Senin, 26 April 2010

Trauma Attachment (Lanjutan)



Di post sebelumnya saya sudah bercerita soal kejengkelan dan kebingungan saya karena email-email yang saya kirim bersama attachment seringkali tidak sampai ke orang yang saya tuju. Karena sudah sering mengalami kejadian semacam itu, saya pun mengalami trauma terhadap attachment. Saya tak percaya lagi pada attachment, karenanya saya lebih memilih mengirimkan berkas-berkas penting melalui jasa kurir, dalam bentuk print out. Trauma saya ini mungkin tak akan pernah terobati kalau saja tidak ada editor yang keras kepala, bernama Ratna Yulianty.

Malam itu sudah pukul sepuluh ketika ponsel saya berdering dan di layarnya tampak nama Ratna Yulianty, editor penerbit yang selama ini cukup banyak menerbitkan buku saya. Ketika saya menerimanya, Ratna menyatakan kalau naskah terbaru saya akan segera diterbitkan, karenanya dia meminta agar saya segera mengirimkan file atau soft copy naskahnya.

“Oke,” jawab saya. “Besok CD file naskahnya akan kukirim lewat jasa kurir seperti biasa.”

Ratna menjawab, “Kalau bisa malam ini juga, Da’. Kami ingin menerbitkan naskah ini secepatnya, jadi aku akan mulai bekerja sekarang juga.”

“Malam ini? Jasa kurir mana yang masih buka jam sepuluh malam begini?”

“Halah! Internet kan tidak kenal jam kerja. Kirimkan file naskahmu lewat email.”

“Pakai attachment?” saya memastikan.

“Ya iyalah.”

Saya ragu-ragu. “Uh, aku…aku nggak bisa ngirim email pakai attachment.”

Di luar dugaan saya, Ratna tertawa ngakak mendengar jawaban saya yang jujur. “Lutuu…lutuu…!” katanya di sela-sela tawa ngakaknya.

“Hei, aku nggak bercanda!” ujar saya sungguh-sungguh. “Aku benar-benar nggak tahu cara mengirim attachment!”

Masih dengan tawa yang terdengar, Ratna menyahut, “Jadi, kamu hidup pada jaman apa sebenarnya? Atau jangan-jangan kamu lagi mabuk sekarang? Haloooww, attachment, Hoeda Manis. Attachment…!”

“Iye, attachment—I know. Yang kumaksud juga itu. Tapi aku selalu gagal kalau berkirim attachment—aku nggak tahu apa sebabnya. Jadinya aku seperti trauma kalau makai attachment.”

Akhirnya, dengan malu-malu, saya pun bercerita kepadanya mengenai email-email (plus attachment) yang selama ini saya kirim namun tak pernah sampai. Akhirnya pula, dengan nada memahami, si Ratna berujar, “Hm…jadi itu rupanya yang membuatmu selama ini lebih suka mengirimkan file naskahmu lewat CD dengan jasa kurir?”

“Iya,” saya menjawab dengan patuh, seperti seorang anak nakal yang baru ketahuan bolos sekolah.

“Oke, gini aja,” kata Ratna selanjutnya. “Sekarang kamu kirimkan file naskahmu—sekarang juga—dan aku akan menunggu di sini. Kita lihat apakah emailmu sampai atau nggak. Kalau ternyata emailmu nggak nyampai, aku akan menilponmu lagi, dan kita bisa cari akar masalahnya. Gimana?”

Sepertinya saya tidak punya alasan untuk menolak usulan itu. Di antara semua ide brillian yang pernah saya dengar di muka bumi ini, ide dari si Ratna ini sepertinya termasuk ide yang jenius—setidaknya begitulah menurut otak saya yang idiot. Jadi saya pun segera membuka internet, sign in ke email, dan bersiap-siap mengirimkan file naskah yang diminta Ratna.

Dengan sangat hati-hati, saya memasukkan alamat tujuan di kolom pengiriman, menulis email basa-basi di kotak email, dan kemudian melampirkan file naskah lewat attachment. Proses pelampiran berjalan beberapa detik, dan kemudian mesin email menyatakan kalau email dan lampiran tersebut sudah siap dikirimkan. Dengan hati berdebar-debar, saya pun mengarahkan kursor dan meng-klik tombol ‘Send’.

Hanya dibutuhkan waktu satu detik sebelum kemudian muncul pemberitahuan bahwa email saya telah sukses terkirim. Pemberitahuan ini sudah biasa saya lihat dalam setiap pengiriman email yang saya lakukan—jadi saya tak terpengaruh. Saya tetap merasa ragu apakah email itu sampai dengan selamat. Dan saya pun berdebar menantikan pemberitahuan dari Ratna…

Ketika akhirnya Ratna menelepon lagi, jawabannya benar-benar tak terduga. Email itu TERKIRIM…!!! Kok bisa…???

Saya akan melanjutkan catatan ini di post berikutnya.


 
;