Senin, 08 Maret 2010

Obrolan Closet di Meja Makan



Di dalam buku More About Nothing, Wimar Witoelar menyatakan, “Cerita ada dimana-mana. Tinggal kita pasang keranjang, buka mata, telinga, dan terutama hati. Setiap orang yang lewat di mal punya cerita di balik muka cueknya. Setiap webpage memberikan link pada cerita, dan setiap ucapan selintas di televisi mengingatkan cerita panjang.”

Alangkah benarnya kata-kata itu, dan saya menyetujui sepenuhnya. Buktinya, posting ini pun saya tulis di tempat yang tidak tepat, di waktu yang tidak tepat, sekaligus dalam suasana yang tidak tepat—hanya karena obrolan selintas yang tanpa sengaja saya dengarkan.

Ceritanya, malam Minggu kemarin saya datang ke kafe langganan di kota saya. Ini memang bisa dikatakan sebagai ‘adat pribadi’ seminggu sekali. Saya menyukai kafe ini, pertama karena suasananya yang nyaman, dan para pengunjungnya biasanya pada sibuk sendiri-sendiri dengan netbook atau notebook-nya masing-masing, menikmati fasilitas hotspot lewat wifi. Saya merasa nyaman dalam suasana semacam itu. Kedua, saya suka berkunjung ke kafe ini, karena kafe ini sering menjadi tempat ngumpul anak muda dan cewek-cewek berkaos ketat—cuci mata yang menyegarkan. Dan ketiga—lebih penting dari segalanya—saya menyukai kafe ini, karena di sana ada menu kesukaan saya; nasi putih yang ditanak keras, dengan ditaburi bawang goreng kering di atasnya!

Jadi malam Minggu kemarin saya datang ke kafe itu, sendirian, dan langsung mendapatkan meja yang saya inginkan. Pelayan kafe yang sudah mengenal muka saya segera mendatangi meja dan bertanya sambil tersenyum, “Menu seperti biasa?”

Saya mengangguk sambil membalas senyumnya. Si pelayan berlalu, dan saya mulai mengeluarkan rokok, menyulut sebatang, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Di salah satu meja dekat saya duduk, ada enam orang—tiga cowok dan tiga cewek—yang duduk mengelilingi meja sambil menikmati hidangan dan asyik ngobrol. Karena tempat duduk kami bisa dibilang berdekatan, saya pun—mau tak mau—mendengar topik pembicaraan mereka. Dan, ya ampun, mereka sedang membicarakan soal closet!

Ketika mengetahui topik pembicaraan mereka, saya tersedak asap rokok saya. Bagaimana mungkin orang bisa asyik mengobrolkan soal closet sambil menikmati hidangan di meja makan…??? Menurut saya, pembicaraan mereka itu sama sekali tidak mencerminkan falsafah Pancasila! Tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur!

Pelayan kafe mendatangi meja saya, menyodorkan minuman yang saya pesan. Saat ia akan berlalu, saya menghentikannya, “Mas, Mas, tunggu dulu. Bisa nggak kalau…uh, nasi pesanan saya ditunda dulu…?”

Pelayan itu tampak bingung, tapi segera mengangguk. Saya buru-buru menambahkan, “Nanti saya hubungi kalau saya sudah siap makan.” Pelayan itu mengangguk lagi, dan berlalu. Well, saya merasa tidak mampu makan kalau telinga saya mendengarkan orang yang sedang mengobrolkan soal closet.

Sekarang saya sendirian lagi, dan mau tak mau kembali mendengarkan obrolan aneh di meja sebelah saya—obrolan closet di meja makan. Sialnya, topik obrolan itu ternyata masih berlanjut, bahkan terdengar makin seru saja. Sambil menghitung detik jam, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin obrolan soal closet bisa menyita waktu lebih dari lima menit…??? Sepertinya mereka mengobrolkan soal closet dari berbagai sudut pandang—mulai dari sejarah, filsafat, ideologi, sampai pengaruh closet dalam membangun mental kebangsaan.

Di antara asap rokok yang berputar-putar di sekeliling kepala, saya mendengar salah satu di antara cowok-cewek itu berkata, “Nggak deh. Menurutku lebih enakan closet duduk dibanding closet jongkok.”

Dalam hati saya membatin, “Oke, oke kalau begitu menurut pendapatmu. Tapi tolong obrolannya ditunda dulu ya…!”

Lalu seorang dari mereka berujar, “Ah, kalau aku sih tetap suka closet jongkok. Sepertinya lebih nyaman di kaki.”

Dalam hati saya kembali membatin, kali ini tambah dongkol, “Ya ya, oke, bagus sekali pendapatmu. Tapi tolong, bagaimana kalau topik obrolan kalian diganti saja…???”

Seorang cowok dalam gerombolan itu kemudian menyahut, bahkan dengan suara yang agak keras, “Aku tuh heran lho dengan orang-orang kayak kamu. Apa enaknya sih closet jongkok? Duduk kan lebih enakan, bisa enjoy…! Kalau aku sih, gimana pun tetap suka closet duduk!”

Sekarang saya berteriak dalam hati, “YA, YA, KAMU ORANG HEBAT! PENDAPATMU ITU SUNGGUH BENAR SEKALI, DAN BANGSA INI SANGAT MEMBUTUHKAN ORANG-ORANG SEPERTIMU YANG MAU MENYUARAKAN SUARA KEJUJURAN DARI HATINYA. TAPI TOLONG YA, TOPIK OBROLAN KALIAN INI DIHENTIKAN DULU…!”

Tapi, ternyata, topik obrolan soal closet sialan itu tetap belum berhenti juga. Cowok yang lain dalam gerombolan itu menyahut, “Ya…itu kan cuma soal selera. Mau closet jongkok ataupun closet duduk, yang penting kan fungsinya. Aku sendiri sih nggak terlalu mempersoalkan—aku bisa menggunakan keduanya dengan baik.”

Saya kembali berteriak dalam hati—kali ini lebih kencang, “HEBAT! KAMU PASTI ORANG BESAR YANG BIJAKSANA. KAMU MEMILIKI PENDAPAT YANG BAGUS SEKALI MENGENAI CLOSET SIALAN INI. TAPI, TOLONG—SEKALI LAGI, TOLONG—BISAKAH KALIAN DIAM SEBENTAR DAN TIDAK LAGI MEMBICARAKAN CLOSET SIALAN INI…??? AKU MAU MAKAN…!!!”

Tetapi bocah-bocah di meja samping saya itu terus saja asyik membicarakan topik closet keparat itu, seolah nasib bangsa ini ditentukan dari hasil kesimpulan mereka mengenai hebat mana antara closet duduk dan closet jongkok. Salah seorang cewek dari mereka bahkan kemudian berkomentar dengan penuh perasaan dan penghayatan, “Kalau aku sih ya…rasanya gimana gitu, kalau pakai closet duduk. Kayanya risih deh. Enakan closet jongkok. Jadi, ya…aku tetap aja jongkok meski pakai closet duduk…”

Sekarang saya benar-benar berteriak kencang—tapi dalam hati, “OKE, OKE KALAU BEGITU. KAMU MAU JONGKOK, MAU DUDUK, MAU NUNGGING, TERSERAH. TAPI TOLONG…BISAKAH KALIAN DIAM SEBENTAR, ATAU MENGGANTI TOPIK OBROLAN SELAIN CLOSET SIALAN INI…??? AKU PERLU MAKAN MALAM—PERUTKU SUDAH LAPAR!”

Tetapi, obrolan mereka soal closet itu sepertinya benar-benar penting, dan mereka makin bersemangat membicarakannya. Sialnya, saya tidak membawa earphone atau sesuatu yang dapat saya gunakan untuk menyumpal telinga saya. Akibatnya, mau tak mau saya tetap mendengar suara obrolan mereka. Dan dengan menahan lapar sambil membayangkan nasi dengan taburan bawang goreng kering di atasnya, saya memaki-maki dalam hati, “OH, SIALAN, KAPAN AKU BISA MAKAN…???”


 
;