Jumat, 09 April 2010

Kerempeng itu Keren

Yang penting adalah bagaimana dirimu,
bukan bagaimana wujud penampilanmu.
—Valeria Mazza


“Kerempeng…? Mana keren…?!”
Slogan yang terdengar menyindir atau bahkan mencemooh dan merendahkan itu selalu tengar mengiringi iklan sebuah produk susu di televisi. Dan setiap kali melihat atau mendengar slogan yang aneh itu, jidat saya selalu berkerut.

Jika tujuan iklan itu adalah merayu dan mengharapkan agar pemirsa televisi mengkonsumsi produk susu itu, saya meragukan hasilnya akan efektif. Mengapa? Karena iklan itu bukan merayu, tetapi menyindir. Bukan membenarkan, tetapi justru merendahkan. Kalau mau menggunakan istilah psikologi, iklan itu bukannya mengelus ego calon konsumennya, tetapi justru melukai ego calon konsumennya!

Tidak ada orang yang mau tergerak hatinya jika egonya dilukai—tidak ada orang yang cukup idiot untuk memenuhi permintaanmu jika kau meminta dengan cara yang merendahkannya.

Tetapi hal semacam itulah yang dilakukan iklan susu itu. Iklan itu dibuat tentunya dengan tujuan agar orang—pemirsa televisi—mau mengkonsumsi susu itu. Tetapi iklan itu ditawarkan dengan cara yang menjengkelkan, melukai ego, serta merendahkan kalangan tertentu yang kebetulan bertubuh kurus atau kerempeng. Lebih parah lagi, iklan itu nyata-nyata mendefinisikan istilah “keren” dengan pandangan yang amat sangat naif.

Sekarang kita bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya yang disebut “keren” itu…??? Siapa atau sosok seperti apa yang layak dan pantas dianggap “keren” itu…??? Apakah sosok bertubuh macho itu yang keren? Apakah orang bertubuh tinggi-besar itu yang keren? Jika ya, maka berarti semua orang yang tidak macho dan tidak tinggi-besar tidak bisa disebut keren. Tetapi, jika kenyataannya seperti itu, alangkah naifnya definisi keren itu!

Tanyakanlah pada artis Vira Yuniar, seperti apa sosok yang keren—dan Vira Yuniar akan menjawab bahwa cowok keren adalah cowok yang kerempeng. Pernyataan itu diungkapkannya kepada Majalah Film beberapa tahun yang lalu ketika dia ditanya ingin punya pacar seperti apa. “Aku suka cowok yang kurus-tinggi,” kata Vira Yuniar, “karena seperti itulah yang keren.”

Kalau penilaian Vira Yuniar dianggap terlalu personal, sekarang kita lihat Jimmy Ray. Siapa pun yang sudah merasa cukup gaul sejak sepuluh tahun yang lalu seharusnya mengenal Jimmy Ray.

Kurang-lebih satu dasawarsa yang lalu, cowok kerempeng itu mengguncangkan dunia ketika ia menyanyikan lagu-lagunya. Jutaan cewek menggilainya, dan dimana pun Jimmy Ray muncul, ada beribu-ribu cewek yang rela berdesakan penuh keringat hanya untuk melihatnya. Dan Jimmy Ray, yang bertubuh kurus-kering ini, disebut sebagai cowok yang “maha keren”—bahkan beberapa majalah menjulukinya sebagai “Cowok Paling Keren Sedunia”.

Kalau Jimmy Ray dianggap terlalu jauh, sekarang lihatlah penyair Chairil Anwar. Meskipun kita tidak dapat menyaksikan sosoknya hari ini, tetapi buku-buku sejarah dan buku-buku sastra telah menggambarkan seperti apa sosok penyair legendaris itu. Dia kurus-kering—kerempeng! Tetapi siapa yang berani menyatakan Chairil Anwar tidak keren…??? Orang gila mana yang cukup bodoh untuk menyebut Chairil Anwar, “Kerempeng…? Mana keren…?!”

Jadi, di manakah sebenarnya letak definisi keren itu? Sekarang kita tahu, bahwa letaknya ada dalam ruang lingkup subjektivitas—dan tidak ada satu pihak pun yang layak menghukum siapa pun sebagai “tidak keren”, tak peduli seperti apa pun orang itu.

Mungkin seseorang kurus-kering dan kerempeng, dan bagi produk susu itu sama sekali tak bisa disebut keren. Tetapi, bagi orangtuanya dan bagi pacarnya, dia belum tentu tidak keren—karena itu penilaian personal yang relatif. Yang tidak keren bagi produk susu itu, bisa jadi “amat-sangat-keren” bagi orang lain.

Karena istilah “keren” tak jauh beda dengan istilah “cantik” atau “tampan”, maka tentunya siapa pun dapat menyebut seseorang sebagai “keren”—tak peduli seperti apa pun orang yang dituju. Tetapi hal ini menjadi masalah ketika disuarakan dalam bentuk kata negatif (menggunakan kata “tidak”), apalagi jika dijadikan slogan bagi iklan suatu produk. Menyebut seseorang atau suatu golongan dengan istilah “tidak keren” sama halnya menyebut seseorang atau suatu golongan sebagai “tidak cantik” atau “tidak tampan”—dan sekali lagi, itu melukai ego mereka.

Mungkin ada perempuan-perempuan yang sadar diri mereka tidak cantik. Mungkin ada banyak lelaki yang menyadari kalau dirinya tidak tampan. TETAPI MEREKA SAMA SEKALI TIDAK INGIN ADA SATU ORANG PUN DI DUNIA INI YANG MENGATAKAN HAL ITU. Begitu pun, mungkin ada cukup banyak cowok yang kerempeng, dan mereka sadar diri mereka tidak keren, tetapi mereka sama sekali tidak ingin siapa pun merendahkan mereka hanya karena itu!

Karenanya, jidat saya selalu berkerut setiap kali mendengar ucapan bodoh itu muncul dalam iklan susu itu. Lebih parah lagi, kata-kata itu diucapkan dengan nada yang jelas-jelas mencemooh.

Jika saya memang kurus-kering dan kerempeng, dan jika saya memang ingin memiliki tubuh yang kekar, maka saya tidak akan mengkonsumsi sesuatu yang jelas-jelas merendahkan harkat dan martabat sesama saya hanya karena rupa fisik mereka. Karenanya pula, jika iklan itu merasa berhak untuk mengatakan bahwa kerempeng itu tidak keren, maka saya pun akan merasa berhak untuk berteriak kepada siapa pun, bahwa KEREMPENG ITU KEREN…!!!

 
;