Kamis, 22 April 2010

Nyalang Jiwa Curt Cobain

Di balik setiap kejeniusan dan karya besar,
selalu ada kegelisahan.

Jangan pernah menyangka semua orang ingin populer dan terkenal. Jangan pernah sedetik pun beranggapan setiap orang ingin menjadi artis atau selebritas. Manusia memang dilengkapi dengan ego, insting, atau naluri untuk narsis—membanggakan dan memuji diri—tetapi tidak setiap orang senang jika menjadi terkenal atau dikenal banyak orang. Kalau hari ini kau ingin menjadi orang terkenal—itu sah dan wajar. Tetapi jika ada orang yang justru tidak ingin terkenal—itu pun sah dan wajar.

Mungkin kita bertanya-tanya, apa ada orang yang seperti itu? Apa ada orang yang justru tidak ingin terkenal atau dikenal? Jawabannya ADA—bahkan cukup banyak. Curt Cobain adalah salah satu orang yang sama sekali tidak ingin terkenal, tidak ingin dikenal, dan popularitas yang dimilikinya justru menjadikannya stres, frustrasi, bahkan kemudian mengakhiri hidupnya sendiri. Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan Curt Cobain dalam hidupnya adalah menjadi terkenal. Padahal mungkin saja dia masih hidup hingga hari ini kalau saja ia tidak terkenal.

Curt Cobain adalah korban dari takdir yang tragis. Dia adalah jiwa yang nyalang, hati yang gelisah. Sebagai anak muda, waktu itu, Curt Cobain belum dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan dirinya. Saya membayangkan saat itu dia merasakan batinnya tak pernah tenang, hatinya terus gelisah, dan jiwanya terus nyalang tanpa ketenteraman. Sampai akhirnya dia menemukan cara untuk menyalurkan semua kegelisahan jiwanya itu melalui lagu, dan musik—tetapi itu ternyata menjadi kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Ketika Curt Cobain mengarang lagu, dia sama sekali tidak menginginkan dirinya menjadi artis, penyanyi, dan kemudian terkenal. Dia hanya ingin menyalurkan kegelisahannya, dia hanya ingin mengeluarkan keresahan batinnya. Saat menyanyikan lagu-lagunya, Curt Cobain hanya merasa telah menemukan jalan yang dapat menyalurkan semua kegelisahan batinnya, bersama group band yang dibentuknya sendiri, Nirvana.

Tetapi "sialnya", lagu-lagunya kemudian digemari di seluruh dunia, musik yang diusungnya bahkan menciptakan genre baru, bahkan Nirvana menjadi group musik paling berpengaruh sepanjang masa. Curt Cobain yang seharusnya menjadi tenang karena telah menemukan kedamaian hati pun kemudian menjadi lebih stres, lebih frustrasi, dan jiwanya semakin nyalang dan gelisah. Popularitas itu telah menjadi kutukan yang amat gelap bagi Curt Cobain—juga bagi orang-orang terdekatnya.

“Kegilaan” Curt Cobain sudah terkenal bagi para penggemarnya. Selain hobi membuat lirik lagu yang susah dipahami, dia juga suka bertingkah aneh di atas panggung—dari merusak alat-alat musik, mengenakan kostum baby doll, sampai terang-terangan menantang Axl Rose berkelahi di muka umum. Lebih parah lagi, Curt Cobain bahkan pernah mengajak istrinya, Courtney Love, untuk mengisap heroin bersama, selagi Courtney mengandung bayi mereka.

Tetapi semua “kegilaan” itu terus-menerus dimaklumi oleh banyak orang, waktu itu, karena mereka meyakini Curt seorang jenius. Orang-orang jenius selalu aneh—bahkan gila—dan mereka pun dapat memaafkan jika Curt Cobain juga begitu. Yang tidak mereka tahu, sesungguhnya, Curt Cobain hanyalah ingin terlepas dari semua atribut popularitasnya.

Sampai kemudian, karena sudah tak tahan lagi menanggung kegelisahan batinnya yang makin menekan, Curt Cobain pun mengakhiri hidupnya sendiri. Sebenarnya, Curt sudah mencoba bunuh diri beberapa kali namun gagal. Dia pernah menelan lima puluh butir obat tidur dan menenggak sampanye—kombinasi yang mematikan—namun nyawanya berhasil tertolong saat dilarikan ke rumah sakit.

Tetapi hasrat ingin mengakhiri hidup itu begitu kuat dalam diri Curt, hingga akhirnya tubuhnya ditemukan telah mati di halaman rumahnya sendiri. Ia berhasil bunuh diri dengan menembakkan revolver ke dagunya, dan meninggalkan catatan bunuh diri untuk sahabat khayalannya yang ia sebut ‘Boddah’. Dalam surat terakhirnya itu pula, Curt Cobain dengan jujur dan jelas menyatakan bahwa dia sudah tak tahan lagi menjadi pusat perhatian karena terkenal.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Curt Cobain…? Ulasan-ulasan, berita, bahkan buku biografinya, tidak pernah jelas menguraikan latar belakang kejiwaannya hingga ia seperti itu. Karenanya, saya mengasumsikan (sekali lagi, mengasumsikan) bahwa Curt Cobain sebenarnya mengalami gangguan kejiwaan yang disebut ‘manik depresif’. Gangguan kejiwaan ini tidak banyak dikenal orang, karena—anehnya—manik depresif menghinggapi orang-orang tertentu secara eksklusif. Yang sering mengidap gangguan manic depresif adalah para penulis dan para pemikir, juga para jenius.

Ciri paling khas yang biasa dirasakan pengidap manik depresif adalah naik-turunnya emosi secara tidak jelas atau tiba-tiba, kegelisahan yang tak terpahami, serta hasrat dan keinginan untuk bunuh diri. Diperlukan konsultasi intensif dengan psikiater untuk mengetahui apakah seseorang mengidap gangguan ini atau tidak—karenanya, sangat jarang pengidap gangguan ini yang menyadari masalahnya. Begitu pula Curt Cobain. Dia pasti tak pernah terpikir untuk menghubungi psikiater atau psikoanalis untuk mengkonsultasikan kegelisahan jiwanya, sehingga dia mencari cara dan jalan sendiri untuk menyelesaikan kegelisahan yang dirasakannya.

Ada cukup banyak tokoh terkenal, pemikir, penulis-penulis terkenal, hingga orang-orang yang dianggap jenius dalam bidangnya, yang diprediksi mengalami gangguan kejiwaan ini. Sidney Sheldon, misalnya, dalam memoar yang ditulisnya mengakui dirinya juga mengidap manik depresif. Dalam perjalanan hidupnya, dia juga pernah berniat bunuh diri—namun gagal. Untuk kasus ini, Sidney Sheldon termasuk “beruntung” karena dia menyalurkan kegelisahan batinnya lewat tulisan dan novel. Sehingga meski namanya dikenal di seluruh dunia, dia tidak menjadi tertekan gara-gara terkenal atau karena menjadi pusat perhatian.

Curt Cobain mengambil jalan yang “keliru”—tanpa pernah disadarinya. Dia menyalurkan kegelisahan jiwanya dengan mengarang lagu—akibatnya dirinya ikut terkenal dan dikenal bersama lagu-lagunya, karena dia juga tampil menyanyikan lagu-lagunya. Akibatnya pula, keinginan untuk terlepas dari perasaan tertekan justru mengakibatkan perasaan tertekan yang makin dalam karena keterkenalannya. Ketika dia tak sanggup lagi menahan kegelisahannya, bunuh diri pun dipilih untuk menyelesaikan semuanya.

Tetapi, meski begitu, dunia patut berterima kasih atas “kekeliruan” Curt Cobain—karena setidaknya orang jenius yang gelisah itu telah meninggalkan warisan kejeniusannya. Dan di hari-hari ini, saat kita mendengarkan suaranya menyanyikan Smells Like Teen Spirit, ingatlah selalu bahwa di balik setiap karya besar—selalu ada kegelisahan besar.

 
;