumbuh semakin besar, dia bukan hanya mampu membuat orang lain tersenyum, tetapi juga menciptakan sebuah sejarah besar bagi negaranya; ia menjadi satu-satunya presiden Indonesia yang paling bisa membuat orang lain tersenyum.

Kau tahu siapa bayi laki-laki itu? Benar. Gus Dur.

Bahkan Fir’aun pun Ingin Jumpa Pers



Fir’aun adalah simbol dari sosok bebal manusia yang tak bisa menerima kebenaran. Fir’aun bukan nama, ia hanyalah simbolisasi. Fir’aun ada dalam banyak perjalanan sejarah, ada dalam banyak dimensi waktu, ada dalam banyak ruang kehidupan. Di antara semua Fir’aun yang pernah hidup di dunia ini, barangkali Fir’aun di jaman nabi Musa-lah yang paling terkenal. Fir’aun di jaman Musa ini bernama Pharao Ramzez.

Setelah Pharao Ramzez, Fir’aun pun mengalami regenerasi seiring dengan laju perjalanan sejarah, dan kehadirannya ada dalam banyak negara, ada dalam banyak bangsa. Fir’aun-Fir’aun itu ada yang bernama Shah Iran, Baby DocDuvalier, Pol Pot, Stalin, Idi Amin, Manuel Noeriga, Ferdinand Marcos, Kaissar Bokassa, Chun Doo Hwan, Adolf Hitler, Mussolini dan lain-lain. Meski memakai berbagai nama yang berbeda, Fir’aun tetap memiliki satu simbol yang pasti, yakni simbol keangkuhan, kesombongan, sekaligus kebebalan dalam menerima kebenaran.

Sebagaimana yang pernah kita pelajari di waktu SD dulu, kita tahu bagaimana Fir’aun di jaman Musa menolak kebenaran yang disampaikan oleh Sang Nabi ini hanya karena dia merasa ego serta harga diri dan keangkuhannya merasa direndahkan.

Kisahnya dimulai ketika istri Fir’aun menemukan sebuah peti yang mengambang di sungai Nil, yang kemudian diambil, dan ketika dibuka ternyata berisi bayi laki-laki. Waktu itu Fir’aun sudah mendeklarasikan keputusan negara bahwa semua bayi laki-laki yang lahir di masa itu harus dibunuh. Sebagaimana yang sering dibisikkan oleh para ahli sihirnya, Fir’aun mengetahui bahwa kelak akan ada seorang laki-laki yang akan menumbangkan kekuasaannya, sekaligus menghancurkan kesombongannya. Karena itulah, didorong oleh egonya yang luar biasa besar, Fir’aun melakukan pembunuhan fisik dan karakter terhadap semua bayi laki-laki.

Ditemukannya seorang bayi laki-laki di sungai, membuat Fir’aun pun ingin segera melaksanakan peraturan negaranya, yakni membunuh bayi itu secepat mungkin. Tapi skenario Tuhan berkehendak lain. Istri Fir’aun sangat menyukai bayi laki-laki ini, dan atas desakannyalah, Fir’aun pun rela ‘mengampuni’ bayi itu untuk membiarkannya hidup.

Tapi ternyata justru bayi laki-laki itulah yang kelak akan menghancurkan dirinya!

Seiring dengan bertambahnya waktu, bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Musa itu pun beranjak dewasa dan pada umur yang telah ditentukan, dia memperoleh wahyu kenabiannya untuk membawakan risalah kebenaran agar disampaikannya kepada Fir’aun, bapak angkatnya.

Ketika Musa datang menyampaikan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan Tuhan itu bukanlah Fir’aun yang selama ini telah menuhankan dirinya, Fir’aun pun murka bukan kepalang. Dia segera memanggil semua pasukannya dan di depan mereka dia berkata dengan suara lantang penuh kesombongan kepada Musa, “Kau menyampaikan tentang Tuhanmu? Pahamilah bahwa aku Tuhanmu. Akulah yang Maha Tinggi!”

Sebenarnya, di dalam hati kecilnya, Fir’aun mengakui kebenaran yang dibawakan Musa waktu itu. Fir’aun bukan orang bodoh. Dia memiliki wazir yang hebat bernama Hamman yang bahkan mampu melihat kejadian di masa yang akan datang. Dan dari Hamman pulalah Fir’aun memperoleh banyak informasi tentang akan datangnya seorang laki-laki yang akan menyampaikan risalah kebenaran kepadanya, dan Fir’aun pun menyadari bahwa inilah laki-laki yang telah diramalkan oleh wazirnya itu. Inilah laki-laki yang menyampaikan kebenaran kepadanya itu!

Tetapi, sekali lagi, karena kesombongannya yang teramat besarlah yang menjadikan Fir’aun sulit menerima kebenaran itu. Mengakui kebenaran risalah yang dibawa oleh Musa sama saja dengan mengakui bahwa dia bukanlah Tuhan, dan itu sangat berat untuk dilakukannya. Fir’aun lebih memilih mengingkari hati nuraninya sendiri dalam menerima kebenaran, daripada mengorbankan egonya yang besar untuk jujur dalam menerima kebenaran.

Sampai kemudian, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci, Fir’aun dan bala tentaranya mengejar Musa dan pasukannya. Dengan bara dendam yang teramat panas dalam hatinya, Fir’aun telah bersumpah untuk membunuh Musa begitu ia tertangkap. Ia harus segera melumatkan orang yang mencoba menyinggung egonya ini, ia harus segera menyelamatkan mukanya dari orang ‘kuang ajar’ bernama Musa yang telah berani-beraninya menceramahinya tentang kebenaran.

Di dalam kejar-kejaran itu, Musa dan pasukannya terjebak. Di depan mereka terhampar Lautan Merah yang luas dan dalam, sementara di belakang mereka Fir’aun dan bala tentaranya semakin dekat dan semakin merapat. Musa kebingungan. Menghadapi Fir’aun yang pasukannya jauh lebih besar jelas sebuah kekonyolan karena itu sama saja dengan mengundang maut. Apa yang harus diperbuatnya?

Di tengah kebingungan itulah, tiba-tiba wahyu turun dari langit, “Lemparkan tongkatmu!”

Tanpa berpikir dua kali, Musa melemparkan tongkatnya ke laut, dan mukjizat pun terjadi. Dalam sekejap, lautan terbelah dan memberikan jalan buat Musa untuk melanjutkan perjalanannya dari kejaran Fir’aun. Pasukan Musa yang berjumlah kecil itu segera menelusuri jalan hasil terbelahnya Lautan Merah, sementara Fir’aun dan bala tentaranya pun terus mengejar. Begitu Musa dan pasukannya telah sampai di seberang, air laut menutup kembali dan Fir’aun beserta pasukannya yang tengah melaju di tengah perjalanan di laut pun langsung tenggelam ditelan ganasnya ombak lautan.

Fir’aun megap-megap di tengah lautan, dengan tubuhnya yang timbul-tenggelam. Ia merasakan perutnya begitu kembung, ia terlalu banyak kemasukan air laut. Waktu itu belum ada Antangin yang bisa mengusir masuk angin. Waktu itu juga belum ada Oskadon yang bisa menyembuhkan sakit kepala. Dan Fir’aun pun tentu saja tidak berpikir sedikit pun tentang Antangin atau Oskadon, karena waktu itu ia menyadari bahwa ajalnya sudah sedemikian dekat.

Fir’aun mati, dia kalah. Tapi sayangnya, dia kalah dengan cara yang tidak terhormat! Kalau saja dia memilih ‘kalah’ dengan cara mengakui kebenaran risalah Musa, barangkali sejarah akan menulis bahwa Fir’aun kalah. Tapi setidaknya, kekalahan Fir’aun akan dinilai sebagai kekalahan yang terhormat, karena dia rela mengaku kalah demi pengakuan terhadap kebenaran. Tapi Fir’aun tetap saja Fir’aun. Dia sombong, sekaligus konyol!

Hari ini, sejarah mencatat bahwa Fir’aun telah mati karena kesombongannya.

Sekarang bayangkan. Umpama Fir’aun berhasil selamat dari Lautan Merah, apa yang kira-kira akan diucapkannya? Apa yang kira-kira akan dilakukannya?

Merujuk pada kesombongannya dan keras kepalanya yang luar biasa, kita bisa saja mengasumsikan, bahwa begitu dia berhasil selamat dari Lautan Merah, maka dia akan segera menyelenggarakan jumpa pers. Dia akan mengundang Times, Washington Post, New York Times, CNN, BBC, Cosmopolitan, Bazaar, Male Emporium, Tempo, Channel V, SCTV, RCTI, Trans TV, Radar Tegal dan seluruh media massa lain, baik cetak maupun elektronik, untuk melakukan pembelaan diri bernama apologi alias dalih-dalih pembenaran.

Fir’aun mungkin akan berkata seperti ini, “Ehm, begini Bapak-bapak, Ibu-ibu. Yang jadi persoalan ini bukannya saya tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Musa. Cuma, lha mbok dipikir, Musa itu siapa? Lha wong dia itu dulu nyaris tenggelam di sungai dan saya menyelamatkannya, membesarkannya dan merawatnya hingga segede itu. Lha kok sekarang begitu gede dia enak saja mau nyeramahi saya dengan apa yang disebutnya sebagai kebenaran. Wajar dong kalau saya jadi sulit menerima apa yang disampaikannya! Lha memangnya dia itu siapa?”

Lalu para wartawan dan wartawati serta para jurnalis dan reporter pun sibuk mencatat dan menyiapkan alat perekamnya. Mereka manggut-manggut mendengar penjelasan Fir’aun, dan Fir’aun pun ge-er dan mengira telah berhasil memperdayai para wartawan dan para pekerja media itu. Satu hal yang terlewat dari akal pikiran Fir’aun adalah; orang-orang yang merekam penjelasannya itu bisa saja memelintir ucapannya, dan mereka juga sudah sama-sama tahu bahwa kebenaran tetaplah kebenaran, meski ada penolakan, meski ada pemutarbalikan, meski ada sederet dalih dan alasan maupun argumentasi pembenaran.

Tapi...masak sih Fir’aun akan melakukan jumpa pers seperti itu?

Lho, ini kan umpama!


 
;