Minggu, 04 Juli 2010

Cewek Memang Matere, So What…?

Harta paling berharga yang pernah muncul
bagi manusia di bumi ini adalah hati seorang wanita.
—Josiah G. Holland


Cewek matere, atau yang dalam bahasa Indonesia baku disebut “perempuan materialis” barangkali bukan tema baru. Persoalan ini sudah kerap diperbincangkan, dari forum-forum ilmiah sampai di pinggir-pinggir jalan, dari pembahasan berat melalui buku-buku tebal hingga lewat lagu yang dihafalkan jutaan orang. “Cewek matere, ke laut aje…” Kalau cewek memang matere, so what? Apa salahnya…?

Saya bukan pendukung atau aktivis cewek matere, tetapi ayo kita lihat persoalan ini secara lebih baik. Mari kita membicarakan persoalan ini tidak hanya dari permukaannya semata-mata, melainkan juga pada kedalamannya.

Bagi saya, mencari cewek yang tidak matere itu sama sulitnya mencari sebatang jarum di tumpukan jerami. Sulit. Mungkin memang ketemu, tetapi sekali lagi, sulit—bahkan sangat sulit. Mengapa? Karena saya percaya semua cewek memang matere. Tidak ada cewek yang tidak matere. Bohong kalau ada cewek yang mengatakan dirinya tidak matere. Konyol kalau ada cowok yang menyatakan kalau pacarnya tidak matere. Jika ada lelaki yang bersumpah menyatakan bahwa istrinya tidak matere, sungguh, dia patut dikasihani—dia tidak tahu apa-apa tentang istrinya.

Jadi, cewek memang matere? Ya—dan sebaiknya kita percaya saja pada tesis ini, agar dapat mulai melangkah ke tahap berikutnya yang lebih penting, yakni menanyakan, “mengapa cewek (harus) matere?”

Mengapa cewek harus matere? Jawabannya mungkin terdengar mutlak, yakni karena tuntutan alam. Perempuan diciptakan untuk menjadi pendamping laki-laki, sebagaimana Hawa diciptakan untuk menjadi pendamping Adam. Dan, hal terbesar yang selalu mampu mendorong motivasi setiap laki-laki adalah rasa cinta terhadap perempuan.

Karenanya, perempuan pun diciptakan dengan unsur kecintaan yang berlebih pada hal-hal yang berbau materi, dengan tujuan besar—agar setiap laki-laki menyadari bahwa dirinya laki-laki, agar manusia dapat mencapai titik tertinggi kualitas kemanusiaannya.

Bayangkanlah Adam yang sendirian di surga. Iblis merayunya dengan mengatakan, “Hei, pal, kenapa tidak kauambil saja buah yang ranum itu? Dengan memakan buah itu, kau akan hidup abadi di surga.”

Adam seorang laki-laki. Dia tidak mudah dirayu untuk mengambil hal-hal yang berbau materi, karena baginya yang penting adalah pengabdian terhadap keyakinannya. Dia tahu—dan yakin—bahwa dia diciptakan untuk taat pada perintah Tuhan, maka itulah yang kemudian dilakukannya, dan persetan dengan rayuan Iblis.

Tetapi kemudian Tuhan menciptakan Hawa, seorang perempuan, untuk menjadi pendamping Adam. Ketika Adam tidak mempan dirayu, Iblis pun mengubah strateginya—dia merayu Hawa. “Hei, honey, cintakah kau pada keabadian? Nikmatilah buah ranum itu, maka keabadian dan segala keindahan akan menjadi milikmu.”

Hawa pun terayu. Perempuan pertama yang diciptakan Tuhan ini tidak tahan dengan rayuan atas keindahan, dan dia pun menggoda kekasihnya, Adam, untuk mengambil materi itu—buah ranum itu. Maka mereka pun mengambilnya, menimangnya sejenak, dan kemudian memakannya. Lalu mereka terusir dari surga karena tertipu rayuan Iblis, dan kemudian beranak-pinak hingga keturunan mereka melahirkan kita.

Jika Hawa yang menjadi nenek moyang manusia saja sudah memiliki sifat materialis, maka tentunya sangat wajar kalau anak-anak turunnya, para wanita, juga memiliki sifat yang sama. Jika Hawa yang tinggal di surga saja masih tergiur dengan keindahan di luar dirinya, apalagi cewek-cewek yang tinggal di dunia fana…?

Jadi, sifat matere yang dimiliki cewek adalah sesuatu yang wajar, sah dan manusiawi—karena memang begitulah mereka. Ini bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai semacam kekurangan atau nilai minus atas kepribadian mereka. Hanya saja, yang kemudian menjadikan kebanyakan cewek tidak mau berterus-terang atas ke-matere-an mereka adalah karena masyarakat kita menganggap cewek matere sebagai sosok yang “negatif”—khas penilaian masyarakat yang inferior dan munafik.

Nah, yang kemudian menjadi pembeda dari faktor ke-matere-an itu adalah kadarnya. Ada cewek yang sangat matere, ada pula yang matere tapi biasa-biasa saja. Tetapi intinya tetap saja matere—dan sekali lagi, itu sah.

Kemudian lagi, ada cewek matere yang menyadari bahwa dirinya matere, dan ia lalu berusaha secara mandiri untuk dapat memuaskan nafsu materenya—entah dengan cara bekerja keras, hidup dengan penuh kreativitas, atau setidaknya rajin menabung agar nafsu materenya dapat tercukupi. Tetapi, ada pula cewek matere yang tak ubahnya seperti lintah. Dia matere, tetapi tidak mau bekerja keras secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan materinya, melainkan hanya menggerogoti siapa pun yang dapat memuaskannya—biasanya pasangan atau suaminya. “Cewek matere” semacam inilah yang kemudian menghadirkan stigma negatif terhadap cewek matere.

Jadi, hei cewek-cewek, tak perlu malu-malu apalagi sampai munafik jika kenyataannya kalian memang matere. It’s okay—cewek memang matere, dan itu bukan masalah. Bahkan, kaum cowok pun sesungguhnya harus mulai menyadari bahwa cewek yang menjadi pasangan mereka adalah cewek matere—tak peduli sealim atau sesederhana apa pun tampilan luarnya.

Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat lebih termotivasi dalam membangun hidupnya. Cewek memang harus matere, agar setiap cowok dapat belajar lebih giat, dapat bekerja lebih keras, dapat menjalani hidup dengan lebih kreatif, dapat berpikir lebih inovatif—dapat memperlakukan cewek pasangannya dengan lebih baik, dan dapat mewujudkan dirinya sendiri sebagai yang terbaik.

Sungguh berbahaya jika cewek tidak matere, karena hidup tidak akan berkembang, peradaban akan berhenti, kebudayaan manusia akan mati. Jadi, hidup cewek matere!

 
;