Kamis, 08 Juli 2010

Mengapa Penerbit Menolak Naskahmu



Ketika penerbit menolak sebuah naskah yang dikirimkan seseorang, ada cukup banyak alasan yang bisa menjadi latar belakangnya. Karenanya, jika kau mengirimkan naskah ke suatu penerbit dan kemudian ditolak, jangan buru-buru berkecil hati karena beranggapan naskahmu buruk atau kualitas tulisanmu jelek sehingga naskahmu ditolak. Naskah yang buruk hanya SALAH SATU alasan penolakan—namun ada alasan-alasan lain yang juga perlu kau tahu di balik penolakan itu.

Berikut ini alasan-alasan mengapa naskahmu ditolak penerbit, dan apa yang sebaiknya kau lakukan ketika menghadapi penolakan itu.

Alasan pertama, sebagaimana yang juga sudah kau tahu, adalah karena naskahmu tidak memenuhi standar kualifikasi dari si penerbit. Ilustrasi mudahnya, penerbit itu menetapkan nilai terendah untuk naskah yang diterima adalah 8—tetapi nilai naskahmu baru mencapai angka 5, 6 atau 7. Maka mereka pun menolak naskahmu. Untuk penolakan jenis ini, satu-satunya hal yang perlu kau lakukan adalah terus belajar dan mengasah kemampuanmu.

Sekadar catatan, agar kau bisa menilai naskahmu sendiri secara (lebih) objektif, ada baiknya kalau kau meminta kawanmu untuk membaca naskahmu—dan mintalah dia untuk memberikan penilaian yang jujur dan objektif. Memang langkah ini tidak wajib, hanya saja orang seringkali punya kecenderungan untuk menilai karyanya sendiri terlalu berlebihan dan subjektif—karenanya kita butuh penilaian orang lain.

Alasan kedua, penerbit menolak naskahmu—karena isi naskahmu tidak sesuai dengan visi mereka. Setiap penerbit memiliki visi penerbitannya sendiri-sendiri. Secara mudahnya, ada penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku agama, ada yang spesial menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah, ada pula yang secara khusus hanya menerbitkan buku-buku yang tergolong berat—dan lain-lain. Karenanya, jika isi naskahmu tidak sesuai dengan visi penerbitan mereka, maka mereka pun akan menolaknya.

Karenanya pula, sebelum mengirimkan naskah ke suatu penerbit, cermati terlebih dulu buku-buku apa saja yang diterbitkan oleh penerbit yang kau tuju. Jika naskahmu sesuai dengan visi penerbitannya, kirimkan naskahmu ke penerbit itu. Jika tidak, carilah penerbit yang lain. Kalau kau menulis naskah filsafat yang relatif berat dan kemudian mengirimkannya ke penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku remaja, maka tentunya wajar jika naskahmu ditolak. Mungkin bukan karena naskahmu yang jelek, tetapi karena tidak sesuai dengan visi penerbitan mereka.

Alasan ketiga yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena isi naskahmu terlalu umum—atau topik yang kau tulis dalam naskah itu sudah banyak ditulis oleh penulis lain. Bisa saja kualitas naskahmu bagus, tetapi topik yang kau angkat sudah sering ditulis oleh orang lain, dan isi naskahmu tidak mampu memberikan sesuatu yang bersifat baru. Ketika kenyataannya seperti itu, maka penerbit pun menolak naskahmu.

Jika hal semacam itu yang mendasari penolakan atas naskahmu, kau bisa melakukan dua pilihan berikut ini. Pilihan pertama, lupakan saja topik yang kau tulis dalam naskah itu, dan carilah topik-topik lain yang sekiranya masih jarang ditulis orang lain. Atau, pilihan kedua, kau bisa tetap berpegang pada topik yang telah kau tulis dalam naskah itu, tetapi bidiklah topik itu dari sudut pandang yang berbeda, sehingga kau bisa menawarkan sesuatu yang baru dari topik tersebut. Kalau kau memang menyukai topik yang kau tulis itu, kau pasti akan mampu menemukan sudut pandang yang baru, atau unik, sehingga kau bisa menyuguhkan tulisan yang benar-benar berbeda, meski berasal dari topik yang sama.

Kemudian, alasan keempat yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena isi naskahmu dinilai out of date—atau ketinggalan zaman, atau sudah tidak tren lagi, atau sudah kehilangan selera pasar. Misalnya, kau menulis naskah novel ber-genre teenlit, sementara kebanyakan penerbit saat ini sudah menganggap genre teenlit tidak lagi tren, atau sudah tidak terlalu diminati pasar. Ketika kenyataan semcam ini terjadi, maka penerbit pun akan cenderung menolak naskahmu, meski mungkin kisah teenlit yang kau tulis itu tergolong bagus. Ini bukan lagi soal kualitas yang menjadi masalah, tetapi kemungkinan pasar bagi naskah itu.

Saya mengenal seorang penulis yang dulu cukup aktif menulis kisah-kisah teenlit, dan karyanya pun cukup diminati pasar—terbukti beberapa novelnya mengalami cetak ulang, dan karyanya selalu masuk ke penerbit mana pun. Tetapi, sekarang, penulis ini tak bisa produktif lagi—bukan karena dia kehabisan ide, tetapi karena penerbit sudah tak mau menerima naskah teenlit dengan alasan sudah tidak lagi tren. Penerbit-penerbit yang dulu menerbitkan novel si penulis itu meminta agar dia mengirimkan naskah yang ber-genre lain saja. Susahnya, penulis ini tak bisa menulis naskah lain selain teenlit!

Karenanya, sebelum memutuskan untuk menulis suatu naskah, ada baiknya untuk mencermati terlebih dulu apakah naskah yang akan kau tulis itu masih “laku” atau tidak. Caranya cukup mudah. Datanglah ke toko-toko buku, dan lihatlah buku-buku macam apa yang saat ini sedang banyak dipajang di rak-rak mereka.

Nah, alasan kelima yang membuat penerbit menolak naskahmu, tak jauh beda dengan alasan nomor empat di atas—hanya saja lebih spesifik. Alasan kelima ini adalah karena naskahmu tidak memiliki nilai jual—atau memiliki nilai jual yang sangat rendah.

Bagaimana pun juga, penerbit adalah organisasi bisnis yang memburu keuntungan. Mereka bukan yayasan amal atau badan sosial. Karenanya, yang menjadi ukuran layak atau tidaknya sebuah naskah untuk diterbitkan tidak hanya berdasar pada bagus-tidaknya naskah itu semata-mata, tetapi juga tergantung pada seberapa bagus kemungkinan penjualannya.

Bisa saja kualitas naskah yang kau tulis sangat bagus, detail, mendalam, tetapi naskah itu tidak memiliki kemungkinan pasar yang menjanjikan. Ketika dihadapkan pada kenyataan semacam itu, penerbit pun akan cenderung menolak naskahmu. Ingatlah selalu, seidealis apapun, penerbit tidak ingin merugi dalam aktivitas penerbitannya. Bahkan, kalau boleh ngomong blak-blakan, penerbit akan lebih suka menerima naskah yang kualitasnya biasa-biasa saja tapi memiliki kemungkinan pasar yang bagus, daripada menerima naskah yang hebat tapi kemungkinan pasarnya kecil.

Terakhir, alasan keenam, yang membuat penerbit menolak naskahmu, adalah karena alasan teknis dari si penerbit bersangkutan. Alasan keenam ini mungkin jarang kau dengar, tetapi kau perlu tahu—agar tidak langsung berkecil hati ketika menghadapi penolakan.

Untuk menerbitkan sebuah naskah menjadi sebuah buku hingga terdisplai di toko-toko buku, penerbit membutuhkan biaya puluhan juta. Padahal mereka tidak hanya menerbitkan satu judul buku saja. Karenanya, ada kalanya penerbit mengalami kekurangan dana, sebab persediaan dana mereka terkuras untuk menerbitkan buku-buku yang telah ada dalam jadwal penerbitan mereka. Ketika kenyataan semacam itu terjadi, maka mereka pun akan cenderung menolak naskah-naskah baru yang datang.

Apakah kenyataan semacam di atas hanya terdapat pada penerbit-penerbit kecil? Belum tentu. Penerbit yang relatif besar pun kadang-kadang mengalami kenyataan semacam itu. Karenanya pula, ketika sebuah penerbit menolak naskahmu, padahal naskahmu tergolong bagus (dengan ukuran penilaian yang objektif), maka bisa jadi dasar penolakan itu bukanlah pada naskahmu semata-mata, tetapi lebih pada kondisi si penerbit bersangkutan. Dan, kalau memang seperti itu kenyataannya, kirimkan saja naskahmu ke penerbit lainnya.

Alasan-alasan penolakan, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas, sesungguhnya tidak penting. Karena yang lebih penting adalah SIKAP KITA dalam menghadapi penolakan itu. Ketika kita menulis sesuatu dan mengirimkannya kepada sebuah penerbit, maka itu artinya kita sudah siap untuk ditolak. Jika kau tidak siap menerima penolakan, sebaiknya hindari aktivitas menulis, apalagi sampai bermimpi menjadi penulis. Profesi yang paling rentan penolakan adalah penulis—aktivitas yang paling sering menghadapi penolakan adalah menulis.

Tetapi, tidak ada penulis yang dapat menjadi besar tanpa penolakan. Semua penulis yang tumbuh besar adalah penulis yang telah berkali-kali menerima penolakan. John Grisham, Jack Canfield, Vladimir Nabokov, Stephen King, Sidney Sheldon, Dan Brown, J.K. Rowling, bahkan Charles Dickens sekalipun, semuanya telah menerima dan menghadapi penolakannya masing-masing. Jika ada penulis yang telah merasa hebat karena belum pernah mengalami penolakan, maka dia perlu mawas diri, karena sesungguhnya dia belumlah hebat.

Dan bagi saya pribadi, penolakan adalah kesempatan untuk belajar lebih baik lagi. Penolakan adalah cara alam semesta memberitahu, “Hei, kau masih bisa lebih hebat dari ini, ayo perbaiki!” Pada suatu titik tertentu dalam hidup, kapan pun, kita akan sampai pada titik kesadaran bahwa seharusnya kita mengucapkan terima kasih kepada penolakan…


 
;