Kamis, 15 April 2010

Melepas Jaket si Swalayan

Kehilangan kekayaan masih dapat dicari kembali,
kehilangan kepercayaan sulit didapatkan kembali.
Erich Watson


Saya memiliki seorang sohib bernama Very. Dia seorang pembaca buku yang luar biasa, sekaligus penulis yang sepertinya tak pernah kenal waktu berhenti. Tetapi bukan itu yang ingin saya kisahkan mengenai dirinya. Ada satu hal unik mengenai cowok satu ini, yang sepertinya layak untuk saya ceritakan di sini. Very tidak pernah sudi melepaskan jaketnya ketika memasuki swalayan, mall ataupun department store yang mengharuskan pengunjung melepas jaket di pintu masuk!

Suatu malam, beberapa tahun yang lalu, saya bersama Very memasuki sebuah toko buku terkenal yang ada di sebuah komplek swalayan besar. Dari rumah, kami memang telah berencana untuk membeli buku-buku baru. Karenanya, kami pun langsung menuju ke toko buku tersebut dan tak menghiraukan deretan toko lainnya di swalayan tersebut. Waktu itu saya mengenakan celana jins dan kemeja kasual, sementara Very mengenakan celana jins dengan jaket yang menutupi kaos dalamnya.

Di pintu masuk toko buku itu, seorang petugas menghentikan kami, dan dia meminta agar Very menitipkan jaketnya di tempat penitipan barang. Di luar dugaan, Very menolak. Pada mulanya dia menolak dengan kata-kata yang halus, dilengkapi alasan-alasan tertentu mengapa dia tak mau melepaskan jaketnya. Tetapi karena petugas itu tetap meminta agar Very melepaskan jaketnya, Very pun jadi berang. Dengan nada yang menantang, dia berkata pada si petugas, “Begini saja. Saya ingin tetap mengenakan jaket saya—apakah saya diizinkan masuk, atau tidak?”

Si petugas tetap menghadapi Very dengan ramah—karena pastinya ia dituntut begitu. Petugas itu menyatakan bahwa aturan melepas jaket sudah menjadi aturan umum, termasuk di toko buku itu, karenanya Very harus mematuhi peraturan tersebut jika memang ingin masuk ke situ.

Very memahami maksud petugas itu adalah ia tetap dilarang masuk jika tidak mau melepaskan jaketnya. Dengan suara yang diusahakan sedatar mungkin, Very berkata, “Saya ke sini dengan tujuan membeli buku di toko ini—dan tidak setitik pun ada niat untuk mencuri atau semacamnya. Saya berencana menghabiskan setidaknya tiga juta di toko ini. Tapi rupanya peraturan konyol di sini lebih suka memaksa saya pergi, daripada mendapatkan transaksi senilai tiga juta!”

Saya tahu benar karakter sohib saya satu ini—jadi saya diam saja dan membiarkan dia mengeluarkan amarahnya. Setelah berkata seperti itu, dan membuat si petugas kebingungan, Very menarik saya pergi dari pintu toko buku. “Aku tidak sudi memasuki toko yang tidak percaya pada pelanggannya!” serunya dengan nada muak.

Itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Nah, malam kemarin, hal semacam itu kembali terulang. Malam kemarin, saya bersama Very memasuki sebuah mall untuk membeli ponsel baru. Kami sama-sama menyukai ponsel itu, karena ada satu teknologi terbaru dalam ponsel tersebut yang sama-sama kami butuhkan. Waktu itu saya mengenakan celana jins dan kemeja kasual seperti biasa, sedang Very mengenakan celana jins dan jaket katun bertudung kepala.

Ketika akan memasuki komplek stand penjualan ponsel, seorang petugas menghentikan kami, dan meminta Very untuk melepaskan jaketnya. “Silakan titipkan jaket Anda di sana,” kata si petugas dengan ramah sambil menunjuk tempat penitipan barang.

Seperti yang sudah saya duga, Very menolak. “Jaket seperti ini harus dititipkan?!” katanya dengan nada tak percaya. Si petugas mencoba memberikan penjelasan sesopan mungkin bahwa itu peraturan di sana—tapi Very tak mau mendengar.

Akhirnya, setelah si petugas nyata-nyata tak bisa mengizinkan kami masuk jika Very tak mau melepaskan jaketnya, Very pun berkata dengan marah, “Kami ke sini untuk membeli ponsel di sana itu. Jika hanya untuk masuk ke sana saya harus melepaskan jaket, saya akan beli ponsel di tempat lain saja yang tak punya aturan konyol semacam ini!”

Kami pun pergi dari sana, dan stand penjual ponsel itu kehilangan transaksi bernilai jutaan rupiah hanya karena peraturan konyol yang mengharuskan pengunjung melepaskan jaketnya.

Oke, sampai di sini kita mungkin bertanya-tanya, apa salahnya sih melepaskan jaket? Sekadar melepas jaket saja dan menitipkannya—seberapa beratnya? Kalau kita memang bertanya-tanya seperti itu, sekarang saya akan menuliskan jawaban Very, dan mengapa dia sampai tidak sudi melepaskan jaketnya hanya demi mematuhi peraturan itu.

“Kalau kau memasuki sebuah toko atau komplek swalayan, dan kemudian kau diminta melepaskan jaketmu,” kata Very, “maka itu berarti secara tak langsung toko atau komplek swalayan itu tidak percaya kepadamu. Mereka memiliki sistem pengamanan yang canggih, mereka menempatkan satpam atau sekuriti dimana-mana, mereka memasang kamera pengintai di berbagai sudut—pendeknya mereka telah mengamankan kompleknya dari kemungkinan tindak pencurian. Karenanya, kalau kemudian kau masuk ke sana dan kau diminta melepaskan jaketmu, maka secara tidak langsung toko atau swalayan itu sedang berkata kepadamu, ‘Hei pal, aku tidak mempercayaimu di sini. Jadi kalau kau mau masuk ke sini, tolong lepaskan jaketmu—karena kami curiga kau akan mencuri atau melakukan kejahatan di sini!’”

Interpretasi tersebut mungkin terdengar berlebihan—tapi saya tidak punya alasan untuk menentang interpretasi itu. Alasan apa lagi yang dipakai oleh toko, mall atau swalayan yang memberlakukan aturan itu selain kecurigaan kepada pengunjungnya? Ketika mereka meminta pengunjung melepaskan jaketnya, mereka sesungguhnya sedang menyatakan tingkat kepercayaannya. Mereka tidak percaya kepadamu—itulah mengapa mereka memintamu untuk melepaskan jaketmu.

Seperti kata Very tadi, mereka telah memiliki lapis pengamanan yang sangat lengkap—dari satpam atau sekuriti, kamera pengintai, bahkan sampai tata letak penyusunan barang-barang yang dipajang yang kesemuanya mendukung tingkat pengamanan dan keamanannya. Karenanya, jika setelah menyiapkan semua itu mereka tetap juga meminta pengunjung untuk melepaskan jaketnya, itu sama saja menudingkan jari ke muka pengunjung dengan tatapan kecurigaan.

Pencegahan memang selalu lebih baik daripada pengobatan—mungkin itulah yang menjadi dasar aturan melepaskan jaket di swalayan, toko atau mall tertentu. Tetapi, para direksi atau komisaris dan pemilik tempat yang memberlakukan aturan itu sepertinya sudah perlu meninjau kembali kebijakannya dalam hal satu itu, karena bisa jadi ada jutaan transaksi yang pergi dan hilang hanya gara-gara peraturan yang dilandasi dengan kecurigaan semacam itu.

 
;