Selasa, 30 Maret 2010

Pecandu Kebisingan

Keheningan membuat kami sadar bahwa jasad tidak lebih
dari penjara, dan dunia hanyalah sebuah tempat pengasingan.
Kahlil Gibran


Siang itu panas menyengat, tetapi saya terpaksa keluar rumah karena butuh membeli tinta printer. Saya memarkir kendaraan di depan toko komputer langganan, dan segera merasakan teriknya mentari saat melangkah menuju pintu toko. Udara panas menyengat, debu-debu beterbangan, sementara kendaraan berlalu-lalang di jalanan. Tingkat kebisingan yang luar biasa di panas terik siang yang luar biasa. Dan ketika sedang melangkah itulah, tanpa sengaja saya menyaksikan sesuatu yang benar-benar memukau pandangan mata saya.

Di depan toko, seorang tukang parkir tanpa seragam berdiri di depan pagar besi, sambil telinganya mendengarkan siaran radio yang tergantung di besi pagar toko. Sepertinya, bagi tukang parkir itu, kebisingan di siang hari yang panas berdebu masih kurang, sehingga ia perlu menambahi tingkat kebisingan itu dengan suara-suara dari radio.

Saya terpaku. Dan bingung. Dan tiba-tiba rencana membeli tinta printer seperti terlupa dari benak. Dan saya jadi teringat dengan realitas kita semua di hari ini. Mungkin, tanpa kita sadari, kita semua juga pecandu kebisingan, pemeluk kebisingan, pecinta kebisingan, dan kita semua sepertinya tak bisa lepas dari kecanduan terhadap kebisingan.

Pagi hari, saat bangun dari tidur, kebisingan sudah menggedor-gedor telinga kita—suara mesin air yang mengisi bak di kamar mandi. Saat suara mesin berhenti, kebisingan baru dimulai dari televisi yang menemani kita sarapan pagi. Ketika mulai pergi bekerja atau kuliah, kita melewati jalur kebisingan di mana-mana, dan kebisingan itu pun terus menemani kita selama bekerja atau kuliah—sampai pulang kembali ke rumah.

Di rumah, lagi-lagi kebisingan yang lain menyambut kita—siaran radio, dering telepon, suara televisi, ataupun bunyi-bunyi teredam di earphone yang menyumpal telinga kita. Ketika kebisingan di rumah terasa membosankan, kita pun pergi ke mall atau kafe, atau diskotik, dan sekali lagi kebisingan yang memekakkan menerpa pendengaran kita. Hari ini, kita semua bukan hanya telah menjadi korban kebisingan atau bagian dari kebisingan semata-mata—kita adalah para pecandu kebisingan!

Kita adalah pecandu kebisingan—karena kita sekarang ketakutan, bahkan amat ketakutan, dengan keheningan. Kita tak lagi mengenal ketenangan, tak lagi dekat dengan kesunyian, dan kita ketakutan ketika memasuki keheningan. Kita telah sedemikian akrab dengan kebisingan dan tak lagi mengenal keheningan. Sehingga setiap kali keheningan datang, kita pun buru-buru menciptakan kebisingan dengan berbagai sarana, atau menyumpalkan kebisingan di kedalaman telinga kita.

Siaran dan berita televisi, denging bising dari radio, suara-suara ponsel dan peralatan lainnya, hiruk-pikuk jalanan, dentum musik di berbagai tempat, semuanya telah menjadi bagian penting dari hidup kita, sehingga kita merasa tak mampu hidup tanpa semua kebisingan itu. Hari-hari ini, masyarakat dunia telah asing dengan keheningan—tempat seharusnya mereka menjadi manusia seutuhnya.

Otak manusia—pikiran manusia—hanya dapat memikirkan satu hal dalam satu waktu. Jika ada sesuatu yang memasuki pikiran, maka pikiran yang lain tak dapat masuk. Jika kebisingan terdengar, otak akan menyerap kebisingan itu dan menjadikannya sebagai objek pikiran. Dan karena manusia telah sedemikian tergantung dengan kebisingan, maka otaknya pun tidak lagi berpikir, melainkan hanya menampung tensi kebisingan.

Jadi inilah realitas kita semua—manusia yang tak lagi mengenal habitatnya yang asli, manusia yang tak lagi dapat menggunakan anugerah pikirannya sebagaimana tujuan diciptakannya. Kebisingan telah menjadi kebutuhan kita semua, dan kita semua telah menjadi pecandu kebisingan yang akut. Kita ketakutan setiap kali memasuki keheningan, sebagaimana anak kecil yang ketakutan memasuki kegelapan. Kita mencari segala cara dan upaya agar terhindar dari keheningan, dan hakikat kemanusiaan kita pun tergadai di antara deru debu bising kehidupan.

“Berpikir adalah pekerjaan yang paling sulit,” kata para filsuf, “sedemikian sulitnya, hingga manusia lebih memilih mati daripada berpikir.” Sepertinya, itu memang benar—karena kebanyakan manusia ternyata lebih memilih mendesakkan kebisingan ke dalam pikirannya, dibanding memasuki keheningan untuk menjadi manusia.

 
;