Rabu, 21 Juli 2010

Cermin Retak Wajah Manusia

Kenyataan hari ini tak cukup memadai
untuk sekadar disesali
Tangis dan tawa lahir terlalu pagi

Di sini
di bawah langit yang sama
kemanusiaan bertanya-tanya:
di mana tempat kita di dunia?

—Goenawan Mohamad


World Trade Centre, 11 September 2001.

Pesawat yang telah dibajak oleh teroris itu melaju tanpa kendali, dan kemudian menabrak gedung WTC yang menjulang tinggi. Bunyi ledakannya serupa guntur, dan hantamannya yang teramat keras menciptakan lautan api yang segara berkobar. Beribu-ribu orang menjerit panik, ketakutan, sebagian mereka tewas terpanggang. Api kian menyala, asapnya membubung ke langit, meneriakkan pedih perih kemanusiaan yang dilukai.

Dunia menyaksikannya. Dunia menyaksikan ketika menara kembar WTC hancur-lebur menjadi debu di antara api yang berkobar—dan Amerika menangis sesenggrukan. Dunia menyaksikan kekejaman kemanusiaan itu, dunia menyaksikan bagaimana sekelompok orang memangsa dan membunuh manusia lainnya hanya demi sesuatu yang mereka anggap sebagai “kebenaran”.

Begitu pula kita.

Kita menyaksikan peristiwa berdarah itu di sini, melalui koran, televisi, internet, dan obrolan di warung kopi. Sementara ribuan orang tewas tertimpa reruntuhan dan terpanggang api, kita asyik menyaksikannya di depan televisi. Sementara sekian ribu orang menangis karena kehilangan keluarganya yang menjadi korban, kita begitu bergairah melihat foto-foto mereka di halaman koran. Sementara kemanusiaan sedang menangis, berduka dan merana, kita asyik mengobrolkannya seolah menceritakan sebuah acara kencan buta.

Apakah dunia menangis…? Apakah dunia menangis ketika Amerika menangisi warganya yang menjadi korban kebiadaban itu? Ironisnya, tidak. Dunia bahkan seolah bertepuk tangan atas tragedi itu, atau pura-pura bersimpati tapi kemudian senyum-senyum sambil bersyukur, atau bahkan diam-diam berharap semoga tragedi itu terulang kembali. Hancurnya WTC seperti menandai hancurnya Amerika, dan dunia seperti bergembira karenanya.

Begitu pula kita.

Media massa yang terbit di sini, yang memberitakan tragedi itu, memberitakannya tidak hanya dengan empati, tetapi juga dengan sentuhan humor yang tragik—seolah-olah “manusia” di Amerika berbeda dengan “manusia” di Indonesia.

Kita bersorak senang atas tragedi itu—diakui ataupun tidak. Kita bersuka ria atas tragedi kemanusiaan di Amerika, karena diam-diam selama ini kita merasa inferior di hadapan mereka, dan bersyukur melihat mereka dikalahkan. Orang-orang yang menjadi teroris atas tragedi itu bukan kawan kita, bukan sahabat kita, apalagi saudara kita. Tetapi hanya karena gerombolan teroris itu menghancurkan Amerika, tiba-tiba kita merasa telah menjadi saudaranya. Alangkah memedihkannya wajah kemanusiaan kita.

Saya tidak sedang membela Amerika. Jika ada pretensi, catatan ini adalah pembelaan atas kemanusiaan yang terluka, yang dilukai. Amerika hanya nama wilayah, dan saya tidak mempersoalkannya. Tetapi manusia-manusia yang menjadi korban kebiadaban tragedi itulah yang sekarang saya tangisi, yang ingin kembali saya tangisi. Mereka yang tewas dalam tragedi WTC sama dengan mereka yang tewas dalam tragedi bom di Bali—sama-sama manusia. Dan mereka yang menjadi teroris di WTC ataupun di Bali adalah musuh yang sama—musuh kemanusiaan.

Tetapi menangisi korban WTC sekarang mungkin sudah terlambat—sama terlambatnya menangisi korban kebiadaban bom di Bali. Tetapi ada satu hal yang tak pernah terlambat menyangkut semua tragedi itu—yakni menengok diri kita sendiri, melihat dengan jernih potret kemanusiaan kita sendiri.
Siapakah sesungguhnya kita ini…?

Jika kita menangisi para korban yang tewas dalam kebiadaban bom di Bali, apa bedanya manusia yang tewas di sana dengan yang terbunuh di WTC Amerika? Jika kita mengutuk perilaku pembunuh yang ada di Bali, kenapa kita ragu untuk melakukan hal sama ketika pembunuh yang sama melakukan hal sama di Amerika?

Jangan-jangan, yang kita tangisi sesungguhnya bukanlah kemanusiaannya, melainkan tempat kejadiannya. Jangan-jangan, yang kita kutuk bukanlah para pelakunya, melainkan tempat perbuatannya.

Kita mungkin terlalu rendah diri, sekumpulan orang yang selalu saja merasa inferior ketika berhadapan dengan Amerika yang superior. Dan kemudian, ketika Sang Superior itu dihancurkan, kita pun bertepuk tangan, merasa menang… meski mungkin sambil pura-pura menangis sesenggrukan. Diam-diam kita berharap akan ada sekumpulan teroris lain yang meneror Amerika. Diam-diam kita berharap akan ada tragedi yang sama terjadi di sana. Diam-diam, kita bahkan bersyukur ada yang melakukan kekejaman semacam itu atas manusia di sana.

Apa, atau siapakah, diri kita sebenarnya…?

Yang tidak menangisi tragedi kemanusiaan bukanlah manusia—tak peduli di mana pun tempatnya. Manusia tidak pernah memilih di tempat mana ia ingin dilahirkan—tak peduli di Indonesia, ataupun di Amerika. Manusia lahir dan muncul di atas bumi sebagai makhluk yang sama, hanya dipisahkan oleh batas teritorial yang diciptakan oleh manusia sebelumnya. Tetapi batas teritorial bukanlah batas kemanusiaan, batas wilayah bukan berarti manusia berbeda. Matinya manusia di sini adalah sama dengan matinya manusia di sana.

Siapakah diri kita sesungguhnya…? Atau, lebih tepat lagi, apa sebenarnya yang ada di dalam hati kemanusiaan kita? Sebegitu rendahkah kita menilai diri sendiri, sehingga lebih memilih untuk tertawa jika sebuah tragedi berlangsung di jauh sana? Sebegitu rendahkah nilai kemanusiaan kita, sehingga diam-diam kita bersyukur ketika tragedi kemanusiaan itu terjadi pada manusia yang lainnya? Sebegitu inferiorkah kita terhadap Amerika, sehingga kita berubah seperti anak-anak yang kegirangan ketika apa pun saja yang buruk melanda mereka…?

....
....

Saya tahu, catatan ini mungkin terkesan berlebihan. Tetapi cobalah telusuri silsilah dalam keluargamu, apakah ada di antara mereka yang memiliki hubungan dekat, atau setidaknya kerabat, dengan Barack Obama? Tidak ada…? Lalu mengapa kita ikut bersorak-sorai ketika dia menjadi Presiden Amerika, hanya karena dia dulu pernah hidup di Jakarta? Apakah itu tidak sama berlebihannya?

Cermin, cermin di dinding, lihatlah kemanusiaan kita.

 
;