Jumat, 27 Agustus 2010

Izinkan Saya Merokok

Saya perokok dan saya tahu merokok itu ada risikonya, tapi risiko itu ada pada semua barang—bukan hanya rokok. Karena itu saya heran mengapa hanya rokok yang dipersoalkan. Saya yakin ada agenda global di balik kampanye antirokok itu.
—Gabriel Mahal SH, Advokat

Kampanye antirokok itu perlu konsensus, bukan hanya dibilang haram atau merusak kesehatan, karena kampanye antirokok tanpa konsensus akan mudah ditunggangi kepentingan ekonomi global yang ‘mematikan’ petani kita sendiri.
—Joko Susanto MSc., Pengamat politik Universitas Airlangga, Surabaya

Kita jangan gampang mengeluarkan fatwa haram, apalagi hanya dilakukan sekelompok orang seperti MUI yang bukan perokok. Ada empat hal yang tidak boleh dibisniskan—yakni agama, pendidikan, kesehatan, dan budaya.
Emha Ainun Nadjib, Budayawan


Tanggal 31 Mei dirayakan sebagai Hari Tanpa Tembakau sedunia, dan di hari tersebut biasanya banyak orang yang sibuk membawa atau memasang poster berisi anjuran untuk tidak merokok. Catatan ini memang bermaksud mengulas tentang rokok, tetapi sengaja saya tulis setelah hari tersebut berlalu, agar tidak dianggap sebagai “perlawanan terang-terangan” terhadap kampanye antirokok. Lebih dari itu, saya seorang perokok, karenanya selalu ada kemungkinan saya akan dianggap subjektif jika menulis persoalan ini.

Well, sebenarnya, ribut-ribut antirokok bukan barang baru—bahkan sekarang ada pihak-pihak tertentu yang telah mengharamkannya. Dr. Said Aqil Siradj, Ketua PBNU sekarang, tertawa ketika mendengar fatwa haram atas rokok. “Atas dasar apa pengharaman rokok?” tanyanya. Jika yang menjadi dasar pengharaman rokok adalah karena klaim bahwa rokok dapat menyebabkan kecanduan, maka akan ada setumpuk hal dan seabrek barang yang juga harus diharamkan dengan dasar yang sama—dari kecanduan ber-SMS, sampai kecanduan makan nasi.

Tetapi saya tidak bermaksud membahas soal haram-tidaknya merokok—karena saya bukan ustadz, dan catatan ini pun tidak dimaksudkan sebagai forum bahtsul masa’il. Biarlah hal itu menjadi wilayah mereka yang memang memiliki kompetensi dalam hal itu. Yang ingin saya bahas di sini adalah dasar dari semua ribut-ribut mengenai antirokok yang sepertinya makin hari makin menguat, sehingga rokok seolah berubah menjadi monster yang amat mengerikan—jauh dari kenyataan sesungguhnya.

Pemaparan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengajak kalian agar merokok atau mengkampanyekan “Rokok itu Sehat”—saya menulis catatan ini dengan tujuan untuk mengajak kita semua agar melihat suatu isu dengan kacamata yang lebih jernih, dengan pikiran yang lebih objektif.

Selama ini, rokok selalu dituduh sebagai biang keladi kematian, karena rokok didakwa sebagai penyebab kanker paru-paru. Semenjak era 80-an, kampanye tentang hal ini sudah digembar-gemborkan dengan menyatakan bahwa setiap 11 detik ada 1 orang yang mati karena rokok—dan sekarang malah meningkat menjadi setiap 1 detik ada 1 orang yang mati karena rokok.

Tetapi bagaimana statistik itu bisa diyakini? Apakah memang setiap kematian tersebut benar-benar disebabkan oleh rokok yang kemudian dinyatakan dalam sertifikat kematian mereka? Bagaimana membuktikan bahwa penelitian atas kematian-kematian tersebut memang disebabkan oleh rokok? Pertanyaan ini tak pernah terjawab sampai sekarang. Jika kita harus menggunakan perspektif statistik, maka “penelitian” yang diklaim di atas hanyalah penelitian yang disajikan atas dasar data epidemiologi.

Faktanya, hubungan penyakit dan angka kematian tidak bisa dijadikan sebagai cermin data riset hidup yang sebenarnya, karena tidak ada hubungan kuantitatif dan kualitatif yang nyata. Orang Jepang, misalnya, dianggap sebagai perokok berat—setiap orang di Jepang rata-rata mengisap 3.023 batang rokok setiap tahunnya. Tetapi angka kematian karena kanker paru di sana merupakan yang paling rendah di dunia.

Kemudian, rokok juga dituduh sebagai “pengganggu kesehatan” orang lain, karena orang yang tidak merokok akan terpapar racun dari asap rokok. Kenyataan ini biasanya disebut sebagai “perokok pasif”. Well, memang ada orang-orang tertentu yang sensitif dengan asap rokok, sehingga merasa tidak nyaman jika berdekatan atau menghirup asap rokok. Untuk hal ini, si perokok memang perlu menghormati orang tersebut dengan tidak merokok di dekatnya—atau meminta si orang sensitif itu untuk menjauh jika memungkinkan.

Tetapi jika rokok dituduh mengganggu kesehatan si “perokok pasif”—dengan alasan karena si perokok pasif ikut menghirup asap rokok tersebut—maka itu tuduhan yang belum tentu benar, bahkan konyol. Kalau kita berdekatan dengan orang lain yang merokok, terlepas apakah kita merokok atau tidak, maka sangat kecil kemungkinannya kita akan terpapar asap rokok orang itu! Mengapa? Jawabannya sangat gamblang, yakni karena asap cenderung naik ke atas berdasarkan temperaturnya yang tinggi.

Jika fakta ini masih terdengar meragukan, sekarang lihat penelitian ilmiahnya. Berdasarkan penelitian terhadap kafe-kafe yang memiliki jendela terbuka di atas kepala, didapatkan hasil berikut ini:

Apabila seorang pengunjung non-perokok berada di dalam kafe (bersama orang-orang yang merokok di dalamnya), maka pengunjung tersebut baru akan mendapatkan paparan ekuivalen merokok 1 batang apabila dia tinggal di kafe tersebut selama 105 jam. Perhatikan tingkat perbandingannya—paparan asap 1 batang rokok berbanding waktu 105 jam. Artinya, kalau kita hanya berdekatan dengan perokok selama beberapa menit, bisa dibilang itu tidak ada artinya sama sekali!

Coba kita lihat fakta lain berikut ini. Apabila 70 juta batang rokok dibakar di Jakarta per hari, total asapnya akan menghasilkan total particulate mater (TPM) sebanyak 5 ton. Pada saat ini, ada 200 ribu kiloliter BBM yang dibakar per hari di Jakarta, dan hasilnya menebarkan 100 ton TPM. Ditambah asap dari industri, pesawat terbang, dan debu, maka akan ada total 205 ton TPM per hari di Jakarta. Berdasarkan fakta ini, maka kontribusi TPM rokok hanya 2,4%.

Kemudian, perang yang terus-menerus dilancarkan terhadap rokok sering kali mengangkat isu karena rokok mengandung nikotin yang dianggap menciptakan kecanduan atau ketergantungan (adiksi). Saya katakan itu “isu”, sebab belum tentu berdasarkan pada kenyataan. Sekarang kita lihat faktanya.

Nikotin berasal dari tanaman Nicotiana Tabacum, yaitu suatu amine tertier yang terdiri dari pyridine dan pyrolidine (C10H14N2). Yang menjadi masalah, dalam kaitannya dengan rokok, nikotin sering disamakan dengan sifat adiksi heroin, opium, atau kokain, yang selalu menuntut tambah dan tambah dosis dalam konsumsinya. Padahal tuduhan ini sangat berlebihan (over-used), bahkan British Medical Association menyarankan pada anggota dokternya agar tidak menggunakan kata “adiksi” terhadap nikotin, sebab “kata tersebut menciptakan kesan seolah seorang perokok tidak bisa berhenti, padahal kenyataannya memungkinkan (berhenti).”

Karenanya, kata adiksi atau ketergantungan, sesungguhnya salah aplikasi dalam konteks nikotin dan tembakau. Untuk lebih jelasnya, lihat posisi nikotin terhadap bahan-bahan yang tergolong NAPZA, baik ditinjau dari tingkat ketergantungannya maupun tingkat akseptabilitasnya. Lebih jauh, nikotin dalam Media Model tidak tergolong physical dependence tetapi psychological dependence—tidak ada bukti euphoria, tidak ada drug abuse, tidak ada fly, juga tidak ada ‘climb a mounting’ seperti ketika orang mengkonsumsi opium. Perokok masih dapat mengendalikan dirinya (under control) secara individual.

Sampai di sini, mungkin akan muncul komentar, “Yeah, tulisan ini dibuat oleh seorang perokok—jadi wajar saja kalau isinya seperti ini!”

Sejak awal saya sudah mengaku bahwa saya memang perokok—dan saya pun sudah menyatakan tujuan saya menulis catatan ini sama sekali bukan untuk membela para perokok, melainkan untuk mengajak kita semua agar dapat memahami isu/kampanye/berita/ajakan atau apa pun secara lebih jernih, lebih objektif, dan tidak hanya ikut-ikutan. Dalam konteks catatan ini, soal rokok hanyalah soal kasus—kita bisa membongkar isu-isu lain yang sama besar atau lebih besar, semisal isu kiamat, isu pemanasan global, ataupun isu-isu yang lain.

Sebenarnya, masih banyak hal lain yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa rokok sesungguhnya “tidaklah seberbahaya sebagaimana yang diisukan atau digembar-gemborkan” itu. Bahkan kalau menginginkan perbandingan, ada cukup banyak makanan/minuman yang sama berbahaya atau bahkan lebih berbahaya dari rokok—dari mie instan yang mengandung MSG dan lapisan lilin, tahu dan tempe yang dibuat dari kedelai transgenik, sampai ikan laut yang mengandung kadar merkuri karena air laut yang tercemar. Tetapi bukan untuk itu tujuan saya menulis catatan ini.

Jadi, marilah sekarang kita bertanya—mengapa kampanye antirokok sepertinya makin gencar, isunya makin dibesar-besarkan, sementara untuk hal-hal lain (yang sama berbahayanya) tidak ada yang berkomentar atau berteriak?

Saya pikir sebaiknya saya tidak menjawab pertanyaan itu, karena nantinya catatan ini terkesan sebagai “pembelaan diri” seorang perokok dan terkesan makin subjektif. Tugasmulah sekarang untuk menjawab pertanyaan di atas—jika kau memang ingin mencari jawabannya. Dan, saya pikir, catatan ini sudah terlalu panjang, jadi sebaiknya saya akhiri sampai di sini—dan izinkanlah saya merokok sekarang.

 
;