Minggu, 04 Juli 2010

Mencari Belahan Hati



Apa yang ada di depanmu, dan apa yang ada di belakangmu,
tidaklah lebih besar dibanding apa yang ada di dalammu.

Inilah aku, hai Kehidupanku, lelaki sendirian yang menghabiskan banyak waktu untuk membunuh kesepian. Orang-orang berkata aku harus mencari belahan hati, seolah belahan hatiku diturunkan Tuhan dalam kuil lembab yang jauhnya tak bisa kukatakan dengan kata-kata, seolah belahan hatiku disebarkan oleh malaikat di hamparan padang pasir yang luasnya tak bisa kujelaskan dengan gambar maupun peta.

Orang-orang datang kepadaku dan menanyakan belahan hati yang tak pernah terlihat oleh mereka, seolah belahan hati adalah pameran yang harus dipajang dan dipersaksikan, seolah belahan hati adalah benda mungil cantik yang harus diletakkan di etalase untuk ditunjuk-tunjuk dan dibisik-bisikkan.

Inilah aku, hai Kehidupanku, manusia terasing yang makin asing karena menganggap belahan hati sebagai teman wajib bagi siapapun yang tak ingin terasing. Dan hari ini aku menyadari kebodohanku, karena mau mendengar apa yang dikatakan orang-orang itu. Maka inilah aku, hai Kehidupanku, jiwa kosong yang merindukan hadirnya belahan hati, kemudian berkeliling semesta hanya untuk mencarinya.

Aku berkelana kemana pun hasrat ingin melangkahinya, dan orang-orang masih berdatangan, menanyakan tentang belahan hati. Pertanyaan itu seperti sembilu yang mengiris-iris jantung dan harkat kemanusiaanku. Apakah belahan hati memang harus dicari, didapatkan, disetubuhi, dan dipamerkan pada peradaban kasatmata manusia agar mereka menyaksikannya, dan kemudian merasa tenang karena salah satu dari mereka telah sama nilainya dan tak berbeda dengan mereka?

Inilah aku, lelaki yang terjebak dalam peradaban mereka, yang menganggap belahan hati sebagai nyawa kehidupan, hingga setiap orang seolah harus dikuburkan jika tak bisa memperoleh belahan hati. Dan aku semakin terjebak, semakin kebingungan, semakin mencari-cari kemana pun pikiran menginginkan.

Mencari-carimu, hai Belahan Hati, mencarimu di pelosok peradaban yang bisa disinggahi kaki manusia, dalam keramaian maupun kesepian, dalam udara maupun lautan. Tapi di manakah kau, hai Belahan Hati…? Mengapa keberadaanmu hanya terus diributkan namun tak pernah dapat kusaksikan? Apakah kau seperti angin? Apakah kau seperti gas dan udara? Ataukah wujudmu hanya sebutir sel, partikel, atom atau molekul, hingga aku tak dapat menyaksikan sosok kehadiranmu?

Tetapi mengapa orang-orang yang datang kepadaku bisa mudah menyaksikan kehadiran dan wujud pastimu? Mengapa orang-orang yang datang menanyakan tentangmu seolah telah mengenal setiap lekuk dan wujudmu? Apakah aku buta? Ataukah orang-orang itu yang buta? Apakah kita sama-sama buta dan hanya berlagak dapat melihat, hingga merasa mengenali apa yang kita kira kita kenali, dan mati-matian mempertahankan apa yang kita ‘lihat’?

Inilah aku, hai Kehidupanku. Aku yang terperosok dalam lubang hitam kebingungan dan kekhawatiran, karena dunia memperlakukanku tidak adil. Mereka memintaku mendapatkan belahan hati, tapi mereka tak mau memberitahu di manakah harus mencarinya. Dan aku ketakutan, seperti anak kecil yang dikejar bayang kegelapan, aku berlari, berlari menjauh pada setiap sudut terkecil yang bisa kudapatkan, namun dimana pun keberadaanku tetap ada di bawah selangkangan dunia, dan dunia terus menyergapku dengan taring-taringnya.

Aku menangis, dan wujudku tercerai-berai dalam gelapnya lubang semesta kebingungan. Siapakah aku sesungguhnya yang memilih kehilangan diriku sendiri hanya untuk mendapatkan belahan hati? Siapakah aku sebenarnya, yang kalah oleh apa yang kulihat, namun seiring dengan itu menindas apa yang tak kulihat? Di manakah kesejatianku yang lebih memilih mendengarkan apa yang ada di luarku namun menulikan telinga pada apa yang ada di dalamku?

Sekarang aku mendengar… Aku baru mendengar setelah ketakutan demi ketakutan, kebingungan demi kebingungan terus-menerus menyergapku siang dan malam. Aku mendengar… Aku mendengar setelah kepedihan dihunjamkan dalam relung-relung batinku sementara hujan air mata terus mengguyur harkatku. Aku mendengar… Aku mendengar apa yang seharusnya telah kudengar bertahun-tahun yang lalu, saat orang-orang datang dan menanyakan kepadaku tentang belahan hati. Aku mendengar… Aku mendengar suara kejernihan yang seharusnya kupatuhi sebelum aku melangkah terlalu jauh…

Apa yang ada di depanmu, dan apa yang ada di belakangmu, tidaklah lebih besar dibanding apa yang ada di dalammu.

Mengapa aku tak mau meluangkan waktu sejenak saja untuk mendengarkan kebenaran yang bening itu? Mengapa aku harus lari terburu-buru mengejar sesuatu yang disebut belahan hati sebelum mendengarkan suara jiwa itu? Mengapa aku lebih mendengarkan orang-orang itu daripada mendengarkan diriku sendiri berbicara kepadaku…?

Maka inilah aku, hai Belahan Hatiku. Lelaki sendirian yang tak pernah kesepian karena aku telah tahu hakikat dari keberadaanku.

Dan kemana orang-orang itu…? Kemana orang-orang yang dulu pernah datang kepadaku dan menanyakan keberadaan belahan hati? Hari ini aku ingin menjawab bahwa aku tak akan pergi jauh lagi untuk mendapatkan belahan hati. Aku tak akan menghabiskan waktu lagi hanya untuk menggali kuil-kuil lembab dan menyusuri padang pasir tandus hanya untuk menemukan belahan hati.

Karena… karena sekarang aku telah mendapatkan belahan hati. Karena kini aku telah menemukan belahan hati. Ia tak ada di tempat jauh di manapun, ia tidak dilemparkan Tuhan di sebuah tempat yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, ia tidak ditaburkan malaikat di padang gurun yang tak bisa dijelaskan dengan peta, tetapi ada dekat denganku, tak perlu kucari-cari ataupun kunanti-nanti, karena keberadaannya ada di dalam diriku sendiri.


 
;