Minggu, 21 Februari 2010

Maka Tersenyumlah



Kita tersenyum saat merasa bahagia,
dan kita pun akan merasa bahagia jika kita tersenyum.


Apakah kau pernah merasakan sakit gigi yang sedemikian parah sehingga perlu memeriksakannya ke dokter spesialis gigi? Jika kau pernah duduk di ruang tunggu dokter gigi, kau pasti akan menemukan suasana yang akan saya gambarkan ini.

Di ruang tunggu dokter gigi pagi itu, ada beberapa orang lelaki dan perempuan, yang sama-sama sakit gigi, sebagian dari mereka gusinya membengkak yang tampak jelas dari gelembung pipi mereka. Dari semua yang ada di ruang tunggu itu, tidak ada satu pun dari mereka yang tersenyum. Siapa yang masih mampu tersenyum ketika diserang sakit gigi? Semua orang di sana menampakkan wajah yang muram, cemberut, dan ekspresi kesakitan. Tidak ada yang mencoba membuka suara, memulai percakapan, ataupun memberikan sedikit keramahan. Ruangan yang paling muram di dunia ini adalah ruang tunggu tempat praktek dokter gigi.

Nah, di antara orang-orang yang duduk di ruang tunggu itu, ada seorang ibu yang menggendong seorang bayi berusia satu tahun. Bayi ini tentu saja tidak sakit gigi karena bahkan giginya pun mungkin belum tumbuh. Untungnya, bayi ini tidak rewel hingga tidak merepotkan ibunya yang sakit gigi, juga tidak menimbulkan kejengkelan orang lain yang tengah menderita sakit gigi. Bayi ini bahkan tampak tenang, dan menebarkan senyumnya yang begitu menggemaskan.

Seorang ibu lain yang ada di ruang tunggu itu kemudian melihat senyum si bayi, dan mau tak mau ibu ini pun membalas senyum itu. Siapa yang tahan untuk tidak membalas senyum seorang bayi? Dari senyuman itu kemudian ibu ini pun mencoba mengajak omong si bayi, dan si bayi menanggapinya dengan senyumnya. Ia mengatakan betapa lucunya si bayi itu kepada ibunya, dan ibu si bayi pun kemudian tersenyum. Lalu mereka bercakap-cakap, saling memberikan keramahan.

Orang-orang yang lain mulai ikut terpengaruh, dan mereka pun kemudian seperti mencoba melupakan sakit gigi mereka dan mulai ikut bercakap-cakap, mulai ikut memberikan keramahan pada orang yang lainnya. Dan ruang tunggu yang pada mulanya muram seperti kuburan itu pun kemudian berubah menjadi ruang tunggu yang cukup menyenangkan. Orang-orang yang mulai bisa tersenyum itu pun mulai merasakan rasa sakit giginya seperti agak berkurang.

Hanya karena sebuah senyuman tulus seorang bayi, orang-orang yang pada mulanya begitu muram itu mulai bisa tersenyum dan merasakan rasa sakit giginya mulai agak berkurang. Apakah kau pernah membayangkan kekuatan sebuah senyuman?

Satu minggu sebelum saya menulis catatan ini, saya pergi ke sebuah swalayan di kota saya untuk berbelanja. Saat menaiki eskalator dari lantai satu menuju ke lantai dua, saya agak terkejut ketika sampai di bibir atas eskalator di lantai dua, saya mendapati seorang perempuan berseragam yang menyambut setiap orang dengan senyuman yang begitu manis. Perempuan ini dibayar oleh pihak swalayan hanya untuk berdiri di sana dan memberikan senyumannya kepada orang-orang yang datang!

Sekali lagi, apakah kau pernah membayangkan kekuatan sebuah senyuman? Pihak pengelola swalayan itu tahu bahwa dengan menyambut pengunjung swalayan dengan senyuman akan membuat para pengunjung merasa diterima, dihargai, dan dihormati, dan itu satu langkah cerdas dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan dan calon pelanggan mereka.

Apakah kau menyadari bahwa tindakan fisik dari tersenyum membuatmu merasa enak? Dan, dengan cara yang sama, cemberut membuatmu merasa murung? Pada abad kesembilan belas, para psikolog menyatakan hal itu. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa ekspresi wajah seseorang memang mempengaruhi suasana hatinya. Salah seorang psikolog modern yang mendukung teori ini adalah Dr. Robert Zajanc dari University of Michigan. Selain dirinya, para psikolog dari Clark University di Worchester, Massachusetts, juga melaporkan hasil dari penelitian yang ekstensif bahwa bukti ilmiah itu benar; bahwa tersenyum membuatmu merasa senang, dan cemberut membuatmu merasa murung.

Dr. Paul Ekman dari University of California Medical School, menjelaskan dalam sebuah jurnal kedokteran bahwa ketika orang memerankan berbagai emosi, tubuh mereka menghasilkan pola fisiologis yang sesuai seperti perubahan pada denyut jantung dan pernapasan. Dokter ini berbicara tentang bagaimana cemberut mengencangkan otot-otot wajah, dengan reaksi yang dihasilkannya pada otak. Terus terang saya tidak dapat mengerti semua istilah ilmiahnya, tetapi saya benar-benar dapat mengerti bahwa ketika kita bertindak bahagia, kita pun akan merasa benar-benar bahagia. Dan begitu pula sebaliknya.

Intisarinya? Sederhana saja; Tersenyumlah.

Apa sih yang menjadikan hidup ini terasa lebih indah? Salah satu jawabannya adalah karena kita masih bertemu dengan orang-orang yang memberikan senyumannya untuk kita. Pernahkah kita merenungkan betapa kuatnya pengaruh sebuah senyuman? Banyak sekali teori yang mengajarkan manfaat senyuman, baik dari segi kesehatan, psikologi, sampai pada hubungan antar manusia. Senyuman adalah lengkungan lembut yang meluruskan banyak hal.

Senyuman memperkaya mereka yang menerimanya tanpa harus membuat lebih miskin mereka yang memberikannya. Ini hanya memerlukan waktu yang sesaat, tetapi kenangannya kadang-kadang bertahan selamanya. Tidak ada seorang pun yang begitu kaya atau perkasa sehingga dia bisa hidup tanpa senyuman, tidak ada seorang pun yang begitu miskin tetapi dia bisa diperkaya olehnya.

Senyuman menciptakan kebahagiaan di rumah, mendorong itikad baik dalam bisnis, dan merupakan pertanda persahabatan. Senyuman mendatangkan istirahat kepada orang yang kelelahan, kegembiraan kepada orang yang patah semangat, sinar matahari kepada orang yang sedih, dan itu merupakan penawar alam yang terbaik untuk kesulitan.

Namun senyuman tak bisa dipinjamkan atau dicuri, sebab itu adalah sesuatu yang tidak ada nilainya bagi siapa saja kecuali kalau diberikan. Beberapa orang terlalu kelelahan untuk memberi kita senyuman. Berilah mereka senyuman kita. Sebab tidak ada orang yang begitu membutuhkan seperti dia yang tak punya lagi senyuman untuk diberikan...


 
;