Sabtu, 12 Juni 2010

Mengonsumsi Kekacauan (1)

Kebohongan yang dinyatakan berulang-ulang akan menjadi kebenaran.
Vladimir Ilyich Lenin

Lebih mudah mempercayai sebuah kebohongan
yang telah didengar orang ratusan kali, daripada mendengar kenyataan
yang belum pernah sekalipun didengar orang.
@noffret


Apa yang paling mengerikan dalam hidup ini? Bagi saya, tidak ada yang lebih mengerikan selain menjadi korban dari ketidaktahuan, budak dari kebodohan. Ketika kita meyakini sesuatu karena berdasarkan ketidaktahuan atau kebingungan, maka sama halnya kita sedang masuk dalam lubang gelap tempat buaya hidup. Barangkali kita selamat—barangkali juga tidak. Ketidaktahuan itu berbahaya—kebodohan itu amat mengerikan.

Di dalam kebodohan atau ketidaktahuan, kekacauan mudah diciptakan. Orang akan cepat merangkul bahkan memeluk kekacauan karena butuh kepastian—tak peduli apakah kepastian itu benar atau keliru. Nah, yang berbahaya atau mengerikan, adalah apabila kepastian yang dipeluk dan diyakini itu sesuatu yang keliru—atau menjerumuskan.

Kalau seseorang menyodorkan segelas racun kepada kita, dan mengatakan bahwa isi gelas itu adalah minuman lezat dan segar, kita akan memiliki dua kemungkinan sikap—atau tiga.

Sikap pertama, kita akan menerima gelas berisi racun itu karena percaya kepadanya, dan karena ketidaktahuan kita atas bahaya racun. Sikap kedua, kita akan langsung menolak gelas berisi racun itu, karena kita tahu betul bahaya mematikan dari racun yang ada dalam gelas—tak peduli sebaik apa pun pribadi orang itu di mata kita. Dan sikap ketiga, kita akan ragu-ragu; antara mau menerima dan menolak.

Itu ilustrasi yang sangat sepele tentang bagaimana sikap kita dalam menghadapi sesuatu, dan menyikapi segala hal yang datang dalam hidup. Menjadi mudah, memang, apabila sesuatu yang kita hadapi jelas-jelas bermanfaat atau jelas-jelas berbahaya. Kita akan bisa langsung menentukan sikap. Yang membingungkan adalah apabila sesuatu yang kita hadapi itu meragukan—campuran antara manfaat dan bahaya, atau manfaat di balik bahaya, atau bahaya di balik manfaat.

Yang lebih membingungkan lagi adalah ketika dihadapkan sesuatu yang telah lama diyakini sebagai benar oleh orang-orang dalam kehidupan kita—dan keyakinan atas kebenaran itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Ketika dihadapkan pada kenyataan semacam itu, mau tak mau, kita pun akan terdorong untuk ikut pula mempercayainya. Asumsinya mudah; kalau orang-orang terdahulu menyatakan itu benar, mengapa kita harus menyalahkannya?

Lebih sulit lagi apabila sesuatu yang telah diyakini sebagai benar itu kemudian didoktrinasikan secara turun-temurun sebagai kebenaran, didukung oleh segenap teori yang terdengar sahih, dan hal itu telah diyakini oleh mayoritas masyarakat, serta tiap hari disuarakan oleh berbagai iklan dan promosi di berbagai media yang meyakinkan. Ketika menghadapi hal semacam itu, bisakah kita menolaknya?

Jangan salah paham. Saya tidak sedang bicara masalah keyakinan agama atau teologi. Yang ingin saya bicarakan di sini jauh lebih remeh dan lebih sepele dibanding masalah keyakinan agama atau hal-hal berbau teologi. Soal makanan, misalnya. Atau, lebih spesifik lagi, soal makanan atau minuman yang kita konsumsi karena kita yakini sebagai sesuatu yang bermanfaat.

Mari kita awali dengan susu—atau keyakinan terhadap manfaat susu. Siapa pun akan percaya bahwa susu adalah konsumsi yang amat sehat dan bermanfaat bagi tubuh. Kepercayaan atau bahkan keyakinan terhadap manfaat susu itu terbentuk oleh beberapa hal.

Pertama, orang percaya pada manfaat susu, karena sejak bertahun-tahun yang lalu kepercayaan itu sudah terbentuk. Masyarakat hari ini atau masyarakat bertahun-tahun yang lalu sudah meyakini kandungan manfaat dalam susu—maka keyakinan itu pun berlangsung terus—dan kita ikut mempercayainya. Kenapa tidak? Kenapa harus menyalahkan sesuatu yang telah dianggap benar oleh mayoritas masyarakat selama bertahun-tahun?

Kedua, orang percaya pada manfaat susu, karena orang-orang yang memiliki kompetensi dalam hal itu membenarkannya. Para dokter dan peneliti medis, misalnya. Jika dokter dan para peneliti yang memiliki pengetahuan dalam hal kesehatan saja meyakini manfaat yang ada dalam susu, mengapa masyarakat awam harus meragukannya? Ini seperti analogi orang buta yang dituntun orang lainnya yang bisa melihat. Daripada tersesat karena buta, sebaiknya percayakan saja pada orang yang punya mata.

Ketiga, orang percaya pada manfaat susu, karena mayoritas masyarakat mempercayainya. Di mana pun kita hidup, hampir dapat dipastikan kalau orang-orang atau masyarakat di lingkungan kita adalah orang-orang yang mempercayai serta meyakini manfaat susu. Doktrinasi mayoritas selalu jauh lebih kuat dibanding apa pun, karena orang sering takut jika dianggap berbeda dengan orang lainnya. Karena kita hidup dalam lingkungan yang meyakini manfaat susu, maka kita pun secara otomatis ikut mempercayainya.

Keempat, orang percaya pada manfaat susu, karena setiap hari doktrinasi itu terjadi di mana-mana. Di iklan-iklan televisi, artikel di koran dan majalah, setiap saat dan setiap waktu selalu saja muncul doktrinasi atas manfaat susu. Dan doktrinasi yang ada dalam iklan-iklan atau artikel itu melibatkan sejumlah nama terkenal—dari artis, atlit, sampai kalangan kedokteran—dan makin tidak ada alasan bagi masyarakat awam untuk menyangsikan keabsahannya.

Empat latar belakang kepercayaan orang terhadap susu, sebagaimana disebutkan di atas, hanya sebagian kecil dari faktor-faktor lain yang ikut mendukung kepercayaan itu. Tentunya masih banyak hal lain yang ikut menciptakan keyakinan kita terhadap manfaat susu. Tetapi ada hal lain yang lebih penting untuk dipelajari. Yakni, bagaimana kalau ternyata semua keyakinan terhadap manfaat susu itu hanyalah kebohongan…?

Bagaimana kalau ternyata kepercayaan kita hari ini adalah hasil dari rekayasa kebohongan yang sengaja diciptakan oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari hal itu? Bagaimana kalau keyakinan kita hari ini ternyata hanyalah hasil dari kebingungan, ketidaktahuan, dan kebodohan kita sendiri?

Lanjut ke sini.

 
;