Senin, 26 April 2010

Trauma Attachment (Lanjutan Lagi)



Di post sebelumnya, seperti yang sudah kau baca, email plus attachment yang saya kirimkan kepada Ratna ternyata sampai ke tujuan dengan selamat. Beberapa saat setelah email itu saya kirimkan, Ratna menelepon saya dan memberitahu, “Da’, emailmu udah nyampai nih.”

“Bener…?” Saya memastikan. “Attachment-nya juga nyampai?”

“Iya,” Ratna memberitahu. “Aku udah membuka emailmu, dan semuanya nyampai dengan utuh. Termasuk attachment-nya.”

Sekarang saya bertanya-tanya, mengapa email yang ini bisa sampai dengan selamat—sementara email-email saya terdahulu tidak sampai? Ketika saya mencoba mengutarakan hal itu pada Ratna, dia menjelaskan dengan suara seperti orang yang baru memperoleh pencerahan.

“Ada beberapa kemungkinan, Da’,” katanya memulai ceramahnya. “Kemungkinan pertama, kamu sebenarnya belum melampirkan file attachment dalam emailmu, tetapi kamu merasa udah melampirkannya. Atau, bisa jadi kamu kurang sempurna dalam mengirim emailmu—hingga akibatnya tuh email nggak nyampai. Untuk memastikan hal ini, coba cek boks surat-surat yang terkirim—lihat apakah emailmu itu terdata di sana beserta file attachment-nya. Jika ternyata emailmu nggak tercantum di boks surat terkirim, artinya memang kamu belum mengirimkan email itu secara sempurna.”

Saya paham maksud Ratna. Penyedia layanan email seperti Gmail atau Yahoo! memiliki fasilitas penyimpanan email yang keluar, dan fasilitas ini bekerja secara otomatis. Artinya, setiap kali kau mengirim email, maka email yang kau kirim itu akan masuk dalam kotak tersendiri (kotak email terkirim). Karenanya, saya pun segera membuka kotak email terkirim itu untuk memastikan. Dan di situ, sebagaimana yang sudah saya duga, email-email saya tercantum dengan jelas sebagai email yang telah terkirim—lengkap dengan masing-masing attachment-nya. Artinya, saya sudah mengirimkan email-email itu dengan baik—sesuai prosedur pengiriman email yang sempurna.

Ketika hal itu saya katakan pada Ratna, dia menjawab, “Oke, kalau begitu kita harus meninjau kemungkinan kedua.” Dia kembali berceramah, “Kemungkinan kedua, orang-orang atau pihak-pihak yang kamu kirimi email itu berbohong. Mereka sebenarnya udah menerima emailmu—lengkap dengan attachment-nya—tapi berbohong dengan menyatakan kalau emailmu nggak nyampai atau nggak mereka terima.”

Saya ragu-ragu dengan kemungkinan kedua ini—karena sepertinya itu tidak mungkin. Buat apa orang-orang itu berbohong? Setiap kali saya mengirim email dan kemudian dinyatakan tidak sampai oleh orang yang dituju, saya akan melakukan pengiriman ulang melalui pos atau jasa kurir, hingga kiriman dokumen itu dinyatakan diterima oleh orang yang dituju. Jadi buat apa orang-orang ini berbohong? Lebih dari itu, file-file yang saya kirimkan lewat email tersebut tergolong file-file penting yang butuh diterima secara cepat oleh orang-orang yang menerimanya. Jadi mereka sama sekali tak punya alasan untuk berbohong dengan menyatakan kalau email saya tidak sampai atau belum mereka terima.

“Kalau begitu, tinggal ada satu kemungkinan lagi,” ujar Ratna. “Kemungkinan ketiga, dan ini kemungkinan terakhir, adalah karena email-emailmu masuk ke dalam boks spam.”

Ya, ini dia. SPAM…!!! Tiba-tiba saya seperti memperoleh pencerahan yang luar biasa. Spam! Mengapa saya tak pernah terpikir hal ini…??? Layanan penyedia email semacam Yahoo! atau Gmail dilengkapi dengan penyaring pesan, yakni suatu fitur yang bertugas menyaring email-email yang masuk. Apabila suatu email dicurigai sebagai email sampah atau email yang tidak diinginkan oleh penerimanya, secara otomatis email itu akan dimasukkan ke dalam boks spam.

Jadi kemungkinan besar hal semacam itulah yang menimpa email-email saya selama ini. Email-email beserta attachment yang saya kirimkan itu masuk ke dalam boks spam si penerimanya, sehingga orang yang saya tuju tidak menerima email itu meski saya sudah jelas-jelas mengirimkannya!

You know, ternyata memang ada penyedia layanan email yang terlalu ‘ketat’ dalam menyaring email yang masuk, sehingga sedikit saja sebuah email dianggap asing, email itu langsung dilempar ke keranjang spam. Parahnya lagi, email yang masuk ke dalam kotak spam akan terhapus setelah melewati waktu 30 hari. Akibatnya terkadang si penerima email sama sekali tak tahu kalau sesungguhnya dia telah menerima email penting—hanya karena penyedia layanan email yang digunakannya terlalu sensitif!

Ketika saya mengetahui kenyataan ini, saya pun sedikit demi sedikit dapat mengobati rasa trauma saya terhadap attachment—dan saya pun mulai berani lagi berkirim email dan attachment. Biasanya, setelah saya mengirimkan sebuah email kepada seseorang, saya akan menelepon atau berkirim SMS untuk mengabarkan bahwa saya telah mengirimkan email kepadanya. Jika kemudian orang tersebut menyatakan bahwa email saya belum masuk, saya pun akan berceramah kepadanya, “Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa sesungguhnya email itu bisa saja ada di kotak spam. Jadi cobalah cek kotak spam di emailmu.”

Dan…keajaiban pun terjadi. Semua orang yang menyatakan email saya belum masuk itu kemudian menemukan email saya di kotak spam! Apakah ini tidak ajaib…???

Jadi, hai orang-orang yang beriman, cobalah luangkan waktumu sebentar untuk mengecek kotak spam di emailmu. Siapa tahu di sana ada email penting namun tak pernah kau lihat—siapa tahu di antara email-email yang masuk dalam kotak spam itu ternyata ada satu email penting yang akan mengubah hidupmu. Well, siapa tahu…?


 
;