Senin, 21 Juni 2010

A Perfect Dream

Nyanyian ‘paling indah’ yang pernah didengarkan telinga manusia adalah nyanyian hegemoni. Nyanyian bernama hegemoni itu terus mendayu-dayu dalam setiap lingkup dan sudut kehidupan kita, melenakan akal kita pada segala kemapanan yang ada di depan mata. Dan, daripada pusing-pusing memikirkannya, kita pun kemudian ikut-ikutan mendendangkan nyanyian itu.

Kadang-kadang, ada orang-orang yang mencoba mengkritisi hegemoni dan mempertanyakannya. Tetapi, orang-orang yang menjadi budak hegemoni (yang jumlahnya jauh lebih banyak), selalu berusaha membungkam orang-orang itu dengan berbagai macam tuduhan, dari anti kemapanan sampai perusak stabilitas lingkungan.

Orang-orang yang mempersoalkan hegemoni akan dianggap sinting, gila, setidaknya akan dianggap aneh atau tidak sama dengan orang-orang lain. Akibatnya, daripada dianggap gila, orang itu pun lalu memilih untuk ikut-ikutan gila, setidaknya pura-pura gila, dan memilih untuk diam saja. Bukankah kumpulan orang gila selalu menganggap orang yang tidak gila adalah orang gila?

Dan inilah yang telah diramalkan pujangga Ronggowarsito dalam salah satu seratnya sekian puluh tahun yang lalu, saat ia menulis dengan hati yang patah, tentang suatu zaman di mana tidak ada lagi kesadaran bernama kewarasan, karena yang ada hanya kumpulan orang-orang gila, wong-wong edan.

Zaman edan yang ditulis Ronggowarsito adalah zaman di mana manusia memilih menjadi gila, karena apabila dia masih waras dia akan dianggap gila. Zaman edan adalah zaman ketika manusia tak berani menjadi waras dan sadar untuk menghadapi kenyataan yang sesungguhnya, tetapi memilih untuk menjadi edan dan gila dalam buaian mimpi-mimpi indah, dalam pelukan harmoni hegemoni.

....
....

Orang-orang tertidur dalam gerbong kereta. Orang-orang bermimpi dalam gerbong kereta. Mereka memiliki aneka tujuan yang berbeda-beda, mereka memiliki harapan yang berbeda-beda. Satu-satunya hal yang sama dalam diri mereka adalah; mereka memiliki satu tujuan, dan berharap serta yakin bahwa kereta yang mereka tumpangi akan mengantarkan mereka pada tujuan itu.

Perjalanan masih jauh, dan mereka tahu itu. Lalu, karena berpikir bahwa perjalanan masih jauh, maka mereka pun terlena, lalu memilih untuk menyelonjorkan kaki, kemudian memejamkan mata untuk terlelap dalam tidur.

Dalam tidur itu, mereka mendapatkan mimpinya masing-masing yang indah, yang semakin melenakan mereka dalam tidurnya. Tidur di atas kursi kereta eksekutif yang empuk dan nyaman serta dihembus buaian AC yang sejuk, ditambah lagi oleh mimpi-mimpi indah yang melenakan, mereka pun mabuk dan melayang ke langit tujuh, menyanyikan A Perfect Dream, Mimpi Yang Sempurna. Dan itulah hegemoni, itulah mimpi yang sempurna!

Sementara itu, gerbong kereta yang mereka tumpangi itu berhenti, dan tak seorang pun menyadarinya, karena semua masih terlena dalam tidur dan mimpinya masing-masing. Mereka masih yakin seyakin-yakinnya bahwa kereta masih terus berjalan mengangkut gerbong-gerbong mereka, untuk mengantarkan mereka pada tujuannya masing-masing.

Gerbong kereta berhenti, sementara mereka masih terus percaya diri. Gerbong kereta berhenti, sementara mereka masih asyik terbuai mimpi.

Kemudian, seorang penumpang terbangun dan menyadari bahwa gerbong kereta mereka berhenti. Setelah mengucak matanya, dia melongok ke jendela, dan melihat bahwa ternyata gerbong kereta mereka berhenti tepat di atas rel yang melintas di tengah hutan, sementara hujan turun, sedangkan semua penumpang tengah tertidur. Dia panik, dan dengan sekuat tenaga berteriak membangunkan orang-orang dalam gerbongnya agar mereka segera menyadari bahwa gerbong mereka macet di tengah hutan.

Orang-orang yang tengah tertidur dalam gerbong itu tak peduli, dan masih terus tertidur dengan mimpinya masing-masing. Ada beberapa yang terbangun, tapi setelah menguap sebentar, mereka memandang aneh pada orang yang berteriak-teriak tadi, lalu kembali meneruskan tidurnya. Mereka masih meyakini bahwa kereta masih berjalan, dan gerbong masih terus melaju. Mereka kembali tertidur, kembali melanjutkan mimpinya.

Ada lagi orang yang juga terbangun oleh teriakan orang tadi, dan dia pun mengucak matanya. Dia juga sempat memandang sejenak ke jendela, dan menyadari bahwa gerbong mereka berhenti, dan mereka berada di tengah-tengah hutan.

Tapi kemudian dia berpikir, buat apa meributkan hal itu? Toh orang-orang juga lagi enak-enaknya tidur? Dan, daripada membayangkan hal-hal menakutkan tentang keadaan di tengah hutan, lebih baik dia melanjutkan tidur dan meneruskan mimpi indahnya. Maka dia pun kembali menyelonjorkan kakinya, dan kembali memejamkan matanya untuk tidur lagi, serta pura-pura meyakini bahwa kereta masih berjalan, dan gerbong mereka masih terus melaju.

Ada pula beberapa orang yang merasa terganggu dengan teriakan orang tadi. Orang-orang itu segera bangun, dan langsung marah-marah. “Tutup mulutmu dan jangan mengganggu!”

Orang yang berteriak tadi menjawab, “Kereta kita berhenti. Gerbong kita di tengah hutan!”

“Kau hanya bermimpi! Gerbong ini masih berjalan. Lanjutkan saja tidurmu, dan lanjutkan mimpimu!”

“Saya tidak bermimpi! Gerbong ini benar-benar berhenti! Dengar, tidak ada suara mesin yang terdengar. Gerbong ini benar-benar berhenti...!” Orang itu semakin panik.

Sementara orang yang marah itu tertawa mencibir, “Dasar wong ndeso! Kita sedang naik kereta eksekutif yang mahal! Suara mesin yang berisik itu tak kan terdengar dari dalam! Cepat lanjutkan saja tidurmu, dan jangan berpikir macam-macam! Kau sudah mengganggu orang-orang tidur...!!!”

Kenyataan paling purba dalam dasar diri manusia, adalah ketakutannya yang luar biasa terhadap kenyataan.

 
;