Rabu, 21 Juli 2010

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (4)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Selain orang-orang yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya, masih banyak orang lain yang juga mengidap “penyakit aneh” serupa—baik orang-orang terkenal ataupun orang-orang biasa, sesama kutu buku, dan… ya, termasuk saya. Saya juga harus mengakui mengidap “kegilaan mental” sebagaimana mereka, karena kecintaan pada buku.

Tujuan saya menulis post seputar objek ini hingga panjang lebar, sebenarnya untuk memberikan semacam penjelasan atas “ketidakjelasan mental” para kutu buku. Orang-orang yang bukan kutu buku mungkin heran dengan tingkah-laku para kutu buku yang sepertinya “tidak normal”. Seperti yang telah saya ceritakan di post sebelumnya, Muhamad Irvan memiliki buku dalam jumlah yang luar biasa banyak. Tetapi dia marah bukan kepalang hanya karena satu bukunya yang hilang.

Bagi orang biasa (bukan kutu buku), mungkin hal semacam itu akan dianggap tidak wajar. Bisa saja orang berpikir, “Dia memiliki buku banyak sekali. Kenapa harus marah-marah hanya karena satu buku yang hilang?”

Secara “logika” mungkin memang seperti itu. Tetapi cara berpikir para kutu buku tidak “serasional” itu. Jumlah buku yang dimiliki para kutu buku mungkin memang luar biasa banyak. Tetapi jangan lupa, di antara sekian banyak buku yang mereka miliki, semua judul dan edisinya BERBEDA.

Artinya, jika satu buku miliknya hilang, bagi mereka yang hilang itu bukan satu buku, tetapi satu judul, satu koleksi, satu cinta. Mungkin tidak akan terlalu masalah jika buku yang hilang itu masih tersedia di toko dan masih bisa diperoleh kembali, karena artinya mereka masih dapat mengganti buku yang hilang. Tetapi jika buku yang hilang kebetulan sudah tidak terbit lagi, rasa kehilangan yang mereka rasakan tak jauh beda dengan kehilangan seorang kekasih.

Jika yang saya paparkan ini terdengar berlebihan, cobalah tanyakan pada temanmu yang juga kutu buku. Tidak ada yang lebih menyedihkan bagi seorang kutu buku selain mendengar kabar bukunya hilang karena dipinjam. Jangankan hilang, bahkan buku yang rusak pun sudah cukup membuat para kutu buku merasa “patah hati”. Kalau kita meminjam buku dari orang yang bukan kutu buku, hilangnya buku mungkin bukan masalah besar. Tetapi jika kita meminjam buku dari seorang kutu buku, hilangnya buku akan jadi masalah segawat perang.

Sebenarnya, kecintaan orang pada buku sebagaimana yang saya paparkan di atas tak jauh beda dengan bentuk kecintaan orang pada benda-benda lainnya. Ada orang yang sangat tergila-gila pada bonsai, umpamanya, atau merpati balap. Orang-orang itu menghabiskan uang tak terhitung banyaknya—bahkan terkadang sampai milyaran—hanya untuk benda-benda itu.

Sekilas mungkin memang tak masuk akal. Kita mungkin saja berpikir orang-orang itu “tidak waras” karena mau-maunya menghabiskan banyak uang hanya untuk “hal-hal sepele” seperti itu. Tetapi, well, itulah CINTA. Cinta menembus batas rasionalitas.

Begitu pula kecintaan orang terhadap buku. Mereka pun telah keluar dari batas rasionalitas, karena cinta yang mereka miliki terhadap buku. Ini adalah cinta yang tak dapat dijelaskan, kecuali jika kita juga memiliki rasa cinta yang sama. Jika ada dua kutu buku bertemu, mereka akan dapat saling memahami rasa cinta yang sama-sama mereka miliki terhadap buku—tetapi orang yang bukan kutu buku akan sulit memahaminya.

Nah, yang kadang jadi masalah di sini, buku dianggap sebagai barang yang bisa dipinjam seenaknya. Bagi orang yang bukan kutu buku mungkin memang begitu. Orang meminjam atau meminjamkan buku adalah hal biasa. Tetapi tidak seperti itu bagi para kutu buku. Ingat selalu, bagi para kutu buku, buku bukan sekadar benda koleksi—buku adalah sebentuk cinta. Saya ulangi, bagi para pecinta buku, BUKU ADALAH SEBENTUK CINTA.

Karena buku adalah sebentuk cinta, maka mereka pun menjaganya sepenuh hati, dengan sekuat tenaga. Jika kita meminjam buku dari seorang kutu buku, maka kita pun harus memperlakukan buku miliknya sebagaimana dia memperlakukan buku miliknya. Yang sering menjadikan para kutu buku terkesan “pelit” meminjamkan buku-bukunya adalah karena kenyataan orang yang meminjam tidak bisa menjaga dan merawat buku sebaik dia menjaganya.

Umberto Eco, seorang ilmuwan dan pakar semiotika yang diakui secara internasional, memiliki 36.000 (tiga puluh enam ribu) buku dalam koleksi perpustakaan pribadinya. Tetapi dia tidak mengizinkan orang lain meminjam bukunya. Jika ada orang yang membutuhkannya, orang itu harus membaca bukunya di ruang perpustakaan dan tidak boleh membawanya keluar.

Apakah Umberto Eco pelit? Bagi orang yang bukan kutu buku, mungkin hal semacam itu akan terkesan pelit. Tetapi bagi para kutu buku, perilaku Umberto Eco adalah hal wajar—sebentuk kecintaan dalam menjaga buku-buku miliknya. Nah, kalau Umberto Eco yang memiliki 36.000 buku saja masih merasa berat meminjamkan bukunya, apalagi para kutu buku lain yang “hanya” memiliki seribu atau dua ribu buku?

Ini bukan soal pelit atau murah hati—ini soal cinta. Sekali lagi, hal semacam ini memang sulit dipahami orang yang bukan kutu buku. Tetapi cobalah bayangkan ilustrasi ini.

Kau punya teman yang tergila-gila pada bonsai. Temanmu menghabiskan uang sampai puluhan juta untuk bonsai-bonsai koleksinya, dan ia merawat serta menjaga bonsai-bonsai itu dengan sepenuh hati, sepenuh cinta. Nah, suatu hari, dengan alasan untuk dapat menikmati bonsainya, kau bermaksud meminjam salah satu bonsai milik temanmu. Apakah mungkin temanmu akan mengizinkannya?

Meminjam bonsai…? Mungkin terdengar konyol. Tetapi kenyataan semacam itu pula yang terjadi kalau kita meminjam buku dari seorang pecinta buku. Sama-sama terdengar konyol.

Bagi orang yang bukan pecinta bonsai, mungkin bonsai hanya bagian dari koleksi tanaman. Kalau bonsai itu rusak atau hilang, mungkin dia tak akan terlalu berduka, karena masih memiliki tanaman lainnya, atau dia bisa membeli koleksi bonsai lainnya. Tetapi bagi pecinta bonsai sejati, ia tak hanya sekadar benda koleksi, tetapi lebih merupakan kecintaan. Bagi seorang pecinta, apa pun yang dicintainya bukan sekadar “benda”, melainkan “wujud cinta”.

Di acara-acara pameran buku besar, semisal Jakarta Book Fair, kita mungkin sudah biasa menyaksikan orang-orang yang datang ke acara itu dengan membawa tas gunung atau ransel besar. Sewaktu mereka datang, tas-tas itu masih kosong. Tetapi sewaktu pulang, tas-tas mereka sudah penuh terisi buku.

Di Frankfurt bahkan lebih “parah” lagi. Setiap kali pameran buku internasional diadakan di Frankfurt, orang yang datang ke sana tidak lagi membawa ransel atau tas gunung, tetapi pick up. Sewaktu datang, pick up mereka masih kosong. Sewaktu pulang, pick up mereka nyaris tak kelihatan karena tertimbun buku.

Bagi orang yang bukan kutu buku, perilaku membeli buku sebanyak itu mungkin akan dianggap aneh. Buat apa membeli buku sebanyak itu? Tetapi bagi para kutu buku, buku-buku yang mereka dapatkan itu tidak hanya bernilai sebagai benda, melainkan lebih menyerupai harta karun.

Masih ingat cerita tentang Bung Hatta yang saya tuliskan di post sebelumnya? Bagi Bung Hatta, buku bukan hanya sekadar benda koleksi—buku adalah cinta. Jika kau melukai bukunya, kau telah melukai hatinya. Bahkan bagi para pecinta buku, perlakuan yang tidak baik terhadap buku pun dapat melukai perasaan mereka—tak peduli milik siapa pun buku itu.

Ada seorang teman (saya tak perlu menyebutkan namanya), yang putus dengan pacarnya gara-gara si pacar membanting buku di hadapannya. “Itu perilaku yang tak bisa dimaafkan,” katanya. “Jika dia membanting ponsel atau benda lain karena marah, mungkin aku masih bisa memaafkan. Tetapi melempar buku… ya Tuhan, itu perilaku manusia tak beradab. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan orang semacam itu.”

Sekali lagi, buku mungkin bagian dari bentuk benda—tak jauh beda dengan benda lainnya yang ada di dunia. Tetapi bagi para pecintanya, buku adalah wujud cinta.

Kalau boleh menggunakan analogi yang sedikit kurang ajar, ini sebenarnya tak jauh beda dengan diri kita—kau, ataupun saya. Bagi manusia yang lain, mungkin saya hanyalah manusia biasa, tak jauh beda dengan manusia lainnya. Tetapi bagi pacar saya, diri saya bukan hanya sekadar manusia sebagai manusia, melainkan wujud cintanya. Pacar saya bisa ngambek tujuh hari tujuh malam jika dia memergoki saya dipeluk cewek lain—apalagi kalau saya sampai “dirusak” oleh cewek itu. :D

Karenanya, sekali lagi, bagi para pecinta buku, sebuah buku bukan hanya sebentuk benda bernama buku—ia adalah wujud cinta. Jika kita bisa memahaminya, itu sungguh baik. Tetapi jika kita tidak bisa memahaminya, well, cinta memang terkadang tak bisa dipahami. Jadi maklumi saja.

Dan para kutubuku akan mewarisi bumi.
Bill Gates

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Kisah “mengharukan” yang terjadi pada Fettima menyangkut buku, tidak hanya sebatas itu. Ada kisah lain yang tak kalah mengharukan.

Seperti yang sudah saya ceritakan di post sebelumnya, Fettima sangat mencintai buku-bukunya, dan ia pun selalu merawat, menjaga, dan memelihara buku-bukunya dengan baik. Tiga bulan sekali, secara rutin, Fettima akan mengeluarkan buku-bukunya dari ruang perpustakaan untuk diangin-anginkan. Kegiatan itu sebagai bagian perawatan terhadap buku-buku yang disayanginya, agar buku-buku itu tidak lembab sehingga mudah rusak.

Nah, Minggu pagi itu, Fettima pun menjalankan kebiasaan rutinnya. Ia keluarkan koleksi bukunya yang luar biasa banyak dari ruang pepustakaan, kemudian dibawanya ke ruang tengah yang mendapat pantulan sinar matahari. Sambil menunggu buku-bukunya “berjemur”, Fettima membersihkan ruang perpustakaan yang telah kosong. Biasanya acara rutin itu berjalan dengan baik. Tetapi hari itu suatu “malapetaka” yang tak terbayangkan terjadi.

Hari itu seorang familinya menikah, dan seluruh keluarga Fettima sudah berada di rumah si famili sejak kemarin. Fettima hampir lupa pada acara pernikahan familinya kalau saja adiknya tidak menelepon. Menjelang dhuhur, Fettima ditelepon dan diminta agar segera datang ke tempat resepsi. Maka Fettima pun segera berkemas. Ia harus segera datang ke acara resepsi itu. Bukan hanya untuk menghadiri resepsinya, tetapi juga untuk mambantu-bantu sebagai famili.

Tanpa menghiraukan buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah, Fettima meninggalkan rumahnya untuk pergi ke acara resepsi familinya. Dia tidak merasakan firasat buruk apa pun, karena selama ini tak pernah ada kejadian buruk yang menimpa buku-buku yang dicintainya. Tetapi rupanya ia salah sangka….

Sore hari, saat Fettima masih sibuk di acara resepsi perkawinan familinya, hujan turun dengan lebat. Fettima tidak terlalu merisaukan, karena waktu itu memang sedang musim penghujan. Tetapi, malam harinya, ketika ia beserta keluarganya telah pulang kembali ke rumah, barulah Fettima tahu bahwa hujan yang tadi turun telah merenggut cinta terbesarnya dalam hidup.

Saat melangkah ke ruang tengah dan melihat buku-bukunya, Fettima menjerit histeris dan menangis melolong-lolong. Apa yang terjadi? Buku-bukunya yang masih tertumpuk di ruang tengah itu kini dalam keadaan basah-kuyup mengenaskan. Air ada di mana-mana, membasahi lantai, membasahi buku-bukunya, dan Fettima pun terduduk di depan buku-bukunya sambil menangis pilu.

Selama ini, hujan memang tak pernah menjadi masalah bagi Fettima ataupun buku-bukunya, karena genteng rumahnya tidak ada yang bocor. Tetapi, entah kenapa, hari itu rupanya ada genteng yang terlepas, dan entah kenapa pula kebocoran itu tepat berada di bagian ruang tengah, tepat ketika Fettima sedang meletakkan buku-bukunya di sana. Air hujan yang deras pun kemudian mengalir masuk karena kebocoran itu, dan alirannya membasahi buku-bukunya tanpa ampun. Seluruh keluarga Fettima sudah mencoba menyabar-nyabarkannya atas tragedi itu, tetapi Fettima terlanjur berduka.

“Maafkan aku… Maafkan aku…” ucap Fettima berulang-ulang kepada buku-bukunya yang kini basah dan rusak, seperti seorang ibu yang menyesal karena telah membuat anak yang disayanginya terluka.

Keesokan harinya, genteng yang bocor sudah dibereskan, tetapi Fettima tak bisa mengobati luka hatinya. Kebocoran itu telah merusakkan buku-bukunya. Memang tidak semua buku yang terkena air itu rusak, dan Fettima pun berupaya mengeringkan buku-buku yang masih bisa diselamatkan. Tetapi kondisi buku-buku itu tak bisa lagi semulus sebelumnya—dan Fettima tetap saja merasa terluka.

Berbulan-bulan semenjak kejadian itu, Fettima mengaku dia sempat “ngambek” kepada Tuhan—ia tak habis pikir kenapa Tuhan harus menurunkan hujan pada waktu itu, tepat ketika genteng rumahnya bocor, dan buku-bukunya sedang ada di bawah tempat kebocoran itu. Kenapa tidak di waktu lain saja, pikir Fettima.

Sekarang, Fettima memang sudah belajar untuk berbesar hati menerima tragedi itu, ia telah berusaha untuk mengikhlaskan buku-bukunya yang telah hilang karena air hujan, tetapi ia tak pernah berhenti bertanya pada Tuhan kenapa tragedi itu harus terjadi. Entah bercanda atau tidak, dia menceritakan bahwa setiap kali berdoa, ia tak pernah lupa untuk bertanya, “Tuhan, aku menyadari dan percaya, selalu ada hikmah di balik setiap musibah. Tetapi aku tetap belum paham hikmah apa yang ingin Kau berikan kepadaku atas musibah yang menimpa buku-bukuku.”

Hari ini, Fettima masih terus berupaya untuk dapat menggantikan buku-bukunya yang telah hilang. Dan saya pun ikut berdoa semoga ia segera menemukan hikmah tersembunyi yang dicari-carinya. Mungkin saja hikmah itu ada dalam rahasia tersamar di balik genteng yang bocor, atau mungkin di sebuah halaman buku yang masih dimilikinya, atau bisa saja ada di sebuah lembar buku baru yang akan dibacanya.

Lanjut ke sini.

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.

***

Teman saya, Ferry Agustian, bekerja sebagai jurnalis. Pekerjaannya itu cocok benar dengan kecintaannya pada aktivitas membaca dan mengoleksi buku. Kemana pun dia pergi ke luar kota—karena tuntutan pekerjaan—dia tak pernah melewatkan satu kota pun tanpa mampir ke toko atau tempat penjualan buku. Struk belanjanya lebih banyak berisi daftar judul buku daripada barang lainnya.

“Aku bisa enjoy menghabiskan satu atau dua juta sekaligus untuk membeli buku,” ujar Ferry terus-terang, “tetapi aku bisa menyesal semalam suntuk bila menghabiskan uang tiga ratus ribu untuk membeli baju.”

Pernyataan Ferry itu juga saya dengar dari para kutu buku lain, yang juga tergila-gila pada buku. Karena sudah sangat biasa mendengar pernyataan semacam itu, saya pun kadang berpikir bahwa mungkin karena kenyataan semacam itulah yang menjadikan para kutu buku biasanya memiliki penampilan lusuh—karena mereka lebih suka menggunakan uangnya untuk membeli buku daripada dihamburkan untuk beli baju.

Nah, Ferry punya teman lain yang juga kutu buku, bernama Muhamad Irvan. Si Irvan ini juga sama “gilanya” seperti Ferry dalam hal buku. Bedanya, Irvan masih mau “membuang-buang” duit untuk beli baju, sehingga koleksi bajunya juga cukup banyak sebagaimana koleksi bukunya. Tetapi, dalam hal buku, Irvan juga tak jauh beda dengan para kutu buku lainnya—sama-sama mengidap “kegilaan”.

Seorang teman pernah meminjam buku milik Irvan. Sebagaimana para kutu buku lainnya, Irvan merasa berat hati meminjamkan bukunya. Tetapi karena perasaan tidak enak, Irvan pun mengizinkan. Nah, sialnya, buku yang dipinjam itu kemudian hilang. Si teman mengaku kalau buku itu tadinya ia letakkan di meja di ruang tamu rumahnya, dan kemudian salah seorang tamu yang datang mungkin meminjam buku itu tanpa sepengetahuannya.

Irvan marah bukan kepalang. Dia memberi waktu tenggang sampai dua bulan untuk mengembalikan buku itu—bagaimana pun caranya. “Kalau kamu meminjam baju atau celanaku,” kata Irvan, “aku tak peduli kalau baju atau celana itu hilang, atau kamu jual, atau kamu berikan pada orang lain. Semahal apa pun baju dan celana, aku masih bisa membelinya lagi. Tetapi buku belum tentu bisa ditemukan lagi!”

Ucapan Irvan itu terbukti benar. Sampai habisnya waktu tenggang yang diberikannya, bukunya tetap belum kembali juga. Orang yang meminjam itu sudah mengusahakan untuk menggantinya dengan mencari buku tersebut ke toko-toko buku di berbagai tempat, bahkan sampai ke luar kota, tetapi hingga berbulan-bulan kemudian, buku itu tetap tak bisa ditemukannya. Hubungan Irvan dengan orang itu pun retak.

Sampai saya menulis kisah ini, buku milik Irvan tetap belum dikembalikan—padahal hilangnya buku itu sudah lebih dari empat tahun yang lalu. Dan gara-gara insiden itu pula, Irvan kemudian memasang tulisan besar-besar di dinding pepustakaan pribadinya, berbunyi, “MEMINJAM BUKU ADALAH PERBUATAN YANG TERCELA”.

Lain Irvan, lain Fettima. Fettima adalah sohib saya yang bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Dia juga seorang kutu buku sejati yang juga mengidap “penyakit aneh” serupa. Di rumahnya, dia memiliki perpustakaan pribadi yang selalu dirawatnya dengan penuh kasih sebagaimana seorang ibu merawat anak-anaknya. Secara rutin ia membersihkan rak-rak bukunya, memberikan sampul plastik yang bersih dan bening untuk buku-buku koleksinya, dan tak pernah lupa menaruh kapur barus di dekat buku-bukunya agar dijauhkan dari api neraka, eh, dari ngengat yang jahat.

Dulu, waktu masih SMA, Fettima pernah membeli buku (novel) karya John Grisham, berjudul “The Firm”. Grisham adalah salah satu novelis favoritnya. Nah, suatu hari buku itu dipinjam seorang temannya. Singkat cerita, buku itu kemudian hilang. Mendengar bukunya hilang, Fettima langsung menangis sesenggrukan seperti gadis ABG kehilangan pacar. Parahnya lagi, si teman itu tak bisa mengganti buku yang telah dihilangkannya.

Tak perlu saya ceritakan bagaimana hancurnya hati Fettima atas kehilangan bukunya itu. Sampai kemudian, lima tahun setelah hilangnya buku itu, Fettima bersama kawannya, Anisa, pergi ke Cirebon untuk suatu keperluan. Di Cirebon, mereka mampir ke toko buku Gunung Agung. Di sana, Fettima maupun Anisa asyik mencari buku sendiri-sendiri.

Sekitar satu jam kemudian, Anisa sudah selesai dengan belanjanya, dan mulai mencari-cari Fettima di toko buku yang luas itu. Di salah satu sudut, Anisa melihat beberapa pramuniaga toko sedang mengerumuni sesuatu. Merasakan perasaannya tidak enak, Anisa segera mendekat ke kerumunan itu, dan seketika dia berdebar-debar tak karuan. Para pramuniaga itu sedang menenangkan Fettima yang sedang menangis tersedu-sedu sampai tak mampu bicara!

Ada apa dengan Fettima, pikir Anisa dengan risau. Dia segera mendekat dan memeluk sahabatnya itu, dan ikut menenangkannya. Dalam hati, Anisa sempat membatin, apakah mungkin ada cowok yang telah berbuat kurang ajar pada Fettima hingga dia menangis seperti itu? Ketika akhirnya Fettima bisa berkata-kata kembali, ucapan pertama yang dikatakannya adalah, “Selama lima tahun aku kehilangan buku ini… Sekarang buku ini kutemukan lagi di sini… Oh, Tuhan, terima kasih, Tuhan…”

Anisa kemudian melihat, ada novel karya John Grisham berjudul “The Firm” yang sedang dipeluk dalam dekapan Fettima. Buku yang masih terbungkus plastik itu telah basah oleh air mata Fettima yang sejak tadi menangisinya. Bagi Fettima, menemukan kembali bukunya yang hilang mungkin sama artinya dengan menemukan kembali anaknya yang pernah hilang.

Lanjut ke sini.

“Penyakit Aneh” para Kutu Buku (1)

Buku adalah harta karun yang ditinggalkan oleh para jenius besar
bagi umat manusia, yang diwariskan dari generasi ke generasi,
sebagai hadiah bagi mereka yang belum terlahirkan.
Joseph Addison


Para kutu buku memiliki “penyakit aneh”, atau semacam “gangguan mental” yang sulit disembuhkan. Saya tidak tahu apakah penyakit aneh ini memang menghinggapi semua kutu buku, ataukah hanya sebagiannya. Namun, sejauh yang saya tahu, para kutu buku yang saya kenal memang mengidap penyakit aneh atau gangguan mental satu ini.

Penyakit aneh atau gangguan mental yang saya maksudkan adalah semacam perasaan cinta yang amat kuat, hingga sampai pada tahap obsesif yang tak dapat dipahami akal sehat. Kalau ada kutu buku yang kebetulan membaca catatan ini, saya jamin dia pasti senyum-senyum. Namun, kalau kau kebetulan bukan kutu buku, maka saya ucapkan, “Selamat datang di dunia para kutu”.

Salah satu kutu buku hebat yang terkenal di negeri ini adalah Mohamad Hatta, wakil presiden pertama Indonesia. Siapa pun tahu, Bung Hatta adalah pelahap buku yang amat rakus. Kemana pun dia pergi ke sebuah negara, tempat pertama yang akan dicari dan dikunjunginya adalah toko buku. “Buku adalah temanku,” kata Bung Hatta, “selama aku memiliki buku, aku dapat tinggal di mana saja.”

Sebegitu cintanya Bung Hatta pada buku, sampai-sampai ada sebuah anekdot yang sering digunakan oleh Soekarno untuk mengolok-olok Bung Hatta. Tidak ada yang tahu apakah anekdot ini fakta atau hanya karangan Bung Karno sendiri, tetapi yang jelas presiden pertama Indonesia itu sering mengolok-olok wakilnya dengan kisah berikut ini.

“Suatu sore,” begitu cerita Bung Karno, “Hatta berada di sebuah angkutan umum dalam suatu perjalanan. Hanya ada dua penumpang—Hatta dan seorang gadis cantik yang tak dikenalnya. Di suatu tempat yang sepi, ban kendaraan pecah. Si sopir melepas ban yang pecah itu, kemudian pergi untuk menambalnya ke tempat terdekat. Hatta dan si gadis cantik tetap menunggu di dalam kendaraan. Dua jam kemudian, si sopir kembali—dan dia mendapati si gadis cantik tertidur lelap dalam jarak yang begitu jauh dari Hatta yang sedang asyik membaca buku!”

Tidak pernah jelas apakah kisah di atas itu memang benar-benar terjadi, ataukah hanya rekaan Bung Karno untuk mengolok-olok sahabatnya. Hanya saja, ada satu kisah yang benar-benar nyata, yang juga menunjukkan bagaimana kecintaan Bung Hatta yang luar biasa terhadap buku. Kisah ini terdapat dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan (1980).

Hari itu, salah satu keponakan Bung Hatta datang ke rumahnya. Si keponakan ini bernama Hasyim Ning. Di rumah Bung Hatta, Ning meminjam salah satu untuk dibacanya. Bung Hatta mengizinkan, dan Ning pun membaca buku itu dengan asyik.

Ketika kemudian buku tersebut dikembalikan, Bung Hatta melihat salah satu halaman buku itu ada yang terlipat. “Kau yang melipat halaman buku ini?” tanya Bung Hatta pada si keponakan.

“Iya,” jawab Ning. “Tadi, itu sengaja saya lipat untuk menandai halaman yang saya baca.”

Bagi “orang biasa”, mungkin jawaban Hasyim Ning di atas akan diterima dengan biasa, dengan lapang dada. Melipat halaman buku yang sedang dibaca adalah suatu hal yang amat wajar. Tetapi tidak bagi seorang kutu buku sejati seperti Bung Hatta. Begitu mendengar jawaban itu, Bung Hatta benar-benar marah. Dia bahkan meminta keponakannya untuk mengganti buku itu, karena Ning telah “memperlakukan buku itu dengan cara yang tidak semestinya”.

Melihat kemarahan Bung Hatta, Ning pun tak berani menolak. Ia segera pergi mencari buku yang dapat digunakannya untuk mengganti buku milik pamannya. Seharian penuh Ning berkeliling Jakarta, keluar masuk toko-toko buku hanya untuk mencari buku yang sama seperti milik pamannya yang telah ia “rusak”, tetapi tak satu pun toko buku yang menyediakannya. Yang tidak Ning tahu, buku yang dicari-carinya itu memang tidak tersedia di Indonesia, karena Bung Hatta membelinya di Belanda.

Sore hari, dengan tubuh letih setelah kepanasan dan pergi kesana-kemari, Ning kembali ke rumah pamannya dengan tangan hampa. Buku yang dicarinya tidak dapat ditemukannya, dan ia pun sudah bersiap menerima kemarahan pamannya.

Tetapi Bung Hatta hanya tersenyum. Baginya, keponakannya telah mendapatkan hukuman atas kesalahannya. Ketika Ning akhirnya kembali dan tak berhasil menemukan buku pengganti, Bung Hatta berkata, “Perlakukanlah bukumu sebagaimana kau memperlakukan benda-benda sakral.”

Apakah orang yang mengidap “penyakit aneh” semacam itu hanya Bung Hatta? Tidak, karena ternyata para kutu buku lainnya pun mengidap penyakit yang sama—baik di zaman dulu, ataupun di zaman sekarang.

Muhidin M. Dahlan, salah satu pendiri penerbit Indonesia Buku, memiliki semacam “penyakit aneh” atau “gangguan mental” karena kecintaannya yang amat besar kepada buku. Di rumahnya, dia mengoleksi banyak buku. Dia lebih suka buku-buku tebal, yang dapat berdiri kukuh karena disangga hardcover. Nah, kalau sedang iseng, dia suka menumpuk buku-bukunya yang tebal itu hingga berdiri menjulang, kemudian dipandanginya sendiri dengan takjub.

Bila merasa kurang cukup dengan memandanginya saja, dia pun akan memotret tumpukan buku-buku itu dari berbagai sudut. Setelah itu dia akan memandangi tumpukan buku-buku itu kembali, sambil berdecak-decak sendiri seperti orang gila.

Selain Muhidin M. Dahlan, masih banyak orang lain yang juga mengidap “penyakit aneh” serupa, karena kecintaan mereka yang luar biasa terhadap buku. Hanya saja, karena post ini sepertinya sudah cukup panjang, sebaiknya saya lanjutkan di post berikutnya.

Lanjut ke sini.

Catatan Tambahan Soal Pengiriman Naskah



Di post terdahulu, Mengirimkan Naskah pada Penerbit, saya sudah menjelaskan tata cara mengirimkan naskah kepada penerbit, namun rupanya ada yang ketinggalan—atau lupa saya tuliskan. Saya baru ingat waktu membaca email dari beberapa teman yang menanyakan, “Kalau mengirim naskah langsung ke kantor penerbitnya, nggak bisa ya?”

Oh ya, tentu saja bisa!

Jadi, selain cara mengirimkan naskah lewat pos atau email, kita juga bisa mengirimkan naskah langsung ke kantor redaksi penerbit yang kita tuju. Kalau umpama kau tinggal di Yogyakarta dan akan mengirimkan naskah ke penerbit yang ada di Yogyakarta, tentu saja kau bisa langsung membawa naskahmu ke kantor penerbit bersangkutan. Begitu pula kalau kau tinggal di Jakarta dan akan berkirim naskah ke penerbit yang beralamat di Jakarta—kau bisa langsung membawa naskahmu ke kantornya.

Apakah ada perbedaannya, antara mengirimkan naskah lewat pos dengan membawa langsung naskah ke kantor penerbit?

Secara prinsip sih tidak ada—ini hanya soal pilihan. Kalau naskahmu memang bagus dan penerbit itu tertarik, penerbit itu pun tetap akan menerbitkan naskahmu meski dikirimkan lewat pos. Begitu pula kalau penerbit yang kau tuju tidak berminat dengan naskahmu, tetap saja naskahmu tidak bisa diterbitkan meski kau membawanya langsung ke kantor mereka.

Hanya saja, mungkin ada beberapa keuntungan kecil yang bisa kita peroleh kalau mengirimkan naskah dengan datang langsung ke kantor penerbit. Misalnya, dengan datang dan bertemu langsung dengan redaksinya, kita bisa tanya-tanya mengenai naskah semacam apa yang mungkin sedang mereka inginkan, atau menanyakan hal-hal lain yang berhubungan dengan penerbitan naskah yang ingin kita tahu.

Jadi, soal mengirimkan naskah lewat pos atau datang langsung ke kantor penerbitnya, hanyalah soal pilihan—atau selera. Kau bisa memilih mana yang sekiranya cocok buatmu.

PS:
Kalau mungkin ada penjelasan lain yang sekiranya belum saya tuliskan (menyangkut cara pengiriman naskah ini), silakan kirim email lagi ke saya. Teng yu.


(Sebenarnya) Bukan Rahasia



Dan sebelumnya, untuk mengatakan kebenaran,
alasan dan sayang menjaga sedikit rahasia bersama saat ini.
William Shakespearre,
A Midsummer Night’s Dream


Oh la la… rumah! Oh lala… rumah! Ohlala… rumah! Hoya, hoya, rumah…! Hoya! Oh la la… Oh la la… rumah!

Siapa yang bilang tidak begitu? Siapa yang bilang? Rumah! Aku tahu, oh aku tahu. Rumah…! Bagaimana tidak? Bagaimana bisa dibilang tidak? Rumah! Ho ho ho…

Hoya, hoya…! Hoya, hoya, rumah! Oh lala, oh la la, rumah…!

Sebenarnya bukan rahasia, oh ya ya… bukan rahasia. Rumah!

Teriak, teriak, aku ingin berteriak… Oh, aku ingin… aku ingin mengatakannya, tapi dunia menyatakan itu tak perlu dikatakan… Tapi… rumah!

Oh la la, rumah! Ya ya ya, rumah…! Tak ada yang lebih dari itu, tak ada… Sungguh tak ada, sungguh… Rumah! Oh la la… Hoya, hoya, rumah…!

Hanya… hanya… Cuma… cuma… rumah! Oh la la… Oh lala… rumah! Rumah…!

Seperti apapun, pada akhirnya tetap saja… Ya ya, tetap saja… Oh lala, la la, tetap saja… Hoya, hoya, tetap saja… tetap saja… rumah! Rumah! Rumah…!

Oh lala… la… la…

Oh gunung, oh langit, oh taman-taman, oh rembulan, oh mega, oh apa lagi… Oh… lala… Oh la la… Senang, lagi senang menyanyi, aku senang membayangkannya. Ya ya, senang… Senang pada akhirnya mengetahui kembali ke rumah… oh, rumah!

Memang… rumah! Sungguh, oh sungguh, rumah!

Hoya…!


Cermin Retak Wajah Manusia

Kenyataan hari ini tak cukup memadai
untuk sekadar disesali
Tangis dan tawa lahir terlalu pagi

Di sini
di bawah langit yang sama
kemanusiaan bertanya-tanya:
di mana tempat kita di dunia?

—Goenawan Mohamad


World Trade Centre, 11 September 2001.

Pesawat yang telah dibajak oleh teroris itu melaju tanpa kendali, dan kemudian menabrak gedung WTC yang menjulang tinggi. Bunyi ledakannya serupa guntur, dan hantamannya yang teramat keras menciptakan lautan api yang segara berkobar. Beribu-ribu orang menjerit panik, ketakutan, sebagian mereka tewas terpanggang. Api kian menyala, asapnya membubung ke langit, meneriakkan pedih perih kemanusiaan yang dilukai.

Dunia menyaksikannya. Dunia menyaksikan ketika menara kembar WTC hancur-lebur menjadi debu di antara api yang berkobar—dan Amerika menangis sesenggrukan. Dunia menyaksikan kekejaman kemanusiaan itu, dunia menyaksikan bagaimana sekelompok orang memangsa dan membunuh manusia lainnya hanya demi sesuatu yang mereka anggap sebagai “kebenaran”.

Begitu pula kita.

Kita menyaksikan peristiwa berdarah itu di sini, melalui koran, televisi, internet, dan obrolan di warung kopi. Sementara ribuan orang tewas tertimpa reruntuhan dan terpanggang api, kita asyik menyaksikannya di depan televisi. Sementara sekian ribu orang menangis karena kehilangan keluarganya yang menjadi korban, kita begitu bergairah melihat foto-foto mereka di halaman koran. Sementara kemanusiaan sedang menangis, berduka dan merana, kita asyik mengobrolkannya seolah menceritakan sebuah acara kencan buta.

Apakah dunia menangis…? Apakah dunia menangis ketika Amerika menangisi warganya yang menjadi korban kebiadaban itu? Ironisnya, tidak. Dunia bahkan seolah bertepuk tangan atas tragedi itu, atau pura-pura bersimpati tapi kemudian senyum-senyum sambil bersyukur, atau bahkan diam-diam berharap semoga tragedi itu terulang kembali. Hancurnya WTC seperti menandai hancurnya Amerika, dan dunia seperti bergembira karenanya.

Begitu pula kita.

Media massa yang terbit di sini, yang memberitakan tragedi itu, memberitakannya tidak hanya dengan empati, tetapi juga dengan sentuhan humor yang tragik—seolah-olah “manusia” di Amerika berbeda dengan “manusia” di Indonesia.

Kita bersorak senang atas tragedi itu—diakui ataupun tidak. Kita bersuka ria atas tragedi kemanusiaan di Amerika, karena diam-diam selama ini kita merasa inferior di hadapan mereka, dan bersyukur melihat mereka dikalahkan. Orang-orang yang menjadi teroris atas tragedi itu bukan kawan kita, bukan sahabat kita, apalagi saudara kita. Tetapi hanya karena gerombolan teroris itu menghancurkan Amerika, tiba-tiba kita merasa telah menjadi saudaranya. Alangkah memedihkannya wajah kemanusiaan kita.

Saya tidak sedang membela Amerika. Jika ada pretensi, catatan ini adalah pembelaan atas kemanusiaan yang terluka, yang dilukai. Amerika hanya nama wilayah, dan saya tidak mempersoalkannya. Tetapi manusia-manusia yang menjadi korban kebiadaban tragedi itulah yang sekarang saya tangisi, yang ingin kembali saya tangisi. Mereka yang tewas dalam tragedi WTC sama dengan mereka yang tewas dalam tragedi bom di Bali—sama-sama manusia. Dan mereka yang menjadi teroris di WTC ataupun di Bali adalah musuh yang sama—musuh kemanusiaan.

Tetapi menangisi korban WTC sekarang mungkin sudah terlambat—sama terlambatnya menangisi korban kebiadaban bom di Bali. Tetapi ada satu hal yang tak pernah terlambat menyangkut semua tragedi itu—yakni menengok diri kita sendiri, melihat dengan jernih potret kemanusiaan kita sendiri.
Siapakah sesungguhnya kita ini…?

Jika kita menangisi para korban yang tewas dalam kebiadaban bom di Bali, apa bedanya manusia yang tewas di sana dengan yang terbunuh di WTC Amerika? Jika kita mengutuk perilaku pembunuh yang ada di Bali, kenapa kita ragu untuk melakukan hal sama ketika pembunuh yang sama melakukan hal sama di Amerika?

Jangan-jangan, yang kita tangisi sesungguhnya bukanlah kemanusiaannya, melainkan tempat kejadiannya. Jangan-jangan, yang kita kutuk bukanlah para pelakunya, melainkan tempat perbuatannya.

Kita mungkin terlalu rendah diri, sekumpulan orang yang selalu saja merasa inferior ketika berhadapan dengan Amerika yang superior. Dan kemudian, ketika Sang Superior itu dihancurkan, kita pun bertepuk tangan, merasa menang… meski mungkin sambil pura-pura menangis sesenggrukan. Diam-diam kita berharap akan ada sekumpulan teroris lain yang meneror Amerika. Diam-diam kita berharap akan ada tragedi yang sama terjadi di sana. Diam-diam, kita bahkan bersyukur ada yang melakukan kekejaman semacam itu atas manusia di sana.

Apa, atau siapakah, diri kita sebenarnya…?

Yang tidak menangisi tragedi kemanusiaan bukanlah manusia—tak peduli di mana pun tempatnya. Manusia tidak pernah memilih di tempat mana ia ingin dilahirkan—tak peduli di Indonesia, ataupun di Amerika. Manusia lahir dan muncul di atas bumi sebagai makhluk yang sama, hanya dipisahkan oleh batas teritorial yang diciptakan oleh manusia sebelumnya. Tetapi batas teritorial bukanlah batas kemanusiaan, batas wilayah bukan berarti manusia berbeda. Matinya manusia di sini adalah sama dengan matinya manusia di sana.

Siapakah diri kita sesungguhnya…? Atau, lebih tepat lagi, apa sebenarnya yang ada di dalam hati kemanusiaan kita? Sebegitu rendahkah kita menilai diri sendiri, sehingga lebih memilih untuk tertawa jika sebuah tragedi berlangsung di jauh sana? Sebegitu rendahkah nilai kemanusiaan kita, sehingga diam-diam kita bersyukur ketika tragedi kemanusiaan itu terjadi pada manusia yang lainnya? Sebegitu inferiorkah kita terhadap Amerika, sehingga kita berubah seperti anak-anak yang kegirangan ketika apa pun saja yang buruk melanda mereka…?

....
....

Saya tahu, catatan ini mungkin terkesan berlebihan. Tetapi cobalah telusuri silsilah dalam keluargamu, apakah ada di antara mereka yang memiliki hubungan dekat, atau setidaknya kerabat, dengan Barack Obama? Tidak ada…? Lalu mengapa kita ikut bersorak-sorai ketika dia menjadi Presiden Amerika, hanya karena dia dulu pernah hidup di Jakarta? Apakah itu tidak sama berlebihannya?

Cermin, cermin di dinding, lihatlah kemanusiaan kita.

Anak Indonesia



Saya bukan siapa-siapa
Tapi saya anak Indonesia
Itu sudah hebat bagi saya


Orang-orang Baik



Masih ada orang-orang baik di dunia ini
Orang-orang yang tetap berbuat baik
Bahkan pada mereka yang tidak dikenalnya

Masih ada orang-orang baik di dunia ini
Orang-orang yang mengulurkan tangan kanan
Dan membiarkannya tak kelihatan

Masih ada orang-orang baik di dunia ini
Orang-orang yang mungkin tak terkenal
Atau yang tidak dikenal
Atau yang memang tak ingin dikenal

Kupikir… aku sering berpikir
Karena merekalah bumi masih berputar
Mentari masih bersinar, bulan masih terlihat
Dan langit tetap tak butuh tiang

Aku berharap agar diberi kesempatan
Semoga menjadi bagian dari mereka


Minggu, 18 Juli 2010

6 Pertanyaan Seputar Buku



Berikut ini adalah enam pertanyaan seputar buku yang dikirim teman-teman ke email saya. Enam pertanyaan berikut ini saya ambil dari sekian banyak pertanyaan lain yang telah bertumpuk-tumpuk. Sengaja saya posting di sini agar jawabannya bisa dilihat teman-teman lain yang mungkin juga ingin menanyakan hal yang sama. Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya akan muncul di post yang lain.

***

Saya berencana menulis skripsi mengenai Umberto Eco. Berapa kira-kira jumlah novel yang pernah ditulis Umberto Eco, untuk dapat saya jadikan referensi?

Sebenarnya, Umberto Eco bukan penulis novel. Dia seorang intelektual yang memfokuskan diri pada bidang ilmu semiotika, jadi buku-buku yang ditulisnya pun kebanyakan buku-buku semiotika. Satu-satunya novel yang pernah ditulisnya hanya “Il nome della Rosa” (edisi bahasa Inggrisnya berjudul “The Name of The Rose”). Karena novel ini sangat terkenal, banyak orang yang menyangka kalau Umberto Eco spesialis pengarang novel.


Saya tertarik membeli novel “Lolita” yang ditulis oleh Vladimir Nabokov, terus-terang karena ada kata-kata di sampulnya yang berbunyi, “Satu di antara tiga novel paling berpengaruh di dunia”. Tetapi, setelah saya membaca isinya, saya sama sekali tidak paham dengan kisahnya, bahkan saya tidak bisa menganggap novel itu bagus. Jadi, atas dasar apa sebenarnya novel itu bisa sampai dipuji-puji setinggi langit?

Lolita memang termasuk novel berat, sehingga tidak setiap orang dapat mengapresiasinya secara mudah. Itu bukan jenis novel yang dapat dinikmati dengan enjoy, melainkan sebuah bacaan yang membuat kening terus-menerus berkerut. Ceritanya tidak ditulis dengan bahasa yang mudah, tetapi menggunakan kiasan dan sederet metafora yang terkadang sulit dipahami.

Karenanya, sungguh sangat wajar kalau pembacanya ada yang tidak bisa menikmatinya (mengapresiasinya). Kalau kemudian novel ini dipuji setinggi langit—sebagaimana yang kamu katakan—itu tak jauh beda dengan musiknya Mozart atau Beethoven. Para ahli tahu kalau musik-musik mereka berkualitas tinggi, tapi tidak setiap orang dapat menikmati atau memahami kehebatannya. Well, sepertinya kita masih perlu banyak belajar lagi, ya?


Saya pernah membaca novel yang ditulis Dyan Sheldon. Apakah orang ini anak atau keturunan Sidney Sheldon?

Setahu saya, anak Sidney Sheldon yang juga menulis buku adalah Mary Sheldon, pengarang novel “Perhaps I’ll Dream of Darkness”. Jika Dyan Sheldon yang dimaksud di atas adalah pengarang novel “My Perfect Life” dan “Confessions of a Teenage Drama Queen” (coba cek lagi novel yang kamu baca), saya tidak yakin itu anak atau keturunan Sidney Sheldon.


Saya sangat ingin sekali bisa membaca buku-buku karya Shakespearre atau Charles Dickens, ataupun penulis-penulis besar dunia lainnya. Hanya saja, saya sangat sulit menemukan buku-buku terjemahan mereka di Indonesia. Dimana kira-kira saya bisa menemukan karya-karya terjemahan mereka? Atau, kalau mungkin kamu tahu, penerbit mana yang pernah menerbitkan edisi terjemahan karya-karya mereka?

Buku-buku sastra yang ditulis Shakespearre atau Charles Dickens (ataupun penulis ‘sejenis’ lainnya) memang jarang diterjemahkan ke dalam bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Biasanya, buku-buku tersebut tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya, meski dijual dan diedarkan di negara lain. Hal itu dilakukan dengan tujuan menjaga orisinalitas karya-karya besar tersebut, sekaligus menghindarkan ‘kekacauan’ atau bahkan ‘kerusakan’ bahasa yang digunakan di dalamnya.

Sangat sulit untuk dapat menerjemahkan karya Shakespearre atau Charles Dickens dengan baik dalam bahasa lain—termasuk bahasa Indonesia. Di Indonesia sendiri, memang pernah ada penerbit yang ‘nekat’ menerjemahkan karya-karya mereka, tetapi hasilnya benar-benar ‘ancur’. Saran saya, kalau memang ingin menikmati karya-karya mereka, bacalah buku-buku tersebut dalam bahasa aslinya saja. Dulu Gramedia pernah menerbitkan edisi lengkap karya-karya Shakespearre dan penulis-penulis besar dunia lainnya—hanya saja tetap dalam bahasa Inggris (tidak diterjemahkan).


Di dalam salah satu bukumu (I Love My Life), saya menemukan nama Saari Amri. Apakah Saari Amri yang dimaksud di buku tersebut adalah pengarang lagu Malaysia terkenal itu? Kalau benar, mungkin kamu tahu, apakah Saari Amri juga menyanyi atau pernah bikin album sendiri selain mengarang lagu? Soalnya saya menyukai karya-karyanya.

Benar—Saari Amri yang saya maksudkan di buku itu memang pengarang lagu Malaysia yang terkenal itu. Sejauh yang saya tahu, Saari Amri tidak pernah bikin album sendiri—dia lebih suka mengarang lagu untuk dinyanyikan artis lain. Hanya saja, orang ini pernah “iseng” juga menyanyi, dan lagunya masuk dalam sebuah album kompilasi bertitel “Planet”. Di album kompilasi itu terdapat pengarang-pengarang lain yang juga “iseng-iseng” menyanyi. Secara kualitas, album kompilasi ini tidak bisa dibilang bagus. Tetapi kalau kebetulan kamu ngefans dengan orang-orang ini, album itu bisa dicari untuk dikoleksi.


Saya penyuka novel-novel thriller, dan sangat menggemari kisah-kisah yang “tidak biasa”. Berdasarkan rekomendasi dari teman-teman, saat ini saya sedang mencari buku-buku berikut ini: “The Pegasus Secret”, “The Book of Names”, dan “The Mask of Atreus”. Dimana kira-kira saya bisa memperolehnya, karena buku-buku ini sulit saya temukan di toko-toko buku. Apakah memang sudah tak beredar? Penerbit apa yang menerbitkan ketiga buku itu?

Kamu memiliki selera baca yang bagus. Ketiga buku yang kamu sebutkan di atas semuanya diterbitkan oleh OnRead Publishing, Jakarta. “The Pegasus Secret” terbit pada tahun 2007, sedang “The Book of Names” dan “The Mask of Atreus” terbit pada tahun 2008. Pada saat ini memang sudah sulit untuk menemukan ketiga buku itu di toko-toko buku konvensional. Saran saya, cobalah cari di pasar Shopping Yogyakarta, atau di los buku Pasar Johar Semarang, atau semacamnya. Biasanya buku-buku yang sulit didapatkan di toko dapat ditemukan di tempat-tempat semacam itu. Semoga ketemu!


Elegi Dolanan Bocah



Kehidupan adalah drama teater.
(William Shakespearre)

Dunia adalah panggung sandiwara.
(Taufik Ismail)

Jalan hidup adalah dolanan bocah.
(Hoeda Manis)

Orang-orang menjalani hidupnya hari ini dengan mengikuti alur takdir yang dibuat oleh dirinya sendiri. Siapa kau hari ini adalah seperti apa kau di hari kemarin. Siapa kau di hari esok adalah seperti apa kau di hari ini. Manusia adalah pencipta garis nasibnya sendiri, makhluk merdeka yang diberi kekuatan serta kekuasaan untuk membentuk nasibnya sendiri. Benar bahwa Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan nasib bagi dirinya.

Dan di sini, orang-orang hidup di atas bumi yang telah diciptakan sebagai panggung teater bagi semuanya. Di atas panggung teater ini, orang-orang menjalankan sandiwaranya masing-masing. Setiap orang telah memegang dan memiliki naskah skenarionya sendiri—yang ia tulis dan ia jalankan sendiri—dan alam semesta akan menontonnya… dengan tawa, atau dengan tangis.

Sesungguhnya, tak ada yang salah dengan manusia. Yang sering salah adalah cara mereka dalam memainkan perannya. Tak ada yang keliru dalam Awal Penciptaan, yang sering keliru adalah Setelah Penciptaan. Di atas bumi, di dalam hidupnya masing-masing, di atas panggung teater yang secara khusus diberikan kepadanya, manusia telah diberi kesempatan untuk memainkan sandiwaranya yang terbaik. Tetapi alih-alih memainkan sandiwara yang megah dan indah, mereka justru asyik dolanan seperti bocah.

Jadi bocah-bocah itu pun dolanan… bermain dengan asyik, serta pura-pura lupa bahwa tujuan penciptaan mereka, dan keberadaan mereka di sini, bukanlah untuk itu. Jadi bocah-bocah itu pun tertawa… terbahak dengan penuh gembira, mengambil semuanya, menyanyikan lagu indah, dan tenggelam dalam apa yang secara membingungkan mereka sebut cinta.

Yang tersenyum paling akhir itulah yang menang—tetapi orang sering tak sabar untuk menjadi yang terakhir. Jadi mereka pun buru-buru tersenyum, menjadi yang pertama dalam tawa, tak peduli pada akhirnya—bahkan dalam prosesnya—mereka menangis darah dan air mata. Mereka menjadi korban dari keasyikan dolanan, seperti bocah-bocah tanpa nalar, dan kemudian menangis ketika hari mulai malam.

Dan… yang paling menyedihkan di atas segalanya, mereka sama sekali tak pernah menyadari bahwa sesungguhnya mereka hanyalah korban. Korban dari sikap pura-pura lupa bahwa sesungguhnya mereka tidak diciptakan untuk menjadi korban…


Conversation with Self (4)



“Well… konduktor yang kau inginkan, pal.”

“Thanks, brother. Aku bisa mulai menikmati kopiku?”

“Sure.”




“Lumayan?”

“Kau meledekku, bro. Kau tahu, apapun yang dihasilkan oleh tanganmu selalu terasa istimewa. Begitu pula kopi ini.”

“Aku tersanjung. Kau tak keberatan kalau kita mengobrol sambil aku bersandar—seperti ini…?”

“Apapun. Nah, ayolah, aku sudah tak sabar mendengarmu bercerita lagi. Oh, sialan, kenapa kau tersenyum begitu?”

“Hahaha, kudengar kau tadi senang kalau melihatku tersenyum?”

“Yeah, tapi bukan senyum yang seperti itu! Dan… tolong katakan, kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau tahu, aku jadi merasa seperti badut!”

“Tolong ambilkan rokokku.”




“Nah… kau mau menjelaskan, sekarang, kenapa kau jadi suka tersenyum seperti itu?”

“Ini masih berhubungan dengan topik pembicaraan kita, pal. You know, aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku tanpa kau. Hanya denganmu aku bisa membicarakan semua ini, hanya kau yang pernah mendengarku membahas semua ini. Ini… semua ini pastilah akan membuatku gila jika memendamnya sendirian, dan aku bersyukur karena kau ada di sini, mendengarku…”

“Oh, my brother, kau tahu aku selalu ada untukmu, kan?”

“Dan aku sangat berterima kasih.”

“Kau membuatku terharu.”

“Oh yeah, begitu pula aku. Kau tahu, Napoleon Hill juga melakukan apa yang sekarang kita lakukan.”

“Really…?”

“Ya, dia menceritakannya dalam salah satu bukunya.”

“Siapa yang dia panggil?”

“Abraham Lincoln, Theodore Roosevelt, Mahatma Ghandi, Franklin Delano Roosevelt…”

“Oh, bro, kau bercanda, kan?”

“Tidak, dia benar-benar melakukannya—dan aku percaya.”

“Apa… apa yang terjadi kemudian…?”

“Hill tidak menceritakannya secara detail. Dia hanya menceritakan fakta itu. Yang jelas, dia kemudian ketakutan sendiri dan menghentikan prosesi itu.”

“Aku bisa membayangkannya. Aku tak akan menyalahkannya kalau dia ketakutan. Nah, kenapa kau tidak ketakutan melihatku sekarang…?”

“Jangan bercanda, pal. Aku justru akan ketakutan jika tak bisa lagi melihatmu, bertemu denganmu…”

“Bro, ada satu hal yang sepertinya perlu kita luruskan. Atau setidaknya yang perlu aku tahu. Kenapa kau perlu—atau merasa perlu—berbicara denganku?”

“Kau keberatan?”

“No, no, bukan itu maksudku. Hanya saja, buatlah aku nyaman. You know, aku telah menemanimu sejak lama, kapan pun, tentunya aku layak untuk tahu alasannya, kan?”

“Seharusnya kau tahu sejak awal—dan alasan itu sudah berkali-kali kukatakan. Aku tak bisa membicarakan apa yang kita bicarakan dengan orang lain. Itulah kenapa aku perlu kau, karena kupikir aku hanya bisa membicarakannya denganmu. Ini semacam transisi antara kewarasan dan kegilaan, dan kehadiranmu adalah upayaku untuk mencegah kegilaan masuk ke dalam kewarasanku.”

“Kenapa aku?”

“Karena tidak ada yang lebih tepat yang mampu memahami diriku sendiri selain aku. Itulah kenapa kau.”

“Jadi, siapakah aku?”

“Jawabannya ada dalam pertanyaanmu.”


Conversation with Self (3)



“Hei, pal, coba lihat ini…”

“What this…?”

“Perhatikan kubus-kubus ini.”

“Bro, kau tidak bermaksud mengatakan itu… Cube, kan?”

“No, no! Lihatlah… maksudku, bacalah.”




“Aku tidak paham maksudmu, bro…”

“Kau sudah membacanya?”

“Ya.”

“Semuanya?”

“Tentu.”

“Dan kau tak menemukan kejanggalannya?”

“Coba katakan.”

“Look, pada bagian kubus ini disebutkan adanya arah pikiran tentang sesuatu yang membebaskan.”

“Ya…? Lalu?”

“Sekarang lihat bagian kubus yang ini. Pada bagian yang ini justru disebutkan tentang sesuatu yang berhubungan dengan belenggu.”

“Oh, man, kenapa aku tak melihatnya?”

“Sekarang kau telah melihatnya.”

“So, apa maksudnya ini?”

“Sama dengan yang sudah kita bicarakan, sobat. Seperti yang sekarang dapat kau lihat, orang memang terjebak, atau secara sadar dan sengaja memasukkan dirinya sendiri ke dalam jebakan yang ia buat sendiri. Oh, makin lama memikirkannya, aku makin merasa semua ini konyol.”

“Dan bodoh.”

“Mungkin…”

“Hei, kenapa kau tak yakin?”

“Coba dengar analogi ini. Aku adalah bagian dari massa. Perhatikan istilah ‘massa’ ini. Kuulangi, aku adalah bagian dari massa. Karena aku bagian dari massa, maka aku pun harus sama dan serupa dengan massa. Jika massa yang kuikuti berdiri, maka aku harus berdiri. Jika massa yang kuikuti duduk, aku pun harus duduk. Begitu pun, kalau massa yang kuikuti berbaring, aku pun harus ikut berbaring. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah sebuah elemen, sebuah sekrup kecil, dari bagian massa yang besar atau bahkan raksasa. Kau bisa memahamiku sampai di sini?”

“Yeah, tapi aku tak yakin.”

“Lucu.”

“Hei, kenapa kau tersenyum begitu?”

“Tadi kau yang menanyakan mengapa aku tak yakin. Sekarang justru kau yang tak yakin. Oh, ayolah…”

“Oke, bro, oke. Omong-omong, kita sepertinya jadi kurang nyambung kalau tidak difasilitasi konduktor, ya?”

“Hahaha, konduktor orkestra?”

“Jangan meledekku, bro. Kau tahulah, konduktor adalah lawan dari isolator.”

“I know. Kita perlu kopi. Kapucino favorit kita. Dan rokok.”

“Oh, bro, sobat, kau memang temanku yang terbaik.”

“Begitu pula kau, pal. Tak ada yang lebih baik dari kau. Tunggulah. Aku hanya perlu beberapa menit untuk menghadirkan konduktor itu di atas meja.”

“Kau perlu bantuan? Kau tahu, aku selalu siap melakukan apapun untukmu…”

“No, no, kau lupa…? Kita hidup di ‘dream’—sekarang.”

“Your dream…?”

“Yeah, it’s true.”

“Senang kalau melihatmu tersenyum begitu.”

“Semoga aku bisa sering tersenyum seperti sekarang.”


C Bukan Inisial



Ya, C bukan inisial
Itu suatu sebutan, pertanda
Mungkin aku, mungkin dia

Tapi C bukan inisial


Minggu, 11 Juli 2010

Jika Saya Ariel Peterpan

Rekaman video Ariel yang beredar di internet masih terus diperbincangkan, dan orang-orang—anehnya—belum juga bosan. Beberapa situs luar negeri bahkan ikut memberitakan kasus itu, dan sekarang saya juga “dipaksa” untuk ikut menuliskannya di blog ini.

Sejak awal kasus ini muncul dan kemudian menjadi buah bibir masyarakat, saya sama sekali tidak berminat untuk menuliskannya secara khusus. Mengapa? Karena masalah ini konyol. Baik kasusnya, ataupun reaksi yang timbul. Lebih dari itu, sudah tak terhitung banyaknya blog yang telah mengulas kasus itu dengan berbagai macam bentuk, model dan gayanya masing-masing. Karenanya, saya pun memilih untuk tidak ikut-ikutan menuliskan persoalan itu di blog ini.

Tetapi, para pembaca blog ini yang rupanya jadi “gatal”. Ada banyak sekali email yang saya terima, yang isinya cuma menanyakan, “Kenapa nggak ada post soal Ariel di blogmu?” Pertanyaan itu sama banyaknya dengan pertanyaan menyangkut Piala Dunia, “Kenapa kamu nggak menulis soal Piala Dunia?”

Karena “diprovokasi” terus-menerus, akhirnya saya jadi gatal juga. Jadi baiklah, sekarang saya akan menulis soal Ariel—atau, lebih tepatnya lagi, soal kasus Ariel. Dan agar catatan ini tidak terkesan cuma ikut-ikutan, sekarang izinkan saya untuk mengambil sudut pandang yang berbeda dari kasus ini—izinkan saya menempati posisi Ariel saat ini.

Jika saya Ariel Peterpan yang sedang menghadapi kasus video yang terus menjadi bahan pembicaraan masyarakat itu, maka langkah pertama yang akan saya lakukan adalah mengadakan konferensi pers secara resmi. Saya akan mengundang para wartawan, dan menjelaskan semua hal menyangkut kasus itu secara jujur dan apa adanya. Kira-kira, saya akan berbicara seperti ini….

“Rekan-rekan wartawan, saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran kalian semua di sini. Tujuan saya mengadakan konferensi pers ini adalah untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya telah terjadi menyangkut beredarnya rekaman video yang isinya disebut-sebut mirip saya. Saya berharap pertemuan ini dapat menjernihkan persoalan tersebut, sekaligus agar kasus ini tidak berlarut-larut.

“Pertama yang harus saya sampaikan kepada kalian semua, adalah kenyataan bahwa sayalah yang memang ada di dalam rekaman video tersebut. Jadi kalian atau masyarakat luas tak perlu lagi kasak-kusuk menyebut rekaman video itu sebagai “mirip” saya atau “mirip” yang lainnya. Benar, saya mengakui, bahwa sayalah yang ada dalam rekaman itu.

“Abraham Lincoln yang bijak menyatakan, ‘Kalau saya memang benar, kebenaran itu tak akan terpatahkan meski sembilan bidadari bersumpah bahwa saya salah’. Sekarang, dengan segala kerendahan hati, saya mengakui bahwa saya salah, dan saya pun memahami bahwa kesalahan saya tak akan menjadi benar, meski sembilan bidadari turun dari langit untuk bersumpah bahwa saya benar.

“Karena saya sudah mengakui kesalahan saya, dan karena saya telah mengakui bahwa sayalah yang ada dalam rekaman video tersebut, maka tugas kita sekarang bukan lagi bertanya-tanya dan menghabiskan waktu untuk mengetahui apakah orang dalam rekaman itu memang saya ataukah bukan, tetapi mencari tahu mengapa rekaman itu bisa keluar dan beredar di masyarakat.

“Sebagai manusia waras, saya tentunya tidak akan sengaja mengedarkan apalagi menyebarkan rekaman video itu. Tempatkan diri kalian pada posisi saya—dan bayangkan apakah mungkin saya akan melakukan hal segila itu? Saya punya karir yang harus dijaga, saya punya orang tua dan keluarga yang harus dipertahankan kehormatannya, saya pun memiliki nama baik yang tak ingin tercemar. Karenanya, sungguh gila kalau sampai ada yang berpikir sayalah yang sengaja menyebarkan rekaman video itu.

“Ketika membuat rekaman itu, tujuan saya hanyalah untuk dokumentasi pribadi, yang tentunya tidak akan diperlihatkan apalagi dikonsumsikan kepada orang lain. Kalau sekarang rekaman itu bisa muncul di tengah orang banyak, itu benar-benar kecelakaan yang sangat saya sayangkan. Jika kalian yang tidak memiliki sangkut-paut dengan isi rekaman itu saja merasa terpukul, apalagi saya yang jelas-jelas terlibat langsung di dalam rekaman keparat itu…??? Oh, maaf, saya tidak bermaksud bicara kasar. Maafkan istilah keparat tadi.

“Ehmm, jadi sekarang dua hal telah menjadi jelas. Pertama, fakta bahwa sayalah yang memang ada di dalam rekaman itu, dan kedua adalah kenyataan bahwa beredarnya rekaman video itu bukan karena kehendak saya. Siapa pelaku yang telah menyebarkan rekaman itu, saya tidak tahu. Jika kita memang merasa perlu menemukan orang yang telah menyebarkan rekaman itu, maka pihak berwenanglah yang bertugas mencari tahu.

“Tetapi justru saya yang sekarang ditahan oleh pihak yang berwenang. Saya tidak perlu pengacara untuk dapat bertanya, ‘Apa dasar penahanan saya?’. Jika berhubungan intim dengan pacar dianggap sebagai kesalahan yang perlu mendapatkan hukuman, maka negara ini sepertinya perlu menahan separuh dari orang-orang yang saat ini pacaran. Jika merekam adegan percintaan dengan pacar dianggap sebagai kesalahan yang patut mendapatkan hukuman, maka tentunya ada seribu laki-laki selain saya yang juga perlu diberi hukuman.

“Oke, saya tidak sedang berapologi. Jangan lupa tadi saya sudah mengaku salah. Saya sedang berupaya untuk mendudukkan persoalan ini pada proporsinya yang adil, dan mengajak kita semua untuk berpikir secara lebih jernih dan objektif.

“Jika pada akhirnya saya harus diadili dan kemudian dihukum karena perbuatan yang saya lakukan menyangkut rekaman video itu, sekarang saya ingin mengajak kita semua untuk bertanya pada akal sehat dan hati nurani kita sendiri. Apakah peradilan dan hukuman itu dijatuhkan kepada saya karena perbuatan saya… ataukah karena saya seorang artis atau orang terkenal…?

“Jika saya dihukum karena melakukan sesuatu yang dianggap salah secara moral, apakah hukuman itu dijatuhkan sebagai bentuk keadilan hukum… ataukah hanya untuk menutupi rasa malu kita semua…? Jika saya dituduh telah melakukan kesalahan… apakah tuduhan itu berasal dari kesadaran dan ketulusan, ataukah karena sekadar beban kewajiban? Jika saya dihakimi secara massal oleh masyarakat karena perbuatan saya, apakah penghakiman itu cermin dari kebaikan dan kebersihan moral… ataukah bukti kemunafikan massal…?

“Saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu—kalianlah yang harus mencari dan mendapatkan jawabannya. Sebagai manusia, tugas saya adalah menjalankan kewajiban manusia, dan sekarang kewajiban itu telah saya tunaikan. Saya bersalah, dan sekarang saya telah mengaku bersalah, dan menyadarinya. Kini tinggal kalian yang perlu menjalankan kewajiban… yakni sama-sama menunaikan tugas kemanusiaan kalian….”

Hey, You!



Hey, you…!

I love you, need you.


Note of Abalasa



Di manakah cawan kehidupan untuk diminum, ketika tenggorokan sudah tak ada? Di manakah ladang untuk menabur, bila tangan lenyap entah kemana? Di manakah taman indah untuk dipandang, ketika mata kehilangan cahaya? Siapakah yang tahu sesuatu dalam hati manusia—yang tersembunyi di balik hijab kegelapan yang teramat pekat? Malaikat perlu bertanya, dan iblis pun perlu mencarinya.

Dan kau tepat berada di tengah-tengahnya, menelusuri kabut gelap hati manusia, pikiran manusia, dan menemukan sesuatu yang amat kuat, sekaligus mengerikan.

Kau berada di situ, meraba-raba dalam gelap, bersama kuku-kuku tajam dan taring iblis yang mencakar-cakar kesadaran dalam lorong gelap kehidupan. Kemudian datang cahaya, sinar terang yang menerangi jalan hidup, dan kuku-kuku tajam serta taring itu pun sirna berganti dengan keteduhan dan sayap-sayap malaikat...

Malaikat itu mencintaimu, dan iblis itu kini bergerak mengejarmu...


Kamis, 08 Juli 2010

Mengapa Penerbit Menolak Naskahmu



Ketika penerbit menolak sebuah naskah yang dikirimkan seseorang, ada cukup banyak alasan yang bisa menjadi latar belakangnya. Karenanya, jika kau mengirimkan naskah ke suatu penerbit dan kemudian ditolak, jangan buru-buru berkecil hati karena beranggapan naskahmu buruk atau kualitas tulisanmu jelek sehingga naskahmu ditolak. Naskah yang buruk hanya SALAH SATU alasan penolakan—namun ada alasan-alasan lain yang juga perlu kau tahu di balik penolakan itu.

Berikut ini alasan-alasan mengapa naskahmu ditolak penerbit, dan apa yang sebaiknya kau lakukan ketika menghadapi penolakan itu.

Alasan pertama, sebagaimana yang juga sudah kau tahu, adalah karena naskahmu tidak memenuhi standar kualifikasi dari si penerbit. Ilustrasi mudahnya, penerbit itu menetapkan nilai terendah untuk naskah yang diterima adalah 8—tetapi nilai naskahmu baru mencapai angka 5, 6 atau 7. Maka mereka pun menolak naskahmu. Untuk penolakan jenis ini, satu-satunya hal yang perlu kau lakukan adalah terus belajar dan mengasah kemampuanmu.

Sekadar catatan, agar kau bisa menilai naskahmu sendiri secara (lebih) objektif, ada baiknya kalau kau meminta kawanmu untuk membaca naskahmu—dan mintalah dia untuk memberikan penilaian yang jujur dan objektif. Memang langkah ini tidak wajib, hanya saja orang seringkali punya kecenderungan untuk menilai karyanya sendiri terlalu berlebihan dan subjektif—karenanya kita butuh penilaian orang lain.

Alasan kedua, penerbit menolak naskahmu—karena isi naskahmu tidak sesuai dengan visi mereka. Setiap penerbit memiliki visi penerbitannya sendiri-sendiri. Secara mudahnya, ada penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku agama, ada yang spesial menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, ada pula yang secara khusus hanya menerbitkan buku-buku yang tergolong berat—dan lain-lain. Karenanya, jika isi naskahmu tidak sesuai dengan visi penerbitan mereka, maka mereka pun akan menolaknya.

Karenanya pula, sebelum mengirimkan naskah ke suatu penerbit, cermati terlebih dulu buku-buku apa saja yang diterbitkan oleh penerbit yang kau tuju. Jika naskahmu sesuai dengan visi penerbitannya, kirimkan naskahmu ke penerbit itu. Jika tidak, carilah penerbit yang lain. Kalau kau menulis naskah filsafat yang relatif berat dan kemudian mengirimkannya ke penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku remaja, maka tentunya wajar jika naskahmu ditolak. Mungkin bukan karena naskahmu yang jelek, tetapi karena tidak sesuai dengan visi penerbitan mereka.

Alasan ketiga yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena isi naskahmu terlalu umum—atau topik yang kau tulis dalam naskah itu sudah banyak ditulis oleh penulis lain. Bisa saja kualitas naskahmu bagus, tetapi topik yang kau angkat sudah sering ditulis oleh orang lain, dan isi naskahmu tidak mampu memberikan sesuatu yang bersifat baru. Ketika kenyataannya seperti itu, maka penerbit pun menolak naskahmu.

Jika hal semacam itu yang mendasari penolakan atas naskahmu, kau bisa melakukan dua pilihan berikut ini. Pilihan pertama, lupakan saja topik yang kau tulis dalam naskah itu, dan carilah topik-topik lain yang sekiranya masih jarang ditulis orang lain. Atau, pilihan kedua, kau bisa tetap berpegang pada topik yang telah kau tulis dalam naskah itu, tetapi bidiklah topik itu dari sudut pandang yang berbeda, sehingga kau bisa menawarkan sesuatu yang baru dari topik tersebut. Kalau kau memang menyukai topik yang kau tulis itu, kau pasti akan mampu menemukan sudut pandang yang baru, atau unik, sehingga kau bisa menyuguhkan tulisan yang benar-benar berbeda, meski berasal dari topik yang sama.

Kemudian, alasan keempat yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena isi naskahmu dinilai out of date—atau ketinggalan zaman, atau sudah tidak tren lagi, atau sudah kehilangan selera pasar. Misalnya, kau menulis naskah novel ber-genre teenlit, sementara kebanyakan penerbit saat ini sudah menganggap genre teenlit tidak lagi tren, atau sudah tidak terlalu diminati pasar. Ketika kenyataan semcam ini terjadi, maka penerbit pun akan cenderung menolak naskahmu, meski mungkin kisah teenlit yang kau tulis itu tergolong bagus. Ini bukan lagi soal kualitas yang menjadi masalah, tetapi kemungkinan pasar bagi naskah itu.

Saya mengenal seorang penulis yang dulu cukup aktif menulis kisah-kisah teenlit, dan karyanya pun cukup diminati pasar—terbukti beberapa novelnya mengalami cetak ulang, dan karyanya selalu masuk ke penerbit mana pun. Tetapi, sekarang, penulis ini tak bisa produktif lagi—bukan karena dia kehabisan ide, tetapi karena penerbit sudah tak mau menerima naskah teenlit dengan alasan sudah tidak lagi tren. Penerbit-penerbit yang dulu menerbitkan novel si penulis itu meminta agar dia mengirimkan naskah yang ber-genre lain saja. Susahnya, penulis ini tak bisa menulis naskah lain selain teenlit!

Karenanya, sebelum memutuskan untuk menulis suatu naskah, ada baiknya untuk mencermati terlebih dulu apakah naskah yang akan kau tulis itu masih “laku” atau tidak. Caranya cukup mudah. Datanglah ke toko-toko buku, dan lihatlah buku-buku macam apa yang saat ini sedang banyak dipajang di rak-rak mereka.

Nah, alasan kelima yang membuat penerbit menolak naskahmu, tak jauh beda dengan alasan nomor empat di atas—hanya saja lebih spesifik. Alasan kelima ini adalah karena naskahmu tidak memiliki nilai jual—atau memiliki nilai jual yang sangat rendah.

Bagaimana pun juga, penerbit adalah organisasi bisnis yang memburu keuntungan. Mereka bukan yayasan amal atau badan sosial. Karenanya, yang menjadi ukuran layak atau tidaknya sebuah naskah untuk diterbitkan tidak hanya berdasar pada bagus-tidaknya naskah itu semata-mata, tetapi juga tergantung pada seberapa bagus kemungkinan penjualannya.

Bisa saja kualitas naskah yang kau tulis sangat bagus, detail, mendalam, tetapi naskah itu tidak memiliki kemungkinan pasar yang menjanjikan. Ketika dihadapkan pada kenyataan semacam itu, penerbit pun akan cenderung menolak naskahmu. Ingatlah selalu, seidealis apapun, penerbit tidak ingin merugi dalam aktivitas penerbitannya. Bahkan, kalau boleh ngomong blak-blakan, penerbit akan lebih suka menerima naskah yang kualitasnya biasa-biasa saja tapi memiliki kemungkinan pasar yang bagus, daripada menerima naskah yang hebat tapi kemungkinan pasarnya kecil.

Terakhir, alasan keenam, yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena alasan teknis dari si penerbit bersangkutan. Alasan keenam ini mungkin jarang kau dengar, tetapi kau perlu tahu—agar tidak langsung berkecil hati ketika menghadapi penolakan.

Untuk menerbitkan sebuah naskah menjadi sebuah buku hingga terdisplai di toko-toko buku, penerbit membutuhkan biaya puluhan juta. Padahal mereka tidak hanya menerbitkan satu judul buku saja. Karenanya, ada kalanya penerbit mengalami kekurangan dana, sebab persediaan dana mereka terkuras untuk menerbitkan buku-buku yang telah ada dalam jadwal penerbitan mereka. Ketika kenyataan semacam itu terjadi, maka mereka pun akan cenderung menolak naskah-naskah baru yang datang.

Apakah kenyataan semacam di atas hanya terdapat pada penerbit-penerbit kecil? Belum tentu. Penerbit yang relatif besar pun kadang-kadang mengalami kenyataan semacam itu. Karenanya pula, ketika sebuah penerbit menolak naskahmu, padahal naskahmu tergolong bagus (dengan ukuran penilaian yang objektif), maka bisa jadi dasar penolakan itu bukanlah pada naskahmu semata-mata, tetapi lebih pada kondisi si penerbit bersangkutan. Dan, kalau memang seperti itu kenyataannya, kirimkan saja naskahmu ke penerbit lainnya.

Alasan-alasan penolakan, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas, sesungguhnya tidak penting. Karena yang lebih penting adalah SIKAP KITA dalam menghadapi penolakan itu. Ketika kita menulis sesuatu dan mengirimkannya kepada sebuah penerbit, maka itu artinya kita sudah siap untuk ditolak. Jika kau tidak siap menerima penolakan, sebaiknya hindari aktivitas menulis, apalagi sampai bermimpi menjadi penulis. Profesi yang paling rentan penolakan adalah penulis—aktivitas yang paling sering menghadapi penolakan adalah menulis.

Tetapi, tidak ada penulis yang dapat menjadi besar tanpa penolakan. Semua penulis yang tumbuh besar adalah penulis yang telah berkali-kali menerima penolakan. John Grisham, Jack Canfield, Vladimir Nabokov, Stephen King, Sidney Sheldon, Dan Brown, J.K. Rowling, bahkan Charles Dickens sekalipun, semuanya telah menerima dan menghadapi penolakannya masing-masing. Jika ada penulis yang telah merasa hebat karena belum pernah mengalami penolakan, maka dia perlu mawas diri, karena sesungguhnya dia belumlah hebat.

Dan bagi saya pribadi, penolakan adalah kesempatan untuk belajar lebih baik lagi. Penolakan adalah cara alam semesta memberitahu, “Hei, kau masih bisa lebih hebat dari ini, ayo perbaiki!” Pada suatu titik tertentu dalam hidup, kapan pun, kita akan sampai pada titik kesadaran bahwa seharusnya kita mengucapkan terima kasih kepada penolakan…


Mengirimkan Naskah ke Penerbit



Seperti yang sudah saya tulis di post terdahulu, kita akan mempelajari all about writing di blog ini. Pada awalnya saya berencana untuk menulis post-post soal kepenulisan secara berurutan, agar lebih mudah dipelajari dan dipahami isinya. Namun, sepertinya rencana itu harus diubah untuk menyesuaikan dengan “tuntutan keadaan”.

Yang saya maksud dengan “tuntutan keadaan” itu adalah banyaknya pertanyaan atau permintaan dari teman-teman yang sudah berkirim email ke saya. Waktu email-email itu saya baca dan pelajari lagi, akhirnya saya pun memutuskan bahwa mungkin langkah terbaik adalah dengan menuliskan post yang topiknya paling banyak diminta atau ditanyakan terlebih dulu. Dan salah satu permintaan terbanyak saat ini adalah soal cara mengirimkan naskah ke penerbit, beserta segala hal yang berkaitan dengannya. Jadi topik inilah yang sekarang saya tuliskan.

Sebenarnya, tidak ada teknik khusus dalam hal mengirimkan naskah ke penerbit. Secara umum, berikut inilah panduannya:

Setelah naskahmu selesai ditulis di komputer, cetaklah naskah itu di atas kertas HVS (idealnya yang berukuran kwarto dengan berat 70 gsm). Setelah semua halaman naskah tercetak, susunlah secara rapi, kemudian dijilid. Akan lebih bagus kalau naskah itu dilapisi sampul plastik di bagian depan dan belakangnya, agar tidak mudah kotor. Nah, sekarang naskahmu siap dikirimkan.

Ketika mengirimkan naskah kepada suatu penerbit, lampirilah dengan surat pengantar. Selain sebagai bentuk sopan-santun, surat pengantar juga dapat berfungsi sebagai sarana bagimu untuk menjelaskan isi naskah yang kau kirimkan itu, kelebihan-kelebihannya, segmen yang dituju oleh naskah itu—dan lain-lainnya yang perlu kau sebutkan. Kemudian, di dalam surat pengantar itu kau juga bisa menuliskan alamat lengkap, nomor telepon serta alamat email, sehingga memudahkan penerbit jika ingin menghubungimu.

Apabila naskah yang kau kirimkan itu adalah novel (fiksi)—apalagi kalau jumlah halamannya relatif tebal karena ceritanya panjang—lampiri pula dengan sinopsis atau ringkasan kisahnya, agar redaksi penerbit yang menerima naskahmu bisa segera punya gambaran mengenai isi naskah novel yang kau kirimkan itu. Sedang untuk naskah nonfiksi memang tidak diwajibkan melampirkan sinopsis, karena naskah nonfiksi memiliki bab “Daftar Isi” yang bisa digunakan sebagai gambaran isi keseluruhan naskah itu.

Setelah semuanya beres, masukkanlah naskah dan surat pengantar tersebut ke dalam sebuah amplop yang ukurannya sesuai. Bisa memilih amplop cokelat yang berukuran cukup tebal, untuk menghindari kemungkinan kerusakan pada naskah yang bisa saja terjadi dalam perjalanan. Nah, naskahmu pun sudah terkirim ke penerbit yang kau tuju. Sekarang tinggal menunggu nasibnya—apakah naskahmu diterima ataukah ditolak.

Jika naskahmu diterima, maka pihak penerbit akan menghubungimu, entah melalui telepon, email, atau bahkan surat. Mereka akan memintamu untuk mengirimkan softcopy naskah itu, entah lewat CD atau email. Atau, jika memang naskahmu masih perlu direvisi, maka kau pun akan diminta untuk merevisinya terlebih dulu sebelum kemudian mengirimkan hasil akhirnya kepada mereka.

Sedang jika naskahmu ditolak, maka naskahmu pun akan dikembalikan ke alamatmu. Penerbit yang baik biasanya akan melampirkan alasan-alasan mengapa mereka menolak naskahmu, dan biasanya juga memberikan kata-kata yang memotivasi agar kau tidak berkecil hati atas penolakan itu—dan kau memang tidak perlu berkecil hati.

Sebagian besar penerbit akan mengembalikan naskahmu jika memang naskah itu ditolak atau tidak bisa diterbitkan. Namun ada sebagian kecil penerbit yang tidak mau mengembalikan naskah yang ditolaknya (mereka hanya memberikan pemberitahuan penolakan itu, entah lewat surat, email, ataupun telepon). Sementara ada sebagian penerbit lagi yang mau mengembalikan naskah yang ditolak, asalkan naskah itu telah dilampiri dengan perangko pengembalian.

Lalu berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengetahui apakah sebuah naskah diterima atau ditolak? Jawabannya relatif—tergantung keadaan si penerbit, juga bisa tergantung siapa dirimu, atau tergantung pada isi naskahmu.

Apabila penerbit yang kau kirimi naskah itu sedang mengalami penumpukan naskah—karena banyak yang mengirimkan naskah ke sana—maka prosesnya bisa cukup lama. Sebaliknya, apabila penerbit itu kebetulan sedang tidak kebanjiran kiriman naskah, maka waktunya pun bisa lebih cepat. Sebagai gambaran umum, tunggu saja sampai tiga bulan sejak tanggal pengiriman naskahmu. Jika dalam waktu tiga bulan tidak ada konfirmasi dari penerbit, dan naskahmu juga tidak dikembalikan, cobalah hubungi nomor telepon penerbit tersebut—dan tanyakan nasib naskahmu.

Atau, bisa saja penerbit yang menerima naskahmu sedang kebanjiran kiriman naskah, tetapi namamu sudah terkenal sebagai penulis. Untuk hal ini, bisa saja penerbit itu akan memberikan prioritas, dan naskahmu tidak perlu melewati tumpukan antrian. Atau lagi, namamu mungkin belum terkenal, tetapi isi naskahmu sangat bagus dan sedang menjadi tren atau buah bibir masyarakat—maka penerbit pun akan memprioritaskan naskahmu. Jika perkecualian semacam itu terjadi, maka proses waktunya pun akan lebih cepat.

Nah, panduan yang saya paparkan di atas adalah panduan standar yang biasa dipakai oleh para penulis ketika mengirimkan naskah ke penerbit. Namun, ada kalanya terjadi perbedaan ketika penerbit yang dituju ternyata tidak menerima kiriman naskah dalam bentuk cetak atau hardcopy. Ada penerbit-penerbit yang hanya mau menerima naskah dalam bentuk softcopy, yang dikirim melalui email. Untuk hal ini, maka kita pun harus memenuhi keinginan mereka—yakni mengirimkan naskah lewat email.

Karenanya, sebelum mengirimkan naskah ke suatu penerbit, pelajari dulu mekanisme pengiriman naskah yang mereka inginkan. Jika penerbit itu memiliki website di internet, kunjungi websitenya, kemudian lihat penjelasan mereka soal pengiriman naskah.

Lalu bagaimana kalau penerbit itu tidak memiliki website, atau memiliki website tapi tidak menjelaskan mekanisme atau cara pengiriman naskah? Jika begitu, tak ada salahnya menelepon langsung ke redaksi penerbit bersangkutan, dan tanyakan mekanisme pengiriman naskah seperti apa yang mereka inginkan. Jika sudah jelas, kirimkanlah naskahmu ke penerbit itu.


Apakah Menulis Memerlukan Bakat?

Ini pertanyaan umum yang biasa diajukan pada para penulis. Apakah menulis memerlukan bakat? Saya agak bingung untuk menjawab pertanyaan ini secara langsung. Jika saya menjawab “Ya”, maka jawaban itu akan mematahkan motivasi orang-orang yang ingin menulis namun merasa tidak memiliki bakat. Tetapi, jika saya menjawab “Tidak”, kesannya kok terlalu menggampangkan.

Lebih dari itu, kalau kita membaca biografi atau perjalanan hidup penulis-penulis besar, kita pun akan melihat bahwa sebagian dari mereka memang memiliki bakat yang hebat—hingga kemudian dapat menjadi penulis hebat. Tetapi itu hanya sebagian. Sementara sebagian yang lain sepertinya tidak memiliki bakat menulis yang benar-benar menonjol, meski tetap mampu menjadi penulis hebat. Karenanya, saya tidak yakin untuk menjawab apakah menulis memang memerlukan bakat atau tidak.

Tetapi mari kita lihat realitasnya saja—realitas dari apakah bakat itu sesungguhnya.

Dalam perspektif saya, bakat tak jauh beda dengan sebilah pisau. Setajam apa pun, pisau akan tumpul jika hanya disimpan tanpa pernah digunakan, bahkan akan berkarat dan kemudian hancur. Sebaliknya, setumpul apa pun, pisau akan menjadi tajam jika ia diasah, digunakan, diasah dan digunakan lagi terus-menerus tanpa henti. Jadi inti sesungguhnya bukanlah bakat semata-mata, tetapi bagaimana upaya menggunakan bakat itu, atau bagaimana kerja keras dalam membangun bakat itu.

Ya, bakat memang dapat dibangun. Orang dapat memiliki sebuah bakat tertentu jika ia mau terus memupuknya, mempelajarinya, mengasahnya, dan terus membangunnya. Para pakar yang kompeten dalam bidang ini sudah berkesimpulan bahwa jika seseorang menggeluti sesuatu selama lima tahun secara intens, maka ia telah sampai pada tahap seorang pakar dalam bidang itu.

Karenanya, jika seseorang mau mempelajari bidang kepenulisan dan mengasah dirinya dengan terus menulis tanpa henti, maka dia pun akan memiliki bakat dalam menulis—tak peduli apakah pada awalnya dia memiliki bakat atau tidak.

Jadi, apakah menulis memang memerlukan bakat? Jawabannya tergantung pada definisi bakat yang kita pahami. Jika “bakat” yang kita maksudkan adalah bakat yang sudah ada sejak seseorang lahir ke dunia, maka tentunya hanya anak-anak penulis saja yang dapat menulis—karena mereka mewarisi gen orang tuanya yang memang penulis. Tetapi kenyataannya tidak begitu, kan? Banyak sekali penulis yang justru memiliki orang tua yang berprofesi jauh dari dunia tulis-menulis. Artinya, bakat yang diperlukan dalam menulis bukanlah bakat yang telah dibawa semenjak lahir, tetapi bakat yang memang sengaja dipupuk dan dibangun.

Sering kali, kita “menuduh” orang-orang yang hebat dalam bidangnya dengan ucapan, “Yah, dia bisa hebat seperti itu karena bakatnya sudah hebat.” Saya pun sering menerima email dari para pembaca buku saya yang “menuduh” saya seperti itu—bahwa saya punya bakat hebat dalam menulis. Tetapi, jika saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya memiliki bakat menulis, maka saya langsung tahu jawabannya. Saya tidak memiliki bakat menulis. Saya ulangi, saya sama sekali tidak berbakat menulis.

Bagaimana saya tahu? Jawabannya mudah—karena saya masih menyimpan tulisan-tulisan yang saya tulis di awal-awal saya mulai menulis.

Saya sudah suka menulis sejak duduk di bangku SD. Dan kesukaan itu terus berlanjut hingga SMP, SMA, sampai sekarang. Hari ini, jika saya membaca segala sesuatu yang pernah saya tulis dulu, misalnya waktu di SMP, saya benar-benar malu—sangat-sangat malu. Kenapa? Karena tulisan-tulisan itu AMAT SANGAT JELEK. Hari ini, saya bisa menilai tulisan-tulisan saya zaman SMP itu secara objektif, bahkan secara profesional, dan saya tahu bahwa tulisan-tulisan itu sama sekali tak menunjukkan si penulisnya memiliki bakat.

Jadi, hari ini pun saya sudah berkesimpulan bahwa saya tidak memiliki bakat menulis. Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang jauh dari dunia literasi. Ayah dan ibu saya bukan penulis. Keluarga saya tidak ada yang menjadi penulis—bahkan orang tua saya pun sepertinya tidak mendukung ketika tahu saya mencintai menulis.

Tetapi hari ini saya bisa menulis, dan tulisan saya bisa diterbitkan serta dibaca beribu-ribu orang. Dari mana kemampuan ini muncul? Tentunya bukan dari bakat yang telah saya miliki sejak lahir—tetapi dari proses mengasah diri, ketekunan belajar menulis, dan perjalanan latihan yang terus-menerus. Jika menulis memang membutuhkan bakat, maka bakat yang dimaksud tentunya adalah bakat yang sengaja dibangun, bukan bakat yang telah diperoleh semenjak lahir.

Saya percaya bakat memang penting. Tetapi saya lebih percaya bahwa perjuangan dan kerja keras mencapai sesuatu jauh lebih penting. Karenanya, untuk mencapai apa pun—termasuk mencapai kemampuan menulis—tak perlu terlalu dirisaukan apakah kita memiliki bakat atau tidak, karena ada yang lebih penting dibanding bakat semata-mata. Yakni proses pembelajaran. Dan kerja keras. Dan latihan. Dan ketekunan. Dan keteguhan. Dan keyakinan.

Jika orang mau menempuh perjalanan itu, jika orang mau menempuh proses pembelajaran dan kerja keras, tekun berlatih dengan teguh tanpa pernah putus asa, serta yakin dapat mencapai apa yang ingin dicapainya, maka dunia ini pun akan menyaksikan orang itu mencapai apa pun keinginannya.

Menulis dan kemampuan menulis tidak berhubungan dengan bakat semata-mata—ia lebih berhubungan dengan tekad dan kerja keras kita.

Maka Ingatlah…

Saya tidak tahu fakta lain yang lebih membesarkan hati
selain kemampuan manusia yang tidak diragukan untuk dapat
meningkatkan kehidupannya melalui upaya yang disadarinya.
Henry David Thoreau


Kalau kita menganggap kemiskinan sebagai penghalang kesuksesan, maka ingatlah Abraham Lincoln yang pemimpin besar itu adalah mantan pelayan toko, John D. Rockefeller yang multi-milyuner dulunya penjual sayur-mayur, Booker T. Washington yang menjadi pemimpin dan guru besar kulit hitam adalah bekas budak, dan Bill Gates—orang paling kaya di bumi saat ini—bukanlah anak orang kaya.

Kalau kita berpikir kekurangan fisik akan menghambat langkah kita untuk maju, maka ingatlah Beethoven yang tuli mampu menciptakan musik-musik indah yang abadi, John Milton yang buta mampu mengarang sajak yang melegenda, Franklin Delano Roosevelt yang lumpuh berhasil menjadi presiden Amerika sampai empat kali, Stevie Wonder yang buta mampu menulis lirik dan menyanyikan lagu-lagu indah hingga menjadi penyanyi besar, dan Stephen Hawking yang lumpuh mampu menjadi ilmuwan terbesar abad ini.

Kalau kita menganggap rendahnya pendidikan akan menghancurkan masa depan kita, maka ingatlah Albert Einstein menjadi ilmuwan besar meski hanya sekolah beberapa tahun, Thomas Alfa Edison menjadi penemu terbesar sepanjang masa meski tidak lulus sekolah dasar, dan Ajip Rosidi yang sastrawan besar itu pun tidak tamat SD.

Kalau kita berpikir sudah terlambat untuk mulai membangun kesuksesan, maka ingatlah Grandma Moses yang sastrawan hebat itu mulai menulis pada usia 76 tahun, Ruth Gordon memenangkan piala Oscar pertamanya untuk film “Rosemary Baby” ketika berusia 72 tahun, dan Golda Meir diangkat menjadi Perdana Menteri Israel pada usia 71 tahun.

Kalau kita berkecil hati karena sesuatu yang kita anggap benar ditolak di mana-mana, bahkan kita dijauhi karena itu, maka ingatlah bahwa Nabi Muhammad juga seorang diri ketika pertama kali menyampaikan Islam. Penentangan dari banyak orang, bahkan hinaan sampai ancaman pembunuhan mengiringi perjuangan itu. Tapi sejarah kemudian mencatat fakta bahwa Islam menjadi agama terbesar di dunia. William Lloyd Garrison juga seorang diri dan dicaci-maki serta dicibir oleh orang banyak ketika punya pemikiran tentang pembebasan budak, dan sejarah pun kemudian membuktikan bahwa perjuangannya tak sia-sia, karena kini dunia tak lagi mengenal perbudakan.

Kemudian, kalau kita memilih hanya diam saja, karena menganggap suara kita tidak penting, maka ingatlah pada tahun 1645, satu suara membuat Oliver Cromwell memegang kendali atas Inggris. Tahun 1649, satu suara mengakibatkan Charles I, raja Inggris, dieksekusi. Tahun 1868, satu suara menyelamatkan Presiden Andrew Jackson dari impeachment. Tahun 1876, satu suara memberikan kursi kepresidenan Amerika Serikat kepada Rutherford B. Hayes. Tahun 1923, satu suara memberi Adolf Hitler kepemimpinannya atas partai Nazi. Dan tahun 1941, satu suara menyelamatkan undang-undang Dinas Militer, hanya beberapa minggu sebelum pemboman atas Pearl Harbor.

Dan kalau kita menganggap hidup hanya untuk menunggu mati, lalu kita berlenggang-kangkung, malas, dan bersantai-santai karenanya, maka ingatlah bahwa kita diciptakan dengan satu tujuan—untuk satu tujuan....

Minggu, 04 Juli 2010

Cewek Memang Matere, So What…?

Harta paling berharga yang pernah muncul
bagi manusia di bumi ini adalah hati seorang wanita.
—Josiah G. Holland


Cewek matere, atau yang dalam bahasa Indonesia baku disebut “perempuan materialis” barangkali bukan tema baru. Persoalan ini sudah kerap diperbincangkan, dari forum-forum ilmiah sampai di pinggir-pinggir jalan, dari pembahasan berat melalui buku-buku tebal hingga lewat lagu yang dihafalkan jutaan orang. “Cewek matere, ke laut aje…” Kalau cewek memang matere, so what? Apa salahnya…?

Saya bukan pendukung atau aktivis cewek matere, tetapi ayo kita lihat persoalan ini secara lebih baik. Mari kita membicarakan persoalan ini tidak hanya dari permukaannya semata-mata, melainkan juga pada kedalamannya.

Bagi saya, mencari cewek yang tidak matere itu sama sulitnya mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Sulit. Mungkin memang ketemu, tetapi sekali lagi, sulit—bahkan sangat sulit. Mengapa? Karena saya percaya semua cewek memang matere. Tidak ada cewek yang tidak matere. Bohong kalau ada cewek yang mengatakan dirinya tidak matere. Konyol kalau ada cowok yang menyatakan kalau pacarnya tidak matere. Jika ada lelaki yang bersumpah menyatakan bahwa istrinya tidak matere, sungguh, dia patut dikasihani—dia tidak tahu apa-apa tentang istrinya.

Jadi, cewek memang matere? Ya—dan sebaiknya kita percaya saja pada tesis ini, agar dapat mulai melangkah ke tahap berikutnya yang lebih penting, yakni menanyakan, “mengapa cewek (harus) matere?”

Mengapa cewek harus matere? Jawabannya mungkin terdengar mutlak, yakni karena tuntutan alam. Perempuan diciptakan untuk menjadi pendamping laki-laki, sebagaimana Hawa diciptakan untuk menjadi pendamping Adam. Dan, hal terbesar yang selalu mampu mendorong motivasi setiap laki-laki adalah rasa cinta terhadap perempuan.

Karenanya, perempuan pun diciptakan dengan unsur kecintaan yang berlebih pada hal-hal yang berbau materi, dengan tujuan besar—agar setiap laki-laki menyadari bahwa dirinya laki-laki, agar manusia dapat mencapai titik tertinggi kualitas kemanusiaannya.

Bayangkanlah Adam yang sendirian di surga. Iblis merayunya dengan mengatakan, “Hei, pal, kenapa tidak kauambil saja buah yang ranum itu? Dengan memakan buah itu, kau akan hidup abadi di surga.”

Adam seorang laki-laki. Dia tidak mudah dirayu untuk mengambil hal-hal yang berbau materi, karena baginya yang penting adalah pengabdian terhadap keyakinannya. Dia tahu—dan yakin—bahwa dia diciptakan untuk taat pada perintah Tuhan, maka itulah yang kemudian dilakukannya, dan persetan dengan rayuan Iblis.

Tetapi kemudian Tuhan menciptakan Hawa, seorang perempuan, untuk menjadi pendamping Adam. Ketika Adam tidak mempan dirayu, Iblis pun mengubah strateginya—dia merayu Hawa. “Hei, honey, cintakah kau pada keabadian? Nikmatilah buah ranum itu, maka keabadian dan segala keindahan akan menjadi milikmu.”

Hawa pun terayu. Perempuan pertama yang diciptakan Tuhan ini tidak tahan dengan rayuan atas keindahan, dan dia pun menggoda kekasihnya, Adam, untuk mengambil materi itu—buah ranum itu. Maka mereka pun mengambilnya, menimangnya sejenak, dan kemudian memakannya. Lalu mereka terusir dari surga karena tertipu rayuan Iblis, dan kemudian beranak-pinak hingga keturunan mereka melahirkan kita.

Jika Hawa yang menjadi nenek moyang manusia saja sudah memiliki sifat materialis, maka tentunya sangat wajar kalau anak-anak turunnya, para wanita, juga memiliki sifat yang sama. Jika Hawa yang tinggal di surga saja masih tergiur dengan keindahan di luar dirinya, apalagi cewek-cewek yang tinggal di dunia fana…?

Jadi, sifat matere yang dimiliki cewek adalah sesuatu yang wajar, sah dan manusiawi—karena memang begitulah mereka. Ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai semacam kekurangan atau nilai minus atas kepribadian mereka. Hanya saja, yang kemudian menjadikan kebanyakan cewek tidak mau berterus-terang atas ke-matere-an mereka adalah karena masyarakat kita menganggap cewek matere sebagai sosok yang “negatif”—khas penilaian masyarakat yang inferior dan munafik.

Nah, yang kemudian menjadi pembeda dari faktor ke-matere-an itu adalah kadarnya. Ada cewek yang sangat matere, ada pula yang matere tapi biasa-biasa saja. Tetapi intinya tetap saja matere—dan sekali lagi, itu sah.

Kemudian lagi, ada cewek matere yang menyadari bahwa dirinya matere, dan ia lalu berusaha secara mandiri untuk dapat memuaskan nafsu materenya—entah dengan cara bekerja keras, hidup dengan penuh kreativitas, atau setidaknya rajin menabung agar nafsu materenya dapat tercukupi. Tetapi, ada pula cewek matere yang tak ubahnya seperti lintah. Dia matere, tetapi tidak mau bekerja keras secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan materinya, melainkan hanya menggerogoti siapa pun yang dapat memuaskannya—biasanya pasangan atau suaminya. “Cewek matere” semacam inilah yang kemudian menghadirkan stigma negatif terhadap cewek matere.

Jadi, hei cewek-cewek, tak perlu malu-malu apalagi sampai munafik jika kenyataannya kalian memang matere. It’s okay—cewek memang matere, dan itu bukan masalah. Bahkan, kaum cowok pun sesungguhnya harus mulai menyadari bahwa cewek yang menjadi pasangan mereka adalah cewek matere—tak peduli sealim atau sesederhana apa pun tampilan luarnya.

Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat lebih termotivasi dalam membangun hidupnya. Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat belajar lebih giat, dapat bekerja lebih keras, dapat menjalani hidup dengan lebih kreatif, dapat berpikir lebih inovatif—dapat memperlakukan cewek pasangannya dengan lebih baik, dan dapat mewujudkan dirinya sendiri sebagai yang terbaik.

Sungguh berbahaya jika cewek tidak matere, karena hidup tidak akan berkembang, peradaban akan berhenti, kebudayaan manusia akan mati. Jadi, hidup cewek matere!

Karena Cowok Makhluk Visual (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sylvester Stallone: Penyuka Rambut Cewek

Sewaktu masih lajang, Stallone sangat tergila-gila pada cewek berambut pirang. Asal kalian tahu, aktor pemeran Rambo ini terkenal angkuh di kalangan Hollywood. Ketika syuting film, misalnya, Stallone akan marah bukan kepalang jika lawan mainnya berani menatap matanya. Sudah tak terhitung banyaknya aktris ataupun aktor yang jengkel dengan ulah Stallone, tapi produser dan sutradara film tetap menggunakan Stallone, bahkan mereka meminta agar orang-orang menghormati keinginan Stallone (tidak menatap matanya selama syuting).

Tetapi, seangkuh apa pun, Stallone tak berkutik jika berhadapan dengan cewek berambut pirang. Di antara semua orang yang biasa keluyuran di Hollywood, satu-satunya makhluk yang dianggap berhak menatap mata Stallone hanyalah cewek berambut pirang! Karenanya, tidak heran kalau kemudian Stallone menikah dengan Briggite Nielsen yang memiliki rambut pirang.

Maka tenanglah sudah hati bintang laga ini. Dia telah menemukan pasangan hidup yang paling tepat; cewek berambut pirang!

Tapi kisah ini belum selesai. Beberapa tahun setelah menikah, Stallone bercerai dengan istrinya yang berambut pirang itu, dan... sejak itulah Stallone merasa trauma dan fobi dengan cewek berambut pirang! Kalau dulu dia suka ditatap cewek berambut pirang, sejak itu dia akan mengamuk kalau ada cewek pirang yang berani menatapnya.

Sampai kemudian Stallone bertemu dan jatuh cinta dengan Jennifer Flavin, fotomodel terkenal Hollywood, yang memiliki rambut hitam. Jennifer menerima cinta Stallone, dan mereka pun berhubungan. Konyolnya, Jennifer Flavin ternyata sangat ingin memiliki rambut yang pirang!


Gareth Gates: Penyuka Mata Cewek

Gareth Gates—siapa yang tak kenal nama ini? Di mana pun cowok ini muncul, hampir bisa dipastikan akan muncul jerit histeris para cewek. Di atas panggung, cowok ini memang luar biasa memukau. Tetapi di luar panggung—di dalam kehidupan sehari-hari—Gareth Gates tetap cowok biasa yang kadang gugup menghadapi cewek, bahkan sering tak bisa lancar bicara alias jadi gagap saat berdekatan dengan cewek yang kebetulan bermata indah.

Kenyataan itu sudah banyak diketahui para wartawan di dunia, yang sering terpaksa harus melakukan wawancara secara tertulis, karena Gareth Gates mengalami “gagap mendadak” gara-gara ada cewek bermata indah di dekatnya.

Sebagai cowok normal, Gareth menyukai cewek—khususnya cewek yang bermata indah. Tetapi susahnya, dia justru jadi “klepek-klepek” tak karuan jika bertemu atau berpapasan atau dipandang cewek yang bermata indah.

Sewaktu konser di Jakarta sembilan tahun yang lalu, misalnya, Gareth juga mengalami “gagap mendadak” sewaktu akan diwawancara. Ketika para wartawan sudah berkumpul dengan mikrofonnya, Gareth berkata, “Bbbisakah kkkita... uh, wawwancara tttertulisss saja...?”


Orlando Bloom: Penyuka Lengan Cewek

Cewek-cewek sedunia jatuh hati pada sosok cowok yang satu ini, ketika ia muncul di film Lord of The Ring: Fellowship of The Ring. Orlando Bloom, yang berperan sebagai peri cowok bernama Legolas, memang menyita banyak perhatian. Tampangnya yang manis dan aktingnya yang menawan bahkan sempat membuat keder Elijah Wood yang lebih dulu ngetop di film ini.
Tapi siapa yang menyangka kalau kehebatan akting cowok ini berawal dan bermula dari kecintaannya terhadap lengan cewek...?

Jadi ceritanya begini. Orlando Bloom, yang biasa disapa Orli, sangat tergila-gila pada cewek yang memiliki lengan indah. Karena menderita disleksia, Orli pun kurang dapat menikmati masa sekolahnya, karena kesulitan dalam mengenali huruf dan membaca. Satu-satunya hal yang tetap membuatnya rajin berangkat sekolah hanya karena dia dapat melihat lengan milik cewek kawan-kawan sekelasnya!

Di sekolahnya pula, Orli mengambil kelas drama, yang ia pikir tidak terlalu banyak menuntut aktivitas baca-tulis. Lebih dari itu, alasan terbesarnya masuk kelas drama adalah karena di sana dia dapat bertemu cewek-cewek cantik yang biasa memakai tank top!

Tetapi, di kelas drama itu pula, bakat besar yang terpendam dalam diri cowok ini mulai muncul ke permukaan. Guru dramanya mengenali kehebatan akting Orli, dan di bawah bimbingannya kemudian Orli berhasil mendapatkan beasiswa untuk mendalami seni peran di sekolah akting paling bergengsi di Inggris, British American Drama Academy. Dari sana, Orli mulai mengikuti kasting-kasting film dan mengirimkan rekaman-rekaman aktingnya.

Salah satu rekaman yang dikirimkan Orli ditonton oleh sutradara Peter Jackson yang waktu itu sedang menyiapkan film trilogi Lord of The Ring. Peter Jackson menyukai gaya Orli, dan dia pun memanggil Orli ke lokasi syuting. Orli terbang ke New Zealand, ke lokasi syuting film itu, dan... BUM! Penampilan serta aktingnya yang memikat dalam Lord of The Ring membuat cewek-cewek sedunia jatuh hati kepadanya. Yang tidak diketahui cewek-cewek penonton filmnya, Orli harus selalu menahan-nahan diri untuk tidak melirik lengan Liv Tyler selama syuting film itu!

Lalu siapa cewek yang kemudian pacaran dengan Orli? Namanya Kate Bosworth, seorang aktris Amrik yang memiliki lengan yang luar biasa mulus. Bahkan ketika menyatakan cinta kepadanya, Orli memberikan sebentuk gelang emas kepadanya.

Mendapatkan pemberian gelang, Kate Bosworth bertanya dengan senyum lucu, “Kenapa kau tidak memberiku cincin...?”

Dan Orli, sang pecinta lengan sejati, menjawab dengan culun, “Yeah, cincin kan terlalu kecil untuk lenganmu.”

Gara-gara itu, media pers di Amrik sempat iseng menjuluki Kate sebagai cewek pemilik lengan terindah di dunia!

Karena Cowok Makhluk Visual (1)

Orang-orang cenderung tak menggunakan kata kecantikan
karena ia bukan kecerdasan, tapi tampaknya ada tumpang tindih
antara kecantikan dan kecerdasan.
—Tadao Ando


Sobat saya, Deni Surya, punya kecenderungan aneh. Sebagai cowok normal, dia menyukai cewek. Tetapi yang agak ‘tidak normal’, dia sangat tergila-gila pada lutut cewek. Okelah, mungkin terkesan biasa kalau kita mendengar ada cowok yang sangat cenderung dengan dada cewek, atau matanya, atau bibirnya. Tapi lututnya...?

Sebegitu hebatnya kecenderungan Deni terhadap lutut cewek, sampai-sampai bagian itulah yang pertama kali akan diperhatikannya jika ia bertemu, berpapasan, atau berkenalan dengan cewek (tentunya kalau si cewek memakai rok pendek yang memperlihatkan bagian lututnya).

Ketika pertama kali mengetahui hal itu, saya takjub. Lebih takjub lagi ketika mendengar komentar Deni mengenai lutut cewek. Jika Deni berbicara tentang lutut cewek, orang yang mendengarnya pasti akan mengira dia sedang membicarakan lukisan langka atau taman nirwana.

“Tidak ada yang lebih indah dibanding lutut cewek,” begitu katanya suatu malam, saat kami mengobrol tentang berbagai hal. “Bagian depan lutut cewek itu indah luar biasa. Belum lagi bagian belakangnya. Menurutku, bayang lipatan di belakang lutut cewek adalah puncak keindahan di dunia ini—tak ada yang lebih indah dibanding itu.”

See...? Mungkin komentar itu terdengar sinting. Tetapi bahwa ternyata ada cowok yang tergila-gila pada lutut cewek—sepertinya itu fakta yang perlu diterima keberadaannya.

Nah, teman-teman gaul kami pun akhirnya sadar bahwa wajah cantik bukanlah hal utama bagi Deni, karena baginya yang terutama adalah lutut yang cantik. Dan Deni sendiri pun mengakui kalau salah satu kriteria cewek hebat baginya adalah memiliki lutut yang indah. Mungkin, bagi Deni, cewek yang memiliki lutut indah setara dengan kualifikasi istri yang salikhah. Karena kecenderungan yang aneh itu pula, sampai-sampai ada guyonan yang terkenal di antara kami.

Suatu hari Deni ketemu seorang cewek, begitu kata guyonan terkenal itu, dan si cewek menyapa Deni dengan ramah. Tapi Deni tidak ingat siapa cewek itu. Dengan kikuk campur malu, si cewek bertanya canggung, “Kamu udah nggak ingat aku?” Lalu Deni menjawab, “Uh, maaf, boleh lihat lututmu?” Kebetulan si cewek memakai rok mini. Dan sebelum cewek itu sempat berbuat apa-apa, Deni langsung memperhatikan lututnya. Setelah itu, Deni pun berbinar-binar sambil berkata, “Oooo, kamu si Ayu, ya?”

Tentu saja anekdot itu konyol. Tetapi, sewaktu saya mengkonfirmasikannya pada Deni—untuk mengetahui kesahihan cerita konyol itu—dia hanya tertawa ngakak. Sampai sekarang saya tak pernah tahu apakah Deni memang benar-benar dapat mengetahui nama seorang cewek hanya dengan melihat lututnya.

Anyway, catatan ini sama sekali tidak bermaksud membahas fetishisme ataupun keindahan bagian per bagian tubuh cewek, melainkan untuk mengungkapkan sesuatu yang mungkin terlewat dari pemikiran kita mengenai daya tarik seseorang—dalam hal ini cewek. Lutut cewek, misalnya. Siapa yang pernah berpikir kalau ternyata lutut cewek memiliki daya tarik yang begitu kuat, hingga mampu membuat seorang cowok tergila-gila?

Cowok memang makhluk visual, karenanya mudah tertarik—bahkan tergila-gila—pada segala keindahan yang tertangkap oleh matanya, indra visualnya. Kenyataan itu pun telah dipahami oleh cewek, kan? Cewek selalu berupaya mempercantik diri, memperindah diri, dengan segala macam cara, karena cewek pun—sadar atau tidak—tahu bahwa cowok mudah tergoda dengan keindahan yang tampak di matanya.

Nah, kalau Deni sobat saya tergila-gila pada lutut cewek, maka cowok-cowok yang lain pun punya kecenderungannya masing-masing yang berbeda. Dan, percaya atau tidak, ternyata ada cowok yang tergila-gila pada jari-jari cewek, atau pada hidungnya, atau... yang lainnya. Sebagai ilustrasi lebih lanjut, berikut ini adalah contoh-contoh cowok terkenal yang punya kecenderungan “aneh” atas daya tarik tubuh cewek, yang mungkin belum pernah kalian bayangkan. Bagi para cewek, pemaparan berikut ini mungkin dapat menjadi masukan atau pengetahuan penting!


Robert De Niro: Penyuka Kulit Cewek

Aktor Robert De Niro sangat tergila-gila pada cewek berkulit bersih yang... hitam. Kecenderungannya itu sudah terkenal seantero Hollywood. Ketika berpapasan dengan cewek berkulit putih, De Niro tidak terpengaruh. Tetapi, jika kebetulan berpapasan dengan cewek berkulit hitam, barulah dia jadi “blingsatan”.

Cewek yang pernah membuat De Niro blingsatan tak karuan adalah Naomi Campbell, artis berkulit hitam yang juga menjalin hubungan dengan petinju Mike Tyson. Karena sangat tergila-gila, De Niro pun nekat mendekati cewek itu, tak peduli Naomi Campbell masih pacaran dengan Tyson.

Gilanya, Naomi Campbell melayani pedekate De Niro, dan jadilah mereka pacaran secara diam-diam. Kalau ingin tahu, selama pacaran dengan Naomi Campbell itu, De Niro mengaku dilanda fobi naik lift, karena takut berpapasan dengan Mike Tyson!


Don Johnson: Penyuka Pinggul Cewek


Aktor Don Johnson menyukai pinggul cewek yang ramping atau kecil. Ketika pacaran dengan aktris Melanie Griffith, Johnson mengajukan syarat pada ceweknya itu agar dapat menurunkan berat badannya sebelum mereka menikah.

“Apa yang salah dengan tubuhku?” protes Melanie Griffith yang sangat pede dengan tubuh seksinya, yang telah terkenal seantero jagat.
“Selama kita pacaran,” jawab Don Johnson, “aku tidak masalah dengan pinggulmu yang seksi (besar). Tapi kalau mau jadi istriku, kau harus mengecilkan pinggulmu.”

Karena sudah terlanjur cinta, Melanie Griffith memenuhi persyaratan itu. Menjelang hari pernikahannya, artis cantik ini telah menurunkan berat badannya sampai 20 kilogram, hingga pinggulnya pun mengecil—sesuai yang diidamkan suaminya.

Konyolnya, setelah mereka menikah, Don Johnson mengalami kegemukan—berat badannya terus saja melar—mungkin karena sangat senang menikah dengan Griffith. Melihat tubuh suaminya yang terus saja melar, sekarang Melanie Griffith yang protes. Ia mengancam akan menceraikan Johnson jika tidak bisa menurunkan berat badannya.

Mungkin juga karena sudah terlanjur cinta, Johnson memenuhi tuntutan itu. Untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman perceraian istrinya, Johnson pun berhasil menurunkan berat badannya sampai 20 kilogram!

Lanjut ke sini.

 
;