Selasa, 02 Februari 2010

Dari Blog ke Blog



Berinteraksi di internet itu tak jauh beda dengan mata rantai yang terus memanjang—setidaknya itulah yang saya rasakan. Dulu, sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kalinya berkenalan dengan internet, saya hanya menjadikannya sebagai sarana untuk mencari informasi, atau sedikit hiburan. Kemudian saya juga menjadikannya sebagai sarana untuk menerima dan mengirim email.

Ketika era chatting begitu populer, saya pun terpengaruh dan mulai berhubungan dengan orang lain lewat chatting. Tetapi karena aktivitas ini kemudian terasa sangat memboroskan waktu, saya pun menghentikan aktivitas itu dan menjauhi chatting. Semenjak itu saya hanya menjadikan internet untuk mencari informasi dan menggunakan email.

Kemudian era blog muncul dengan adanya hosting gratisan dari Blogger, Wordpress dan beberapa yang lain, dan saya pun terpengaruh sebagaimana orang-orang lain juga terpengaruh. Tetapi, sampai saat itu, saya masih menahan-nahan diri untuk tidak membuat blog karena saya pikir saya belum tentu bisa meluangkan waktu untuk menulis di blog setiap hari. Saya berpikir, waktu itu, buat apa punya blog kalau saya tidak bisa mengurusinya dengan baik dan malah membuat blog itu terlantar.

Tetapi kemudian banyak orang yang meminta agar saya membuat blog. Mereka-mereka yang aktif meminta ini adalah teman dan para sahabat yang dulu menyukai tulisan-tulisan saya yang “rada-rada gila”. Kira-kira, waktu itu mereka mengompori saya seperti ini, “Coba pikir, kalau kamu menuliskan pemikiran-pemikiranmu yang kontroversial, para penerbit buku tidak akan berani menerbitkannya, sementara koran-koran dan majalah akan menyensornya. Di blog, kamu akan bebas menuliskan apa saja, seliar dan segila apa pun, tergantung kehendakmu. Jadi, mengapa tidak membuat blog saja...?”

Saya terpengaruh “hasutan” itu. Maka saya pun membuat blog, yang waktu itu saya namai Arus Minor. Tetapi karena saya sadar kalau pemikiran-pemikiran yang saya tuliskan di blog itu cenderung kontroversial, maka blog itu pun hanya bisa diakses secara terbatas dan tidak terbuka secara bebas.

Hadirnya Arus Minor rupanya diketahui teman-teman yang lain, dan banyak dari mereka yang menginginkan pula untuk bisa mengakses blog itu. Yang menjadi masalah, jumlah pengakses blog itu sudah penuh sesuai kapasitas, dan saya tidak bisa memenuhi keinginan teman-teman lain yang juga ingin mengakses blog itu. Dari sinilah masalahnya jadi berkepanjangan.

Teman-teman yang tidak bisa mengakses blog itu meminta agar Arus Minor dibuka saja secara bebas, agar setiap orang bisa membuka dan mengaksesnya. Tetapi saya merasa tidak bisa melakukannya, karena posting-posting di blog itu memang secara khusus hanya saya tujukan untuk teman-teman dekat yang sudah memahami jalan pikiran saya. Dan untuk mengatasi “komplikasi” itu, maka saya pun kemudian membuat blog lain, yang kali ini dapat dibuka dan diakses secara bebas. Blog inilah hasilnya.

Di blog ini, saya berharap dapat mengobati kekecewaan dari teman-teman yang belum bisa mengakses blog Arus Minor. Tapi rupanya blog ini pun tidak cukup, ya? Masih banyak teman yang merasa belum puas dengan kehadiran blog ini dan masih juga menginginkan untuk dapat mengakses Arus Minor. Apa yang harus saya lakukan...?

Setelah memikirkan dan mempertimbangkannya masak-masak, akhirnya saya pun sampai pada keputusan terbaik, yakni menutup blog Arus Minor. Penjelasan selengkapnya akan saya tuliskan di post berikutnya.


 
;