Minggu, 27 Juni 2010

Kisah Dodol di Hari Minggu

Ini cerita bodoh yang saya tulis dengan bodoh, dan sepertinya akan jadi post paling bodoh di blog ini.

Kisah bodoh ini diawali dengan telepon di pagi hari Minggu—telepon kurang ajar yang membangunkan tidur lelap saya beserta mimpi indah di dalamnya. Telepon itu datang dari Amelia, sohib saya, yang langsung saja nyerocos dengan tanpa dosa, “Da’, kakak sepupuku kan lagi perlu bikin tesis, ya. Dia lagi butuh beberapa buku buat referensi. Bisa nggak, kalau kakak sepupuku pinjam buku-bukumu?”

Sambil menguap ngantuk saya menjawab, “Kakak sepupumu itu, cowok apa cewek?”

“Cewek,” jawab Amelia.

“Kalau begitu oke, bisa.” Dalam hati saya berharap semoga kakak sepupu Amelia ini masih jomblo, mirip Manohara, dan sedang mengharapkan seorang pacar. Well, orang berharap kan sah-sah saja?

“Ya udah,” sahut Amelia. “Ntar siang kami ke rumahmu ya.”

Saya menjawab, “Ya,” kemudian tidur lagi.

Siang harinya, selepas dhuhur, Amelia benar-benar datang ke rumah saya. Ketika membukakan pintu untuk mereka, saya tertegun. Cewek yang bersama Amelia siang itu benar-benar tepat seperti yang saya harapkan. Dia mirip Manohara. Soal apakah dia lagi jomblo atau tidak, saya tidak tahu. Tapi dia mirip Manohara—itu yang penting.

“Jadi, ini kakak sepupuku yang kubilang itu,” kata Amelia memperkenalkan sepupunya. “Namanya Sabrina.”

Dalam bayangan saya, si Sabrina ini mungkin usianya tak jauh beda dengan saya, hanya saja dia mengesankan kepribadian yang kuat, dan memancarkan semacam aura yang membuat cowok jadi grogi. Setidaknya, itulah yang saya rasakan. Jadi dengan grogi pula saya menyambut perkenalan itu.

Lalu, setelah ngobrol basa-basi sejenak, saya pun mengajak mereka ke ruang perpustakaan di rumah saya, agar Sabrina bisa leluasa memilih buku-buku yang diperlukannya. Dan di perpustakaan itulah kisah bodoh ini terjadi….

Perpustakaan saya terbagi dalam tiga rak besar. Rak pertama berisi buku-buku fiksi atau novel, rak kedua berisi buku-buku ilmiah atau nonfiksi, sedang rak ketiga berisi majalah-majalah yang saya sukai—Cosmopolitan, Reader Digest, dan lain-lain.

Sambil memilih-milih buku, kami ngobrol-ngobrol dengan asyik, dan saya pun mulai akrab dengan Sabrina. Dan waktu berjalan tanpa terasa, dan diam-diam saya melamunkan Sabrina yang mirip Manohara ini memang lagi jomblo, dan sedang mengharapkan seorang pacar, dan…

“Koleksi majalahmu lengkap ya,” ujar Sabrina membuyarkan lamunan saya.

“Uh…yeah, lumayan,” jawab saya dengan gugup.

Sabrina menatap saya dengan tatapan seorang dokter yang sedang menghadapi pasien, kemudian berkata dengan hati-hati, “Boleh tahu nggak, sejak kapan kamu menyadari kalau… hmm, kalau kamu seperti itu…?”

“Kalau… kalau aku seperti apa…?” Saya menatapnya dengan tampang idiot. Saya benar-benar tidak paham dengan yang dimaksudkannya.

“Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu. Kupikir kamu….”

Saya semakin tidak paham. Buru-buru saya memotong, “Nggak, aku nggak tersinggung. Cuma, aku nggak paham….”

“It’s okay, aku cuma ingin mastiin aja, kok. Kupikir itu bukan masalah, ya.”

Saya semakin tidak paham maksud pembicaraan ini. Sepertinya saya tidak sedang berbicara dengan bahasa Bumi, atau karena memang otak saya tiba-tiba lenyap entah kemana.

“Jadi, maksudnya gimana, Sab?” tanya saya dengan bingung.

“Yah, melihat koleksi majalahmu,” ujar Sabrina dengan tatapan dokter-yang-sedang-mendiagnosa-pasiennya, “Cosmopolitan, Glamour, Parade, Bazaar….”

“Ya…?” Tiba-tiba saya berdebar-debar. “Itu… itu menyimpulkan apa…?”

“Sangat jelas, kan?” sahut Sabrina—kali ini dengan tampang sotoy. “Itu kenapa tadi aku nanya ke kamu, sejak kapan kamu menyadari kalau kamu gay.”

“HAAAHH…???” Rasanya saya mau pingsan. Tiba-tiba bibir saya kering hingga tak bisa berucap apa-apa. Saya gay…??? Omigod! Dan diagnosis yang tidak beradab itu hanya didasarkan pada majalah-majalah yang saya baca…??? Apa salahnya kalau cowok membaca Cosmopolitan…??? Apa salahnya cowok membaca Glamour dan Bazar…???

Amelia yang melihat saya panik dan tak bisa bicara seperti itu malah tampak cekikikan. Dengan biadabnya dia malah menambahi tuduhan itu dengan berkata pada Sabrina, “Hoeda tuh emang suka malu-malu gitu, Sab.” Kemudian dengan tampang yang sama biadabnya dia berkata pada saya, “Kamu nggak perlu malu sama Sabrina, Da’—dia juga punya teman-teman kayak kamu, kok.”

Dan sebelum saya sempat menjawab, mengklarifikasi, atau memberikan penjelasan yang benar, Sabrina sudah menimpali, “Iya, aku juga punya teman-teman kuliah yang kayak kamu. It’s okay, jaman sekarang kan gay udah biasa ya.”

Saya merasa seperti orang tenggelam. Dengan susah-payah saya mencoba bicara. “Tunggu, tunggu. Aku ini cowok normal! Maksudku… aku bukan gay!”

Kali ini Sabrina menatap saya dengan pandangan kasihan, sementara Amelia semakin cekikikan. Dan meski sudah sekuat tenaga saya mencoba menjelaskan pada Sabrina bahwa saya benar-benar cowok normal—DAN BUKAN GAY—dia tetap saja tak percaya. Sepertinya, koleksi majalah saya sudah cukup dijadikan sebagai barang bukti untuk membenarkan diagnosisnya yang membabi-buta.

Yang paling dodol dalam adegan bodoh ini tentu saja Amelia. Dia tahu benar kalau saya cowok normal. Tetapi bukannya meluruskan pemikiran sepupunya yang keliru, dia malah mengompori dan semakin menguatkan asumsi itu dengan komentar-komentarnya yang tak beradab. Dan saya benar-benar bingung menjelaskan kenormalan saya kepada Sabrina, karena baru kali itulah saya dituduh gay.

Ketika akhirnya dua cewek aneh itu pulang, saya tertegun sendirian di ruang perpustakaan dan memandangi majalah-majalah sialan itu. Well, saya tahu Cosmopolitan ataupun Bazaar ditujukan untuk pembaca wanita. Tetapi apa salahnya kalau saya yang cowok juga ikut membaca dan menikmatinya? Bagi saya, ini sama normalnya dengan cewek-cewek yang asyik menonton sepakbola, atau membaca majalah otomotif. Kenapa hanya karena membaca majalah-majalah itu kemudian saya dituduh tidak normal…???

Ponsel saya berdering, dan rupanya Amelia yang menelepon. Begitu saya menerima telepon itu, Amelia langsung memperdengarkan tawa setan yang penuh kepuasan. Sambil tertawa-tawa pula dia berkata, “Aku senang sekali melihat tampangmu tadi…!”

“Dodol!” maki saya dengan jengkel. “Kenapa nggak kamu jelasin aja ke sepupumu kalau dia udah salah sangka???”

Dengan suara tawa penuh kepuasan, Amelia menjawab, “Udah nggak bisa, Da’. Sabrina udah benar-benar yakin kalau kamu emang gay. Huahahaaaa…!”

Semenjak itu, saya sudah mencoba menghubungi Sabrina, dan mencoba menjelaskan kalau dia sudah salah sangka. Tetapi, seperti yang dibilang Amelia, Sabrina sudah telanjur percaya pada asumsinya.

Jadi, Aunt Sabrina, saya sengaja menulis post ini untuk Aunt, dengan tujuan—sekali lagi—meyakinkan Aunt kalau saya benar-benar normal. Saya ulangi, SAYA BENAR-BENAR COWOK NORMAL, DAN BUKAN GAY. Kalau saya suka membaca majalah-majalah tertentu, itu hanya karena didasari kesukaan semata-mata, tanpa dilandasi kecenderungan atau orientasi seksual yang berbeda. Kalau penjelasan ini tetap sulit untuk dipercaya, well, bagaimana kalau Aunt buktikan saja kenormalan saya…???


*Ditulis sambil dongkol di hari Minggu

Esensi Sunyi

…salah satunya Hoeda Manis. Dia menulis dengan jujur, spontan, bahkan kadang saya pikir dia menulis sambil marah-marah. Kata-kata yang ditulisnya itu sangat—apa istilah tepatnya?—sangat terasa efek emosinya, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang ia rasakan ketika menulis kata-kata itu. Kadang saya mendapati tulisannya meledak-ledak, kadang sangat lembut, kadang juga bikin saya senyum-senyum sendiri. Emosinya itu bisa terasakan, dan saya sudah kecanduan…
Poppy Arista, Penulis & Aktivis Sosial
dalam wawancara dengan majalah Lajang Indonesia,
edisi V tahun 8, Maret 2009



Ini adalah buku saya. Maksud saya, buku ini adalah representasi atas diri saya. Atau, lebih tepat lagi, pikiran-pikiran saya. Lima belas tahun yang lalu, ketika pertama kali menulis, saya hanyalah seorang bocah yang merasa mau tak mau harus menulis. Sepertinya, bukan saya yang memilih untuk menulis—melainkan menulis telah memilih saya. Kau tahu bagaimana kondisi semacam ini terjadi. Kau tidak merangkai kata-kata, tetapi kata-kata itu datang menemuimu agar ia dirangkai melalui tanganmu.

Kenyataan semacam itulah yang terjadi ketika saya menulis esai-esai yang sekarang terkumpul dalam buku ini. Saya tidak menulis esai-esai ini, melainkan esai-esai ini mendatangi kehidupan saya—dan kemudian saya mengubahnya dalam bentuk kata-kata. Well, kau tahu, ini tak jauh beda dengan seorang pelukis bersama kanvasnya. Si pelukis tidak melukis keindahan alam atau pegunungan, tetapi keindahan alam dan pegunungan itulah yang mendatangi kanvas kosongnya.

Di kanvas kosong pikiran saya, berbagai hal dalam hidup muncul satu demi satu. Yang berat maupun ringan. Terkadang hal-hal ini datang perlahan-lahan, namun ada kalanya pula datang seperti air bah yang mengalir deras dari bendungan yang jebol. Saya menerimanya. Dan mengendapkannya dalam benak. Kemudian, endapan itu mengkristal dan berubah menjadi debu. Saya menyebutnya ‘debu-debu pemikiran’. Ketika sampai pada tahap itu, satu-satunya pilihan saya hanyalah menuliskannya. Saya bisa mati kalau tidak melakukannya.

Jadi saya pun menulis. Kata demi kata. Lembar demi lembar. Esai demi esai. Dan tahun demi tahun pun berlalu. Segenggam kristal yang terlahir dari benak dan hati itu kini telah berubah menjadi setumpuk esai—sekeranjang kata-kata.

Ketika membacanya kembali, saya membayangkan proses terbentuknya butir-butir mutiara. Kau tahu, pada mulanya sebutir pasir memasuki tubuh tiram yang lembut. Tiram itu kesakitan bukan main karena masuknya pasir menyakiti kulit tubuhnya yang peka. Tetapi, seiring perjalanan waktu, tiram itu berhasil mengalahkan rasa sakitnya—dan tanpa disadarinya, dia telah mengubah sebutir pasir menjadi sebentuk mutiara.

Esai-esai ini ditulis dalam proses semacam itu. Saya kesakitan selama dalam proses menulisnya. Saya tersenyum ketika kembali membacanya…

Conversation with Self (2)



“Kopi ini sepertinya kurang manis. Kau mau tambah gula?”

“No, thanks. Jadi, itu yang menjadi dasar pikiranmu mengapa kau memilih untuk tidak mengikuti mereka?”

“Ya, dan kuharap aku menjatuhkan pilihan yang tepat.”

“So, apa yang merisaukanmu sekarang? Kudengar kau perlu menceritakan sesuatu yang baru kau alami?”

“Yeah...”

“Kau terlihat ragu-ragu...”

“Aku boleh menyulut rokokku dulu?”

....

....

“Bro, kau tahu, kau tidak harus menceritakannya jika kau mau. Uh, maksudku, aku tetap akan menemanimu di sini—tanpa kau harus menceritakannya.”

“Tidak, pal, tidak. Aku percaya kepadamu—dan karena itulah aku merasa perlu menceritakannya kepadamu. Ini tentang rasa itu—ether itu.”

“At...”

“Tunggu, bagaimana kalau kita sebut itu Cube—meminjam analoginya Transformer?”

“Hahaha...! Kau memang punya selera humor yang sinting!”

“Aku tersanjung. So, kau setuju kalau itu disebut, kau tahu, Cube...?”

“Kau benar-benar sinting, bro! Baiklah, aku mendengarkan...”

“Penulis kisah Transformer itu jenius, kau tahu. Dia menciptakan analogi yang benar-benar tepat—Cube. Cube, campuran si keparat dan si malaikat. Kau bisa menjadikannya kekuatan pembangun, atau iblis perusak. Dan si Transformer jenius itu benar—Cube menjadi biang masalah, akar peperangan.”

“Tapi si baik menjadi pemenang, kan?”

“Karena Hollywood tak ingin ditinggal penontonnya! Dalam dunia nyata, Cube dipeluk oleh para pecundang. Ia menjadi bianglala perayu yang menjerumuskan banyak manusia menjadi tahanan, menjadi orang-orang yang kehilangan jiwanya. Kemarin, pengalaman itulah yang kualami, yang sekarang ingin kuceritakan kepadamu.”

“Ada apa dengan Cube...?”

“Well, aku sudah menempuh perjalanan yang jauh—cukup jauh, kemarin—karena kupikir akan menemukan bentuk Cube yang berbeda dan aku ingin membuktikan bahwa keyakinanku memang salah. You know, kau tak bisa yakin dengan tesa apapun sebelum ia menghadapi antitesa dan kemudian melahirkan sintesa—dan tepat seperti itulah yang kulakukan kemarin. Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku salah, agar aku bisa menemukan kebenaran atau hal lain yang lebih benar dari tesa yang kuyakini kebenarannya.”

“So...?”

“Hell, aku keliru. Bukannya mendapatkan antitesa yang akan mengubah persepsiku, aku justru menemukan tepat seperti yang kupahami, yang kuyakini. Aku ingin jujur kepadamu, bahwa kemarin itu sesungguhnya aku sudah merasa keliru dan berpikir akan menemukan kebenaran—tetapi ternyata aku sudah benar, setidaknya pengalaman kemarin itu menyatakannya demikian. Kau tahu bagaimana aku. Untuk mendapatkan jawaban yang kucari, aku tak peduli berapa jauh yang harus kutempuh, berapa banyak yang harus kukorbankan. Aku telah menempuh jarak yang jauh, aku sudah berkorban cukup banyak. Tetapi jawabannya tetap saja tak berubah. Cube hanya jebakan—perangkap yang telah memangsa orang-orang tak berjiwa untuk semakin kehilangan jiwanya.”

“Aku jadi seperti mendengar kisah tentang perjanjian dengan iblis...?”

“Hahaha! Kau benar—itu semacam perjanjian dengan iblis, right! Sekali kau menandatangani perjanjiannya, kau tak bisa melepaskan diri darinya. Oh, rokokku mati. Bisa tolong ambilkan geretan itu?”

“Bro, kau sepertinya perlu mengurangi rokokmu...”

“Oh ya? Aku tak bisa membayangkan bagaimana suramnya hidup ini tanpa rokok. Bercakap-cakap denganmu, menikmati kepulan asap rokok dengan sepoci kopi...kau tahu, kupikir orgasme itu seperti ini.”

“Kau memang punya selera humor yang aneh!”

“Dan kau selalu bisa memahamiku.”

“Jadi, kemarin kau telah menemukan sintesa tanpa antitesa?”

“Aku tak berani menyatakannya seperti itu. Sejauh sebuah tesa belum menghadapi antitesa, ia tidak dapat menjadi sintesa—belum. Jadi, yang kudapatkan kemarin itu hanya semacam penegasan pada persepsiku, terlepas dari apakah itu benar atau tidak.”

“Dan apa yang kau yakini?”

“Jawabannya sama dengan penemuan ilmiah mana pun. Selama satu hukum persepsi belum diruntuhkan oleh penemuan baru yang dianggap benar atau lebih benar, ia masih dapat dianggap sebagai kebenaran.”

“Bagaimana dengan suara mayoritas?”

“Suara mayoritas yang mana? Jangan lupakan objek pembicaraan kita. Kalau kita ada dalam kegelapan, suara mayoritas akan menyatakan keadaan yang gelap, tetapi kau tak akan mau menerima persepsi itu jika kau memegang lilin.”

“Jadi, kembali lagi pada kondisi keterjebakan, eh?”

“Ya, selalu saja akar masalahnya di situ—kondisi keterjebakan. Kita merasa kasihan pada orang-orang itu—di satu sisi. Tetapi di sisi lain, kita tak bisa merasa kasihan, mengingat nafsu mereka untuk menjerumuskan kita ke dalam jebakan yang sama agar kita sama nilainya seperti mereka.”

“Aku jadi ingat pada syair Ronggowarsito.”

“Senang kalau kau mengingat dia pada objek yang tepat seperti ini. Ronggowarsito sangat tepat ketika mengatakan bahwa kumpulan orang-orang gila selalu menganggap orang-orang yang waras sebagai gila, dan satu-satunya jalan untuk dapat menjadi bagian dari kaum mayoritas adalah dengan ikut-ikutan menjadi gila. Dalam konteksnya sekarang, pihak mayoritas dimiliki—atau lebih tepatnya dikuasai—oleh orang-orang yang terjebak. Karenanya, satu-satunya jalan untuk ikut menjadi bagian dari mayoritas saat ini adalah dengan ikut menjadi korban yang terjebak.”

“Tetapi, bro, jika memang seperti itu kenyataannya, mengapa harus ada Cube—meminjam istilah yang kau gunakan? Mengapa harus ada jebakan yang dipasang...?”

“Sekarang ijinkan aku mengutip Shakespearre. Dalam ‘Hamlet’, Shakespearre berteriak lantang, ‘Alangkah tidak sempurnanya...!’ Bukankah begitu? Alangkah tidak sempurnanya—tetapi orang-orang tidak percaya pada Hamlet, pada Shakespearre!”

“Hahaha, kau benar-benar licik, kau tahu!”

“Selicik jebakan itu, pal—you know, tak ada yang lebih licik dan lebih licin dibanding Cube itu—jebakan itu. Aku hanya mengikuti permainan mereka. Nah, nah, sepertinya kopinya perlu ditambah...?”

“Bro, sobat, tidakkah kau pernah memikirkan untuk menyatakan kenyataan ini kepada orang-orang yang kau sayangi?”

“Itulah kenapa aku sekarang mengatakannya kepadamu, pal.”

“Hm...maksudku, kepada orang-orang lain, well, mungkin pada orang-orang terdekatmu yang lain...”

“I did, tapi bagaimana mereka mau mendengarku jika aku menjadi bagian suara yang minor? Tidak, tidak, akan lebih baik jika aku hanya diam saja, atau hanya membicarakannya denganmu seperti ini, tanpa harus buang-buang energi, pikiran dan waktu, untuk memberitahu mereka. Biarlah orang menemukan jalan kebenarannya sendiri-sendiri—tesisnya sendiri-sendiri. Aku menemukannya dengan jalan menghindari jebakan, sementara mereka menemukannya dengan jalan menjadi korban. Pada akhirnya, kata Socrates, setiap orang akan sampai pada kesimpulan akhir, bahwa sesungguhnya kita semua tidak tahu apa-apa...”

“Tetapi, bro, kalau memang begitu kenyataannya, mengapa harus ada Cube—harus ada perangkap dan jebakan? Kau sadar, kau sekarang membawaku kepada inti kebingungan?”

“Manusia berpikir, Tuhan tertawa. Siapa yang pernah mengatakan itu...?”

“Kau...?”

“Hahaha...! I love you, pal—dan apa kata Descartes?”

“Cogito, ergo sum—Aku berpikir, maka aku ada?”

“Di situlah inti semuanya. Berpikir untuk mengada. Hanya saja berpikir itu pekerjaan manusia, sementara tidak setiap orang ingin menjadi manusia, atau tidak siap menjadi manusia, atau merasa berat menjadi manusia.”

“Cogito...”

“Yeah...!”


Conversation with Self (1)



“Hei, pal, kemarilah. Aku perlu berbicara denganmu.”

“My brother, sobat, kau pasti sangat merindukanku, benar…?”

“Not really. Aku hanya…well, baru saja aku mengalami sesuatu yang sepertinya penting, dan aku ingin membaginya denganmu. Ayolah, kemari. Duduk dekatku.”

“Aku selalu ada untukmu, bro. Aku senang kedatanganku selalu punya arti untukmu. Aku di sini sekarang.”

“Nah, kau ingin minum apa? Kopi? Teh...? Atau soda?”

“Kau selalu memanjakanku.”

“Kau layak menerimanya. So, bagaimana kalau kopi?”

“Dan rokok, seperti biasa—itu selalu menjadi kawan yang menyenangkan saat kita begadang, dan berbicara...”

“Sure.”

“Kau kelihatan sangat kurus, bro—dan pucat.”

“Banyak yang mengatakan itu. Sepertinya berat badanku terus turun akhir-akhir ini. Terlihat sangat kurus, ya? Padahal aku tak terlalu merasakannya.”

“Kau perlu bercermin dengan lebih baik. Sepertinya kau juga terlihat jauh lebih tua dari terakhir kali aku melihatmu.”

“Well, sepertinya kau benar. Kemarin, saat bercukur, aku juga merasakan itu. Sepertinya, entah kenapa, aku merasa tampak lebih tua—tak seperti biasanya. Kupikir cermin sialan itu yang berbohong kepadaku. Nikmati kopimu.”

“Thanks. Ada yang membuatmu bersedih? Atau tertekan?”

“Bagaimana kalau keduanya? Mungkin aku terlalu melankolis, kau tahu, tapi akhir-akhir ini aku memang merasakan itu—maksudku, semakin merasakan itu. Kapan terakhir kali aku bisa tersenyum—atau tertawa? Sepertinya aku sudah tak ingat.”

“Mungkin kau terlalu keras pada dirimu sendiri, bro. Sudah saatnya kau refresing—beristirahat. Kau tahu, aku duduk di sini dan melihatmu seperti orang yang sudah tak kenal istirahat selama satu abad.”

“Entahlah, pal. Aku belum menemukan apa yang kucari, dan kupikir...well, kupikir aku belum layak beristirahat.”

“Aku mendengar berita mengenai teman-temanmu, bro, mungkin sesekali kau berpikir untuk mengikuti mereka? Sepertinya, menurutku, waktu istirahat terbaik bagimu adalah dengan mengikuti mereka.”

“Mereka orang-orang yang beruntung—aku tak seberuntung mereka.”

“Kau selalu rendah hati—terlalu rendah hati.”

“Tidak, aku selalu bodoh, atau bahkan lebih bodoh dari mereka.”

“Bro, kau tahu, mereka terkadang berpikir ingin sepertimu.”

“Kalau begitu mereka perlu menghubungi psikiater!”

...

...

“Sorry, bro, aku telah membuat percakapan ini jadi tak sehat. Aku menyesal—maafkan aku.”

“It’s okay, pal, kadang-kadang aku juga mendengar mereka berkata sepertimu. Kau tahu, yang selalu muncul dalam pikiranku setiap kali mendengar itu adalah kecurigaan atas upaya untuk menjebak mangsa agar menjadi korban yang sama seperti mereka. Di mataku, mereka itu orang-orang yang terjebak—terjebak dalam perangkap yang mereka ciptakan sendiri—dan mereka tak bisa keluar. Satu-satunya hiburan yang dapat mereka peroleh dalam keterjebakan itu hanyalah ketika melihat orang-orang lainnya ikut terjebak seperti mereka. Dan mereka sepertinya ingin aku segera mengikuti langkah mereka, agar aku juga terjebak seperti mereka. Setelah itu, mereka akan bertepuk tangan, mengucapkan selamat kepadaku, meski dalam hati mereka tertawa buas karena telah melihat satu lagi teman mereka masuk dalam jebakan sialan itu.”

“Aku merasa masih mendengar suara sinismu itu terakhir kalinya...”

“Yeah, right! Dan sebaiknya kau tak melupakannya! Aku suka analogi tentang orang-orang kalah—kisah para pecundang! You know, manusia dibagi menjadi dua—para pemenang dan para pecundang. Kualitas seseorang akan dapat kau lihat jika kau telah melihatnya terjatuh atau terperosok ke dalam lubang, tempat yang menjebak mereka untuk tak dapat keluar lagi. Ketika seseorang masuk dalam keterperangkapan atau keterjebakan itu, kau akan langsung melihat siapa sesungguhnya orang itu. Si pemenang akan berkata jujur kepadamu bahwa dia telah terjebak—terperangkap—dalam lubang itu, dan dia akan memintamu agar jauh-jauh dari lubang yang telah memerangkapnya. Kau bisa mengikuti nasihatnya. Sementara si pecundang akan pura-pura tersenyum, dan menyatakan kepadamu bahwa lubang perangkap itu memang sengaja dicarinya, dipilihnya, dan dia akan merayumu dengan mengatakan betapa hebatnya lubang itu. Dia akan mengatakan apa saja—sekuat tenaga dan intelektualitasnya—untuk mengajakmu ikut serta terperangkap ke dalamnya, karena bagi si pecundang hal itu adalah satu-satunya hiburan yang dapat menghibur kemanusiaannya yang terluka. Para pecundang selalu ingin orang lain juga menjadi pecundang—dan itulah yang selalu mereka lakukan! Aku tak percaya—tak pernah percaya—pada objektivitas yang terdengar positif ketika orang ada dalam perangkap. Kau paham maksudku?”

“Kau bisa menjelaskannya secara lebih gamblang?”

“Maksudku, orang tak bisa menilai dan menyatakan sesuatu secara objektif jika dia sedang berada dalam keadaan tertekan oleh sesuatu, sementara apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang menekannya itu. Bayangkan dirimu seekor tikus yang sedang terperangkap dalam kurungan jebakan. Kau masuk ke dalamnya karena tergiur oleh daging segar yang tergantung di dalamnya. Kau masuk, mengejar daging itu, dan begitu kau menyentuhnya...brak! Pintu kurungan jebakan itu menutup dengan rapat dan kau tak bisa keluar lagi dari kurungan itu. Kemudian, kawan-kawanmu sesama tikus lewat di dekat kurungan yang telah menjebakmu. Mereka melihatmu terkurung di dalamnya, tak bisa keluar. Mereka bertanya kepadamu apa yang terjadi. Lalu, dengan bodohnya kau bercerita kepada mereka bahwa kau memang sengaja ingin masuk ke dalam kurungan itu, karena menurutmu kurungan itu adalah surga untuk para tikus. Kau bahkan meminta teman-temanmu sesama tikus agar juga segera masuk ke dalam kurungan-kurungan lain yang masih terbuka, yang kebetulan ada di sana. Hell, kira-kira, apakah teman-teman tikusmu akan percaya celotehmu dan kemudian dengan senang hati akan memasukkan dirinya—hidupnya—ke dalam kurungan sialan yang kini telah mengurungmu...?”

“Tentunya aku tak akan melakukan hal semacam itu, kan?”

“Kau tidak akan melakukan hal semacam itu—jika kau orang besar, jika kau bermental pemenang yang dengan rendah hati mengatakan bahwa kau terjebak di luar kehendakmu atau di luar persangkaanmu. Tetapi, jika kau orang keparat—para pecundang—kau akan berkoar-koar betapa hebatnya kurungan yang telah menjebakmu itu, dan berharap teman-temanmu, sesamamu, ikut terperangkap dan terjebak sepertimu. Psikologi itu seperti permainan ular tangga yang dapat langsung diikuti ketika sebuah dadu terlempar ke papan permainan.”

“Aku tak pernah berpikir sejauh itu, bro.”

“Begitu pula orang-orang yang telah ikut terjebak dalam perangkap sialan itu!”

“Tapi, bro, bukankah... Well, kalau memang seperti itu kenyataannya, bukankah mereka dapat keluar dan membebaskan diri dari kerterperangkapan itu?”

“Mon ami, kita tidak perlu mendatangkan Hercule Poirot untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan itu, kan? Kita sama-sama tahu—apa yang terjadi pada mereka!”

“Yeah...kau benar—aku lupa pada objek analoginya.”


Senin, 21 Juni 2010

Nyala Api di Lembar Buku

Dari semua yang telah ditulis, aku hanya mencintai apa yang ditulis
seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah—
dan aku akan dapati bahwa darah itu roh.
(Zarathustra)


Buku itu berjudul “Jalan Sunyi Seorang Penulis”, berisi semacam memoar perjalanan hidup penulisnya, Muhidin M. Dahlan. Di sampul depannya terdapat kata-kata ini, “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia; bila kalian memilih jalan sunyi ini maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”

Muhidin M. Dahlan benar-benar melakukan apa yang tertulis di sampul bukunya itu. Dalam dunia nyatanya sebagai seorang penulis sekaligus pecinta buku sejati, dia telah membuktikan bahwa dia memilih jalan sunyi menjadi penulis semata-mata karena keinginan untuk menulis—dan tak peduli apa kata dunia.

Muhidin M. Dahlan adalah seorang pembelajar ulung, dan melalui proses pembelajaran yang tak kunjung henti itulah dia menuliskan hal-hal yang perlu diungkapkannya kepada masyarakat di luar dirinya. Dia menyampaikannya melalui artikel-artikel di media massa, juga melalui buku-buku yang ditulisnya. Jika artikel-artikelnya di media massa mungkin telah mengalami sensor hingga tak terlalu ‘panas’, maka buku-bukunya bagaikan nyala api yang membakar pembacanya.

Tahun 2003, dia menulis novel berjudul “Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur”—berkisah tentang seorang perempuan yang merasa kecewa dengan keyakinannya, dan kemudian mengajukan “protes” terhadap Tuhan dengan jalan menjadi pelacur. Sebuah novel memoar yang ditulis dengan bagus, penuh detail, serta memberikan semacam “teguran positif” kepada para pembacanya.

Tetapi novel yang bagus itu kemudian memicu kontroversi yang luar biasa. Orang-orang yang merasa dirinya “alim” segera saja menghujat novel ini habis-habisan, bahkan menganggap si penulis adalah “orang kafir”. Tetapi penghujatan atas buku itu beserta penulisnya tak ubahnya seperti hujatan “orang beragama” terhadap teori Galileo Galilei—hujatan percuma yang hanya menunjukkan kebodohan si penghujat.

Dan proses pembelajaran Muhidin M. Dahlan pun tak pernah berhenti hanya karena hujatan orang, hanya karena disalahpahami orang-orang yang tak mengerti. Selang beberapa waktu kemudian, dia kembali menulis buku lain, kali ini berjudul “Adam Hawa”—sebuah novel yang mempertanyakan validitas teori penciptaan manusia yang selama ini dimonopoli kitab suci.

Tak perlu disebutkan lagi, novel ini juga menuai “keributan”. Sebuah organisasi yang (mungkin) merasa dirinya “wakil Tuhan di muka bumi” segera saja mengeluarkan somasi yang menuduh novel ini sebagai bentuk penghujatan atas Tuhan, menodai sejarah Nabi Adam, sekaligus merusak akidah umat.

Tetapi, sekali lagi, proses pembelajaran dari seorang yang benar-benar mencintai buku dan ilmu pengetahuan tidak akan berhenti hanya karena orang lain beda pendapat atau keliru memahami, sebagaimana Copernicus tetap meyakini teorinya tentang bumi yang mengelilingi matahari, meski masyarakatnya menghujat penemuannya, meski nyawanya terancam karena dominasi suara massa.

Sebenarnya, kalau mau, Muhidin M. Dahlan pastilah mampu menulis buku-buku yang “lurus” atau novel-novel yang “manis” yang memiliki prospek pasar bagus sekaligus menjanjikan royalti yang lumayan besar. Tetapi dia telah memilih jalannya sendiri, jalan sunyi, tempat seseorang menulis hanya karena ingin menulis apa yang ingin ditulisnya.

Bukunya yang lain, yang juga memunculkan “keributan”, adalah “Lekra Tak Membakar Buku”—sebuah hasil riset yang luar biasa, wujud kerja keras penuh pengabdian dari seorang pembelajar. Tetapi buku ini pun membentur batu karang—pemerintah melarang buku ini beredar. Alangkah mahal harga yang harus ditebus oleh orang-orang yang ingin belajar.

Membaca buku-buku Muhidin M. Dahlan adalah membaca perjuangan seorang pahlawan buku, perjalanan hidup seorang pembelajar. Melalui spirit yang dituliskannya, buku-bukunya membakar jiwa para pembacanya untuk terus—dan semakin—mencintai buku, mengakrabi buku, menyetubuhi buku. Sungguh, negeri ini membutuhkan lebih banyak orang seperti dirinya—orang-orang yang mencintai buku dan proses belajar sebagai jalan hidup, orang-orang yang mau menyadari bahwa fajar dari saat kegelapan terletak di ambang langit pengetahuan dan kesadaran.

Karena kecintaan terhadap buku itu pulalah yang pastinya memotivasi Muhidin M. Dahlan untuk menjadi kerani di Indonesia Buku, sebuah situs yang khusus membahas buku dan informasi-informasi seputar buku. Sedang buku karyanya yang lain lagi, “Para Penggila Buku”, semakin menunjukkan sedekat apa hati orang ini kepada buku dan ilmu pengetahuan, juga semakin mempertegas posisinya sebagai orang yang benar-benar akrab dengan buku.

Hari ini saya membayangkan, di tengah hiruk-pikuk pinggir-pinggir jalan, di tengah keramaian mall dan swalayan, di tengah gelegar musik dan dering bising suara ponsel yang tak pernah berhenti, di tengah teriakan-teriakan radio dan televisi, ada orang-orang yang memilih tempat yang sunyi—hanya bersama buku, sesuatu yang dicintai. Hanya bersama buku, dan dunia sudah terasa penuh terisi.

Hari ini saya membayangkan, di tengah sibuk-busuknya para pejabat mencari celah untuk korupsi, di tengah tumbuh suburnya budaya manipulasi, di tengah kerasnya hidup dalam alam kapitalisme yang semakin meracuni, ada orang-orang yang mau menyisih ke tempat sunyi—hanya bersama buku, tangga kecil menuju kesadaran diri. Hanya bersama buku, mencari jawab pertanyaan penting dari hati. Hanya bersama buku, mencari-cari dan meraba tangan Ilahi.

Hari ini saya ingin menyampaikan, kepada Muhidin M. Dahlan, juga kepada Muhidin-Muhidin lain di seluruh dunia—Tuhan memberkati kalian.

Dan sekarang, di sini, saya ingin mengajak kita semua untuk berdoa kepada Tuhan, semoga kelak di surga terdapat ruang perpustakaan, tempat kita semua dapat bebas-tanpa-batas menikmati keasyikan dan kenikmatan belajar…

A Perfect Dream

Nyanyian ‘paling indah’ yang pernah didengarkan telinga manusia adalah nyanyian hegemoni. Nyanyian bernama hegemoni itu terus mendayu-dayu dalam setiap lingkup dan sudut kehidupan kita, melenakan akal kita pada segala kemapanan yang ada di depan mata. Dan, daripada pusing-pusing memikirkannya, kita pun kemudian ikut-ikutan mendendangkan nyanyian itu.

Kadang-kadang, ada orang-orang yang mencoba mengkritisi hegemoni dan mempertanyakannya. Tetapi, orang-orang yang menjadi budak hegemoni (yang jumlahnya jauh lebih banyak), selalu berusaha membungkam orang-orang itu dengan berbagai macam tuduhan, dari anti kemapanan sampai perusak stabilitas lingkungan.

Orang-orang yang mempersoalkan hegemoni akan dianggap sinting, gila, setidaknya akan dianggap aneh atau tidak sama dengan orang-orang lain. Akibatnya, daripada dianggap gila, orang itu pun lalu memilih untuk ikut-ikutan gila, setidaknya pura-pura gila, dan memilih untuk diam saja. Bukankah kumpulan orang gila selalu menganggap orang yang tidak gila adalah orang gila?

Dan inilah yang telah diramalkan pujangga Ronggowarsito dalam salah satu seratnya sekian puluh tahun yang lalu, saat ia menulis dengan hati yang patah, tentang suatu zaman di mana tidak ada lagi kesadaran bernama kewarasan, karena yang ada hanya kumpulan orang-orang gila, wong-wong edan.

Zaman edan yang ditulis Ronggowarsito adalah zaman di mana manusia memilih menjadi gila, karena apabila dia masih waras dia akan dianggap gila. Zaman edan adalah zaman ketika manusia tak berani menjadi waras dan sadar untuk menghadapi kenyataan yang sesungguhnya, tetapi memilih untuk menjadi edan dan gila dalam buaian mimpi-mimpi indah, dalam pelukan harmoni hegemoni.

....
....

Orang-orang tertidur dalam gerbong kereta. Orang-orang bermimpi dalam gerbong kereta. Mereka memiliki aneka tujuan yang berbeda-beda, mereka memiliki harapan yang berbeda-beda. Satu-satunya hal yang sama dalam diri mereka adalah; mereka memiliki satu tujuan, dan berharap serta yakin bahwa kereta yang mereka tumpangi akan mengantarkan mereka pada tujuan itu.

Perjalanan masih jauh, dan mereka tahu itu. Lalu, karena berpikir bahwa perjalanan masih jauh, maka mereka pun terlena, lalu memilih untuk menyelonjorkan kaki, kemudian memejamkan mata untuk terlelap dalam tidur.

Dalam tidur itu, mereka mendapatkan mimpinya masing-masing yang indah, yang semakin melenakan mereka dalam tidurnya. Tidur di atas kursi kereta eksekutif yang empuk dan nyaman serta dihembus buaian AC yang sejuk, ditambah lagi oleh mimpi-mimpi indah yang melenakan, mereka pun mabuk dan melayang ke langit tujuh, menyanyikan A Perfect Dream, Mimpi Yang Sempurna. Dan itulah hegemoni, itulah mimpi yang sempurna!

Sementara itu, gerbong kereta yang mereka tumpangi itu berhenti, dan tak seorang pun menyadarinya, karena semua masih terlena dalam tidur dan mimpinya masing-masing. Mereka masih yakin seyakin-yakinnya bahwa kereta masih terus berjalan mengangkut gerbong-gerbong mereka, untuk mengantarkan mereka pada tujuannya masing-masing.

Gerbong kereta berhenti, sementara mereka masih terus percaya diri. Gerbong kereta berhenti, sementara mereka masih asyik terbuai mimpi.

Kemudian, seorang penumpang terbangun dan menyadari bahwa gerbong kereta mereka berhenti. Setelah mengucak matanya, dia melongok ke jendela, dan melihat bahwa ternyata gerbong kereta mereka berhenti tepat di atas rel yang melintas di tengah hutan, sementara hujan turun, sedangkan semua penumpang tengah tertidur. Dia panik, dan dengan sekuat tenaga berteriak membangunkan orang-orang dalam gerbongnya agar mereka segera menyadari bahwa gerbong mereka macet di tengah hutan.

Orang-orang yang tengah tertidur dalam gerbong itu tak peduli, dan masih terus tertidur dengan mimpinya masing-masing. Ada beberapa yang terbangun, tapi setelah menguap sebentar, mereka memandang aneh pada orang yang berteriak-teriak tadi, lalu kembali meneruskan tidurnya. Mereka masih meyakini bahwa kereta masih berjalan, dan gerbong masih terus melaju. Mereka kembali tertidur, kembali melanjutkan mimpinya.

Ada lagi orang yang juga terbangun oleh teriakan orang tadi, dan dia pun mengucak matanya. Dia juga sempat memandang sejenak ke jendela, dan menyadari bahwa gerbong mereka berhenti, dan mereka berada di tengah-tengah hutan.

Tapi kemudian dia berpikir, buat apa meributkan hal itu? Toh orang-orang juga lagi enak-enaknya tidur? Dan, daripada membayangkan hal-hal menakutkan tentang keadaan di tengah hutan, lebih baik dia melanjutkan tidur dan meneruskan mimpi indahnya. Maka dia pun kembali menyelonjorkan kakinya, dan kembali memejamkan matanya untuk tidur lagi, serta pura-pura meyakini bahwa kereta masih berjalan, dan gerbong mereka masih terus melaju.

Ada pula beberapa orang yang merasa terganggu dengan teriakan orang tadi. Orang-orang itu segera bangun, dan langsung marah-marah. “Tutup mulutmu dan jangan mengganggu!”

Orang yang berteriak tadi menjawab, “Kereta kita berhenti. Gerbong kita di tengah hutan!”

“Kau hanya bermimpi! Gerbong ini masih berjalan. Lanjutkan saja tidurmu, dan lanjutkan mimpimu!”

“Saya tidak bermimpi! Gerbong ini benar-benar berhenti! Dengar, tidak ada suara mesin yang terdengar. Gerbong ini benar-benar berhenti...!” Orang itu semakin panik.

Sementara orang yang marah itu tertawa mencibir, “Dasar wong ndeso! Kita sedang naik kereta eksekutif yang mahal! Suara mesin yang berisik itu tak kan terdengar dari dalam! Cepat lanjutkan saja tidurmu, dan jangan berpikir macam-macam! Kau sudah mengganggu orang-orang tidur...!!!”

Kenyataan paling purba dalam dasar diri manusia, adalah ketakutannya yang luar biasa terhadap kenyataan.

Kehidupan, Kesadaran

Hidup adalah rentetan tumbukan dengan masa depan.
Ini bukan merupakan ringkasan tentang apa yang telah terjadi,
tetapi tentang apa yang kita rindukan.
Jose Ortega y Gasset


Pernahkah kita menyadari bahwa kenyataan itu lebih indah untuk dihayati daripada mimpi yang paling indah? Pernahkah kita merenungkan bahwa sepotong ubi dalam kenyataan itu lebih nikmat dan lebih lezat dibanding seporsi roti dalam mimpi? Pernahkah kita membayangkan bahwa menjadi diri sendiri yang sejati itu lebih hebat dan lebih bermartabat dibanding menjadi orang lain tapi hanya dalam impian dan angan-angan?

Ada banyak mimpi yang pernah kita bangun. Ada banyak angan yang pernah kita rajut. Ada banyak cahaya yang pernah ingin kita nyalakan. Itu semua adalah bagian dari harapan, bagian dari cita-cita dalam perjalanan hidup. Itu semua memang perlu bahkan wajib kita miliki, karena di situlah hakikat perbedaan antara manusia dengan yang bukan manusia.

Tetapi bahwa kita hidup di alam kenyataan dan bukan dalam impian, itu juga perlu, bahkan sangat perlu, disadari sepenuhnya. Kehidupan adalah kenyataan, meski di dalamnya ada begitu banyak impian dan angan-angan. Kita memang berharap untuk menembus langit, tetapi kita pun tak bisa melupakan bahwa setiap hari kita menginjak bumi.

Keinginan dan kenyataan adalah rentang yang meletakkan manusia untuk berada di tengah-tengahnya; menikmati kenyataan, sekaligus membangun keinginan. Eksistensi kehidupan manusia akan terus-menerus berada di situ, di tengah-tengah kenyataan dan harapan, di pusaran realitas dan impiannya. Kapan pun, ketika manusia sudah keluar dari situ, maka kehidupannya pun telah selesai. Tamatnya kehidupan manusia ketika dia sudah keluar dari kenyataan dan impian bukan saja berbentuk kematian fisiknya, tetapi juga bisa berbentuk kematian kemanusiaannya.

‘Kematian kemanusiaan’ inilah yang sering kali tidak disadari oleh manusianya sendiri, meski sebenarnya itu lebih menyedihkan dibanding kematian fisiknya. Tak ada yang lebih menyedihkan dibanding kematian ketika manusia masih hidup, karena hakikat kematian yang sesungguhnya sebenarnya bukan kematian fisik, melainkan adanya sesuatu yang mati dalam diri kita selagi kita masih hidup.

Dan apakah kehidupan itu...?

Para nabi, para filsuf, dan orang-orang bijaksana mengajarkan bahwa kehidupan adalah kesadaran. Hanya orang sadarlah yang bisa menikmati kehidupan, karena eksistensi kehidupan ada di dalam kesadaran. Orang-orang mabuk, orang-orang tidur, orang-orang yang panca inderanya tertutupi kabut hingga tak bisa melihat, mendengar, dan merasa, juga tidak bisa menikmati kehidupan. Sekali lagi, kehidupan adalah kesadaran, dan di dalam kesadaranlah kita akan benar-benar hidup. Syarat mutlak untuk bisa menikmati dan menghayati kehidupan adalah memiliki kesadaran!

Lalu apakah kesadaran itu?

Kesadaran adalah kemampuan untuk membedakan mana yang berwujud dan mana yang fatamorgana. Kesadaran adalah keyakinan untuk bisa menentukan jalan dan nilai yang tak menyesatkan, kesadaran adalah kearifan untuk memilih tersenyum atau menangis dalam setiap bagian waktu kehidupan. Kesadaran adalah kemampuan untuk membedakan mana yang asli dan mana yang imitasi, mana kenyataan dan mana keinginan, mana realitas dan mana mimpi-mimpi. Kesadaran adalah akar kehidupan, sebagaimana kehidupan adalah buah kesadaran.

Tetapi, berapa banyak dari kita yang benar-benar sadar dalam kehidupan ini? Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa ketika kita tersenyum dan tertawa, ada sesuatu di dalam diri kita yang patut kita tangisi?

Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk hidup dalam mimpi, daripada bangun dan menghadapi kenyataan. Kebanyakan dari kita lebih memilih untuk dibuai lagu-lagu indah dalam impian, daripada menghadapi kenyataan. Dan sebagai konsekuensinya, kita pun memilih untuk tetap tidur dan meneruskan perjalanan impian yang tak berwujud. Kita menjadi pengecut ketika membuka mata dan melihat kenyataan yang menakutkan, hingga kita pun memilih untuk meneruskan tidur untuk menjemput pelukan bidadari dalam ketidaksadaran.

Dan ketika sesuatu atau seseorang membangunkan kita, ketika ada sesuatu yang memaksa kita untuk membuka mata, kita pun menjadi marah dan tak terima. Naifnya, kemarahan kita bukan karena mimpi indah kita terganggu, tetapi karena kita sangat takut menghadapi kenyataan saat terbangun.

Kenyataan paling purba dalam dasar diri manusia adalah ketakutannya yang luar biasa terhadap kenyataan.

Hari Ini Tak Pernah Mati

Kemarin adalah cek yang dibatalkan.
Besok pagi adalah surat promes.
Hari ini adalah tunai. Gunakanlah.


Sebelum sangkakala akhir hidup ditiup, kehidupan tidak akan berhenti, dan hari ini tak pernah mati. Kehidupan terus berjalan, dan setelah malam yang paling gelap, kokok ayam jantan pun menjemput datangnya hari. Embun pagi selalu menyapa kehidupan kita, menyegarkan pikiran kita setelah semalam beristirahat dalam dekapan hangat selimut dan belaian mimpi indah. Dan setelah itu, kita pun menghadapi hari ini.

Apa yang membuat seorang manusia mampu bertahan hidup? Karena manusia selalu memiliki harapan, dan memiliki hari ini. Tak ada yang lebih kuat selain harapan, karena hanya dengan harapanlah manusia tetap tegar menghadapi kehidupannya, sepahit apa pun, segetir apa pun, seberat apa pun. Manusia bisa bertahan hidup meski berhari-hari tidak makan atau tidak minum, tetapi manusia tidak akan bisa bertahan hidup sedetik pun tanpa harapan. Karena harapanlah manusia tetap memiliki hari ini.

Hari ini adalah pengejawantahan dari harapan setiap manusia, karena hanya hari inilah satu-satunya yang bisa dipakai untuk merenda harapannya, untuk mulai membangun cita-citanya. Kemarin sudah menjadi sejarah, besok masih misteri, sedang hari ini adalah kenyataan satu-satunya. Sekali lagi, hari inilah tempat kita menaburkan harapan-harapan kita, sekaligus menuainya. Karena itu, tak ada yang lebih berharga dibanding hari ini!

Harapan dan hari ini adalah nyawa kedua manusia untuk melanjutkan kehidupan. Sebagaimana kita menyayangi nyawa yang satu-satunya ini, kita pun tak boleh menyia-nyiakan harapan serta kesempatan hari ini. Dan selama kita masih yakin bahwa kita tetap memiliki harapan, tetap yakinlah juga bahwa kita masih memiliki hari ini. Dan satu-satunya bukti bahwa kita memiliki hari ini adalah dengan mengisinya sebaik-baiknya, sepenuh-penuhnya.

Cinta adalah...



Cinta adalah pembentukan diri yang kau inginkan setelah kejujuran hatimu kau paksa untuk menatap cermin. Cinta adalah awal kesadaran pribadi setelah kau mengetahui hakikat hidup dan kemudian kau melangkah mengikuti peta dalam dinding hatimu yang terdalam. Cinta adalah kemauan dan kesungguhan untuk meninggalkan apa yang harus ditinggalkan, untuk mengikuti apa yang harus diikuti.

Cinta adalah getar-geletar-tipis-halus-indah yang kau rasakan dari pertama kali kau merasakannya sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai akhir hayatmu. Cinta adalah hati yang sampai pada ketulusan, nurani yang mengasihi, pikiran yang terbuka untuk menerima segala yang ada, dan tabir untuk menutupi segala yang harus ditutupi.

Cinta adalah perjalanan rohani, suatu ziarah batin, untuk menemukan pelabuhan yang ingin kau gunakan untuk menambatkan jiwamu dari segala penantian, dari segala pencarian.


Rabu, 16 Juni 2010

Bagaimana Menyuguhkan Tulisan yang Baik



Di posting tentang menulis sebelumnya, kita sudah belajar tentang cara menulis yang baik, dan sekarang kita akan belajar tentang cara menyuguhkan tulisan yang baik. Menulis yang baik saja tidak cukup—kita juga harus tahu bagaimana cara menyuguhkan tulisan itu dengan sama baiknya. Karena, sebagaimana masakan, ada kalanya orang lain tidak doyan dengan suatu masakan tertentu, meski kita sangat menggemarinya.

Oke, kita gunakan lagi analogi masakan. Kalau kita memasak untuk diri sendiri, kita tentunya dapat meramu bumbu seperti apapun sesuai selera kita. Tetapi kalau kita memasak untuk orang lain, kita pun harus benar-benar memperhitungkan takaran bumbunya. Tidak setiap orang suka masakan yang terlalu pedas atau terlalu manis—meski mungkin kita menyukainya.

Ketika menulis untuk diri sendiri, kita berhak membuat tulisan yang seperti apapun, sesuai selera dan kehendak kita. Tulisan semacam ini biasanya ada di lembar-lembar buku diary yang akan kita baca sendiri. Di dalam diary, kita bisa menulis apa saja, dengan gaya seperti apa saja, bahkan tentang siapa saja yang kita inginkan. Kita bisa mencaci-maki jika ingin, bisa mendayu-dayu jika mau, kita pun bisa menyemburkan sumpah-serapah jika mungkin. Semuanya tidak masalah, karena hanya diri kita sendiri yang akan membacanya.

Tetapi, ketika menulis untuk dibaca orang lain, kita pun harus menyesuaikan diri dengan ‘selera’ orang lain. Artinya, kita harus mulai membatasi kecenderungan kita sendiri yang mungkin belum tentu sesuai dengan orang yang akan membaca tulisan kita.

Jangan salah paham dengan yang saya maksudkan. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa kita harus menghilangkan diri sendiri sepenuhnya dalam tulisan hanya agar orang lain mau membacanya. Yang saya maksudkan, kita hanya perlu ‘bertenggang rasa’ dengan orang lain. Seperti yang disebutkan di atas, kita bisa menyemburkan sumpah-serapah sekasar apapun dalam tulisan—selama tulisan itu hanya akan kita baca sendiri. Tetapi jika tulisan itu juga akan dibaca oleh orang lain, sumpah-serapah itu barangkali akan melukai perasaan orang lain—atau setidaknya belum tentu sesuai dengan ‘selera’ pembaca.

Well, ini memang relatif. Yang kasar bagi seseorang memang belum tentu kasar pula bagi orang lain, sebagaimana yang baik bagi suatu golongan pun belum tentu baik pula bagi golongan yang lain. Eminem, misalnya, dia bisa menyemburkan caci-maki kepada siapapun melalui lagu-lagu yang dinyanyikannya—dan lagu-lagu itu didengarkan di seluruh dunia. Tetapi artis penyanyi di negeri kita, apakah mungkin bisa meniru Eminem? Mungkin bisa saja, tetapi apakah para pendengar lagunya dapat menerima…?

Sama halnya dengan menulis. Di Amerika, ada buku berjudul “Panduan Merakit Komputer untuk Orang Idiot”. Ada pula buku psikologi yang berjudul, “Psikologi Persuasi untuk Si Bodoh”. Lebih parah, ada buku manajemen berjudul, “Mengapa Orang Idiot dan Goblog Bisa Jadi Bos”.

Judul-judul semacam itu mungkin akan dianggap biasa di Amrik, tapi mungkinkah buku dengan judul semacam itu bisa terbit di Indonesia? Yang biasanya terjadi, judul-judul semacam itu mengalami ‘penghalusan bahasa’ ketika terbit di negara semacam Indonesia. “Panduan Merakit Komputer untuk Orang Idiot” bisa berubah menjadi “Panduan Merakit Komputer untuk Pemula”. Esensinya sama, tetapi caranya berbeda.

Jadi, kunci utama untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah pengendalian diri dan kemampuan untuk dapat bertenggang rasa dengan orang lain.

Nah, kunci kedua untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah dengan melihat siapa yang akan membaca tulisan kita. Di dalam dunia penerbitan, ada istilah yang disebut “segmen pembaca”. Yang dimaksud “segmen pembaca” ini adalah golongan yang disasar atau dituju oleh sebuah buku yang akan diterbitkan—dan segmen pembaca ini merupakan poin penting dari pertimbangan apakah sebuah buku layak terbit ataukah tidak.

Ada kalanya sebuah buku ditulis dengan sangat baik, mengangkat tema yang juga sedang tren, tetapi cara penulisannya mengalami kekeliruan—buku itu ditujukan untuk segmen pembaca remaja, tetapi ditulis dengan gaya bahasa yang berat dan sulit dicerna. Meskipun mungkin secara umum buku itu bisa dikatakan buku yang bagus, tetapi buku ini kurang dapat menyuguhkan tulisan yang baik—ditinjau dari segmen pembacanya.

Ketika menulis sesuatu, ingat-ingatlah siapa yang akan dituju oleh tulisan itu—siapa yang kau inginkan membaca tulisanmu. Kalau kau menujukan tulisanmu untuk para pembaca remaja, menulislah dengan bahasa yang mudah dipahami, minim istilah asing yang membingungkan, dan sebisa mungkin jelaskan apa saja dengan cara yang lugas tanpa melibatkan teori-teori tingkat tinggi—tak peduli setinggi apapun tingkat intelejensimu, tak peduli seluas apapun wawasan dan pengetahuanmu.

Sebaliknya, ketika menulis untuk orang dewasa atau menyasar orang-orang yang memang menginginkan bacaan ‘berisi’ sebagai segmen pembacamu, menulislah dengan matang dan dewasa. Artinya, hindari penjelasan yang terlalu remeh atau bertele-tele, atau menjelaskan sesuatu yang nyata-nyata telah diketahui oleh orang banyak. Lebih banyak pembaca—dalam segmen ini—yang akan merasa bosan bahkan jengkel jika merasa digurui. Karenanya, lebih baik menulis dengan asumsi para pembaca lebih pintar dari kita, daripada sebaliknya. Pembaca dalam segmen ini biasanya lebih suka mengerutkan keningnya daripada dianggap bodoh.

Satu resep lagi untuk bisa menyuguhkan tulisan yang baik adalah menulis dengan cinta. Tak peduli apakah kau menulis untuk pembaca remaja atau pembaca dewasa, para pembacamu akan tahu—akan merasakan—apakah kau menulis dengan perasaan cinta ataukah menulis dengan kebencian. Ketika seseorang menulis, ia mengalirkan emosi pribadinya melalui kata-kata yang dituliskannya. Karenanya, kalau kau menginginkan tulisanmu dapat dinikmati dengan perasaan senang oleh pembaca, menulislah dengan perasaan cinta—agar pembacamu juga dapat merasakan efek yang sama.

Ketika menulis, upayakanlah untuk selalu berpikir, “Aku menyukai pembacaku. Aku senang menulis ini untukmu.” Percayalah, niat baik yang diiringi dengan cinta yang tulus akan membuahkan hasil yang baik. Dalam proses menulis, cinta dan ketulusan juga akan menghadirkan tulisan yang baik—juga cinta yang sama tulusnya dari para pembacamu.


Hasrat Terbesar Manusia

Kita memiliki dua telinga dan satu mulut, maka kita semestinya
bisa mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara.
Epictetus


Ada sesuatu yang berbentuk hasrat atau keinginan yang sangat-sangat besar di dalam diri setiap manusia. Hasrat atau keinginan itu bukan keamanan atau kenyamanan, bukan popularitas atau ingin terkenal, juga bukan hasrat pada rasa kenyang atau nafsu seksualitas. Hasrat atau keinginan terbesar dari setiap manusia adalah hasrat untuk didengarkan. (William James menyebutnya ‘hasrat untuk menjadi hebat’, John Dewey menyebutnya ‘hasrat untuk menjadi penting’, sementara Sigmund Freud menyebutnya sebagai ‘hasrat untuk menjadi besar’).

Mari kita introspeksi. Dalam kehidupan kita sehari-hari, hitunglah berapa banyak jumlah waktu yang kita gunakan untuk berbicara kepada orang lain, dan berapa jumlah waktu yang kita gunakan untuk mendengarkan orang lain berbicara. Rata-rata dari kita menggunakan lebih banyak waktu untuk berbicara daripada untuk mendengarkan. Mengapa? Karena setiap manusia butuh aktualisasi, setiap kita butuh berbicara, setiap orang butuh didengarkan. Dan dari sinilah munculnya banyak persoalan.

Setiap manusia butuh berbicara, sebagai salah satu bentuk aktualisasi diri. Saya butuh bicara, kau butuh bicara, mereka butuh bicara, dan jutaan orang lain di muka bumi ini juga butuh bicara. Orang-orang yang kita anggap pendiam, pemalu, penggugup, atau orang-orang yang kita cap sebagai antisosial, mereka juga butuh, bahkan sangat butuh bicara.

Kita ingin berbicara tentang berbagai hal, kita ingin mengomentari segala macam persoalan, kita pun terkadang ingin berceramah tentang segala yang ada di dalam hati maupun kepala kita. Bukankah begitu? Dan salah satu hal yang sangat menyakitkan, bahkan sampai membuat hati menderita, adalah ketika mengetahui tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan kita. Sekali lagi, bukankah begitu?

Larisnya praktik psikiatris, juga banyaknya orang yang antri di ruang tunggu praktik dokter, adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa orang butuh bicara. Dengan mengunjungi psikiater atau dokter, para pasien itu merasa memiliki seseorang yang mau mendengarkannya berbicara, bahkan berbicara tentang apa saja. Dan dokter atau psikiater itu pun mendengarkan setiap keluhan si pasien dengan cermat, dengan penuh perhatian, hingga ketika keluar dari ruang praktik si pasien pun merasakan suatu kelegaan yang luar biasa. Bukan hanya karena telah memperoleh resep atau obat bagi keluhannya, tetapi karena kebutuhannya untuk didengarkan telah terpenuhi.

Mungkin kita bisa langsung menyatakan, itu terlalu ekstrim! Barangkali ya. Tetapi, bukankah hasrat kita untuk selalu bicara dan ingin selalu didengarkan juga sudah bisa disebut ekstrim? Dr. Redford Williams, seorang peneliti kedokteran perilaku di Duke University Medical Center, mengemukakan, “Sebagian besar orang-orang yang sekarang masuk rumah sakit jiwa adalah karena tekanan batin, yang timbul karena hasratnya tidak terpenuhi. Salah satu tekanan batin itu adalah karena tidak adanya orang lain yang mau berempati terhadapnya, meski dalam bentuk sikap yang mendengarkannya.”

Nah, sekarang kita telah tahu salah satu jawaban mengapa orang-orang gila atau tak waras paling suka bicara sendiri. Mereka sampai menjadi gila karena tak ada yang mau mendengarkannya! Hasrat untuk didengarkan adalah hasrat paling besar di dasar hati setiap manusia!

Karena setiap orang butuh bicara, karena setiap orang butuh didengarkan, maka hampir bisa dipastikan bahwa nyaris tidak ada orang yang mau meluangkan waktu untuk mendengarkan. Dan inilah salah satu resep paling ampuh untuk bisa berhubungan dengan setiap manusia, yakni kesediaan mendengarkan.

Dale Carnegie, salah satu tokoh komunikasi terbesar yang pernah dimiliki oleh sejarah, menulis dalam bukunya yang sangat fenomenal, How to Win Friends and Influence People, “Kalau kau bisa mendengarkan orang lain dengan tulus dan sepenuh hati, maka kau akan menjadi salah satu orang yang paling dirindukan setiap orang di muka bumi, meski kau bertahun-tahun telah mati.”

Salah satu pelajaran penting dalam hidup adalah pelajaran mendengarkan. Mungkin itu pula alasan Tuhan memberikan satu mulut dan dua telinga untuk setiap orang.

Ozzy Osbourne dan Gigi yang Jelek

Kecantikan adalah bagaimana kita merasakan di dalam, dan itu terpantul
di mata kita. Kecantikan bukan sesuatu yang fisikal.
Sophia Lorenz

Kau bisa katakan aku bahagia atau tidak, dari melihat tubuhku.
Christy Turlington


Coba tebak, siapakah orang terkenal yang memiliki gigi paling jelek di dunia? Jika ditanyakan pada orang Inggris, mereka akan menjawab, “Ozzy Osbourne”. Ya, Ozzy Osbourne yang dimaksud di sini adalah rocker anggota Black Sabbath yang terkenal itu.

Kenyataan itu sesungguhnya bukan karena Ozzy jarang sikat gigi sehingga tampilan giginya kurang sedap dipandang, melainkan karena seringnya mengkonsumsi minuman keras dengan alkohol dosis tinggi, sehingga mempengaruhi kesehatan giginya.

Sebuah survei dilakukan oleh suatu perusahaan pasta gigi di Inggris, untuk mengumpulkan nama-nama terkenal sebagai “pemilik gigi terbaik” dan “pemilik gigi terjelek”. Hasilnya, nama Ozzy Osbourne menempati peringkat pertama sebagai pemilik gigi terjelek, kemudian tempat di bawahnya secara berurutan ditempati Perdana Menteri Inggris Tony Blair, Presiden Amerika George W. Bush, artis Tory Stalwart, Ann Widgecombe, Gareth Gates, sampai desainer terkenal Vivienne Westwood.

Lalu siapa yang masuk dalam daftar pemilik gigi terbaik? Ternyata, peringkat pertama ditempati oleh Pierce Brosnan, mantan pemeran James Bond, kemudian tempat di bawahnya ditempati Elizabeth Hurley.

Tidak pernah jelas bagaimana respon orang-orang yang namanya tercantum dalam daftar survei aneh itu. Tetapi, gara-gara survei itu, saya jadi semakin yakin bahwa menjadi orang terkenal itu sangat menekan—kita tidak bisa bebas menjalani hidup jika terkenal, karena (ternyata) orang-orang akan memperhatikan kita, bagian per bagian, sehingga kita akan menjalani hidup dengan tidak wajar.

Ada orang terkenal yang setiap kali tampil di muka umum sepertinya tak bisa terlihat wajar. Gerak tubuhnya diusahakan sebagus mungkin, ucapannya diusahakan sebaik mungkin, bahkan senyum dan tawanya pun ia usahakan sesopan mungkin. Barangkali hal semacam itu baik-baik saja, tetapi orang ini jadi terlihat sangat tidak wajar—tidak manusiawi. Dan kenyataan semacam itu kemungkinan besar terjadi karena orang terkenal ini sangat sadar diri. Dia terlalu sadar bahwa dirinya terkenal, dan dia meyakini bahwa orang-orang akan menilai dirinya secara bagian per bagian.

Dinilai secara bagian per bagian—inilah kutukan bagi setiap orang terkenal. Padahal, manusia adalah makhluk yang utuh, dalam arti tak bisa dinilai secara bagian per bagian seperti itu. Sangat tidak adil jika seseorang dinilai secara bagian per bagian, karena tidak ada orang yang sempurna—kelebihan selalu disertai kekurangan. Jika fokus penilaian hanya ditujukan pada kelebihannya, kita akan menciptakan berhala. Sedang jika fokus penilaian hanya difokuskan pada kekurangannya, maka kita sedang menilai manusia secara tidak semestinya.

Manusia adalah makhluk yang utuh—ia harus dinilai sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya secara adil. Tetapi di sinilah masalahnya ketika orang menilai artis atau orang yang terkenal. Sering kali, pandangan terhadap ‘kemanusiaan’ mereka sangat tidak objektif (untuk tidak menyatakan subjektif). Padahal, seterkenal atau sepopuler apa pun, artis atau siapa pun, tetap saja manusia—lengkap dengan segala unsurnya.

Ketika seseorang memiliki kekurangan tertentu, fokus penilaian tidak bisa hanya terhadap kekurangannya. Itu penilaian yang tidak adil—karena kekurangan itu toh pasti dibarengi kelebihan. Bahkan ketika seseorang melakukan tindakan buruk sekalipun, sering kali tindakan itu hanyalah satu bagian dari sekian banyak tindakan lain yang pernah dilakukannya, yang selalu saja tersimpan tindak kebaikan di dalamnya.

Tetapi kenyataan semacam itu sering kali tak terjadi jika yang dinilai adalah artis atau orang terkenal. Mereka sering kali diciptakan untuk menjadi berhala atau menjadi tempat sampah di mana orang melemparkan caci keburukan. Ketika seorang artis disebut memiliki suatu kelebihan, maka semua kekurangannya pun jadi tidak kelihatan. Begitu pun, ketika seorang artis melakukan suatu kekeliruan, semua kebaikan yang pernah dilakukannya pun jadi terlupakan.

Sepertinya, terlepas dari semuanya itu, artis adalah objek yang bagus dalam belajar tentang manusia—mereka adalah contoh nyata dari rahasia-rahasia yang tersimpan dalam tumpukan buku-buku lusuh psikologi purbakala.

Nyanyian Jiwaku



Akulah musafir yang telah diantarkan ke pusaran mata air namun tetap merindukan cinta. Akulah Adam yang telah dianugerahi keberkahan surga namun tetap merindukan cinta. Akulah Sulaiman yang telah diberi setumpuk kebijaksanaan namun tetap merindukan cinta. Akulah Yusuf yang telah diberkati besarnya keindahan namun tetap merindukan cinta. Akulah jiwaku yang telah diberi kehidupan dan seisi dunia namun tetap merindukan cinta...

Kini, ketika semua yang pernah bisa kubayangkan telah kuanggap menjadi bagian dari kenyataan, ketika perjalanan jauh yang kutempuh hanya membawaku berjalan berputar-putar tanpa tujuan, lalu siapakah aku yang kuanggap telah begitu kukenali? Siapakah aku yang selama ini kuyakini sebagai diriku? Iblis tiruan siapakah yang selama ini menjadi diriku namun tak pernah kusadari? Kerakusanku, kehausanku, keinginan dan kehendakku benar-benar telah menjadikan tabir yang teramat pekat, hijab yang teramat gelap, bagi jernihnya penglihatan dan mata hatiku.

O, aku yang malang, yang kelaparan dan kehausan dalam kebun dan lautanku sendiri. O, aku yang menjerit kepanasan dalam istana kemegahanku sendiri. O, aku yang dahaga dalam mata air yang kuciptakan sendiri. O, aku yang terlelap dalam kegelapan dan kebingungan di pusaran mimpi-mimpi yang kuciptakan sendiri...

Matilah engkau kepada semua yang kau saksikan.
Matilah engkau kepada semua yang kau dengar.
Matilah engkau kepada semua yang kau rasakan...

O, nyanyian jiwaku...
Nyanyian kesadaranku...

Akulah musafir yang telah diantarkan ke pusaran mata air namun tetap merindukan cinta. Akulah Adam yang telah dianugerahi keberkahan surga namun tetap merindukan cinta. Akulah Sulaiman yang telah diberi setumpuk kebijaksanaan namun tetap merindukan cinta. Akulah Yusuf yang telah diberkati besarnya keindahan namun tetap merindukan cinta. Akulah jiwaku yang telah diberi kehidupan dan seisi dunia namun tetap merindukan cinta...


Sabtu, 12 Juni 2010

Mengonsumsi Kekacauan (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekarang, apa sebenarnya yang dikandung oleh susu? Susu yang dikonsumsi oleh manusia dihasilkan oleh binatang, biasanya sapi. Nah, setiap binatang memiliki susu dengan keseimbangan unsur yang sesuai untuk binatang itu sendiri, namun belum tentu sesuai untuk manusia.

Ada banyak masalah yang dapat ditimbulkan dari meminum susu binatang (dalam hal ini sapi). Hormon pertumbuhan yang kuat dalam susu sapi dirancang untuk meningkatkan berat sembilan puluh pon anak sapi saat lahir, menjadi ribuan pon ketika fisiknya telah matang dua tahun kemudian. Sebagai perbandingan, bayi manusia lahir dengan berat sekitar enam sampai delapan pon, dan mencapai kematangan fisik dua puluh satu tahun kemudian dengan berat seratus sampai dua ratus pon.

Dr. William Ellis, seorang pakar yang menulis cukup banyak buku dan laporan tentang susu, menyatakan, “Kalau Anda ingin menderita alergi, minumlah susu. Kalau Anda ingin sistem tubuh Anda terhambat, minumlah susu.”

Alasannya, menurut Dr. Ellis, karena hanya sedikit orang dewasa yang mampu memetabolisme dengan baik protein dalam susu sapi. Protein utama dalam susu sapi adalah casein—suatu zat yang dibutuhkan oleh metabolisme sapi agar tetap sehat. Namun, casein bukanlah zat yang dibutuhkan oleh manusia. Menurut penelitiannya, bayi atau orang dewasa sulit sekali untuk dapat mencerna casein—biasanya mereka hanya mampu mencerna sampai 50 persennya saja.

Nah, unsur protein (dalam hal ini casein) yang hanya setengah tercerna itu sering kali masuk ke dalam darah, dan mempengaruhi jaringan tubuh—hingga menyebabkan alergi. Itu belum cukup. Protein yang setengah tercerna itu juga memberatkan kerja hati (limpa) di dalam tubuh kita, karena hati harus bekerja keras membuang semua protein sapi yang setengah tercerna tersebut, dan pada gilirannya itu menimbulkan beban bagi seluruh sistem pembuangan dalam tubuh manusia.

Lalu bagaimana dengan ASI (air susu ibu)? Kalau protein utama dalam susu sapi adalah casein, maka protein utama dalam ASI adalah lactalbumin—suatu zat protein yang sangat mudah dicerna oleh manusia.

Sekarang, produk susu binatang yang selama ini dikampanyekan secara besar-besaran di berbagai iklan itu menyebutkan kalau susu (binatang, sapi) kaya protein. Benarkah itu? Semua ahli telah bersepakat bahwa susu terbaik di dunia adalah ASI. Nah, berapakah kira-kira kandungan protein dalam ASI? 50 persen? Terlalu banyak! 30 persen? Masih terlalu banyak! 10 persen? Tidak, di dalam ASI hanya terdapat 2,38 persen protein!

Jika ASI yang dianggap sebagai susu terbaik di dunia saja hanya mengandung 2,38 persen protein, maka tentunya susu binatang memiliki jumlah protein yang jauh lebih sedikit dari ASI. Jadi siapa yang menyatakan bahwa susu binatang itu kaya protein?

Iklan-iklan yang biasa kita lihat di televisi menyangkut susu juga mengatakan bahwa susu mengandung kalsium yang sangat bagus untuk tubuh. Tapi apakah benar begitu? Sekarang mari kita buka hasil penelitian Dr. William Ellis.

Dr. Ellis telah melakukan penelitian terhadap 25.000 (dua puluh lima ribu) orang, dan ia menemukan bahwa mereka yang meminum tiga, empat, atau lima gelas susu per hari memiliki kadar kalsium darah paling rendah!

Lebih dari itu, apakah kita sebenarnya memang membutuhkan banyak kalsium? Kalau menyaksikan iklan-iklan susu di televisi, kita seperti diberitahu bahwa kalsium adalah sesuatu yang maha penting bagi tubuh. Tapi apakah memang benar begitu? Hasil penelitian para pakar yang bertanggung jawab menyebutkan bahwa apabila kadar kalsium berlebih dalam tubuh, maka ia akan tertimbun dalam ginjal, dan membentuk batu ginjal. Secara normal, tubuh kita membuang 80 persen kalsium yang kita konsumsi untuk menjaga kepekatan darah dalam tubuh.

Apabila kita memang membutuhkan kalsium, maka kita bisa memperolehnya dari sayuran hijau, mentega dari bijan, atau kelapa—semuanya itu kaya akan kalsium dan mudah dicerna, sekaligus mudah digunakan dalam tubuh. Tumbuhan lobak, misalnya, juga mengandung kalsium yang lebih bagus dua kali lipat dibanding susu. Namun yang jelas, orang yang membutuhkan terlalu banyak kalsium—menurut penelitian para pakar—tidak bisa dibenarkan.

Kemudian, apa dampak susu yang ditimbulkan pada tubuh orang yang mengkonsumsinya? Susu yang masuk ke dalam tubuh akan mengakibatkan penyumbatan, penggumpalan otot yang mengeras, dan menyumbat serta mengikat semua kandungan susu itu dalam usus halus—yang pada gilirannya akan menyulitkan kinerja tubuh.

Sementara Louis L. Hay, dalam buku Reflections on Your Journey, menyebutkan bahwa susu yang dikonsumsi oleh kebanyakan manusia pada zaman inilah yang telah menimbulkan begitu banyak kanker payudara dan kanker-kanker lainnya, serta penyakit jantung. Perlu saya katakan di sini bahwa Louis L. Hay adalah wanita yang buku-buku karyanya menjadi bacaan wajib bagi para wanita cerdas di berbagai belahan dunia, dan ia juga pernah menjadi salah satu pasien kanker rahim karena ketidaktahuannya dulu terhadap efek negatif yang ditimbulkan oleh susu.

Lalu bagaimana dengan keju? Ini hanyalah susu pekat. Jangan lupa, dibutuhkan empat sampai lima quart (1 quart = 1,3 liter) susu untuk membuat satu pon keju. Kandungan lemaknya sudah cukup untuk membuat kita sebaiknya menjauhinya.

Sampai di sini, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak bermaksud mendiskreditkan para peternak sapi atau pedagang susu. Mereka adalah orang-orang baik yang mencari nafkah dengan cara yang halal. Yang ingin saya tekankan di sini hanyalah bahwa apa yang kita yakini sebagai kebenaran bisa saja merupakan hasil kebohongan, apa yang kita percayai sebagai manfaat bisa saja ternyata bencana.

Di dalam hidup, kita menjadi makhluk yang mengkonsumsi segala sesuatu—dari mengkonsumsi makanan dan minuman sampai mengkonsumsi pengetahuan dan keyakinan. Dan di sela-sela aktivitas serta kesibukan dalam mengkomsumsi itu, ada baiknya kalau sewaktu-waktu kita memeriksa diri sendiri, belajar dan mempertanyakan, karena ada kalanya kita ternyata hanya mengkonsumsi kekacauan.

Mengonsumsi Kekacauan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekali lagi, saya tidak bermaksud membicarakan keyakinan agama. Ini masih soal susu, dan manfaat yang diyakini atasnya.

Sebagai permulaan, marilah kita bertanya, sejak kapankah orang meyakini—benar-benar meyakini—manfaat yang terkandung dalam susu? Jawaban atas pertanyaan ini cukup mengejutkan, karena ternyata keyakinan itu baru mulai terbentuk dan mengkristal dalam benak masyarakat dunia setelah tahun 1970-an. Kenyataan itu cukup aneh, karena susu yang dihasilkan binatang (semisal sapi) sudah ada sejak ratusan atau ribuan tahun sebelumnya.

Jadi, apa yang terjadi? Ketika menelusuri pertanyaan ini, jawabannya saya dapatkan dalam buku Unlimited Power yang ditulis Dr. Anthony Robbins, dan jawabannya sungguh mencengangkan. Perlu saya jelaskan terlebih dulu, bahwa Anthony Robbins adalah penasihat beberapa presiden Amerika dan orang-orang terkenal lainnya, penulis beberapa buku yang dibaca oleh jutaan orang dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta dianggap sebagai salah satu ‘guru’ oleh masyarakat internasional.

Nah, di dalam buku yang ditulisnya, Anthony Robbins menceritakan bagaimana awal mula terbentuknya keyakinan masyarakat terhadap manfaat susu, dan bagaimana busuknya hal itu dimulai….

Sepanjang tahun 1950 sampai 1970-an, Amerika mengalami kelebihan produksi susu dalam jumlah yang amat besar. Berbagai produk susu—dari susu mentah, susu bubuk, sampai keju—menumpuk di mana-mana karena para peternak penghasil susu benar-benar mengalami masa panen yang luar biasa. Sepanjang tahun-tahun itu, pemerintah federal menghabiskan biaya sampai 2,5 milyar dollar per tahun hanya untuk mengatasi kelebihan produk susu. (Perhatikan, itu terjadi pada tahun 1950-an, dan uang sejumlah 2,5 milyar dollar adalah jumlah yang luar biasa besar).

Tetapi upaya untuk menekan jumlah produksi susu itu tak pernah berhasil, dan produksi susu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1983, surat kabar New York Times melaporkan bahwa di dalam gudang milik pemerintah saja, tersimpan 1,3 miliar pon susu bubuk, 400 juta pon susu mentega, dan 900 juta pon susu keju. Ini jelas persediaan yang amat besar, yang harus segera dikeluarkan dari gudang agar dapat digunakan. Tapi di mana-mana di seluruh negeri tak ada orang yang tergila-gila pada produk susu—karena sebelumnya sudah ada kampanye kesehatan agar orang tidak terlalu banyak mengkonsumsi produk lemak.

Kenyataan ini adalah dilema yang merugikan banyak pihak. Pihak produsen penghasil produk susu dirugikan karena mereka tak mampu menjual hasil produksinya yang melimpah-limpah, sementara pemerintah juga dirugikan karena mereka tidak bisa mengambil pajak dari hasil penjualan. Mereka sudah dapat membayangkan pajak dalam jumlah yang sangat banyak kalau semua produk susu yang menumpuk itu bisa terjual.

Maka para kapitalis kemudian bertemu dan berunding dengan pemerintah. Mereka mencari cara agar semua produk susu yang ada itu bisa laku terjual, agar masing-masing memperoleh keuntungan. Lalu pemerintah pun mempersiapkan sebuah kampanye besar-besaran untuk mengajak masyarakat menyukai produk susu. Agar kampanye itu berhasil, kampanye itu harus didukung oleh para dokter dan para pakar kesehatan.

Lalu para dokter dan para peneliti pun dirangkul, dan mereka ‘diminta’ agar memberikan ‘kesimpulan’ dan ‘hasil penelitian’ bahwa susu sangat baik untuk kesehatan. Para dokter yang korup itu setuju karena ini kerjasama yang saling menguntungkan—para kapitalis memperoleh untung, pemerintah memperoleh hasil pajak, dan para dokter memperoleh imbalan.

Jadi begitulah, kampanye besar-besaran menyangkut susu pun kemudian bagai bom yang meledak dan ‘menyadarkan’ begitu banyak orang akan arti pentingnya susu bagi kesehatan manusia. Begitu hebatnya kampanye itu, sampai-sampai ‘hasil-hasil penelitian’ menyangkut pentingnya susu itu ‘diimpor’ oleh berbagai negara untuk juga disampaikan pada masyarakatnya.

Indonesia juga termasuk negara yang ikut mengimpor ‘hasil penelitian’ itu, dan kemudian mendoktrin rakyatnya tentang betapa pentingnya susu bagi kesehatan mereka. Dan ajaran yang diambil dari ‘hasil penelitian’ para dokter di Amerika itu pun lalu diajarkan di sekolah-sekolah, dan kita menjadi salah satu murid di sekolah-sekolah itu yang mendengar bagaimana guru kita di depan kelas dengan penuh jumawa mengatakan, “Susu sangat baik bagi kesehatan!”

‘Penelitian’ yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan keuntungan materi itu tentu saja telah di-counter oleh berbagai dokter dan para peneliti lain yang jujur dan masih memegang nilai-nilai idealisme profesinya. Tetapi apakah suara mereka kemudian didengar? Mereka juga telah menghasilkan setumpuk penelitian menyangkut bagaimana berbahayanya susu bagi kesehatan, namun suara mereka menjadi suara minor karena kalah dengan suara yang didukung oleh dana yang luar biasa besar dari para kapitalis dan pemerintah.

Para dokter dan para peneliti yang jujur dan berintegritas itu hanya mampu menyampaikan suara mereka melalui buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah, tetapi siapa yang mau repot-repot membeli buku dan mempelajari jurnal kesehatan yang membosankan?

Sementara suara dari para dokter yang dibiayai oleh para kapitalis diiklankan melalui televisi, di majalah dan di koran-koran, dan masyarakat—dari yang awam sampai yang bukan awam—begitu mudah melihatnya, dan mereka begitu mudah mempercayainya. Siapa yang tak percaya pada dokter yang masuk televisi? Maka masyarakat pun semakin yakin bahwa susu memang baik untuk kesehatan—dan produk susu dari tahun ke tahun pun terus meningkat penjualannya, dan masyarakat terus saja membelinya meski harganya terus naik dan terus naik.

Hari ini, ada begitu banyak iklan menyangkut susu—untuk konsumsi anak-anak sampai untuk orang tua—di televisi atau di media-media lainnya, yang melibatkan dokter dan artis-artis terkenal, namun tidak ada satu pun dari kita yang mau mempertanyakan keabsahan dan kebenaran iklan-iklan itu.

Lanjut ke sini.

Mengonsumsi Kekacauan (1)

Kebohongan yang dinyatakan berulang-ulang akan menjadi kebenaran.
Vladimir Ilyich Lenin

Lebih mudah mempercayai sebuah kebohongan
yang telah didengar orang ratusan kali, daripada mendengar kenyataan
yang belum pernah sekalipun didengar orang.
@noffret


Apa yang paling mengerikan dalam hidup ini? Bagi saya, tidak ada yang lebih mengerikan selain menjadi korban dari ketidaktahuan, budak dari kebodohan. Ketika kita meyakini sesuatu karena berdasarkan ketidaktahuan atau kebingungan, maka sama halnya kita sedang masuk dalam lubang gelap tempat buaya hidup. Barangkali kita selamat—barangkali juga tidak. Ketidaktahuan itu berbahaya—kebodohan itu amat mengerikan.

Di dalam kebodohan atau ketidaktahuan, kekacauan mudah diciptakan. Orang akan cepat merangkul bahkan memeluk kekacauan karena butuh kepastian—tak peduli apakah kepastian itu benar atau keliru. Nah, yang berbahaya atau mengerikan, adalah apabila kepastian yang dipeluk dan diyakini itu sesuatu yang keliru—atau menjerumuskan.

Kalau seseorang menyodorkan segelas racun kepada kita, dan mengatakan bahwa isi gelas itu adalah minuman lezat dan segar, kita akan memiliki dua kemungkinan sikap—atau tiga.

Sikap pertama, kita akan menerima gelas berisi racun itu karena percaya kepadanya, dan karena ketidaktahuan kita atas bahaya racun. Sikap kedua, kita akan langsung menolak gelas berisi racun itu, karena kita tahu betul bahaya mematikan dari racun yang ada dalam gelas—tak peduli sebaik apa pun pribadi orang itu di mata kita. Dan sikap ketiga, kita akan ragu-ragu; antara mau menerima dan menolak.

Itu ilustrasi yang sangat sepele tentang bagaimana sikap kita dalam menghadapi sesuatu, dan menyikapi segala hal yang datang dalam hidup. Menjadi mudah, memang, apabila sesuatu yang kita hadapi jelas-jelas bermanfaat atau jelas-jelas berbahaya. Kita akan bisa langsung menentukan sikap. Yang membingungkan adalah apabila sesuatu yang kita hadapi itu meragukan—campuran antara manfaat dan bahaya, atau manfaat di balik bahaya, atau bahaya di balik manfaat.

Yang lebih membingungkan lagi adalah ketika dihadapkan sesuatu yang telah lama diyakini sebagai benar oleh orang-orang dalam kehidupan kita—dan keyakinan atas kebenaran itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Ketika dihadapkan pada kenyataan semacam itu, mau tak mau, kita pun akan terdorong untuk ikut pula mempercayainya. Asumsinya mudah; kalau orang-orang terdahulu menyatakan itu benar, mengapa kita harus menyalahkannya?

Lebih sulit lagi apabila sesuatu yang telah diyakini sebagai benar itu kemudian didoktrinasikan secara turun-temurun sebagai kebenaran, didukung oleh segenap teori yang terdengar sahih, dan hal itu telah diyakini oleh mayoritas masyarakat, serta tiap hari disuarakan oleh berbagai iklan dan promosi di berbagai media yang meyakinkan. Ketika menghadapi hal semacam itu, bisakah kita menolaknya?

Jangan salah paham. Saya tidak sedang bicara masalah keyakinan agama atau teologi. Yang ingin saya bicarakan di sini jauh lebih remeh dan lebih sepele dibanding masalah keyakinan agama atau hal-hal berbau teologi. Soal makanan, misalnya. Atau, lebih spesifik lagi, soal makanan atau minuman yang kita konsumsi karena kita yakini sebagai sesuatu yang bermanfaat.

Mari kita awali dengan susu—atau keyakinan terhadap manfaat susu. Siapa pun akan percaya bahwa susu adalah konsumsi yang amat sehat dan bermanfaat bagi tubuh. Kepercayaan atau bahkan keyakinan terhadap manfaat susu itu terbentuk oleh beberapa hal.

Pertama, orang percaya pada manfaat susu, karena sejak bertahun-tahun yang lalu kepercayaan itu sudah terbentuk. Masyarakat hari ini atau masyarakat bertahun-tahun yang lalu sudah meyakini kandungan manfaat dalam susu—maka keyakinan itu pun berlangsung terus—dan kita ikut mempercayainya. Kenapa tidak? Kenapa harus menyalahkan sesuatu yang telah dianggap benar oleh mayoritas masyarakat selama bertahun-tahun?

Kedua, orang percaya pada manfaat susu, karena orang-orang yang memiliki kompetensi dalam hal itu membenarkannya. Para dokter dan peneliti medis, misalnya. Jika dokter dan para peneliti yang memiliki pengetahuan dalam hal kesehatan saja meyakini manfaat yang ada dalam susu, mengapa masyarakat awam harus meragukannya? Ini seperti analogi orang buta yang dituntun orang lainnya yang bisa melihat. Daripada tersesat karena buta, sebaiknya percayakan saja pada orang yang punya mata.

Ketiga, orang percaya pada manfaat susu, karena mayoritas masyarakat mempercayainya. Di mana pun kita hidup, hampir dapat dipastikan kalau orang-orang atau masyarakat di lingkungan kita adalah orang-orang yang mempercayai serta meyakini manfaat susu. Doktrinasi mayoritas selalu jauh lebih kuat dibanding apa pun, karena orang sering takut jika dianggap berbeda dengan orang lainnya. Karena kita hidup dalam lingkungan yang meyakini manfaat susu, maka kita pun secara otomatis ikut mempercayainya.

Keempat, orang percaya pada manfaat susu, karena setiap hari doktrinasi itu terjadi di mana-mana. Di iklan-iklan televisi, artikel di koran dan majalah, setiap saat dan setiap waktu selalu saja muncul doktrinasi atas manfaat susu. Dan doktrinasi yang ada dalam iklan-iklan atau artikel itu melibatkan sejumlah nama terkenal—dari artis, atlit, sampai kalangan kedokteran—dan makin tidak ada alasan bagi masyarakat awam untuk menyangsikan keabsahannya.

Empat latar belakang kepercayaan orang terhadap susu, sebagaimana disebutkan di atas, hanya sebagian kecil dari faktor-faktor lain yang ikut mendukung kepercayaan itu. Tentunya masih banyak hal lain yang ikut menciptakan keyakinan kita terhadap manfaat susu. Tetapi ada hal lain yang lebih penting untuk dipelajari. Yakni, bagaimana kalau ternyata semua keyakinan terhadap manfaat susu itu hanyalah kebohongan…?

Bagaimana kalau ternyata kepercayaan kita hari ini adalah hasil dari rekayasa kebohongan yang sengaja diciptakan oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari hal itu? Bagaimana kalau keyakinan kita hari ini ternyata hanyalah hasil dari kebingungan, ketidaktahuan, dan kebodohan kita sendiri?

Lanjut ke sini.

Tanda Tangan di Payudara

Berkonsultasilah dengan perempuan,
tapi berbuatlah bertentangan dengan apa yang mereka sarankan.
—Anonymous


Bayangkan dirimu seorang selebriti atau artis terkenal yang biasa dimintai tanda tangan oleh orang-orang, khususnya para penggemarmu. Terkadang, kau diminta memberikan tanda tangan di buku mereka, di baju mereka, atau di tempat-tempat lain yang mereka inginkan. Hal semacam itu tentu bukan sesuatu yang aneh—orang-orang terkenal biasa memberikan tanda tangannya untuk para penggemar atau pengagumnya. Yang aneh adalah, jika tanda tangan itu diminta untuk dibubuhkan di payudara.

Tentu saja payudara yang dimaksud di sini adalah payudara wanita, karena sepertinya jarang sekali—atau bahkan tidak ada—laki-laki yang cukup gila meminta pujaannya untuk memberikan tanda tangan di dadanya. Nah, bagaimana reaksimu, atau apa yang akan kaulakukan, jika kau diminta memberikan tanda tangan di payudara cewek-cewek yang menjadi penggemarmu?

Kenyataan semacam itulah yang sering kali terjadi pada Will Smith, aktor yang dianggap sebagai orang paling berpengaruh di Hollywood. Will Smith sering kali diminta untuk membubuhkan tanda tangannya di payudara-payudara cewek yang menjadi penggemarnya. Jadi, cewek-cewek itu biasanya mendatangi Will Smith, kemudian membuka bagian atas bajunya (atau menyingkap kaosnya) dan menyodorkan payudara mereka untuk ditandatangani.

Lalu apa reaksi Will Smith atas tindakan semacam itu? Untungnya, Will Smith termasuk orang yang beradab. Dengan sopan dia biasanya akan menolak permintaan semacam itu, dan menawarkan untuk memberikan tanda tangannya di tempat lain (yang lebih sopan)—semisal di pakaian, di buku, atau di sampul kaset albumnya (Will Smith juga pernah menyanyi).

“Orang yang memintamu memberikan tanda tangan di payudaranya adalah hal aneh,” kata Will Smith. “Apalagi jika itu dilakukan di tempat umum, dan pacar mereka melihatnya. Itu terasa sangat aneh bagi saya.”

Terlepas dari bagaimana sikap Will Smith dalam menghadapi kelakuan cewek-cewek penggemarnya yang seperti itu, saya sering bertanya-tanya dalam hati—apa sebenarnya yang memotivasi para cewek itu sehingga meminta Will Smith membubuhkan tanda tangannya di payudara mereka. Pembubuhan tanda tangan itu tentunya menggunakan polpen atau spidol yang pastinya akan menghilang—cepat ataupun perlahan—karena tanda tangan itu tidak ditatokan secara permanen.

Jika motivasi para cewek itu meminta tanda tangan Will Smith adalah untuk mendapatkan kenang-kenangan dari pujaan mereka, mengapa harus meminta dibubuhkan di payudara? Saya tak pernah paham tentang hal ini. Yang lebih saya pahami, cewek-cewek itu sebenarnya bukan bermotivasi mendapatkan tanda tangan, melainkan merayu Will Smith, dengan payudara mereka.

Dan kalau memang seperti itu motivasi mereka, apakah Will Smith tergoda? Will Smith bahkan menganggap permintaan semacam itu sebagai permintaan yang kasar, dan terang-terangan menyatakan bahwa dia tidak akan tergoda jika dihadapkan pada pameran payudara semacam itu.

Sampai sekarang saya tetap tak pernah paham atas hal itu. Apa sebenarnya yang ada dalam otak para cewek itu ketika mereka memberikan payudaranya untuk dibubuhi tanda tangan selebriti pujaannya? Sepertinya, secinta apa pun seorang cewek terhadap pacarnya, dia tidak akan meminta cowoknya untuk membubuhkan tanda tangan di payudaranya. Begitu pun, setergila-gila apa pun seorang istri kepada suaminya, dia pun tidak akan meminta si suami untuk membubuhkan tanda tangan di payudaranya.

Jadi, kenapa ada cukup banyak cewek yang bersusah-payah mengeluarkan payudaranya untuk diberi tanda tangan…? Sepertinya, perempuan memang lebih rumit dari rumus-rumus fisika—lebih aneh dari angka-angka matematika. Mereka sulit ditebak, bahkan kadang tak masuk akal.

“…”



Mengeluh seperti budak
Melenguh seperti hewan

Alangkah sulit yang harus kudengar


Senin, 07 Juni 2010

Pertanyaan Penting Oscar Wilde

Pengetahuan merupakan mata segala hasrat
dan penunjuk jalan bagi jiwa.
Will Durant


Penulis besar Inggris asal Irlandia, Oscar Wilde, menulis dua buah kata yang kemudian menjadi sangat terkenal di dunia. Dua buah kata itu adalah, “Siapakah aku?”

Bukan hanya menjadi terkenal, kedua kata itu bahkan menjadi ungkapan atau semboyan kaum eksistensialis yang memaksa kita untuk menjadi diri sendiri atau tidak sama sekali. Bagi Oscar Wilde, bisa menjawab pertanyaan itu ataukah tidak bukanlah hal penting, karena akhirnya yang ia dapat tetaplah tragedi.

Jika merujuk pada kisah hidup Oscar Wilde sendiri, tragedi dalam hidup ini akan terjadi ketika seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, atau ketika ia mendapatkannya.

Oscar Wilde, seperti yang kita tahu, adalah penulis yang sangat cemerlang. Di balik penampilannya yang flamboyan, setiap orang tahu bahwa lelaki ini bukan orang sembarangan. Kata-kata yang ditulisnya telah mempengaruhi begitu banyak orang di dunia—dan ada beribu-ribu anak muda yang memujanya.

Di puncak kejayaannya, Oscar Wilde menikah dengan Constance Lloyd, seorang perempuan cantik, dan dari perkawinan mereka kemudian lahir dua orang anak laki-laki. Dilihat dari luar, kehidupan Wilde adalah kehidupan yang sempurna. Sebagai lelaki, dia telah memiliki segala-galanya—istri cantik yang sangat mencintainya, anak-anak yang manis, kehidupan yang mewah, nama yang semakin terkenal. Tetapi, di dalam perkawinan itu, Oscar Wilde maupun istrinya sama-sama tidak merasakan kebahagiaan.

Apa yang sesungguhnya terjadi…? Pada awalnya, baik Wilde maupun istrinya tidak memahami apa yang menjadi masalah dalam hubungan mereka sehingga tidak tercipta perasaan tenteram yang mendamaikan. Sampai kemudian, Robert Ross, seorang kawan Wilde, menginap di rumahnya—dan si Robert Ross inilah yang kemudian mengungkapkan apa sesungguhnya yang menjadi sumber ketidakbahagiaan rumah tangga Wilde.

“Masalahmu, Wilde,” kata Robert Ross, “adalah karena kau tidak bisa mencintai wanita.”

Oscar Wilde mengakui, pada awalnya hanya dalam hati, bahwa dia memang memiliki kecenderungan homoseksual yang telah ia rasakan semenjak SD. Tetapi Wilde selalu berusaha menepis pikirannya, dan mencoba hidup secara normal sebagaimana laki-laki pada umumnya. Tapi kecenderungan itu akhirnya keluar juga semenjak pertemuannya dengan Robert Ross, dan sejak itu pula Wilde mulai memasuki hidupnya yang baru—bergaul dengan para gay, menjalani kehidupan homoseksual.

Sampai pada suatu malam di tahun 1892, ketika Wilde sedang bahagia karena pementasan karyanya yang gemilang, dia dikenalkan dengan seorang lelaki tampan lulusan Oxford bernama Lord Alfred Douglas. Putra bangsawan kaya-raya Inggris ini memiliki nama panggilan ‘Bosie’, dan si Bosie inilah yang semakin membawa Wilde ke dalam kehidupan homoseksual yang semakin jauh. Bosie sangat cerdas serta penuh gairah—dan itu menjadikan Wilde ‘mabuk kepayang’ kepadanya, sehingga ia pun mulai menelantarkan istri dan anak-anaknya.

Di dalam masyarakat anti-homoseksual di era Victoria, ditambah lagi dengan popularitas Oscar Wilde yang dihormati banyak kalangan, perilaku seks yang secara terang-terangan ditunjukkan Wilde pun menjadi bahan gunjingan yang kemudian menciptakan skandal. Puncaknya meledak ketika ayah Bosie, bangsawan tua Inggris yang ortodoks, mengetahui hubungan Wilde dengan anaknya. Dia berusaha agar Wilde menjauhi anaknya, tetapi rupanya dua lelaki itu telah saling jatuh cinta dan saling mabuk kepayang.

Maka ‘jalan kotor’ pun kemudian ditempuh oleh si bangsawan tua. Dia menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk menyingkirkan Wilde dengan cara yang licik, yakni dengan mengadukannya ke pengadilan, dengan tuduhan tulisan-tulisan dan perilaku Oscar Wilde telah meracuni dan merusak moral anak-anak muda.

Kisah yang kemudian terjadi di pengadilan mirip dengan adegan novel-novel John Grisham. Dengan kehebatan kata-kata serta kemampuannya berbicara, Oscar Wilde menyihir seisi ruang pengadilan dengan mencurahkan perasaan-perasaannya—suatu rasa cinta yang masih sulit diterima oleh masyarakatnya, namun benar-benar ia rasakan. Pihak pengadilan merasa tersentuh dengan semua yang dikatakan Wilde, tetapi ‘demi kepantasan moral’, Wilde pun divonis dua tahun penjara.

Sampai di sini, kisah yang amat menyentuh adalah kisah kesetiaan Constance, istri Oscar Wilde. Ketika Wilde dijatuhi hukuman, masyarakat telah meminta agar Constance menceraikan Wilde karena dia tak bisa dianggap suami yang baik. Tetapi Constance menolak menceraikan Wilde, dia bahkan secara rutin mengunjungi suaminya di penjara, dan tetap mengasuh anak-anak mereka dengan baik.

Menyaksikan kesetiaan istrinya yang luar biasa, Wilde pun menyadari betapa besarnya kesalahan yang telah ia lakukan. Didorong oleh rasa penyesalan serta perasaan bersalah pada istrinya, Wilde kemudian menulis cerpen yang kelak menjadi cerita pendek yang abadi, berjudul ‘The Selfish Giant’. Lebih dari itu, Wilde pun berjanji tidak akan lagi berhubungan dengan Bosie, serta memperbaiki diri dan kehidupannya. Ia ingin kembali kepada istrinya.

Kalau saja ini cerita novel, tentunya kisah ini akan berakhir happy ending. Tetapi ini kisah hidup—dan Oscar Wilde sepertinya dilahirkan untuk menghayati tragedi. Sekeluar dari penjara, Wilde tak bisa menemui istrinya karena Constance telah meninggal dunia, sementara kedua anaknya telah diasuh oleh orang lain.

Didorong oleh rasa kesepian yang melandanya, Wilde pun melanggar janjinya sendiri. Ia kembali menemui Bosie, lelaki yang pernah mencintai dan dicintainya, dan mereka pun kembali hidup bersama sebagai sepasang kekasih. Tetapi, hidup selama dua tahun di penjara sambil menanggung beban penyesalan dan rasa bersalah telah menghancurkan kesehatan Wilde. Tepat ketika ia menginjak usia 46 tahun, Oscar Wilde pun menutup mata untuk selamanya.

Jadi, “Siapakah aku?”

Sepertinya, Oscar Wilde pun tidak mampu menjawabnya—karena dia tak kunjung menemukan siapakah dirinya sesungguhnya. Dan pertanyaan tentang “Siapakah aku?” sepertinya memang diguratkan dalam hidup Oscar Wilde untuk tidak ditemukan jawabannya, karena kemana pun ia mencari jawaban atas pertanyaan itu, yang ia dapatkan selalu saja tragedi.

Yang sulit, memang, bukanlah mencari sesuatu di luar diri—yang sulit adalah mencari sesuatu di dalam diri.

Hidup yang Damai



Kita lahir ke dunia ini tanpa diminta,
namun keberadaan kita di sini bukanlah tanpa arti.


Orator cemerlang, Paul H. Dunn, dalam salah satu pidatonya menyindir, “Kalau engkau mendasarkan harga dirimu, perasaan berhargamu, pada apapun di luar kualitas hati, pikiran, atau jiwamu, maka engkau mendasarkannya pada pijakan yang sangat labil…”

Kualitas dan nilai sejati diri kita sama sekali tidak terdapat pada hal-hal yang ada di luar diri kita yang terlihat oleh mata, namun ada di dalam diri kita yang tak terlihat. Itu juga berarti bahwa nilai kemanusiaan kita tidak ditentukan oleh bagaimana bentuk rambut atau hidung kita, sama sekali tidak didasarkan pada ukuran tubuh, warna kulit ataupun wujud kaki kita, tetapi lebih pada apa yang ada di dalam pikiran dan hati sanubari kita.

Memang, kita tidak sempurna. Memang, kita bukanlah yang paling indah. Memang, kita memiliki beberapa kekurangan tertentu. Memang, kita bukanlah yang paling cerdas, paling hebat ataupun paling kaya. Lalu mengapa...? Bukankah itu sesuatu yang manusiawi? Yang menjadikan kita disebut sebagai manusia adalah karena kita memiliki kekurangan-kekurangan tertentu, cacat-catat tertentu dan ketidaksempurnaan tertentu. Kita selalu dapat memperbaikinya, meningkatkan kualitasnya, dan semua kekurangan yang manusiawi itu sama sekali bukanlah halangan untuk tetap dapat hidup bahagia.

Bertrand Russel, seorang pakar matematika dan pemenang Nobel untuk sastra tahun 1950, mengatakan, “A man cannot possibly be at peace with others until he has learned to be at peace with himself.”

Alangkah benarnya kata-kata itu. Seseorang tidak mungkin bisa berdamai dengan orang lain sebelum dia belajar berdamai dengan dirinya sendiri.

Hidup yang bahagia adalah hidup yang damai. Dan hidup yang damai itu harus dimulai dengan diri sendiri. Jika kita bisa berdamai dengan diri sendiri, maka kita lebih mudah untuk memperoleh kebahagiaan dalam perjalanan hidup sehari-hari. Namun apabila kita sulit berdamai dengan diri sendiri, kita terus-menerus melakukan peperangan di dalam batin kita, dan tidak mungkin ada kebahagiaan dalam hidup semacam itu.

Berdamai dengan diri sendiri artinya; menerima diri sendiri apa adanya dengan sikap cinta yang tulus dan penerimaan yang tanpa pamrih. Berdamai dengan diri sendiri berarti tidak menganggap semua kekurangan yang kita miliki sebagai kutukan yang tak berampun, tetapi memandangnya sebagai sesuatu yang manusiawi, yang tetap dapat diperbaiki tanpa harus menjadikan kita bersedih hati.

Kita lahir ke dunia ini tanpa diminta, namun keberadaan kita di sini tentu bukanlah tanpa arti. Tuhan telah memberikan sesuatu dalam diri kita yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan kitalah yang dapat menunjukkannya. Masing-masing manusia memiliki keunikan, ciri khas dan perbedaan yang tidak dapat ditiru oleh manusia lainnya, dan dari milyaran manusia yang pernah hidup, sedang hidup dan akan hidup, tidak ada satu pun di antara mereka yang sama persis dengan diri kita. Tuhan menginginkan agar kita menjadi diri sendiri, dan kita tentunya tak perlu melawan kehendak itu dengan berusaha untuk sama dengan orang lain yang kita lihat dan kita saksikan.

Sudah saatnya untuk hidup damai dengan diri sendiri dan mencintainya dengan sepenuh hati, sudah saatnya untuk menyadari bahwa kita pun dapat bahagia dengan menerima diri kita apa adanya.


Si Dob di Negeri Para Dob



Jadi, bukankah sudah tepat...?


Sebuah Catatan Luka

Inilah sebuah dunia yang sempurna, suatu dunia maha mulia,
satu dunia yang sangat ajaib, buah terlezat dalam kebun Tuhan,
gagasan utama alam semesta. Tetapi mengapa aku harus ada di sini, Tuhan,
aku benih segar keinginan yang tak terpenuhi, badai gila yang tidak ke timur
ataupun ke barat, dan orang asing yang kebingungan dari suatu planet yang
terbakar? Mengapa aku ada di sini, hai Tuhan dari jiwa-jiwa yang hilang,
engkau yang hilang di antara berhala-berhala...?
Kahlil Gibran, God of Lost Soul


Berapakah hasratmu dinilai dan berapakah nilaimu ditakar dalam timbangan kebudayaan yang absurd itu? Kau yang agung, kau yang begitu dekat dalam pelukanku selama ini telah ditimbang dengan timbangan rongsokan yang berkarat dari tangan-tangan setan yang bertopeng adat-istiadat, kebudayaan, peradaban manusia. Kau yang telah menjadikanku menemukan diriku sendiri telah ditelikung oleh bebalnya ambisi bernama kemapanan, bernama massa yang bingung, bernama perserikatan hukum dan keyakinan.

Apakah aku yang gila? Ataukah mereka yang gila?

Tetapi persoalan kita bukanlah menemukan siapa yang waras dan siapa yang gila. Persoalan kita adalah bahwa perbudakan umat manusia masih terus berlangsung hanya saja rantainya telah berganti. Persoalan besar yang dihadapi peradaban hari ini adalah bahwa meski manusia telah mengaku begitu modern, tetapi sesungguhnya tak berubah jauh dari orang-orang yang hidup di goa-goa.

Dan berapakah nilaimu dibayar, hai Cintaku...? Berapakah sesungguhnya kau dibayar untuk lepas dari jiwa-jiwa yang selama ini begitu hangat memelukmu? Berapakah kau dibayar untuk memenuhi tuntutan dalam masyarakatmu, dalam kebudayaanmu, dalam tetek-bengek peraturan bikinan manusia itu? Berapakah sesungguhnya kau dibayar untuk melakukan pembunuhan terhadap dirimu sendiri, serta memperkosa nilai-nilai sejatimu sendiri? Berapakah kau dibayar...?

Aku menangisimu, Cintaku... Aku menangisimu...

Aku menangisimu karena keagungan dan kemurnianmu harus dicincang di atas mahligai kepalsuan itu. Aku menangisimu karena harkatmu telah dihinakan, martabatmu telah direndahkan, dan kesejatianmu telah dicampakkan ke dasar comberan, sementara sekian ribu orang yang menyaksikannya bertepuk tangan dan orang-orang tersenyum kepadamu.

Berapakah nilaimu dibayar, Cintaku...? Berapakah harkatmu ditakar oleh masyarakatmu? Berapakah bobotmu ditimbang untuk ditentukan berapa jumlah pembayaranmu? Kaukah budak itu? Ataukah orang yang membayarmu itulah budakmu? Dan bagaimana dengan rantai-rantai yang kini membelenggu tangan dan kakimu? Bagaimana dengan belenggu yang kini mengikat erat di lehermu? Bagaimana dengan nota-nota absurd yang kini menumpuk dalam perbendaharaanmu?

Hari ini kau telah menjadi bagian dari masyarakatmu karena kau telah rela dibayar oleh mereka. Hari ini masyarakatmu menjadi saksi betapa salah satu dari mereka telah sah untuk disebut sebagai bagian mereka karena masyarakat telah membayarmu. Dan masyarakatmu bertepuk tangan, Cintaku. Masyarakatmu mengabadikan momen itu dalam ratusan kepingan, album, dan kenangan-kenangan. Dan kau...? Kau pun menghilang—karena telah menjadi bagian jiwa yang hilang.

Karena itulah aku menangisimu, Cintaku...

 
;