Sabtu, 12 Juni 2010

Mengonsumsi Kekacauan (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekali lagi, saya tidak bermaksud membicarakan keyakinan agama. Ini masih soal susu, dan manfaat yang diyakini atasnya.

Sebagai permulaan, marilah kita bertanya, sejak kapankah orang meyakini—benar-benar meyakini—manfaat yang terkandung dalam susu? Jawaban atas pertanyaan ini cukup mengejutkan, karena ternyata keyakinan itu baru mulai terbentuk dan mengkristal dalam benak masyarakat dunia setelah tahun 1970-an. Kenyataan itu cukup aneh, karena susu yang dihasilkan binatang (semisal sapi) sudah ada sejak ratusan atau ribuan tahun sebelumnya.

Jadi, apa yang terjadi? Ketika menelusuri pertanyaan ini, jawabannya saya dapatkan dalam buku Unlimited Power yang ditulis Dr. Anthony Robbins, dan jawabannya sungguh mencengangkan. Perlu saya jelaskan terlebih dulu, bahwa Anthony Robbins adalah penasihat beberapa presiden Amerika dan orang-orang terkenal lainnya, penulis beberapa buku yang dibaca oleh jutaan orang dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta dianggap sebagai salah satu ‘guru’ oleh masyarakat internasional.

Nah, di dalam buku yang ditulisnya, Anthony Robbins menceritakan bagaimana awal mula terbentuknya keyakinan masyarakat terhadap manfaat susu, dan bagaimana busuknya hal itu dimulai….

Sepanjang tahun 1950 sampai 1970-an, Amerika mengalami kelebihan produksi susu dalam jumlah yang amat besar. Berbagai produk susu—dari susu mentah, susu bubuk, sampai keju—menumpuk di mana-mana karena para peternak penghasil susu benar-benar mengalami masa panen yang luar biasa. Sepanjang tahun-tahun itu, pemerintah federal menghabiskan biaya sampai 2,5 milyar dollar per tahun hanya untuk mengatasi kelebihan produk susu. (Perhatikan, itu terjadi pada tahun 1950-an, dan uang sejumlah 2,5 milyar dollar adalah jumlah yang luar biasa besar).

Tetapi upaya untuk menekan jumlah produksi susu itu tak pernah berhasil, dan produksi susu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1983, surat kabar New York Times melaporkan bahwa di dalam gudang milik pemerintah saja, tersimpan 1,3 miliar pon susu bubuk, 400 juta pon susu mentega, dan 900 juta pon susu keju. Ini jelas persediaan yang amat besar, yang harus segera dikeluarkan dari gudang agar dapat digunakan. Tapi di mana-mana di seluruh negeri tak ada orang yang tergila-gila pada produk susu—karena sebelumnya sudah ada kampanye kesehatan agar orang tidak terlalu banyak mengkonsumsi produk lemak.

Kenyataan ini adalah dilema yang merugikan banyak pihak. Pihak produsen penghasil produk susu dirugikan karena mereka tak mampu menjual hasil produksinya yang melimpah-limpah, sementara pemerintah juga dirugikan karena mereka tidak bisa mengambil pajak dari hasil penjualan. Mereka sudah dapat membayangkan pajak dalam jumlah yang sangat banyak kalau semua produk susu yang menumpuk itu bisa terjual.

Maka para kapitalis kemudian bertemu dan berunding dengan pemerintah. Mereka mencari cara agar semua produk susu yang ada itu bisa laku terjual, agar masing-masing memperoleh keuntungan. Lalu pemerintah pun mempersiapkan sebuah kampanye besar-besaran untuk mengajak masyarakat menyukai produk susu. Agar kampanye itu berhasil, kampanye itu harus didukung oleh para dokter dan para pakar kesehatan.

Lalu para dokter dan para peneliti pun dirangkul, dan mereka ‘diminta’ agar memberikan ‘kesimpulan’ dan ‘hasil penelitian’ bahwa susu sangat baik untuk kesehatan. Para dokter yang korup itu setuju karena ini kerjasama yang saling menguntungkan—para kapitalis memperoleh untung, pemerintah memperoleh hasil pajak, dan para dokter memperoleh imbalan.

Jadi begitulah, kampanye besar-besaran menyangkut susu pun kemudian bagai bom yang meledak dan ‘menyadarkan’ begitu banyak orang akan arti pentingnya susu bagi kesehatan manusia. Begitu hebatnya kampanye itu, sampai-sampai ‘hasil-hasil penelitian’ menyangkut pentingnya susu itu ‘diimpor’ oleh berbagai negara untuk juga disampaikan pada masyarakatnya.

Indonesia juga termasuk negara yang ikut mengimpor ‘hasil penelitian’ itu, dan kemudian mendoktrin rakyatnya tentang betapa pentingnya susu bagi kesehatan mereka. Dan ajaran yang diambil dari ‘hasil penelitian’ para dokter di Amerika itu pun lalu diajarkan di sekolah-sekolah, dan kita menjadi salah satu murid di sekolah-sekolah itu yang mendengar bagaimana guru kita di depan kelas dengan penuh jumawa mengatakan, “Susu sangat baik bagi kesehatan!”

‘Penelitian’ yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan keuntungan materi itu tentu saja telah di-counter oleh berbagai dokter dan para peneliti lain yang jujur dan masih memegang nilai-nilai idealisme profesinya. Tetapi apakah suara mereka kemudian didengar? Mereka juga telah menghasilkan setumpuk penelitian menyangkut bagaimana berbahayanya susu bagi kesehatan, namun suara mereka menjadi suara minor karena kalah dengan suara yang didukung oleh dana yang luar biasa besar dari para kapitalis dan pemerintah.

Para dokter dan para peneliti yang jujur dan berintegritas itu hanya mampu menyampaikan suara mereka melalui buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah, tetapi siapa yang mau repot-repot membeli buku dan mempelajari jurnal kesehatan yang membosankan?

Sementara suara dari para dokter yang dibiayai oleh para kapitalis diiklankan melalui televisi, di majalah dan di koran-koran, dan masyarakat—dari yang awam sampai yang bukan awam—begitu mudah melihatnya, dan mereka begitu mudah mempercayainya. Siapa yang tak percaya pada dokter yang masuk televisi? Maka masyarakat pun semakin yakin bahwa susu memang baik untuk kesehatan—dan produk susu dari tahun ke tahun pun terus meningkat penjualannya, dan masyarakat terus saja membelinya meski harganya terus naik dan terus naik.

Hari ini, ada begitu banyak iklan menyangkut susu—untuk konsumsi anak-anak sampai untuk orang tua—di televisi atau di media-media lainnya, yang melibatkan dokter dan artis-artis terkenal, namun tidak ada satu pun dari kita yang mau mempertanyakan keabsahan dan kebenaran iklan-iklan itu.

Lanjut ke sini.

 
;