Selasa, 30 Maret 2010

Pecandu Kebisingan

Keheningan membuat kami sadar bahwa jasad tidak lebih
dari penjara, dan dunia hanyalah sebuah tempat pengasingan.
Kahlil Gibran


Siang itu panas menyengat, tetapi saya terpaksa keluar rumah karena butuh membeli tinta printer. Saya memarkir kendaraan di depan toko komputer langganan, dan segera merasakan teriknya mentari saat melangkah menuju pintu toko. Udara panas menyengat, debu-debu beterbangan, sementara kendaraan berlalu-lalang di jalanan. Tingkat kebisingan yang luar biasa di panas terik siang yang luar biasa. Dan ketika sedang melangkah itulah, tanpa sengaja saya menyaksikan sesuatu yang benar-benar memukau pandangan mata saya.

Di depan toko, seorang tukang parkir tanpa seragam berdiri di depan pagar besi, sambil telinganya mendengarkan siaran radio yang tergantung di besi pagar toko. Sepertinya, bagi tukang parkir itu, kebisingan di siang hari yang panas berdebu masih kurang, sehingga ia perlu menambahi tingkat kebisingan itu dengan suara-suara dari radio.

Saya terpaku. Dan bingung. Dan tiba-tiba rencana membeli tinta printer seperti terlupa dari benak. Dan saya jadi teringat dengan realitas kita semua di hari ini. Mungkin, tanpa kita sadari, kita semua juga pecandu kebisingan, pemeluk kebisingan, pecinta kebisingan, dan kita semua sepertinya tak bisa lepas dari kecanduan terhadap kebisingan.

Pagi hari, saat bangun dari tidur, kebisingan sudah menggedor-gedor telinga kita—suara mesin air yang mengisi bak di kamar mandi. Saat suara mesin berhenti, kebisingan baru dimulai dari televisi yang menemani kita sarapan pagi. Ketika mulai pergi bekerja atau kuliah, kita melewati jalur kebisingan di mana-mana, dan kebisingan itu pun terus menemani kita selama bekerja atau kuliah—sampai pulang kembali ke rumah.

Di rumah, lagi-lagi kebisingan yang lain menyambut kita—siaran radio, dering telepon, suara televisi, ataupun bunyi-bunyi teredam di earphone yang menyumpal telinga kita. Ketika kebisingan di rumah terasa membosankan, kita pun pergi ke mall atau kafe, atau diskotik, dan sekali lagi kebisingan yang memekakkan menerpa pendengaran kita. Hari ini, kita semua bukan hanya telah menjadi korban kebisingan atau bagian dari kebisingan semata-mata—kita adalah para pecandu kebisingan!

Kita adalah pecandu kebisingan—karena kita sekarang ketakutan, bahkan amat ketakutan, dengan keheningan. Kita tak lagi mengenal ketenangan, tak lagi dekat dengan kesunyian, dan kita ketakutan ketika memasuki keheningan. Kita telah sedemikian akrab dengan kebisingan dan tak lagi mengenal keheningan. Sehingga setiap kali keheningan datang, kita pun buru-buru menciptakan kebisingan dengan berbagai sarana, atau menyumpalkan kebisingan di kedalaman telinga kita.

Siaran dan berita televisi, denging bising dari radio, suara-suara ponsel dan peralatan lainnya, hiruk-pikuk jalanan, dentum musik di berbagai tempat, semuanya telah menjadi bagian penting dari hidup kita, sehingga kita merasa tak mampu hidup tanpa semua kebisingan itu. Hari-hari ini, masyarakat dunia telah asing dengan keheningan—tempat seharusnya mereka menjadi manusia seutuhnya.

Otak manusia—pikiran manusia—hanya dapat memikirkan satu hal dalam satu waktu. Jika ada sesuatu yang memasuki pikiran, maka pikiran yang lain tak dapat masuk. Jika kebisingan terdengar, otak akan menyerap kebisingan itu dan menjadikannya sebagai objek pikiran. Dan karena manusia telah sedemikian tergantung dengan kebisingan, maka otaknya pun tidak lagi berpikir, melainkan hanya menampung tensi kebisingan.

Jadi inilah realitas kita semua—manusia yang tak lagi mengenal habitatnya yang asli, manusia yang tak lagi dapat menggunakan anugerah pikirannya sebagaimana tujuan diciptakannya. Kebisingan telah menjadi kebutuhan kita semua, dan kita semua telah menjadi pecandu kebisingan yang akut. Kita ketakutan setiap kali memasuki keheningan, sebagaimana anak kecil yang ketakutan memasuki kegelapan. Kita mencari segala cara dan upaya agar terhindar dari keheningan, dan hakikat kemanusiaan kita pun tergadai di antara deru debu bising kehidupan.

“Berpikir adalah pekerjaan yang paling sulit,” kata para filsuf, “sedemikian sulitnya, hingga manusia lebih memilih mati daripada berpikir.” Sepertinya, itu memang benar—karena kebanyakan manusia ternyata lebih memilih mendesakkan kebisingan ke dalam pikirannya, dibanding memasuki keheningan untuk menjadi manusia.

Love Quotes



Love is friendship set on fire.
~Jeremy Taylor~

If you love somebody, let them go. If they return, they were always yours.
If they don’t, they never were.
~Anon~

Love is like a beautiful flower which I may not touch, but whose fragrance makes
the garden a place of delight just the same.
~Helen Keller~

Love takes off masks that we fear we cannot live without and
know we cannot live within.
~James Baldwin~

Where there is love there is life.
~Mahatma Gandhi~

At the touch of love everyone becomes a poet.
~Plato~

Love is a never ending feeling.
~Adeil Prince~

Love can sometimes be magic, but magic can sometimes just be an illusion.
~Javan~

Love has nothing to do with what you are expecting to get, it’s what you are
expected to give—which is everything.
~Anon~

What is wrong with our world is that love is in short supply.
~Christopher Bryant~

The courses of true love never did run smooth.
~ William Shakespeare ~

Love sought is good, but given unsought is better.
~William Shakespeare ~

If you judge people, you have no time to love them.
~Mother Theresa~

Woe to the man whose heart has not learned while young to hope,
to love—and to put its trust in life.
~Joseph Conrad~

The only abnormality is the incapacity to love.
~Anais Nin~

You come to love not by finding the perfect person, but by seeing
an imperfect person perfectly.
~ Sam Keen ~

The first duty of love is to listen.
~Paul Tillich~

If you open your heart, love opens your mind.
~Charles John Quarto~

There is only one happiness in life—to love and be loved.
~ George Sand ~

To love and be loved is to feel the sun from both sides.
~David Viscott ~

The best and most beautiful things in this world cannot be seen or even heard,
but must be felt with the heart.
~ Helen Keller ~

Love does not consist in gazing at each other but in looking together in the same direction.
~ Antoine de Saint-Exupery ~

When you love someone, all your saved-up wishes start coming out.
~Elizabeth Bowen ~

Treasure the love you receive above all. It will survive long after
your good health has vanished.
~Og Mandino~

I have said nothing because there is nothing I can say that would describe how
I feel as perfectly as you deserve it.
~Kyle Schmidt~


Kompetisi yang Melelahkan



Televisi di rumah kita setiap hari menyiarkan dan mengajarkan hidup yang konsumtif dengan ratusan ragam iklan yang menggiurkan mata dan keinginan, sekaligus memperlihatkan gaya hidup yang hedonis dalam banyak sinetron yang mereka tayangkan. Bagi sekian banyak orang, televisi telah menjadi semacam kiblat hidup yang harus diikuti agar tidak dibilang ketinggalan jaman. Bagi sebagian besar orang, televisi adalah kebenaran yang harus diikuti dan kita akan dikatakan tidak up to date kalau tidak bisa sama dengan yang ada di televisi. Dan jika kita berpacu mengejar laju ‘modernitas’ seperti yang ditayangkan televisi, kapankah pacuan itu akan selesai? Kapankah pacuan itu akan mencapai garis akhir...?

Hidup kita ini seringkali ditekan oleh banyak hal di luar kita yang sesungguhnya bisa dipandang sebagai bukan tekanan namun kita menjadikannya sebagai tekanan. Kita selalu bisa menganggap bahwa apa yang kita miliki sebagai kekurangan dan kita tak akan pernah tenang, atau kita juga bisa menganggap bahwa apa yang telah kita miliki sebagai kelebihan dan kita tenang dan menjadi damai karenanya.

Memang menyenangkan kalau kita bisa memanjakan diri dengan setiap keinginan yang terlintas dalam pikiran. Namun bukan berarti bahwa hidup kita tidak lengkap kalau kita tak bisa melakukan itu. Memang sungguh menggembirakan jika kita bisa memanjakan diri dengan barang-barang indah dan mahal seperti yang dimiliki oleh orang lain. Namun bukan berarti bahwa kita tidak bisa bahagia jika tak dapat melakukan itu.

Sudah saatnya untuk hidup dengan berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri artinya; mensyukuri apapun yang telah dan pernah kita miliki, tenang dengan kehidupan kita sendiri, tenteram dalam menjalani hari demi hari, dan bahagia meski tidak sama dengan orang lain.

Bayangkan ilustrasi berikut ini. Ada seorang lelaki yang bekerja sebagai mandor di sebuah pabrik. Setiap pagi dalam perjalanan ke tempat kerjanya, dia akan melewati sebuah toko yang khusus menjual jam. Dia akan berhenti sebentar di depan toko itu dan mencocokkan jam tangannya, kemudian melanjutkan perjalanannya.

Karena seringnya melihat hal itu, pemilik toko jam itu pun jadi penasaran dan suatu pagi dia menanyakan hal tersebut ketika lelaki itu tengah berdiri di depan tokonya. Lelaki itu menjawab bahwa yang biasa dilakukannya setiap pagi di depan toko jam itu adalah mencocokkan jamnya, karena ia bertanggung jawab agar waktu pulang para karyawan tepat pada waktunya, pukul 16.00, saat berakhirnya kerja setiap hari.

Mendengar penjelasan itu, si pemilik toko menjadi bingung dan mengatakan, “Lho, setiap hari pada jam 16.00 ketika pabrik Anda membunyikan bel tanda pulang, saya cepat-cepat mencocokkan jam saya.”

Apakah ini aneh atau konyol? Tetapi begitulah yang biasanya terjadi dalam lingkungan pergaulan kita sehari-hari, kan? Kita terkadang, tanpa disadari, berusaha untuk bisa sama dengan orang lain. Padahal...orang lain pun mungkin tengah berusaha untuk bisa sama dengan diri kita. Bukankah hidup akan lebih menyenangkan dan hati terasa lebih damai ketika kita telah menerima diri kita apa adanya dan mencoba berdamai dengan semuanya itu?

Mengikuti budaya konformitas atau selalu berupaya agar sama dengan orang lain adalah sebuah kompetisi yang melelahkan karena hal itu seolah tak pernah selesai. Tetapi jika kita telah berdamai dengan apapun yang ada dalam hidup kita dan mensyukurinya dengan sepenuh hati, maka hidup pun akan berjalan secara lebih ringan dan membahagiakan.


Minggu, 28 Maret 2010

Andaikan Kau Seekor Tikus

Di rumah saya banyak tikus—besar dan kecil. Banyaknya tikus itu mungkin karena rumah saya dikelilingi tanah kosong cukup luas di bagian samping dan belakang. Karena tikus-tikus itu pulalah saya kemudian membeli perangkap tikus berbentuk kurungan yang memiliki pintu jebakan. Dengan kurungan perangkap itu, saya biasa menjebak tikus di rumah dengan memasangkan kepala ikan atau sejenisnya, dan tikus-tikus malang itu pun biasanya masuk ke perangkap untuk kemudian menjemput kematiannya.

Setiap kali mendapati seekor tikus yang terperangkap dalam kurungan jebakan itu, saya berpikir dan bertanya-tanya—namun tetap saja tidak yakin dengan jawabannya. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa setiap malam selalu saja ada tikus baru yang terjebak dalam perangkap itu, padahal malam kemarin tikus-tikus itu sudah melihat dan menyaksikan kenyataan tersebut…?

....
....

Bayangkan kau seekor tikus yang biasa keluyuran di rumah saya, dan kau punya teman-teman sesama tikus, serta berpacaran dengan seekor tikus yang seksi. Suatu malam, seekor sohibmu sesama tikus berjalan-jalan sendirian mencari makanan. Tanpa sengaja dia mendapati makanan lezat yang tergantung-gantung manja di dalam sebuah kurungan besi yang tampak aneh. Karena lapar, tikus sohibmu itu pun masuk ke dalam kurungan itu, dan meraih makanan di dalamnya. Saat moncongnya menyentuh makanan itu, pintu kurungan di belakangnya secara otomatis menutup, dan… tikus sohibmu itu pun terjebak di dalamnya tanpa bisa keluar!

Tikus sohibmu mencicit dan berteriak-teriak dalam bahasa tikus—meminta tolong kepada siapa pun sesama tikus untuk dapat mengeluarkannya dari jebakan yang sekarang mengurungnya. Kau dan teman-temanmu sesama tikus mendengar panggilan teriakan minta tolong itu, dan kalian pun mendapati tikus sohib kalian tengah kebingungan di dalam kurungan. Lebih bingung lagi, kalian semua tak tahu bagaimana cara mengeluarkan tikus itu dari dalam kurungan.

“Apa yang terjadi…?” Kau bertanya pada tikus yang ada dalam kurungan itu. “Kenapa kau bisa berada di dalam situ?”

Tikus temanmu menjawab dengan bingung, “Aku tidak tahu, pal. Tadi aku cuma ingin makan makanan yang ada di sini, tapi… well, pintu di sebelah sini tiba-tiba menutup begitu aku menyentuh makanan ini.”

“Kok bisa?” tanyamu dengan bingung campur takjub.

“Yeah, mana aku tahu?!” tikus temanmu menjawab dengan frustrasi. “Cepat, carikan jalan agar aku bisa keluar dari kurungan sialan ini!”

Kemudian, seekor tikus yang cukup bijak di antara kalian berkata perlahan-lahan layaknya filsuf yang telah kenyang makan asam garam dunia, “Hmm… sepertinya kurungan yang mengurungmu ini kurungan jebakan.”

Tikus dalam kurungan mencicit keras-keras, “Aku tahu ini kurungan apa, goblok! Semua juga tahu kalau ini kurungan jebakan—karena aku sudah terjebak di sini!”

Sampai semalaman kalian tetap tak menemukan cara untuk dapat mengeluarkan tikus sohib kalian dari dalam kurungan itu—dan sejak itulah kalian kehilangan seorang teman sesama tikus. Malam itu menjadi malam terakhir bagi kalian melihatnya, karena sejak saat itu si tikus yang malang tersebut tak pernah terlihat lagi. Sampai kemudian kalian melihat berita di infotainment kalau tikus teman kalian telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Berita infotainment layak dipercaya—dan kalian pun mempercayainya.

Di malam yang lain, giliran tikus pacarmu yang keluyuran sendirian karena kau lupa mengajaknya kencan di malam Minggu. Sambil bersenandung sendu karena merindukanmu, tikus pacarmu melihat seiris daging tergantung-gantung menggodanya dalam sebuah kotak besi yang terbuka. Entah karena lapar atau karena ngidam, tikus pacarmu langsung masuk ke dalam kotak besi dan mendekati potongan daging yang diinginkannya. Begitu bibirnya yang seksi menyentuh daging itu, pintu besi di belakangnya tertutup—dan dia terkejut.

Sekali lagi masyarakat tikus dalam komunitas kalian mendengar jerit-cicit permintaan tolong dari sesama tikus, dan sekali lagi serombongan tikus mendatangi arah jeritan itu. Kau dan teman-temanmu kemudian mendapati tikus pacarmu tengah kebingungan dalam kurungan dengan wajah begitu nelangsa. Sekali lagi kalian menghadapi malam yang panjang, bersama kenyataan yang membingungkan.

“Oh, honey, kenapa kau bisa berada di dalam situ?” Kau bersimpuh di samping kurungan dan berbisik dengan bingung pada tikus pacarmu.

“Aku tidak tahu!” jawab tikus pacarmu dengan frustrasi. “Aku tadi cuma jalan-jalan sendirian ke sini, nyari hiburan--karena kau terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri hingga melupakan aku--lalu aku melihat ada daging kecil di sini. Jadi aku kemari, dan tiba-tiba pintu ini tertutup dan terkunci seperti ini! Oh, seharusnya kau tidak menelantarkan aku!”

“Aku tidak menelantarkanmu!” Kau menjawab dengan defensif.

“Ya, kau menelantarkanku!” Tikus pacarmu menjawab dengan sama defensifnya.

Lalu seekor tikus yang tampak bijak berkata dengan gaya sesosok filsuf yang telah memahami rahasia kehidupan, “Berdasarkan pengetahuan yang telah mencerahkanku,” katanya perlahan-lahan, “kurungan yang sekarang mengurungmu itu kurungan jebakan.”

Kau menjerit dengan frustrasi, “Aku juga tahu, sialan! Semua juga tahu kalau itu kurungan jebakan—karena pacarku sekarang terjebak di sana!”

Dan di malam itulah, untuk terakhir kalinya kau menyaksikan tikus pacarmu dalam keadaan hidup. Selang beberapa hari kemudian, infotainment di dunia tikus mengabarkan bahwa tikus seksi itu telah ditemukan dalam keadaan menjadi bangkai. Sekali lagi infotainment menunjukkan kredibilitasnya sebagai penyampai kisah yang mengharu-biru, dan kau pun bercucuran air mata menyaksikan berita itu.

....
....

Sampai di sini, sebaiknya saya cukupkan kisah ini—karena kalau dilanjutkan, lama-lama bisa menyerupai novel fabel. Seperti yang saya katakan di atas, saya bertanya-tanya dalam hati setiap kali mendapati satu tikus lagi terjebak dan terperangkap dalam kurungan yang saya siapkan. Yang saya pikirkan dan tanyakan, kenapa selalu saja ada tikus yang terperangkap masuk ke dalam kurungan itu…? Setiap malam ada tikus yang terjebak—dan mati—kenapa tikus-tikus lain tidak belajar dari pengalaman itu…?

Oke, mungkin kau ingin berkata kalau binatang—tikus—tidak memiliki pikiran. Itu benar—tetapi binatang dikaruniai otak, termasuk tikus. Fakta bahwa seekor tikus dapat menemukan makanan yang tergantung di dalam kegelapan kurungan, menunjukkan dengan jelas bahwa tikus dapat menggunakan otaknya. Tetapi, kenapa dia tidak menggunakan otak yang sama dalam hal belajar dari pengalaman sesamanya—itulah yang saya pikirkan dan yang membuat saya bertanya-tanya.

Nah, andaikan kau seekor, eh, seorang manusia….

Berdamai dengan Diri Sendiri



Jika Tuhan tidak menginginkan saya menjadi seperti ini, tentu Dia akan menciptakan saya seperti yang lainnya itu.

Saya meyakini bahwa sekian milyar manusia yang pernah hidup di bumi ini, yang sedang hidup dan yang akan hidup, tidak ada dan tidak akan pernah ada satu pun yang sama dengan diri kita. Masing-masing orang memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Bahkan seumpama sepuluh bayi dilahirkan dalam keadaan kembar pun masing-masingnya akan memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Inilah modal besar yang telah diberikan Tuhan kepada kita untuk kita gunakan dalam kehidupan ini.

Setiap orang telah diberi suatu keistimewaan yang tidak diberikan kepada orang yang lainnya. Yang perlu kita lakukan sebenarnya bukanlah mengikuti mode atau tren dengan ikut-ikutan menjadi sosok lain, tetapi menjadi diri sendiri dengan menonjolkan keistimewaan yang kita miliki secara unik ini. Mengikuti budaya konformitas (selalu berupaya untuk sama dengan orang lain) hanya akan menjadikan kita sebagai budak lingkungan dan kehilangan jati diri.

Jadilah diri sendiri, adalah nasihat paling mendasar bagi setiap manusia. Lebih dari itu, inilah salah satu jalan untuk menjadi tenang, damai dan bahagia.

Mengapa ada cukup banyak orang yang sulit menjadi bahagia? Salah satu jawabannya adalah karena mereka tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Orang-orang ini selalu saja menganggap ada yang kurang dari dirinya, lalu berusaha untuk menutupi kekurangan itu dengan meniru orang lain yang ia anggap lebih baik dari dirinya. Tetapi cara semacam itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, dan hati tidak akan pernah tenang, kehidupan tidak akan pernah tenteram.

Terkadang, dan yang aneh, kita selalu berusaha untuk bisa sama dengan orang lain, sementara orang lain diam-diam ingin bisa meniru kita. Ada cukup banyak orang di dunia ini yang tidak percaya kepada dirinya sendiri hingga menjadikan orang lain sebagai model bagi kehidupannya. Para remaja biasanya menggunakan kawan-kawan sekolahnya menjadi model bagi kiblat hidup mereka, sedang yang lebih dewasa menjadikan teman dalam pergaulannya untuk menjadi panduan kehidupan mereka. Sementara para orangtua biasanya melihat tetangganya, dan belum merasa tenang kalau belum bisa sama dengan para tetangga.

Jika persaingan secara terselubung dan diam-diam semacam ini yang kita lakukan untuk membangun kehidupan kita, kapankah kira-kira hidup ini akan menjadi tenteram? Saya meragukan hidup akan jadi membahagiakan jika kita selalu tak mampu berdamai dengan diri sendiri. Jika kita bersaing dengan orang lain, meskipun persaingan itu dilakukan secara diam-diam, persaingan itu tak akan pernah selesai. Satu kemenangan berhasil dimenangkan, kemudian orang lain memenangkan persaingan itu, dan kita menjadi panas kembali.

Kalau memang harus dan ingin bersaing, maka satu-satunya saingan yang paling sehat untuk diajak bersaing adalah diri kita sendiri. Selalulah berusaha lebih baik dari diri kita yang sekarang—inilah jalan paling konstruktif untuk membangun hidup sekaligus cara memperoleh kebahagiaan yang benar.


Cara Cowok Memutuskan Ceweknya



Saya tertawa ngakak sejak tadi saat membaca email yang dikirimkan Dwi Prasetyaningtyas (ini cowok apa cewek sih?). Ceritanya, si Dwi ini baru mengatamkan buku 100% Rahasia Cowok yang saya tulis, lalu dia punya ide mengirimkan email yang isinya gila abis soal cowok. “Ini aku tambahin daftar rahasia cowok,” katanya dalam email. Di emailnya itu dia bahkan memberikan judul “Rahasia Cowok dalam Memutuskan Pacarnya”.

Seperti yang saya bilang tadi, saya tertawa ngakak sewaktu membaca isinya. Karenanya, sekarang saya ingin membagikan tawa ini kepada teman-teman semua, dan berikut ini adalah transkrip email yang dikirimkan oleh Dwi. Hei, Dwi, tidak apa-apa ya, kalau emailmu diposting di sini? Thanks deh…

***

COWOK TELMI
Menelepon ke pacar untuk mutusin.

Telepon yang pertama, “Hai...pa kabar...? Dari mana aja neh...? Sebenernya gue mo ngomong nih...em...hm...waduh, kok jadi lupa ya...tar gua telpon lagi ya...!"

Telepon yang kedua, “Hai...gue baru inget nih... Sori ya ampe lupa. Abis gimana ya... Susah juga...emm...hm...tadi apa ya...? Gue mau ngomong apa tadi...? Yah, jadi lupa lagi... Elu sih...!!!”

Telepon yang ketiga, “Hai...sori ya telpon lu bolak-balik...sori, lupa mulu, abis tadi lupa minum obat sih... Gini, cuma mo kasih tau neh... Kita putus ya... Sebenernya sih gue mo kasih tau dari taon lalu, cuma lupa mulu... Daagg...”

COWOK MURTAD
Menelepon ke ortu pacar, minta tolong ortu yang menyampaikan.

“Alo, ini emak ya? Atau si abah..? Ah terserah lah! Eh, lu orang denger ya baek-baek. Kasih tau sama si Eneng, gue mau putus...tus...tus...! Jangan tanya nape. Pokoknya putus. Jangan lupa kasih tau die ya. Awas kalau lupa. Kalau lupa nih, gue hajar juga lu bedua...!!!”

COWOK SOPAN
Menelepon ke pacar dengan suara yang lembut mendayu.

“Assalamualaikum wr wb. Halo say, kamu baek-baek aja? Begini lho say, sehubungan dengan telah berlalunya waktu yang telah kita lewati bersama, maka aku menyadari bahwa aku dan kamu sebenarnya tidak ditakdirkan untuk bersama. Maka dari padanya marilah kita bersama-sama lapang dada untuk memutuskan jalinan kasih ini. Demikianlah untuk kusampaikan, lebih kurangnya aku mohon maaf lahir dan batin. Akhir kata, wassalamualaikum wr wb...”

COWOK SIMPEL
“Hi, kita putus ya. Cukup sekian!”

COWOK SUPER SIMPEL
“Aku pergi.”

COWOK GAK JELAS
“Hi say, pa kabar? Jadi pada dasarnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh karenanya penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Nah, lu tau kan, gue ini orang yang bebas dan merdeka. Jadi lu tau lah maksud gue. Udeh, gitu aja. Bye...!”

COWOK PEMALU
“Cayangg... Emh...hm... Ada sesuatu yang ingin gue sampaikan...tapi gue malu ni ngomongnya... Gimana ya...? Hmm...emh...hm...jadi malu ni... Gimana ya...? Intinya, gue malu deh jalan ama elu.. Sori ya Cayangg...”

COWOK DURJANA
“Alloww... Elu kok masih idup? Eh denger, ya. Mulai detik ini gue gak mau liat muke lu lagi. Awas lu kalau sampe gue liat lu lagi. Gue matiin lu...!”

COWOK DURJANA ANGKARA MURKA
“Eh monyong...kutu kupret muke gileee... Kita putusss...”

COWOK CAPE
“Hallo, say... Tiap inget elu, gue cape deh...! Tiap denger nama elu, gue cape deh...! Tiap liat elu, gue lebih cape lagi deh...! Gue bener-bener cape deh! Kita putus ya!”

COWOK PANTUNIS
“Hi, Hon... Abang kasih pantun ya. Nih, dengerin baek-baek... Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Kalau ada umur panjang, mending kita tak jumpa lagi!”


Hei Cewek-cewek, Plis Dong, Ah…!



Ketika seorang cowok yang tidak kau kenal mengulurkan tangan dengan sopan kepadamu dan ingin mengajakmu berkenalan…hei, apa yang kau lakukan? Cowok yang ingin berkenalan denganmu belum tentu karena dia jatuh cinta kepadamu, atau ingin menjadikanmu sebagai pacar atau pasangannya—jadi apa salahnya menerima perkenalannya? Bisa saja cowok itu tertarik ingin berkenalan denganmu karena kau mirip dengan sahabatnya di SMP dulu, atau karena kau mengingatkannya pada sesuatu yang menyenangkan untuk dikenang. Jadi, plis dong, seberapa beratnya sih menyambut uluran tangan yang sopan dari seseorang…?

Ketika seorang cowok menulis email untukmu, atau berkirim SMS ke nomor ponselmu, dan kata-kata yang ditulisnya begitu sopan…hei, apa yang kau lakukan? Cowok yang berkirim email atau kirim SMS kepadamu belum tentu karena dia naksir kepadamu atau tergila-gila kepadamu—jadi apa salahnya membalas email atau SMS itu dengan sama sopannya? Kalau kau begitu giat dan rajin mengumpulkan kawan di Friendster atau di Facebook, apa bedanya dengan kawan baru di inbox email atau di SMS? Jadi, plis dong, seberapa beratnya sih menulis kata-kata yang baik dan sopan untuk membahagiakan hati seseorang…?

Ketika seorang cowok sepertinya mendekatimu, atau ingin akrab denganmu, dan pendekatannya begitu sopan sekaligus tidak norak apalagi vulgar…hei, apa yang kau lakukan? Cowok yang ingin dekat denganmu belum tentu karena dia jatuh cinta kepadamu. Cowok yang ingin akrab denganmu belum tentu karena dia tergila-gila karena pesonamu. Ada sejuta alasan yang menggerakkan seorang cowok hingga ia ingin dekat dan akrab dengan seorang cewek—dan alasannya tidak selamanya cinta apalagi karena tergila-gila. Jadi, plis dong, tak perlu buru-buru ge-er atau menjauh. Apa salahnya sih akrab dan dekat dengan seseorang…?

Ketika seorang cowok memposting tulisan berjudul “Hei Cewek-cewek, Plis Dong, Ah…!” di blognya, dan kau kemudian membacanya…hei, apa yang kau pikirkan? Jangan salah sangka. Posting ini bukan curhat nelangsa dari seorang cowok yang kesulitan berkenalan dengan cewek—meski kadang-kadang juga begitu. Catatan ini terpaksa diposting di sini karena terlalu banyak cowok yang bertanya-tanya dengan bingung tentang mengapa banyak cewek harus sok jual mahal untuk sesuatu yang seharusnya tidak dijual? Keindahan, kecantikan dan kebaikan hati adalah keMURAHan hati—dan bukan keMAHALan hati. Jadi, plis dong, kenapa sih harus melekatkan label harga pada sesuatu yang seharusnya tak ternilai harganya…?

Ketika seorang cowok ingin berkenalan, ingin akrab, bahkan ingin dekat dengan seorang cewek, tidak selamanya alasannya didasari oleh cinta atau keinginan menjadikan pasangan. Ada kalanya mereka membawa alasan yang lebih luhur dan lebih agung…yang hanya dapat kau ketahui jika kau telah dekat dengannya. Interaksi antara cowok dan cewek tidak selamanya dilandasi oleh perasaan cinta semata-mata—atau tetek-bengek soal pacar dan pasangan semata-mata. Hubungan antar manusia tidak selalu dilandasi karena rasa ingin memiliki, terkadang dilandasi oleh keinginan luhur karena ingin memberi. Jadi, plis dong, kenapa tidak mulai dari sekarang kita semua belajar saling memahami…?

Trust me, kecantikanmu tidak akan berkurang hanya karena sedikit kebaikan hati yang kau berikan. Keindahanmu tak akan berkurang hanya karena kau menyambut uluran tangan seseorang. Bahkan kemanusiaanmu tidak akan berkurang hanya karena kau memberikan keramahan dan kehangatan kemanusiaan. Manusia tidak dinilai dari siapa dan seperti apa dirinya semata-mata—manusia lebih dinilai karena apa yang dilakukannya.

Demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, saya menulis kata-kata ini bukan karena ingin merayumu, atau karena ingin berkenalan denganmu, atau karena ingin dekat dan akrab denganmu, apalagi ingin jadi pacarmu—saya menuliskan kata-kata ini karena saya telah menunggu selama bertahun-tahun, menunggu seseorang menuliskan kata-kata ini. Tetapi hingga bertahun-tahun lamanya saya menunggu, tak pernah ada seorang pun yang menuliskannya—jadi saya pun sekarang menuliskannya. Saya menulis kata-kata ini tanpa pretensi selain hanya karena kehendak hati. Kau bisa mempercayai ini.


Kulit Manusia di Pameran Buku

Hati-hati dengan seseorang
yang belajar hanya dari sebuah buku.
—Peribahasa Latin


Bagi orang seperti saya, pameran buku adalah berkat, sebuah karunia. Di pameran buku, kita bisa membawa modal minimal dan memperoleh buku dalam jumlah yang cukup maksimal. Di acara pameran seperti itu, harga buku dipangkas, dipotong dan didiskon, hingga terkadang sampai delapan puluh persen dari harga normal di toko.

Jadi, ketika beberapa waktu yang lalu ada pameran buku di kota saya, mau tak mau saya pun ‘tersedot’ ke sana. Dalam satu tahun, kira-kira ada dua sampai empat kali acara pameran buku, dan saya selalu menjadi ‘pengunjung tetap’. Yang mengasyikkan di pameran buku bukan hanya dapat menyaksikan lautan buku yang melimpah-ruah, tetapi juga bisa memperoleh buku-buku terbitan lama yang sudah tak lagi beredar di toko buku.

Nah, saya merasa perlu menuliskan cerita pameran buku ini, sama sekali bukan untuk menceritakan aktivitas atau keasyikan selama berada di pameran, melainkan lebih karena kegelisahan yang saya rasakan ketika mengunjungi pameran itu beberapa waktu yang lalu.

Pameran buku itu diadakan di sebuah gedung yang cukup luas, dan di dalam gedung itulah berpuluh-puluh stand dibangun untuk berpuluh-puluh penerbit dan distributor menggelar buku-buku mereka.

Di hari pertama pembukaannya, saya pun datang ke sana, dan telah bersiap untuk merenangi lautan buku yang sudah saya bayangkan keasyikannya. Gedung pameran itu cukup ramai, dan ada bertumpuk-tumpuk buku seperti yang saya bayangkan. Tetapi, yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, ada sederetan stand penjual baju di antara stand-stand penjual buku. Dan, yang membuat saya gelisah bukan main, stand-stand penjual baju itu tampak lebih ramai dibanding stand-stand penjual buku di sekelilingnya.

Saya gelisah! Pameran yang saya datangi ini adalah pameran buku, tetapi kenapa harus ada penjual baju yang ikut ‘nyempil’ di sana? Sepanjang yang saya tahu, penjual buku tidak pernah ‘ngerusuhi’ setiap kali ada pameran fashion atau penjualan dan bazar baju. Yang membuat saya lebih gelisah, para pengunjung pameran itu terlihat lebih menyukai berdesak-desakan di stand baju dan mencoba fashion baru, daripada menyentuh sampul-sampul buku!

Kenyataan kecil tapi ironis yang saya dapati di pameran buku itu, mau tak mau membuat saya gelisah memikirkannya. Ironis, karena buku dan pengetahuan adalah isi manusia, sementara baju dan pakaian hanyalah kulitnya. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan tadi, ternyata kebanyakan manusia lebih asyik dengan kulit semata-mata dan terkesan mengesampingkan isi, lebih sibuk memikirkan penampilan fisik dibanding isi otak dan luasnya hati. Kebanyakan manusia lebih mudah membuang uang untuk baju-baju baru, dibanding menggunakan uangnya untuk buku dan ilmu.

Pakaian adalah kulit kedua yang melapisi kulit inti manusia, sedangkan pengetahuan adalah jantung dan hatinya. Sebagus, sehebat, bahkan seagung apa pun pakaian yang dikenakan, manusia membutuhkan hati dan denyut jantung untuk dapat menjalani kehidupan.

Pakaian adalah ciri kebudayaan, tetapi pengetahuan adalah kebudayaan itu sendiri. Pakaian adalah bukti peradaban manusia, tetapi pengetahuan adalah peradaban itu sendiri. Sibuk membeli baju di antara stand-stand penjual buku sama halnya sibuk memamah kulit kacang tapi membuang isi kacangnya.

Dan kenyataan semacam itulah yang saya dapati di pameran buku di kota saya beberapa waktu yang lalu. Inilah untuk pertama kalinya, sejauh yang saya tahu, ada stand penjual baju di antara stand penjual buku. Dan untuk pertama kalinya pula, saya baru mengetahui, ternyata ada cukup banyak orang yang lebih mementingkan kulit dibanding isi, lebih menomorsatukan penampilan dibanding pikiran dan jiwanya.

Kamis, 25 Maret 2010

Hit and Run: Tabrak Lari Tidak Jelas

Mary adalah cewek tajir yang ke mana-mana mengendarai jip convertibel merah kinclong. Suatu malam, Mary mengadakan pesta bersama kawan-kawannya, sesama anak-anak tajir, dan dia memutuskan pulang awal karena kelelahan. Pacarnya, Rick, mencoba menahannya, tetapi Mary tetap bersikeras untuk pulang.

Di tengah jalan yang lengang, tanpa sengaja Mary menabrak seorang laki-laki. Kejadian menabrak-seorang-laki-laki itu sama sekali tidak jelas—tetapi, anehnya, kejadian itulah yang dijadikan tema dan inti cerita film berjudul Hit and Run ini.

(Pertanyaannya, mengapa adegan tabrak lari itu sama sekali tak terlihat jelas dalam film, jika kejadian itulah yang akan dijadikan tema dan inti ceritanya?).

Setelah menabrak laki-laki tadi, Mary melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah tanpa menghiraukan orang yang telah ditabraknya. Di rumah, TIBA-TIBA Mary merasa ada yang aneh, perasaannya tidak enak, dan TIBA-TIBA dia mendapati mayat seorang lelaki di garasi rumahnya—laki-laki yang tadi ditabraknya.

Ketika didekati, ternyata laki-laki itu belum menjadi mayat—dia masih hidup—dan tanpa penjelasan apa pun, laki-laki itu menyerang Mary. Mary yang panik tanpa sadar mengambil stik golf, dan menggunakannya untuk membunuh laki-laki itu.

(Pertanyaannya, bagaimana caranya laki-laki korban tabrak lari itu bisa ada di garasi rumah Mary?).

Seusai menyadari telah membunuh seseorang, Mary panik dan memutuskan untuk menguburkan mayat laki-laki itu di tempat yang sepi. Dia menyeret dan menaikkan mayat laki-laki yang beratnya tiga kali lipat dari dirinya itu ke mobilnya, kemudian melaju ke sebuah lokasi yang sepi, lalu menggali lubang kubur menggunakan dahan pohon, lalu memasukkan mayat laki-laki itu ke dalam tanah galian.

(Pertanyaannya, mungkinkah hal semacam itu terpikirkan dan/atau dilakukan seorang cewek remaja tajir yang biasa mengendarai jip convertibel merah kinclong? Lebih dari itu, bukahkah sejak awal film ini Mary sudah menyatakan dirinya lelah, hingga memutuskan pulang awal dari pesta?).

Setelah mengubur mayat itu, Mary mendapati berita hilangnya laki-laki itu di televisi. Karena gelisah, Mary lalu curhat pada Rick, pacarnya, tentang kejadian kecelakaan dan pembunuhan yang telah dilakukannya. Konyolnya, Mary baru ingat kalau dia telah menggunakan selimut miliknya untuk membungkus mayat laki-laki tadi, dan sekarang selimut itu ikut terkubur bersama mayat—dan Mary meminta Rick untuk mengambilkan selimut itu.

Rick menyanggupi permintaan Mary, asal Mary juga datang ke lokasi. Mary pun mendatangi lokasi penguburan mayat itu, tetapi dia tidak mendapati Rick di sana. Mary lalu memutuskan untuk menggali sendiri kuburan, untuk mengambil selimutnya kembali. Anehnya, mayat di dalam galian itu telah berubah menjadi mayat Rick!

(Pertanyaannya, bagaimana ceritanya hingga Rick bisa berada di dalam tanah galian dalam keadaan telah tewas? Kenapa tidak ada penjelasan sedikit pun—baik tersurat ataupun tersirat—mengenai hal itu?).

Mary pulang kembali ke rumahnya, dan lagi-lagi dia merasa perasaannya tidak enak. Lalu, entah dari mana asalnya, tiba-tiba laki-laki yang ditabraknya telah berada di rumahnya, menyerang Mary, bahkan menggigit telinga Mary. Tidak cukup, laki-laki itu kemudian mengikat Mary dan memasukkannya ke dalam mobil, kemudian mengendarai jip convertibel milik Mary dengan kecepatan tinggi.

Lebih konyol lagi, laki-laki yang seharusnya sudah menjadi mayat itu bahkan sempat mampir ke pom bensin, dan mengisikan bensin ke tangki mobil.

(Pertanyaannya, apa sebenarnya yang terjadi dengan laki-laki itu? Kenapa dari awal sampai akhir film tidak dijelaskan sedikit pun latar belakang laki-laki itu, dan asal-muasal kebangkitannya dari kematian?).

Kejadian dan adegan-adegan selanjutnya semakin tak masuk akal—dan itulah yang ditawarkan oleh film Hit and Run. Film ini memiliki tema yang sederhana—teramat sangat sederhana—yakni tabrak lari. Tetapi tema yang amat sangat sederhana itu, anehnya, digarap dengan sangat melukai logika penontonnya, dengan adegan-adegan tak masuk akal dan berlebihan, dengan caci-maki kasar yang tak relevan, sekaligus dengan jalan cerita membosankan.

Film ini terlalu banyak meninggalkan celah berisi tanda tanya yang membuat penonton jengkel. Siapa sebenarnya laki-laki yang menjadi korban tabrak lari itu? Kenapa dia bisa hidup kembali setelah jelas-jelas mati? Kalau memang dia hantu, iblis atau roh gentayangan, kenapa harus ada adegan konyol di pom bensin? Sepertinya sangat keterlaluan dan tak masuk akal kalau ada hantu yang berhenti di pom bensin, kemudian mengisi bensin ke tangki mobil!

Dan di atas semua itu, MENGAPA LAKI-LAKI ITU BISA HIDUP KEMBALI SETELAH MATI, DAN KEMUDIAN MATI LAGI SETELAH HIDUP KEMBALI? Pertanyaan-pertanyaan penting itu, sayangnya, sama sekali tak terjawab oleh film ini.

Sebenarnya, penonton film tidak mempersoalkan cerita yang ditontonnya. Tak peduli seaneh apa pun, atau tidak masuk akal sekali pun, penonton masih dapat menikmati dan bahkan menyukainya—selama film itu memiliki plot atau alur cerita yang jelas, diceritakan dengan baik, serta tidak melukai atau mencederai logika. Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh film Hit and Run. Pembuat film ini sepertinya menganggap penonton terlalu bodoh, sehingga disuguhi jalan cerita yang luar biasa bodoh.

Film ini mungkin membawa pesan moral yang bagus, yakni agar orang tidak melakukan tabrak lari, dan agar orang bertanggung jawab jika tanpa sengaja menabrak orang lain dalam kecelakaan. Itu pesan yang baik. Tetapi pesan yang baik saja tidak cukup—pesan yang baik harus disampaikan dengan cara yang sama baiknya. Karena tak peduli sebaik apa pun pesan yang kita sampaikan, orang tak akan menghiraukannya jika cara penyampaian kita menjengkelkan.

Jadi, inilah pelajaran pentingnya: Pesan yang baik saja tidak cukup. Pesan yang baik juga membutuhkan cara penyampaian yang baik. Sayangnya, Hit and Run tidak melakukan hal itu.

Khutbah di Blog



…bahwa setiap hari Tuhan sesungguhnya berbicara kepada manusia melalui alam, maupun melalui diri manusia sendiri. Kita selalu diingatkan bahwa hari terus bertambah dan usia kita semakin berkurang, kita selalu diingatkan bahwa modernisasi artinya maju ke dapan dan bukannya mundur ke belakang. Itu adalah bagian kecil dari peringatan yang disampaikan Tuhan kepada manusia dengan caranya yang unik.

Kita juga selalu diingatkan, setiap hari, bahwa Tuhan begitu menyayangi kita dengan bukti bahwa Dia masih memberikan kita kesempatan untuk menikmati hari ini. Pernahkah kau memikirkan bahwa ketika kau masih tertidur, Tuhan bisa saja memerintahkan malaikat untuk mencabut nyawamu dan kau tak akan bisa bangun lagi untuk selamanya?

Tuhan berbicara kepadamu setiap hari.

Tuhan berbicara melalui panca inderamu, mengingatkanmu bahwa kau telah memiliki apapun yang terbesar dan paling mahal di dunia ini. Tuhan berbicara kepadamu melalui sekian ratus milyar sel yang kau miliki dalam tubuhmu, menyadarkanmu bahwa kau adalah keajaiban besar dalam hidup, dan kau layak memperoleh apapun yang terbaik yang kau inginkan selama kau tak menyembunyikan diri di balik kegelapan rendah diri dan putus asa.

Tuhan berbicara kepadamu melalui hati nurani dan perasaan kelembutanmu, mengingatkanmu bahwa sesungguhnya kau bisa membantu agar dunia ini menjadi tempat tinggal yang lebih baik bila kau mau mengeluarkan cintamu yang paling tulus untuk sesama umat manusia. Tuhan berbicara kepadamu melalui otak dan akal pikiranmu yang luar biasa, mengingatkanmu bahwa kau bisa menjadikan hidupmu penuh dengan kebahagiaan maupun penuh dengan penderitaan, dan itu adalah pilihanmu sendiri. Tuhan berbicara kepadamu setiap hari…

Apakah kau tak pernah mendengarnya? Apakah kau tak pernah merasakannya? Hari ini, sudah saatnya untuk kembali mendengarkan kata-kata Tuhan dalam setiap langkah di kehidupan ini. Setiap kali kau mengalami kesusahan, jatuh dalam keputusasaan, kerendahdirian ataupun penderitaan batin yang tak bisa kau katakan, ingatlah kembali bahwa kau memiliki sandaran yang amat kuat—kekuatan yang Maha Besar—agar kau bisa kembali menyegarkan semangatmu, sekaligus untuk membangun kembali puing kehidupanmu.

Bukankah kehidupan ini akan menjadi lebih indah ketika kita menyadari ada sebuah kekuatan Maha Besar yang selalu menaungi setiap langkah kita? Bukankah hidup akan menjadi lebih indah ketika kita menyadari ada sebuah Cinta dari Sang Maha Pengasih yang selalu menyayangi diri kita? Dan…kita telah memilikinya. Kau memiliki Kekuatan itu, kau memiliki Cinta itu. Ia ada di dekatmu, bahkan keberadaannya lebih dekat dari urat nadi lehermu sendiri.

Tuhan yang Maha Besar akan memberikan segala yang terbaik, segala yang terbesar, ke dalam hidup ini menurut kesiapan mental kita. Kalau kita datang ke gudang karunia-Nya dengan membawa tas kecil, kita pun akan mendapatkan sebanyak tas kecil. Kalau kita datang dengan membawa gerobak, kita akan memperoleh sebesar tempat yang kita bawa. Kalau kita datang dengan membawa truk muatan, kita pun akan menerima muatan sepenuh isi truk. Kita hanya bisa menerima menurut besar kecilnya keyakinan dalam pikiran kita, dalam hati kita. Karena itu, selalulah berpikir besar, berhati besar.

Tuhan berbicara kepadamu. Tuhan berbicara kepadamu setiap hari…


Senin, 22 Maret 2010

Dunia yang Aneh



Yang menakjubkan dari hidup ini, you know, adalah bahwa sekuat apapun kita mencoba mempelajari dan memahaminya, tetap saja hidup ini menawarkan kejutan-kejutan yang tak biasa. Hidup ini seperti novel panjang dengan plot atau jalan cerita yang tak terduga—dan kita terus saja takjub dengan segala isinya.

Kenyataan semacam itulah yang terjadi pada diri saya, kemarin malam, saat duduk sendirian di ruang tunggu salon menunggu giliran untuk potong rambut. Tak jauh dari tempat saya duduk, ada seorang ibu muda yang tampak menenangkan dua anaknya yang kira-kira berusia empat dan lima tahun. Ibu muda itu pasti juga sedang menunggu giliran, seperti saya.

Ketika tanpa sengaja muka kami bertemu, ibu muda itu seperti terpana melihat saya, dan dengan nada yang ramah serta suara yang takjub dia menyapa, “Hei…kamu pasti Hoeda…!”

Sambil salah tingkah saya mencoba mengingat-ingat wajah di depan saya ini, tetapi meski sudah memeras otak dan memori, tetap saja saya tak ingat siapa ibu muda yang ramah dan cantik ini. Apakah ini kawan kuliah saya dulu? Sepertinya bukan. Teman SMA? Sepertinya juga tidak. Kawan SMP? SD…? Uh, siapa ibu muda ini…???

Mungkin karena melihat muka saya yang bingung, ibu muda itu pun tersenyum memaklumi, dan berkata dengan nada yang masih ramah, “Aku Nadia, ingat…?”

Ya Tuhan, ini memalukan sekali. Saya tetap saja tidak ingat…!!! Nadia…? Nadia siapa…? Sekali lagi saya memeras otak dan menyaring memori, tetapi nama Nadia tetap saja tak mampu memunculkan seraut kenangan apapun.

“Uh, maafkan aku…” akhirnya saya menjawab dengan muka bersalah. “Aku nggak ingat…”

Untunglah, ibu muda bernama Nadia ini memiliki keramahan yang alami. Dia masih tetap tersenyum ramah dengan wajah memaklumi, dan kemudian berkata perlahan-lahan, “Aku adik Mbak Erni, teman SMA-mu dulu. Nah, ingat…?”

Meski masih samar-samar, sekarang saya ingat! Erni…ya, saya ingat nama itu, karena dulu saya pernah akrab dan dekat dengannya. Dan saya juga ingat kalau Erni punya adik bernama Nadia. Jadi…ini adik Erni yang dulu kecil dan imut-imut itu…??? Sepertinya tak bisa dipercaya. Oh, dunia yang aneh…!

Jadi, dulu sewaktu masih SMA, saya punya sohib bernama Erni. Karena akrab, saya pun sering main ke rumahnya, bahkan kemudian akrab pula dengan nyokapnya. Sewaktu sering main ke tempat Erni itulah saya kemudian tahu kalau Erni punya adik perempuan bernama Nadia—yang waktu itu masih kelas tiga SMP. Lulus dari SMA, saya dan Erni berpisah, dan makin lama kian jarang berhubungan karena kesibukan masing-masing. Kabar terakhir yang saya dengar, Erni telah menikah dengan orang Surabaya dan hidup di sana hingga sekarang. Dan sekarang…di salon ini, saya berjumpa kembali dengan Nadia, adik Erni, yang kini telah menjadi seorang ibu dengan dua orang anak!

Dear God, sudah berapa lamakah semua itu terjadi…? Sudah berapa tahunkah yang berjalan semenjak saya melihat Nadia yang dulu kecil imut itu…? Sudah berapa lamakah sejak terakhir kali saya menyaksikan adik dari teman saya yang dulu masih anak-anak itu…? Nadia, gadis kecil yang dulu masih anak-anak…sekarang telah memiliki anak-anak… Oh, dunia yang aneh...

Kami pun bercakap-cakap di sofa di salon itu, sambil Nadia sesekali menyahuti celoteh kedua anaknya. Dan sepanjang bercakap-cakap dengannya, saya tak lagi mendapati wajah polos gadis mungil yang dulu pernah saya lihat, saya tak lagi menyaksikan tampang imut seorang anak kecil yang dulu pernah saya kenal. Yang saya lihat sekarang di wajah Nadia adalah wajah seorang ibu—matang, dewasa, dan bijaksana.

Jadi ke manakah tahun-tahun yang hilang itu…? Ke manakah waktu-waktu yang berlalu itu? Dan yang terpenting di atas semuanya itu, di manakah diri saya saat waktu-waktu berjalan dan tahun-tahun berlalu…? Setiap hari, saat bercukur di depan cermin setelah mencuci muka, saya mendapati wajah saya yang tak berubah—seolah tak pernah berubah. Saya masih memiliki gurat keremajaan yang dulu saya miliki, yang selalu saya miliki, tetapi ternyata waktu-waktu berjalan, dan tahun-tahun tak pernah berhenti. Jadi di manakah saya di antara tahun-tahun itu, di antara waktu-waktu itu…?

Apakah dunia saya berhenti berputar, sementara dunia orang lain terus berjalan? Apakah saya tetap saja masih anak-anak, sementara orang lain tumbuh dewasa dan menua? Apakah jam biologis saya berhenti di sini, sementara orang-orang lain semakin keriput untuk kemudian mati…? Oh, dunia yang aneh…

Nadia yang dulu saya lihat masih anak-anak, sekarang telah menjadi ibu yang telah memiliki anak-anak—jelas saja saya tidak mengenal wajahnya! Sementara dia tetap mengenali saya, bahkan sejak pertama kali melihat muka saya, padahal sudah bertahun-tahun lamanya kami tak pernah berjumpa—mengapa…???

Jawabannya berputar-putar di sekeliling kepala saya, bercampur bersama angka dan kata-kata, berbaur dengan keheningan nada yang hanya dapat saya dengarkan sambil memejamkan mata.

Oh, dunia yang aneh…

…ataukah saya yang aneh…?


Have a Great Day



Hari ini adalah waktu paling tepat untuk memulai dan melakukan dan mengerjakan. Karena...tak ada jaminan pasti besok pagi kita masih dapat menyaksikan terbitnya matahari.

Setiap kali saya membuka mata di pagi hari setelah semalam tidur, saya menyadari bahwa hari ini adalah hari esok yang saya bayangkan kemarin. Meskipun saya telah mulai memasuki hari ini, namun saya tak pernah tahu apa saja yang akan terjadi di hari ini. Di dalam benak saya memang jelas begitu banyak hal yang ingin saya kerjakan di hari ini, namun sekali lagi, saya tak pernah tahu apa saja yang akan terjadi di hari ini.

Ketika saya sampai pada kesadaran semacam itu, saya benar-benar menganggap bahwa semua kekhawatiran tentang hari ini yang saya risaukan kemarin itu benar-benar tak ada gunanya. Begitu pula halnya jikalau hari ini saya mengkhawatirkan apa yang akan terjadi di hari esok. Itu pun benar-benar konyol dan tak ada gunanya. Siapa yang dapat memastikan dengan tepat apa yang akan terjadi besok? Lebih dari itu, siapa yang dapat menjamin bahwa saya masih hidup hingga hari esok datang?

Di saat kesadaran semacam itu mulai merayap dalam hati dan pikiran saya, tekad saya pun hanya satu; menikmati hari ini dengan sepenuh kebahagiaan, mensyukurinya dengan sepenuh hati, dan berupaya mengisinya dengan semua hal bernilai yang dapat saya lakukan hari ini. Hari ini tak akan mungkin datang lagi, dan lebih dari itu, mungkin inilah hari terakhir yang dapat saya miliki.

Setiap kali bangun dari tidur di pagi hari, filsuf Henry Thoreau selalu meluangkan waktu sejenak untuk duduk di pinggiran tempat tidur. Setelah kesadarannya penuh, dia membayangkan bahwa hari baru yang akan dijalaninya ini merupakan hari yang terindah, dimana dia akan mendapatkan hal-hal yang menarik hatinya, bahwa pekerjaan yang akan dihadapinya begitu mengasyikkan, bahwa cuaca akan cerah, bahwa orang-orang yang akan ditemuinya akan menyenangkannya. Semua kabar baik tentang kehidupan dimasukkannya semua dalam pikirannya. Dan setelah itu, dia pun beranjak dari duduknya dengan pikiran yang cerah, dengan semangat yang menyala-nyala, dan dengan energi kehidupan yang begitu besar.

Sebelum menjalani hari yang baik, ia terlebih dulu menciptakan hari yang baik dalam pikirannya. Mungkin kita perlu meniru Thoreau dalam upaya untuk bisa selalu menikmati hari yang indah.

Setiap bulan adalah awal yang baru, begitu pun setiap hari yang baru. Hari ini adalah hari yang benar-benar baru dalam hidup karena kita belum pernah sama sekali memasukinya. Apapun yang ada di hari kemarin, semua itu sudah berakhir ditelan malam. Kini kita memasuki sebuah kehidupan baru.

Ketika kau membuka mata dari lelapnya tidur, lalu bangkit turun dari pembaringan, hiruplah napas dengan khidmat, karena kau masih bisa menikmati anugerah luar biasa bernama “hari ini”. Karena itu, tersenyumlah seperti matahari pagi yang tengah tersenyum kepadamu.

Pandanglah hari ini, karena inilah hidup, kehidupan dari segala kehidupan. Dalam kesingkatannya terdapat semua kesempatan keberadaan juga kebahagiaan kita. Kebahagiaan pertumbuhan, kemuliaan tindakan, kesemarakan petualangan. Hari kemarin sudah menjadi kenangan, hari esok masih berupa impian. Tetapi hari ini, dengan hidup secara lebih baik, akan membuat semua hari kemarin adalah kenangan kebahagiaan, dan setiap hari esok adalah impian tentang harapan serta kebahagiaan. Karena itu, pandanglah dan nikmatilah hari ini sepuas-puasnya. Have a Great Day!


Polisi di Prom Pi Ram

Milikilah keberanian untuk mengatakan tidak. Milikilah keberanian
untuk menghadapi kebenaran. Lakukan hal yang besar karena memang
itu benar. Inilah kunci penting untuk hidup dengan integritas.
—W. Clement Stone


Prom Pi Ram adalah nama suatu tempat atau wilayah di Thailand, yang dijadikan judul sebuah film—dan film itulah yang sekarang ingin saya ceritakan. Film berjudul Prom Pi Ram ini bisa dikatakan film biasa, dalam berbagai faktornya. Film ini memiliki tema biasa, diperankan orang-orang biasa, dengan setting yang juga biasa, tetapi layak mendapatkan apresiasi, hingga saya menuliskannya di sini.

Mengambil setting waktu tahun 1977, film ini bergerak seperti film dokumenter. Kisahnya mengenai seorang wanita desa yang pergi ke kota, dengan tujuan untuk menemui suaminya yang bekerja di sana. Karena tidak memiliki uang yang cukup, wanita ini pun pergi dengan bekal minim, sehingga ia sampai tidak bisa membayar tiket kereta yang ditumpanginya.

Dari sinilah petaka terjadi—dan film ini pun berawal serta bergerak dari kisah ini. Wanita tadi dipaksa turun dari kereta karena tak memiliki tiket, dan kemudian perjalanannya dalam usaha menemui suaminya itu membawanya kepada tragedi—dia diperkosa dan dibunuh.

Saat mayat wanita itu ditemukan oleh warga desa, polisi pun datang ke lokasi dan mulai melakukan penyelidikan atas identitas wanita tersebut, juga mulai menelusuri kasus serta mencari pelakunya. Seperti yang tadi telah disebutkan, film ini biasa-biasa saja. Dalam perjalanan penelusuran dan penyelidikan atas kasus perkosaan dan pembunuhan tersebut, film ini tidak menggambarkan ketegangan seperti film-film Hollywood yang penuh adegan baku tembak dan kejar-kejaran yang menegangkan.

Sebaliknya, Prom Pi Ram berjalan dengan alur yang berkesan datar, meski tetap membuat penonton penasaran dan bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku perkosaan dan pembunuhan atas wanita tersebut. Daya tarik sekaligus kelebihan utama film ini memang plot atau jalan cerita yang bagus. Tanpa plot yang bagus ini, sepertinya Prom Pi Ram hanya akan menjadi tontonan yang amat membosankan. Dari plot utama, film ini mampu menghadirkan sub-sub plot yang cerdas sekaligus membumi.

Karena inti ceritanya adalah penelusuran atas kasus kejahatan (perkosaan dan pembunuhan), maka para pemeran utamanya pun para polisi. Di sinilah letak keistimewaan film ini. Prom Pi Ram menggambarkan polisi-polisi berintegritas dalam mengungkap kasus itu, dan hal itu ditunjukkannya dengan adegan-adegan yang bagus. Dalam salah satu adegan, sekelompok polisi mendatangi rumah seseorang yang mereka curigai. Karena belum memiliki dasar sangkaan yang kuat, polisi-polisi itu pun mendatangi rumah orang tersebut tanpa membawa surat perintah penggeledahan.

Sewaktu dipanggil dari depan rumah, si orang bersangkutan tidak juga keluar dari rumahnya. Karena capek memanggil-manggil, seorang polisi pun berkata pada inspekturnya, “Pak, bagaimana kalau kita geledah saja rumahnya?”
“Tidak,” jawab sang Inspektur. “Kita tidak membawa surat resmi, dan menggeledah rumahnya akan menjadi pelanggaran hukum.”

“Tapi dia belum tentu tahu hukum, Pak.”

Sang Inspektur menjawab, “Dia mungkin tidak tahu hukum, tetapi kita tahu.”

Dialog-dialog itu sederhana, tetapi cerdas sekaligus menyiratkan integritas yang baik. Dalam salah satu adegan yang lain, seorang Ketua Warga Desa (mungkin kalau di sini semacam Kepala Desa atau Pak Lurah), datang ke kantor polisi dan membawa sekeranjang makanan yang dihias pita. Sang Inspektur yang menerima Ketua Warga Desa itu pun menyambutnya dengan ramah, dan mereka bercakap-cakap. Saat ditanya untuk apa membawa makanan ke kantor polisi, si Ketua Warga Desa menjawab, “Ini sebagai ucapan terima kasih dari warga desa, karena kepolisian telah berhasil menangkap penjahatnya.”

Sang Inspektur menolak pemberian itu. Ingat, setting kisah ini pada tahun 1977, dan hadiah berupa makanan dalam keranjang yang dihias pita semacam itu pastilah hadiah yang tergolong mewah. Adegan itu pun dengan bagus menunjukkan tingginya integritas polisi menjaga kejujuran dalam profesinya, sehingga mereka benar-benar layak untuk dianggap sebagai “pelayan masyarakat” dalam arti sesungguhnya.

Sampai kemudian, kerja keras polisi berhasil meringkus orang-orang yang dicurigai terlibat dalam kasus kejahatan itu. Yang mengerikan, pelaku kejahatan itu bukan hanya satu orang, tetapi cukup banyak orang, dan dua di antaranya adalah para pejabat desa. Ketika para pejabat desa itu ditangkap, walikota di daerah Prom Pi Ram mendatangi kantor polisi dan meminta agar kedua orang itu dibebaskan, karena dua orang itu memberikan dukungan suara kepadanya dalam pemilihan walikota. Sang inspektur polisi kembali menunjukkan integritasnya yang tinggi—dia menolak permintaan itu, meski diancam akan dimutasi ke daerah lain.

Sekali lagi, Prom Pi Ram adalah film biasa—dengan kisah biasa, setting biasa, jalan cerita biasa, bahkan dengan tokoh orang-orang biasa. Bayangkan, kita tidak akan menemukan wajah cantik atau tampan dalam film ini. Semua pemeran tokoh dalam film ini benar-benar “orang biasa” dalam arti sesungguhnya—warga desa yang sederhana, bahkan amat sederhana dalam semua aspeknya. Tetapi, hebatnya, semua tokoh yang ada dalam film ini sangat bagus dalam memainkan perannya masing-masing, sehingga film ini terkesan begitu nyata.

Sewaktu menontonnya, saya jadi teringat pada serial Mbangun Desa di TVRI yang dulu terkenal dengan tokoh Den Baguse Ngarso itu. Film Prom Pi Ram juga tak jauh beda dengan itu—sederhana, bersahaja—namun diperankan dengan sangat baik, sekaligus membawa pesan yang baik, sehingga layak diapresiasi. Sepertinya, Indonesia juga perlu membuat film seperti itu, agar polisi-polisi di negeri ini pun dapat memiliki cermin yang bagus untuk melihat, menilai, dan menakar diri sendiri.

Polisi di Indonesia mungkin sudah baik, tetapi tak pernah ada kata berhenti untuk memperbaiki diri.

Kamis, 18 Maret 2010

Ucapan Baik, Ucapan Buruk



(Posting ini ditulis atas masukan dari Andika Setyawan, Riany Wijayantie, Andi Nursalam, Gunawan Winarno, Marhamah, Nurul Hakim, Dika Fairuzzaman, Mila Hayati, Muhamad Furqan, Muhamad Sobirin, Endri Wulandari, Cahya Fajar, Elistyaningrum, Kamal Mustafa, Muhamad Yusron, Arifin Hidayat, dan teman-teman lain yang telah berkirim email—terima kasih atas masukan dan ide kalian).

***

Apabila kita berkata buruk terhadap seseorang, apabila kita mencaci-maki seseorang, maafkan saya, itu sama saja halnya dengan meludahi orang tepat di mukanya. Satu hari dua hari atau satu minggu dua minggu yang akan datang, kita mungkin sudah lupa. Tapi satu tahun atau bahkan lima tahun yang akan datang, orang yang kita caci-maki itu belum tentu dapat melupakannya.

Sebagaimana kita perlu menjaga mulut saat berhadapan dengan seseorang, kita pun perlu menjaga mulut untuk tidak mengucapkan hal-hal buruk menyangkut orang lain meski kita tidak berhadapan dengannya. Jika saya bertemu denganmu dan kemudian saya menjelek-jelekkan seseorang, apa reaksi yang kemudian timbul dalam pikiranmu? Benar, bisa saja saya akan menjelek-jelekkanmu jika saya bersama orang lain. Kalau saya memburuk-burukkan seseorang di depan yang lainnya, sama saja halnya saya tengah memburuk-burukkan diri saya sendiri.

Lebih dari itu, apabila kita berkata buruk tentang seseorang, anehnya, kata-kata itu selalu saja sampai pada telinga orang yang kita tuju. Barangkali kita bisa saja berkata, “Tapi ini rahasia lho, jangan sampai dia tahu.” Nyatanya tetap saja dia tahu.

Kata-kata yang kita keluarkan itu seperti bulu yang mudah diterbangkan angin. Barangkali jarak antara kita dengan objek yang kita omongkan itu jauh, tetapi sejauh apapun, angin selalu mampu menerbangkan bulu ke tempatnya. Jika kita berbicara baik tentang orang lain, sejauh apapun, biasanya kata-kata itu akan sampai ke telinganya. Begitu pun jika kita bicara buruk tentang orang lain, sejauh apapun, biasanya kata-kata itu pun akan sampai ke telinganya. Jangan tanya saya bagaimana prosesnya, karena saya sendiri masih bingung bagaimana menjelaskan mengapa hal yang ‘aneh’ semacam itu bisa terjadi.

Ada kisah tentang seseorang yang menyesal karena terlanjur menyebarkan keburukan seseorang yang lainnya. Karena penyesalannya, orang ini pun mendatangi seorang yang bijak untuk meminta nasihat demi memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya.

Orang bijak yang didatangi itu mengatakan, “Kalau kau memang ingin berdamai dengan dirimu sendiri, ambillah sebuah kantong yang besar, lalu isilah dengan bulu ayam. Setelah itu, pergilah ke setiap rumah di kampungmu, dan jatuhkan sehelai bulu ayam itu di setiap halaman depan rumah yang kau lewati.”

Karena sungguh-sungguh ingin memperbaiki kesalahannya, orang tadi pun menuruti nasihat itu. Ia mengambil kantong dan mengisinya dengan bulu ayam seperti yang dinasihatkan, kemudian pergi berkeliling kampung untuk melakukan petunjuk si orang bijak. Setelah selesai, ia kembali pada si orang bijak dan bertanya, “Saya sudah melakukan apa yang Anda nasihatkan. Apa lagi yang harus saya lakukan?”

Si orang bijak menjawab, “Ambillah kembali kantungmu, lalu pungutlah kembali setiap helai bulu ayam yang tadi telah kau taruh di depan rumah setiap orang.”

Sekali lagi orang itu patuh, dan ia pun mulai berkeliling kampung untuk mengumpulkan kembali semua bulu yang telah disebarkannya ke setiap rumah. Butuh waktu yang amat lama untuk melakukan itu, sampai kemudian ia kembali pada si orang bijak sambil mengeluh, “Saya tidak berhasil mendapatkan semua bulu ayam itu karena sebagian telah terbang tertiup angin.”

Si orang bijak menjawab, “Begitu pula halnya dengan apa yang telah keluar dari mulutmu. Kata-kata yang buruk itu mudah untuk diucapkan, tapi kita tak pernah bisa menariknya kembali.”

Setiap kali ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, ada baiknya untuk mengingat; apakah kita akan menyesal setelah mengatakannya? Karena seperti bulu yang ringan dan tak dapat diambil kembali karena tertiup angin, begitu pun sesuatu yang telah keluar dari mulut sebagai ucapan kita.


Tak Sebebas Merpati



“…Ketika saya melihat makam orang-orang besar, semua emosi rasa iri pudar dalam diri saya. Ketika saya membaca tulisan-tulisan di atas batu nisan orang-orang cantik, semua keinginan yang tak terkendali menjadi sirna. Ketika melihat kesedihan para orang tua di atas batu nisan, hati saya luluh dengan rasa iba. Ketika melihat kuburan para orang tua itu sendiri, saya memikirkan sia-sianya kedukaan yang juga harus kita ikuti dengan cepat. Ketika saya melihat para raja berbaring di dekat orang-orang yang menumbangkan mereka, ketika saya memikirkan orang-orang yang dulu bersaing kini berbaring berdampingan, atau orang-orang yang membagi-bagi dunia dengan pertentangan dan perselisihan mereka, saya merenung dengan duka dan heran melihat kompetisi, penggolongan dan perdebatan umat manusia. Ketika saya membaca beberapa tanggal pada batu nisan, dari beberapa yang meninggal kemarin, dan beberapa yang meninggal enam ratus tahun yang lalu, saya memikirkan Hari Agung di mana kita semua menjadi orang sezaman dan tampil bersamaan…”
(Joseph Addison).

Apabila seekor merpati dilepaskan di udara, secara naluriah ia akan kembali ke tempat asalnya. Mungkin dia akan ‘jalan-jalan’ dulu ke tempat yang diinginkannya untuk menemui teman dan para sahabatnya. Mungkin dia akan berkeliaran terlebih dulu untuk mencari makanan yang belum pernah dirasakannya atau mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah didatanginya. Tetapi satu hal yang pasti, merpati selalu kembali. Novelis Mira W. menulis, “Merpati tak pernah ingkar janji.”

Kita pun tak ubahnya seperti merpati. Tuhan melepaskan kita di dunia ini dan pada suatu waktu kita pun akan kembali ke tempat asal. Di sini, di tempat dimana kita dibebaskan untuk melakukan apapun ini, kita memang bisa berbuat sekehendak hati, menuruti keinginan, memuaskan harapan, dan mengerjakan apapun yang kita suka. Tetapi, yang membedakan kita dengan merpati, kita bertanggung jawab penuh pada setiap sesuatu yang kita perbuat. Kita memang bisa terbang setinggi yang diingini, tetapi…kita tak sebebas merpati.


Selasa, 16 Maret 2010

Bahagia Tanpa Syarat



Kebahagiaan itu seperti kupu-kupu. Jika kita bergerak mengejarnya, ia akan terbang dan menjauh. Namun jika kita diam dan tenang, dia pun akan mendekat.

Saya sangat terkejut ketika membaca buku sejarah yang menceritakan biografi Napoleon Bonaparte. Napoleon Bonaparte yang hebat itu, yang telah menundukkan seluruh daratan Eropa di bawah kekuasaannya, mengaku bahwa dalam sepanjang hidupnya belum pernah merasakan kebahagiaan sampai seminggu. Dalam seluruh hidupnya, Napoleon mengakui, ia hanya baru bisa merasakan kebahagiaan beberapa hari saja.

Apakah ini tidak ironis? Penguasa yang namanya hingga hari ini ditulis oleh tinta sejarah itu belum pernah bahagia selama seminggu dalam sepanjang hidupnya! Sekali lagi, apakah itu bukan fakta yang mengejutkan?

Tetapi, bukankah begitu pula kita, kebanyakan dari manusia? Kita terlalu sering mengajukan banyak syarat untuk bisa merasakan kebahagiaan. Kita tidak terbiasa untuk bahagia tanpa syarat. Selalu saja ada hal-hal yang harus tersedia sebelum kita mampu bahagia.

Ada cukup banyak orang yang terbiasa menunda-nunda waktu untuk bahagia. Mereka biasanya mengatakan, “Saya baru akan merasa bahagia kalau sudah memiliki sesuatu,” atau, “Saya akan bahagia kalau telah mendapatkan apa yang saya inginkan.”

Tanpa kita sadari, kita seringkali menunda kebahagiaan kita sendiri hingga kita pun kemudian tanpa sadar menganggap bahwa hidup kita tidak bahagia. Tetapi yang sesungguhnya terjadi hanyalah bahwa kita sendirilah yang menolak untuk bahagia. Kita lebih memilih untuk bahagia dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana orang-orang lain yang menyatakan baru akan merasa bahagia jika telah memiliki sesuatu atau setelah mendapatkan sesuatu.

Mungkin terkesan lebih logis saat orang mengatakan, “Bagaimana mungkin saya bisa bahagia kalau saat ini sedang terlilit hutang? Saya tentunya baru bisa bahagia kalau hutang sudah terbayar.”

Dan kemudian, ketika hutang telah lunas terbayar, anak masuk rumah sakit karena kecelakaan, kita pun menunda lagi untuk bahagia. Setelah anak sembuh, televisi rusak dan harus masuk servis hingga tak bisa menonton acara favorit, dan rasanya tak masuk akal kalau sampai bahagia. Setelah televisi selesai diperbaiki atau bisa mengganti yang baru, genteng rumah bocor dan air hujan mengalir masuk, dan sekali lagi kebahagiaan ditunda.

Kalau kita memilih untuk bahagia dengan syarat-syarat tertentu, kalau kita terbiasa menyandarkan kebahagiaan pada benda atau pada sesuatu, maka kebahagiaan hanya akan menjadi seperti bayang-bayang. Ia begitu tampak dalam pandangan, namun sulit untuk didapatkan.

Bukankah kehidupan yang kita jalani ini sesuatu yang luar biasa sehingga menjadikan kita tidak mungkin tidak bahagia? Setiap kali kita bangun dari tidur, mengapa tak pernah memikirkan bahwa itu adalah berkat yang tak terkirakan besarnya yang mampu membuat hati bahagia? Orang-orang yang kita kenal, sanak-saudara yang kita punya, teman dan sahabat yang kita miliki, orang-orang baik yang ada dalam hidup kita, bukankah semuanya itu adalah karunia besar yang semestinya layak membuat kita bahagia? Pertumbuhan yang ada dalam diri kita, kemajuan dalam banyak hal yang kita peroleh meski sekecil apapun, bukankah semua itu adalah rahmat yang seharusnya menjadikan kita bahagia?

Kita lebih sering melihat keluar untuk bisa bahagia, padahal kebahagiaan bersemayam di dalam lubuk terdalam diri kita.

Apakah bahagia itu memiliki banyak uang? Apakah kita berpikir bahwa yang bahagia adalah yang memiliki jabatan atau popularitas? Apakah bahagia itu adalah orang yang memiliki tanah, rumah mewah dan perusahaan?

Jika memang seperti itu kenyataannya, maka hidup ini sungguh tidak adil, karena setiap orang memiliki jumlah uang yang berbeda, jabatan yang berbeda, dan hak milik yang berbeda. Karena hidup ini begitu adil, maka tentu rumusan menjadi bahagia bukanlah sebatas semua itu. Ada hal-hal yang lebih hakiki untuk dapat merasakan kebahagiaan, karena keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup ini bukanlah hasil dari apa yang kita miliki, tetapi dari cara kita hidup.

Kalau meminjam istilah yang digunakan ahli fisika Amerika, Goddard, “Happiness is the art of making a bouquet of those flowers within reach.” Kebahagiaan adalah seni merangkai buket dengan bunga-bunga yang ada di sekitar kita. Jadi bukan bunga apa yang membuat kita bahagia, tetapi bagaimana cara kita merangkai bunga itulah yang menjadi nilai sejati dari kebahagiaan.

Blog yang Hening

“Mengapa blog ini tidak memberi kesempatan bagi para pengunjungnya untuk berkomentar?” Di antara banyak pertanyaan lain, ini adalah pertanyaan yang sangat banyak masuk ke email saya. Padahal, satu-satunya pertanyaan yang saya harapkan muncul di inbox email saya adalah, “Da’, maukah kau menikah denganku?” Hehehe…

Oke, ini serius. Sedari awal, saya memang sengaja tidak memberikan sarana untuk berkomentar bagi para pembaca dan pengunjung blog. Ketika menulis, khususnya ketika menulis di blog ini, motivasi besar saya hanyalah karena saya ingin menulis. Kalau kemudian ada pembaca yang menyukai tulisan saya, itu saya anggap sebagai bonus—tetapi itu bukan motivasi utama saya.

Saya sering mendengar keluhan dari penggiat blog yang bertanya-tanya mengapa postingnya sangat minim—atau bahkan jarang sekali—mendapatkan komentar dari pengunjung blognya. Saya pikir, munculnya keluhan semacam itu karena didasari niat awalnya menulis karena mengharapkan respon (komentar) dari pengunjung dan pembaca blog. Saya tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin motivasi menulis saya “dicemari” oleh niat lain selain ketulusan dan keinginan menulis.

Ada juga blog yang selalu mendatangkan respon dan komentar yang sangat banyak dalam setiap postingnya. Tetapi, yang menyedihkan, orang-orang yang berkomentar itu kemudian saling serang karena perbedaan pendapat dalam komentarnya menyangkut posting. Akibatnya komentar yang menumpuk-banyak itu seperti jadi transkrip debat kusir yang tidak jelas. Saya juga tidak ingin seperti itu.

Saya hanya tahu bahwa saya mencintai menulis—hanya itu. Dan karena perasaan cinta itu pulalah yang kemudian membuat saya tetap menulis hingga hari ini, termasuk di blog ini. Perkara orang mau membacanya atau tidak, perkara orang menyukai atau tidak, itu tak pernah merisaukan saya. Cinta hanya melakukan apa yang diinginkannya—tanpa pretensi, tanpa pamrih—karena cinta telah cukup untuk cinta.

Lebih dari itu, saya memang menginginkan blog ini sebagai blog yang hening—sebuah blog yang bersahaja dengan segala kesederhanaannya, tanpa riuh-rendah suara, tanpa macam-macam ornamen yang memberatkan orang saat membukanya. Seperti yang dapat kita lihat, blog ini hanya penuh dengan kata-kata, minim gambar, tanpa hiasan, tanpa macam-macam. Saya pribadi yang sederhana, dan saya pun ingin blog saya merepresentasikan diri saya apa adanya.

Ketika menulis untuk blog ini, saya membayangkan orang lain akan membacanya dengan tenang di hadapan layar monitornya, menikmati kata-kata yang saya tulis dengan keheningan hati dan pikiran—tanpa niat untuk berkomentar, tanpa rencana untuk bersuara. Ketika menulis untuk blog ini, niat besar saya bukanlah menggelontorkan berita dan informasi, melainkan untuk mengajak pembaca saya berpikir dan merenung. Dan di dalam proses itu, saya ingin mengajak kalian masuk dalam prosesi yang hening.

Selamat datang di blog yang hening. Jika kau ingin berkomentar, biarlah komentarmu disampaikan oleh angin. Hati tidak bicara dengan kata-kata—tetapi Tuhan tahu, hati kita memiliki suara yang sama.

Minggu, 14 Maret 2010

Bersyukurlah



Rasa syukur adalah cahaya dalam kegelapan hidup. Ia memberikan kekuatan penerang ketika keadaan yang kita hadapi terasa gelap dan membingungkan.

Mengapa semua agama di muka bumi ini meminta kita untuk selalu bersyukur? Karena bersyukur itulah esensi paling mendasar dari hidup bahagia. Tidak ada kebahagiaan tanpa rasa syukur—dan jika selamanya kita tidak pernah bersyukur, selamanya pula kita tak akan pernah bahagia.

Mari kita perbarui hidup kita dengan pemikiran yang lebih baik, dengan pikiran yang lebih positif, dan marilah kita gantikan setiap keluhan dengan ucapan rasa syukur.

Kalau hari ini kita ingin mengeluh karena dipecat dari tempat kerja, marilah kita mengingat orang-orang yang selama bertahun-tahun menjadi pengangguran. Kalau hari ini kita merasa malu karena sepatu yang kita pakai telah aus, marilah kita mengingat orang-orang yang tak punya kaki. Kalau hari ini kita berkecil hati karena ketombe di rambut, marilah kita mengingat para penderita kanker yang tengah dirawat di kemoterapi yang berharap rambutnya segera tumbuh kembali. Kalau hari ini kita mengeluh karena terjatuh atau tersandung berkali-kali, marilah kita mengingat orang-orang yang lumpuh.

Kalau hari ini kita ingin mengutuk negara kita yang tak bisa memberikan kesempatan yang baik, marilah kita mengingat negara lain yang tengah mengalami huru-hara peperangan dan kelaparan. Kalau hari ini kita kesal karena merasakan beratnya perjuangan hidup yang harus dihadapi, marilah kita mengingat orang-orang yang tengah terbaring tak berdaya di rumah sakit. Kalau hari ini kita bersedih karena terbaring tak berdaya di rumah sakit, marilah kita mengingat orang-orang yang telah terkubur di dalam tanah...

Kehidupan ini, hidup yang kita jalani, nilainya akan jauh lebih tinggi jika kita mampu menjalaninya dengan senyuman dan rasa syukur, dan bukannya dengan keluhan serta wajah yang muram. Dan bersyukur, adalah salah satu resep untuk bisa menjalani hidup yang bahagia; kehidupan yang lebih indah.

Rasa syukur adalah cahaya dalam kegelapan hidup, ia memberikan kekuatan penerang ketika keadaan yang kita hadapi terasa gelap dan membingungkan. Rasa syukur adalah penenteram jiwa ketika kita merasa sendirian dan ditinggalkan. Rasa syukur adalah mata kejernihan untuk dapat menyaksikan kehidupan sebagaimana mestinya. Lebih dari itu, rasa syukur mendekatkan manusia dengan Tuhannya.


Jumat, 12 Maret 2010

Tiada yang Sempurna

Pertanda utama kegeniusan bukanlah kesempurnaan,
melainkan orisinalitas, pembukaan wilayah-wilayah baru.
Arthur Koestler


Seperti apa film yang bagus? Dalam definisi saya, film yang bagus bukan hanya pameran gambar yang indah atau akting yang menawan saja, tetapi film itu juga harus memiliki dialog yang cerdas dan menghadirkan sesuatu yang baru bagi para penontonnya—bisa jalan cerita yang menawan, karakter tokohnya yang unik, ataupun filosofi baru yang ditawarkannya. Kelebihan-kelebihan itu saya dapatkan dalam film yang—bagi saya—luar biasa bagus, berjudul A Beautiful Mind.

Film yang diangkat dari buku atau novel biasanya menawan, dan A Beautiful Mind juga begitu. Film ini diangkat dari buku berjudul sama, yang ditulis Sylvia Nasar. A Beautiful Mind menceritakan kisah hidup ilmuwan penerima hadiah Nobel, John Nash, seorang pakar matematika yang menderita schizofrenia. Tokoh genius ini diperankan dengan sangat bagus oleh Russel Crowe, sehingga para penonton bisa merasa dekat dengan karakter asli John Nash.

Siapakah John Nash? Tokoh ini benar-benar ada. Dia seorang lelaki tampan tapi kurang bisa bergaul. Memiliki otak yang genius, tetapi kurang mampu menghadapi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadiannya ini ‘diperparah’ dengan kenyataan schizofrenia yang dideritanya. Akibatnya, John Nash menjadi sosok yang—kesannya—antisosial. Meski pada dasarnya dia sosok yang baik, tetapi orang lain menjauhi dirinya karena ‘keanehan’ sosoknya. Bahkan kawan-kawannya sendiri pun tidak jarang mempermainkan dan mengolok-oloknya.

Karena kurang bisa bergaul, John Nash pun menjadi lelaki yang kurang dapat mengenal apalagi berhubungan dengan lawan jenisnya. Pertama kalinya dia memberanikan diri mendekati gadis sekampusnya, John Nash gagal total, dan pendekatannya berbuah tamparan. Sejatinya, John Nash memang hanya memiliki kawan-kawan dalam khayalan schizoprenic-nya sendiri, meski ia tidak pernah menyadari kenyataan itu.

Ketika telah lulus dari kuliah dan mulai mengajar di kampus, John Nash memiliki seorang mahasiswi bernama Alicia (diperankan dengan sangat bagus oleh Jennifer Connelly), dan Alicia inilah yang kelak menjadi istri John Nash, sekaligus menjadi kawan pendamping terbaik dalam hidupnya.

Salah satu adegan yang sangat indah dalam film ini adalah saat John Nash dan Alicia berkencan pertama kali, dan mereka berdiri berdua di bawah langit setelah makan malam. Alicia menatap taburan bintang di langit, dan John Nash memintanya agar membayangkan sesuatu.

“Sekarang aku membayangkan payung,” ujar Alicia pada kekasihnya.

John Nash meraih tangan Alicia, memegangi jari telunjuknya, lalu bersama mereka menunjuk ke langit. Karena pakar matematika dan telah terbiasa dengan pola acak angka-angka, John Nash dengan mudah menggerak-gerakkan telunjuk Alicia, dan... dengan takjub Alicia menemukan sebuah pola bintang bergambar payung di langit malam.

“Perlihatkan lagi!” pinta Alicia pada kekasihnya, dengan mata berbinar.

Perjalanan hidup John Nash sesungguhnya akan lancar-lancar saja, kalau tidak ada schizofrenia yang dideritanya. Penyakit itulah yang menjadikan hidup si orang genius itu menjadi kacau, bahkan nyaris hancur berantakan—kalau saja ia tak memiliki seorang istri yang luar biasa.

Alicia bukan hanya seorang kekasih, atau istri, bagi John Nash—wanita itu seperti sesosok malaikat yang sengaja dipertemukan dengannya untuk menjadi penjaga, pendamping, bahkan penyelamatnya. Sebegitu berartinya Alicia bagi hidupnya, sampai John Nash pun secara khusus menyatakan kata-kata berikut ini ketika memberikan sambutan pada penganugerahan hadiah Nobel yang diterimanya...

“Aku selalu percaya pada angka. Dalam persamaan dan logika, yang membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku bertanya, apa logika sebenarnya? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional, dan kembali. Telah kudapatkan penemuan penting dalam karirku. Penemuan penting dalam hidupku. Hanya di persamaan misterius cinta, alasan logis bisa ditemukan. Aku di sini karenamu. Kau alasan diriku ada. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.”

Film A Beautiful Mind tidak menyuguhkan adegan konflik yang berdarah-darah, karena memang bukan film action. Ini film drama yang lebih mengedepankan konflik psikologis dari para tokohnya, dan... amazing, semua pemeran dalam film ini memerankan aktingnya dengan luar biasa menawan.

Adegan yang paling menyentuh hati saya adalah ketika para mahasiswa di kampus memberikan polpennya satu demi satu kepada John Nash, sebagai bentuk penghormatan mereka kepada ilmuwan ini. Pemberian polpen di kalangan ilmuwan adalah simbol penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang telah membaktikan hidupnya bagi ilmu pengetahuan.

Waktu itu John Nash sudah tua, ia mengajar mahasiswa pascasarjana, dan baru diberitahu kalau namanya direkomendasikan sebagai penerima hadiah Nobel. Saat berbincang di kantin kampus, mantan dosennya mendekatinya, meletakkan polpennya di meja di hadapan John Nash, dan berkata sambil menyalami John Nash, “Profesor Nash, senang Anda di sini.”

John Nash mengucapkan terima kasih atas pemberian—penghargaan—polpen itu, dan para dosen serta mahasiswa kemudian mengikuti memberikan polpennya di meja di hadapan John Nash. Adegan itu sederhana, tetapi luar biasa menyentuh.

Film ini memberikan pesan moral yang amat bagus, bahwa di balik kesempurnaan fisik atau bahkan kehebatan pikiran serta kegeniusan otak seseorang, selalu—dan selalu—ada kekurangan di dalamnya, karena tak ada manusia yang sempurna. Manusia dikaruniai kelebihan, tetapi juga dilengkapi kekurangan—karena itulah sejatinya manusia; keseimbangan, ekuilibrium, tiada yang tunggal, saling berpasangan.

Terpujilah sutradara Ron Howard dan penulis skenario Akiva Goldsman yang telah menghadirkan film yang luar biasa menawan ini. A Beautiful Mind adalah makanan yang benar-benar bergizi tinggi untuk otak, pikiran, sekaligus hati.

Cowok dan Cewek: Sebuah Fakta

Karakter itu seperti sebuah pohon, dan reputasi adalah bayangan
pohon itu. Bayangan adalah sesuatu yang kita pikirkan,
sementara pohon adalah kenyataannya.
—Abraham Lincoln


Kalau kita ingin tahu seperti apa seseorang sesungguhnya, lihatlah ketika ia tengah menghadapi suatu masalah berat yang harus dihadapinya. Kita tidak bisa menilai secara objektif seseorang ketika dalam keadaan tenang dan damai sentausa, karena wujud asli seseorang baru muncul ke permukaan ketika dihadapkan pada situasi yang sulit dan menekannya.

Ada kalanya seseorang tampak tenang—ketika keadaan damai, dan dia tidak sedang menghadapi masalah. Tetapi, ketika sesuatu menekannya, ketika orang itu dihantam kesulitan, baru terlihatlah apakah orang itu memang “benar-benar tenang”, atau hanya “tampak tenang”. Cowok dan cewek juga begitu. Dua manusia berbeda jenis ini juga baru terlihat wujud aslinya ketika dihadapkan pada situasi yang sulit, dan dia harus menjatuhkan pilihannya. Saat itulah, kita akan tahu cowok itu seperti apa, dan cewek itu seperti apa.

Tujuan saya menuliskan catatan ini hanya untuk mengajukan satu fakta penting mengenai cowok dan cewek, yang mungkin belum sempat kita pikirkan sebelumnya. Sekali lagi, catatan berikut ini adalah pemaparan fakta, dan kaulah yang paling berhak mengambil intisarinya.

Bayangkan adegan berikut ini. Kau tengah melaju di jalan raya dengan motor kesayanganmu, perlahan namun pasti terus menambah kecepatan, dan kau makin menikmati perjalananmu. Sampai di suatu ruas jalan yang ramai, sebuah mobil melaju kencang dari arah depanmu... tepat di hadapan laju motormu. Kau tak bisa menepi ke kanan atau ke kiri, karena jalan di sampingmu tak memungkinkan untuk menyelamatkan diri. Jadi, kau tidak punya pilihan—mau tak mau kau akan bertabrakan dengan mobil itu. Apa yang akan kaulakukan...?

Boleh percaya boleh tidak, jika pertanyaan di atas diajukan pada cowok dan cewek, maka jawabannya akan berbeda, bahkan jauh berbeda.

Jika cowok dihadapkan pada kejadian di atas, dan ditanya apa yang dilakukannya, hampir dapat dipastikan dia akan menjawab kira-kira seperti ini, “Bagaimana pun juga, aku akan berusaha menyelamatkan diri. Meskipun tabrakan tak bisa dihindarkan lagi, aku akan berupaya untuk tetap selamat, atau setidaknya berusaha agar tidak mengalami luka yang terlalu parah.”

Tetapi, jika cewek dihadapkan pada kejadian yang sama seperti di atas, dan ditanya apa yang akan dilakukannya, apa kira-kira jawab mereka? Rata-rata cewek akan menjawab, “Aku akan menutup mata.”

Sekali lagi, kita boleh percaya boleh tidak, tetapi saya mendapatkan fakta ini bukan berdasarkan teori, melainkan berdasar kenyataan pengalaman. Sepanjang keluar-masuk rumah sakit akibat kecelakaan yang cukup sering saya alami, saya telah bertemu dengan berpuluh-puluh orang yang juga mengalami kecelakaan yang sama, dan saya selalu menanyakan pertanyaan di atas, “Apa yang kamu lakukan ketika tabrakan itu akan terjadi...?”

Semua cowok korban kecelakaan menjawab seperti yang saya gambarkan di atas. Mereka berusaha menyelamatkan diri, atau menghindarkan diri dari kemungkinan luka terlalu parah—dan saya percaya mereka jujur, karena saya pun melakukan hal yang sama. Tetapi, semua cewek korban kecelakaan yang saya temui menjawab, “Aku tak mampu berpikir apa-apa waktu itu—jadi aku hanya menutup mataku.”

Barangkali cewek yang belum pernah mengalami kecelakaan akan menyangkal jawaban di atas, dan bisa saja memberikan jawaban berbeda. Tetapi, sekali lagi, fakta yang saya tuliskan ini bukan berdasarkan teori, melainkan langsung dari kenyataan pengalaman. Jadi, secara kasarnya, untuk dapat menjawab pertanyaan di atas secara jujur dan benar, kau harus mengalami kecelakaan terlebih dulu—lalu lihat apa yang kaulakukan pada saat itu.

Oke, tentu saja saya tidak menganjurkan agar kau mencelakakan diri hanya untuk membuktikan tesis ini. Coba, kalau punya teman atau kenalan yang baru mengalami kecelakaan di jalan—ringan ataupun berat—temuilah dan tanyakan pertanyaan di atas, dan lihat bagaimana jawabannya. Cowok dan cewek akan memberikan jawaban yang berbeda—dan kau bisa membuktikan perbedaannya.

Sampai di sini mungkin kita mulai bertanya-tanya, “Oke, kalau memang begitu kenyataannya, kalau memang cowok lebih berupaya untuk selamat ketika mengalami kecelakaan, lalu kenapa jumlah korban kecelakaan di jalan lebih banyak terjadi pada cowok?”

Benar, jumlah cowok yang mengalami kecelakaan di jalan jauh lebih banyak dibanding cewek. Tetapi hal itu disebabkan karena cowok lebih ugal-ugalan di jalanan dibanding cewek, sehingga cowok lebih besar kemungkinannya mengalami kecelakaan dibanding cewek! Seliar apa pun cewek menikmati kegilaan di jalanan, cowok jauh lebih nekad. Dan sebanyak apa pun cewek yang suka gila-gilaan di jalanan, yang cowok jauh lebih banyak. Jadi wajar kalau kemudian cowok lebih banyak menjadi korban kecelakaan.

Tujuan saya menuliskan catatan ini—sebagaimana yang saya nyatakan di atas—hanyalah untuk menyampaikan fakta. Kaulah yang berhak mengambil intisarinya.

Senin, 08 Maret 2010

Karunia Hari Ini

Masa lampau, masa kini,
dan masa depan sesungguhnya satu: Hari ini.

Ada ungkapan bijak yang menyatakan, “Setiap hari merupakan kehidupan baru bagi orang bijaksana”.

Tidak setiap orang dapat menganggap setiap hari adalah kehidupan baru, hingga orang yang bisa memahaminya sampai disebut bijaksana. Satu hal yang begitu tragis tentang hal ini adalah bahwa kita semua cenderung menolak hidup ini. Kita memimpikan taman bunga ajaib di balik cakrawala, padahal kita seharusnya dapat menikmati taman indah di luar jendela rumah kita.

Hari ini merupakan harta milik kita yang paling berharga. Hari ini merupakan satu-satunya harta yang benar-benar milik kita. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, Dante menulis, “Ingatlah bahwa hari ini fajar tidak akan menyingsing lagi.” Sedangkan Horacius, filsuf Yunani, menulis hal yang sama, tiga puluh tahun sebelum Masehi. Inilah yang ditulisnya, “Berbahagialah orang, dan berbahagialah dia sendiri, dia yang dapat menyatakan hari ini miliknya, dia yang dapat menyelamatkan diri dengan berkata, ‘Biarlah hari esok jadi hari yang paling buruk, sebab aku telah hidup pada hari ini’.”

Pada detik ini, kita semua berada pada titik pertemuan antara dua waktu yang terentang; masa lampau yang panjang sekali, dan masa depan yang terus bergerak detik demi detik. Kita tidak mungkin dapat hidup di kedua waktu yang panjang tersebut secara sekaligus. Sungguh tidak mungkin. Dan kalau kita nekad untuk mencobanya, itu sama artinya kita menghancurkan diri kita sendiri, baik jiwa maupun raga. Karena itu, hendaknya kita bergembira hidup dalam satu saat yang memungkinkan bagi kita untuk hidup, yakni dari saat sekarang sampai saat kita hendak tidur nanti malam.

Robert Louis Stevenson menuliskan tentang hal itu dengan baik saat ia menyatakan, “Bagaimana pun juga beratnya, tiap-tiap orang pasti mampu memikul bebannya sendiri sampai malam tiba. Bagaimana pun juga beratnya, setiap orang dapat mengerjakan tugasnya untuk satu hari. Setiap orang dapat hidup dengan nikmat, sabar, menyenangkan, serta murni hingga matahari terbenam. Dan inilah sebenarnya arti dari hidup itu semua.”

Saat bangun tidur di pagi hari, pernahkah kita bertanya-tanya atau merenungkan mengapa Tuhan masih mempersilakan kita untuk hidup hari ini? Padahal, saat kita tengah terlelap dalam tidur, Tuhan bisa dengan begitu gampang mengutus malaikat-Nya untuk mencabut nyawa kita dan hidup kita pun selesai sampai di situ, tanpa kita pernah bangun kembali.

Tuhan memberikan kita hari ini karena Dia tahu kita bisa melakukan sesuatu yang baik, sesuatu yang terbaik untuk hari ini!

Setiap hari baru adalah waktu yang baru, peluang yang baru, anugerah yang baru, kehidupan yang baru. Jadikan hari ini sebagai hari yang terbaik di mana kita mengeluarkan sesuatu yang terbaik dari diri kita agar Tuhan tersenyum karena hari yang telah diberikan-Nya tidak hilang percuma.

Masa lalu telah berlalu, masa depan mungkin masih menunggu—namun kita tak pernah tahu. Satu-satunya waktu yang bisa kita saksikan, rasakan, nikmati dan syukuri adalah hari ini. Kau tentu tahu apa yang terbaik untuk mengisi hari ini.

Post Script

Kalau kau iblis, aku jadi taringnya.
Kalau kau malaikat, aku jadi sayapnya.

Obrolan di Lorong



Kita ini bukan siapa-siapa, bastard.
Kita hanyalah sepasang tolol keparat.


Jangan Jongkok di Closet Duduk



Ini masih lanjutan dari posting sebelumnya—soal obrolan closet di meja makan. Ternyata, obrolan sialan yang telah membuat saya kelaparan karena tak bisa makan itu telah melahirkan pemikiran baru dalam benak saya. Masih tentang closet, tetapi dalam perspektif yang berbeda. Hoho, ternyata closet pun mampu melahirkan perspektif!

Di antara obrolan “bocah-bocah pecinta closet” yang saya dengar di kafe itu, salah seorang cewek dari mereka berkata dengan penuh penghayatan, “Kalau aku sih ya…rasanya gimana gitu, kalau pakai closet duduk. Kayanya risih deh. Enakan closet jongkok. Jadi, ya…aku tetap aja jongkok meski pakai closet duduk…”

Pemikiran atau tindakan semacam itu—berjongkok di closet duduk—mungkin bukan hal baru, karena bisa jadi hal semacam itu dilakukan oleh banyak orang di mana saja. Orang-orang yang tidak—atau belum—terbiasa dengan closet duduk memang biasanya merasa risih jika harus menggunakan closet duduk. (Oh sialan, kenapa saya harus membahas ini…???).

Trust me, saya sebenarnya merasa risih dan tidak nyaman menuliskan hal ini, tetapi saya merasa perlu menuliskannya, karena ini menyangkut keselamatan bangsa dan peradaban umat manusia. Oke, ini serius. Berjongkok di closet duduk bukan hanya menyalahi kebudayaan manusia, tetapi itu juga mengancam keselamatan pelakunya. Bagaimana bisa…???

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus membuka lembar sejarah—khususnya sejarah pembuatan closet.

Look, closet jongkok dibuat dengan menggunakan adukan semen dan pasir yang dicampur dengan kerikil—ini serius! Karena bahan pembuatannya seperti itu, maka closet jongkok pun memiliki bodi yang sangat kuat. Selain itu, penempatan closet jongkok biasanya ditanam dalam lantai, dan hanya menyisakan bagian atas untuk pijakan kaki. Dengan kontur penempatan semacam itu, closet jongkok pun menjadi sangat kokoh sehingga mampu menerima beban berat orang yang berjongkok di atasnya.

Nah, closet duduk berbeda seratus delapan puluh derajat! Closet duduk dibuat dengan menggunakan porselen. Sekuat apapun, bodi closet duduk tidak sekuat closet jongkok. Lebih dari itu, penempatan closet duduk juga tidak sekokoh closet jongkok—karena memang fungsinya untuk diduduki. Karenanya, dengan kondisi dan keadaan semacam itu, sungguh sangat riskan sekaligus mengkhawatirkan kalau kau berjongkok di atas closet duduk. Mengapa? Karena closet duduk dibuat dengan asumsi bahwa orang akan mendudukinya! Closet duduk tidak dibuat untuk menahan atau menopang berat tubuh orang yang berjongkok di atasnya!

Mengapa ini riskan dan mengkhawatirkan? Karena sekuat apapun, closet duduk tetap tidak dimaksudkan untuk jongkok—itulah mengapa ia dibuat dengan menggunakan porselen. (Berat badan orang yang jongkok lebih dari tiga kali berat badan orang yang duduk). Karenanya, apabila kualitas pembuatan closet duduk itu tidak baik, maka bisa jadi closet itu akan terbelah akibat tak kuat menahan berat badan orang yang berjongkok di atasnya.

Sekali lagi, ini serius—meski saya tetap tak habis pikir mengapa saya sampai menulis soal ini. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menemukan foto-foto mengerikan menyangkut soal ini di suatu web asing. Ceritanya, seorang cewek—mungkin sekitar 30-an tahun—menggunakan closet duduk di suatu toilet umum. Mungkin karena tidak terbiasa menggunakan closet duduk, cewek itu pun berjongkok di atasnya. Apa yang terjadi? Closet itu retak dan terbelah!

Tetapi kisahnya tidak selesai sampai di situ. Ketika closet itu terbelah, cewek itu tentu sangat terkejut dan tidak sempat menyelamatkan diri. Akibatnya, kedua kakinya tertarik oleh bengkahan closet itu, dan ujung-ujung tajam retakan closet itu mengiris kedua pahanya hingga hampir terpotong! Seingat saya, foto-foto mengerikan itu sekarang diposting di salah satu halaman situs indonesia.indonesia.com—kau bisa mengunjungi situs itu kalau ingin menyaksikannya.

Jadi, menyangkut closet ini, sebaiknya ingat-ingatlah tiga hal penting ini: Pertama, jangan membicarakan topik soal closet di meja makan. Kedua, jangan membicarakan topik soal closet jika kau melihat ada orang lain yang akan atau sedang makan. Dan ketiga, jangan berjongkok di closet duduk. Kalau memang belum terbiasa menggunakan closet duduk dan merasa risih, sebaiknya gunakan kertas dan lapisi bagian dudukannya dengan kertas itu sebelum diduduki—itu jauh lebih aman daripada maksa berjongkok di closet duduk.

Well, rupanya bocah-bocah di kafe itu benar, bahwa pembicaraan soal closet memang penting karena menyangkut nasib bangsa ini—bahkan mungkin lebih penting dan lebih ilmiah daripada pembicaraan tak jelas para politikus soal kasus Bank Century. Mungkin…


Obrolan Closet di Meja Makan



Di dalam buku More About Nothing, Wimar Witoelar menyatakan, “Cerita ada dimana-mana. Tinggal kita pasang keranjang, buka mata, telinga, dan terutama hati. Setiap orang yang lewat di mal punya cerita di balik muka cueknya. Setiap webpage memberikan link pada cerita, dan setiap ucapan selintas di televisi mengingatkan cerita panjang.”

Alangkah benarnya kata-kata itu, dan saya menyetujui sepenuhnya. Buktinya, posting ini pun saya tulis di tempat yang tidak tepat, di waktu yang tidak tepat, sekaligus dalam suasana yang tidak tepat—hanya karena obrolan selintas yang tanpa sengaja saya dengarkan.

Ceritanya, malam Minggu kemarin saya datang ke kafe langganan di kota saya. Ini memang bisa dikatakan sebagai ‘adat pribadi’ seminggu sekali. Saya menyukai kafe ini, pertama karena suasananya yang nyaman, dan para pengunjungnya biasanya pada sibuk sendiri-sendiri dengan netbook atau notebook-nya masing-masing, menikmati fasilitas hotspot lewat wifi. Saya merasa nyaman dalam suasana semacam itu. Kedua, saya suka berkunjung ke kafe ini, karena kafe ini sering menjadi tempat ngumpul anak muda dan cewek-cewek berkaos ketat—cuci mata yang menyegarkan. Dan ketiga—lebih penting dari segalanya—saya menyukai kafe ini, karena di sana ada menu kesukaan saya; nasi putih yang ditanak keras, dengan ditaburi bawang goreng kering di atasnya!

Jadi malam Minggu kemarin saya datang ke kafe itu, sendirian, dan langsung mendapatkan meja yang saya inginkan. Pelayan kafe yang sudah mengenal muka saya segera mendatangi meja dan bertanya sambil tersenyum, “Menu seperti biasa?”

Saya mengangguk sambil membalas senyumnya. Si pelayan berlalu, dan saya mulai mengeluarkan rokok, menyulut sebatang, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di salah satu meja dekat saya duduk, ada enam orang—tiga cowok dan tiga cewek—yang duduk mengelilingi meja sambil menikmati hidangan dan asyik ngobrol. Karena tempat duduk kami bisa dibilang berdekatan, saya pun—mau tak mau—mendengar topik pembicaraan mereka. Dan, ya ampun, mereka sedang membicarakan soal closet!

Ketika mengetahui topik pembicaraan mereka, saya tersedak asap rokok saya. Bagaimana mungkin orang bisa asyik mengobrolkan soal closet sambil menikmati hidangan di meja makan…??? Menurut saya, pembicaraan mereka itu sama sekali tidak mencerminkan falsafah Pancasila! Tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur!

Pelayan kafe mendatangi meja saya, menyodorkan minuman yang saya pesan. Saat ia akan berlalu, saya menghentikannya, “Mas, Mas, tunggu dulu. Bisa nggak kalau…uh, nasi pesanan saya ditunda dulu…?”

Pelayan itu tampak bingung, tapi segera mengangguk. Saya buru-buru menambahkan, “Nanti saya hubungi kalau saya sudah siap makan.” Pelayan itu mengangguk lagi, dan berlalu. Well, saya merasa tidak mampu makan kalau telinga saya mendengarkan orang yang sedang mengobrolkan soal closet.

Sekarang saya sendirian lagi, dan mau tak mau kembali mendengarkan obrolan aneh di meja sebelah saya—obrolan closet di meja makan. Sialnya, topik obrolan itu ternyata masih berlanjut, bahkan terdengar makin seru saja. Sambil menghitung detik jam, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin obrolan soal closet bisa menyita waktu lebih dari lima menit…??? Sepertinya mereka mengobrolkan soal closet dari berbagai sudut pandang—mulai dari sejarah, filsafat, ideologi, sampai pengaruh closet dalam membangun mental kebangsaan.

Di antara asap rokok yang berputar-putar di sekeliling kepala, saya mendengar salah satu di antara cowok-cewek itu berkata, “Nggak deh. Menurutku lebih enakan closet duduk dibanding closet jongkok.”

Dalam hati saya membatin, “Oke, oke kalau begitu menurut pendapatmu. Tapi tolong obrolannya ditunda dulu ya…!”

Lalu seorang dari mereka berujar, “Ah, kalau aku sih tetap suka closet jongkok. Sepertinya lebih nyaman di kaki.”

Dalam hati saya kembali membatin, kali ini tambah dongkol, “Ya ya, oke, bagus sekali pendapatmu. Tapi tolong, bagaimana kalau topik obrolan kalian diganti saja…???”

Seorang cowok dalam gerombolan itu kemudian menyahut, bahkan dengan suara yang agak keras, “Aku tuh heran lho dengan orang-orang kayak kamu. Apa enaknya sih closet jongkok? Duduk kan lebih enakan, bisa enjoy…! Kalau aku sih, gimana pun tetap suka closet duduk!”

Sekarang saya berteriak dalam hati, “YA, YA, KAMU ORANG HEBAT! PENDAPATMU ITU SUNGGUH BENAR SEKALI, DAN BANGSA INI SANGAT MEMBUTUHKAN ORANG-ORANG SEPERTIMU YANG MAU MENYUARAKAN SUARA KEJUJURAN DARI HATINYA. TAPI TOLONG YA, TOPIK OBROLAN KALIAN INI DIHENTIKAN DULU…!”

Tapi, ternyata, topik obrolan soal closet sialan itu tetap belum berhenti juga. Cowok yang lain dalam gerombolan itu menyahut, “Ya…itu kan cuma soal selera. Mau closet jongkok ataupun closet duduk, yang penting kan fungsinya. Aku sendiri sih nggak terlalu mempersoalkan—aku bisa menggunakan keduanya dengan baik.”

Saya kembali berteriak dalam hati—kali ini lebih kencang, “HEBAT! KAMU PASTI ORANG BESAR YANG BIJAKSANA. KAMU MEMILIKI PENDAPAT YANG BAGUS SEKALI MENGENAI CLOSET SIALAN INI. TAPI, TOLONG—SEKALI LAGI, TOLONG—BISAKAH KALIAN DIAM SEBENTAR DAN TIDAK LAGI MEMBICARAKAN CLOSET SIALAN INI…??? AKU MAU MAKAN…!!!”

Tetapi bocah-bocah di meja samping saya itu terus saja asyik membicarakan topik closet keparat itu, seolah nasib bangsa ini ditentukan dari hasil kesimpulan mereka mengenai hebat mana antara closet duduk dan closet jongkok. Salah seorang cewek dari mereka bahkan kemudian berkomentar dengan penuh perasaan dan penghayatan, “Kalau aku sih ya…rasanya gimana gitu, kalau pakai closet duduk. Kayanya risih deh. Enakan closet jongkok. Jadi, ya…aku tetap aja jongkok meski pakai closet duduk…”

Sekarang saya benar-benar berteriak kencang—tapi dalam hati, “OKE, OKE KALAU BEGITU. KAMU MAU JONGKOK, MAU DUDUK, MAU NUNGGING, TERSERAH. TAPI TOLONG…BISAKAH KALIAN DIAM SEBENTAR, ATAU MENGGANTI TOPIK OBROLAN SELAIN CLOSET SIALAN INI…??? AKU PERLU MAKAN MALAM—PERUTKU SUDAH LAPAR!”

Tetapi, obrolan mereka soal closet itu sepertinya benar-benar penting, dan mereka makin bersemangat membicarakannya. Sialnya, saya tidak membawa earphone atau sesuatu yang dapat saya gunakan untuk menyumpal telinga saya. Akibatnya, mau tak mau saya tetap mendengar suara obrolan mereka. Dan dengan menahan lapar sambil membayangkan nasi dengan taburan bawang goreng kering di atasnya, saya memaki-maki dalam hati, “OH, SIALAN, KAPAN AKU BISA MAKAN…???”


 
;