Senin, 08 Februari 2010

Merawat Peradaban

Peradaban adalah suatu gerakan dan bukan keadaan,
suatu perjalanan dan bukan pelabuhan.
Arnold J. Toynbee


Di zaman ketika kehidupan begitu kompetitif dan individualis seperti sekarang ini, manusia seperti sudah kehilangan rasa persaudaraan dengan sesama manusia lainnya. Masing-masing dari kita sudah terlalu sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, hingga sama sekali tak tahu atau tak peduli dengan orang lain. Dan di sela-sela waktu itu, kita dibombardir oleh berita-berita di koran, siaran-siaran di televisi, tentang aneka bentuk kejahatan manusia kepada sesama manusia lainnya.

Oh, itu saja belum cukup. Di sudut-sudut tersembunyi bumi ini, ada orang-orang yang juga mempersiapkan senjata-senjata mematikan untuk memusnahkan manusia lainnya. Mereka menciptakan nuklir, peluru kendali, pesawat penghancur, dan virus-virus berbahaya untuk menghancurkan manusia lainnya, seperti mereka membunuh lalat-lalat. Lengkaplah sudah peradaban ini berdarah-darah, dan manusia seakan memang telah menjadi serigala bagi manusia lainnya.

Dr. Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang mengawasi penciptaan bom atom yang pertama, diminta hadir di hadapan panitia Kongres untuk menjelaskan kekuatan bom atom yang telah diciptakan itu. Mereka bertanya kepadanya apakah ada penangkal terhadap senjata yang mengerikan yang baru saja diciptakan itu.

“Tentu saja,” jawab Dr. Robert Oppenheimer.

“Dan apakah penangkal itu?” seseorang bertanya.

Ruangan seketika sepi, hadirin senyap, semuanya menunggu jawaban.

“Perdamaian.” Ilmuwan terkemuka itu menjawab.

Hanya perdamaianlah satu-satunya penangkal senjata mengerikan bernama bom atom yang mampu meluluh-lantakkan sebuah negara dan memusnahkan jutaan orang dalam sekejap. Perdamaian yang lebih dari sekadar menghentikan pertengkaran dan permusuhan. Lebih dari sekadar penghentian sementara perang dingin atau perang panas.

Perdamaian yang mampu mengalahkan kekuatan menghancurkan senjata pemusnah itu adalah perdamaian yang dibangun atas dasar kesadaran bahwa satu manusia dengan manusia lainnya adalah saudara; sebuah perdamaian dan kedamaian yang menghadirkan Tuhan di tengah-tengahnya, untuk menjalin hubungan antara sesama manusia dalam hubungan itu.

Tidak lama setelah bom atom yang pertama dikembangkan, Albert Einstein menyatakan dalam sebuah acara pertemuan, “Kekuatan yang dilepaskan oleh atom sudah mengubah segala-galanya, kecuali cara kita berpikir. Kita harus memiliki cara berpikir yang benar-benar baru kalau kita menginginkan kelangsungan hidup umat manusia.”

Melihat wajah Einstein yang begitu keruh, seseorang kemudian bertanya, “Apakah yang Anda maksud adalah tidak akan ada kedamaian lagi?”

“Ya,” jawab Einstein dengan air muka yang makin keruh. “Selama ada manusia, maka juga akan ada permusuhan, kedengkian, iri hati, perseteruan dan peperangan.”

Ketika pesawat Apollo 11 tinggal landas meninggalkan Bumi menuju Bulan, mereka membawa semboyan, “Kami datang dalam damai untuk semua umat manusia.”

Semboyan itu tertera pada plakat yang kemudian ditinggalkan di sana, menancap di permukaan Bulan. Para astronot yang mendarat di sana merasakan seolah tengah berada di sebuah samudera ketenangan dan kedamaian yang luar biasa. Neil Amstrong dan Edwin Aldrin mengakui bahwa mereka menemukan diri mereka berada di tempat yang luar biasa damai di sana, di atas Bulan. Kita tahu mengapa? Karena di sana belum pernah ada manusia sebelumnya!

Bumi yang kita tinggali ini memerlukan berjuta-juta maaf dan tindakan mengampuni, serta pertaubatan yang sungguh-sungguh agar setiap kebencian, dendam, kejengkelan, iri hati, dan kemarahan, bisa terkuras habis.

Peradaban yang tengah kita langsungkan ini membutuhkan kesadaran yang lebih jernih dari hati kita masing-masing untuk menyadari bahwa sudah saatnya untuk menjernihkan kembali nurani kita agar kembali menjadi manusia seutuhnya, dengan hati yang tulus, dengan jiwa yang lembut.

Mungkin kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk melakukan itu, namun jika masing-masing dari kita punya kesadaran yang sama, kemudian masing-masing dari kita saling memperbaiki diri sendiri dengan hidup yang lebih baik, tentunya bumi yang kita tinggali ini bisa lebih membahagiakan untuk ditempati, dan peradaban yang kita jalani ini bisa lebih menyenangkan untuk dihayati.

Mari kita hadirkan kembali Tuhan dalam hidup kita, di bumi kita, dalam peradaban kita.

 
;