Jumat, 20 Agustus 2010

Facebook, BlackBerry, dan “Barang Haram” Lainnya (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Sampai di sini, saya tidak merasa kesulitan untuk menyebutkan barang-barang lain lagi yang sekiranya dapat dilarang dan diharamkan. Jumlahnya banyak sekali—dari pakaian sampai iPod, dari bungkus kacang sampai satelit. Semuanya bisa dicari faktor keburukannya, semua bisa digali sisi negatifnya—atau sisi negatif penggunaannya.

Tetapi buat apa melakukan hal itu? Buat apa mencari-cari sisi negatif dari benda-benda atau barang-barang yang tidak diciptakan untuk tujuan negatif? Seperti Facebook, misalnya. Atau BlackBerry. Jika memang kedua benda itu dinilai membuat orang jadi “kesurupan” dan tidak ingat waktu, maka seharusnya orang atau penggunanya itulah yang dibereskan atau disadarkan, dan bukannya melarang atau mengharamkan benda yang digunakannya.
Sedikit-sedikit, dilarang. Sedikit-sedikit, diharamkan. Ini aneh, pikir saya. Dan konyol. Juga lucu.

Jika benda dinilai lebih penting dibanding pengguna, dan dianggap lebih bertanggung jawab dibanding pemakainya, maka seharusnya yang dituntut hukuman dalam pengadilan pembunuhan adalah pisau atau golok, dan bukan pembunuhnya. Pembunuh itu tentunya tidak salah, benda yang digunakannya itulah yang salah. Jika analogi ini terdengar aneh dan konyol, begitu pula pelarangan dan pengharaman atas benda-benda tertentu yang nyata-nyata tidak ditujukan untuk hal-hal negatif, tetapi kemudian digunakan secara negatif oleh pemakainya.

Kemajuan zaman dan modernisasi peradaban, serta kebudayaan manusia, tak pernah bisa dilepaskan dari kemajuan dan modernisasi teknologi. Ini hukum alam yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Lawanlah hukum alam ini, jika ingin kembali hidup di gua-gua dan berburu binatang buas di hutan-hutan—dan kembalilah ke masa purbakala.

Penciptaan teknologi yang menyentuh peradaban manusia ditujukan untuk memudahkan kehidupan manusia. Jika kemudian teknologi itu disalahgunakan, manusia penggunanya yang perlu disadarkan. Aturan mainnya sudah jelas dan sederhana; gunakanlah kemajuan teknologi dengan baik dan penuh tanggung jawab, ATAU haramkanlah dan kembalilah hidup di gua-gua seperti kakek dan nenek moyang kita.

Omong-omong, saya sangat miris ketika melihat iklan operator yang memberikan bonus 1.000 SMS gratis setiap hari kepada para konsumennya. Saya miris, karena membayangkan, orang macam apa yang berkirim SMS sampai seribu kali dalam sehari?

Miris hati saya belum reda atas iklan 1.000 SMS gratis itu, tiba-tiba muncul lagi iklan dari operator lain yang menawarkan bonus 10.000 SMS gratis setiap hari. Makhluk macam apa yang mengirimkan SMS sampai sepuluh ribu kali setiap hari? Jika ada manusia yang sampai berkirim SMS sebanyak itu, dia perlu dibawa ke laboratorium untuk diteliti apakah dia benar-benar manusia, ataukah makhluk dari planet lain yang menyerupai manusia.

Saya tidak menyalahkan operator yang memberikan tawaran menggiurkan semacam itu. Namanya juga persaingan bisnis, mereka tentunya berlomba-lomba meraih konsumen sebanyak-banyaknya, dan karenanya berupaya semaksimal mungkin memanjakan konsumen atau calon konsumennya. Tetapi, yang membuat saya tidak habis pikir adalah orang-orang yang menggunakan fasilitas itu dengan “lugu”.

Mentang-mentang diberi 1.000 atau 10.000 SMS gratis, mereka menghabiskan umur dan hidupnya hanya untuk mengetik SMS di ponselnya—dan merasa menyesal jika sampai tidak menghabiskan jatah yang telah diberikan. Ini aneh, pikir saya. Dan konyol. Juga lucu.

Marilah kita berpikir secara jernih, dengan menggunakan akal pikiran manusia waras, bahwa hidup tidak sekadar untuk kirim-kiriman SMS. Juga tidak sekadar untuk update status di Facebook. Juga tidak sekadar untuk hal-hal tidak penting melalui BlackBerry. Dan… yang lebih penting lagi, hidup tidak sekadar untuk membaca catatan ini.

Marilah belajar menjadi manusia waras. Biarkan saja Facebook berjaya menjadi situs jejaring sosial paling spektakuler di dunia. Biarkan saja BlackBerry memudahkan banyak urusan kita. Biarkan saja operator memanjakan kita dengan seribu, atau sepuluh ribu, atau bahkan sejuta SMS gratis yang diberikannya. Tapi tidak usah terlena. Jaga saja akal waras kita, karena hidup ini tidak sekadar ditentukan oleh semuanya itu. Meminjam istilah bijak almarhum Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”

 
;