Minggu, 01 Agustus 2010

Perempuan, Makhluk Menakjubkan

Setiap orang adalah putra dari perempuan yang mencintainya.
—Kahlil Gibran


Belum lama, saat sarapan sendirian di dapur rumah yang sepi, saya melihat tempat sampah di dapur sudah perlu diganti. Maka siang harinya, setelah makan, saya pun mampir ke sebuah tempat penjualan alat-alat rumah tangga untuk mencari tempat sampah yang baru.

Di salah satu lokasi, saya menemukan tempat penjualan alat-alat rumah tangga, dan saya lihat ada tempat sampah seperti yang saya inginkan. Maka saya pun masuk ke sana, dan mulai memilih-milih tempat sampah yang dipajang di tempat itu.

Penjualnya, seorang ibu muda, tampak tengah menenangkan anak lelakinya yang masih kecil, yang sedang menangis. Si anak sepertinya baru terjatuh, dan si ibu muda dengan suara yang bijaksana tampak menghiburnya dengan mencium lutut anaknya yang terluka. Ketika melihat saya datang, ibu mudah itu tersenyum menyambut saya.

Setelah memilih tempat sampah yang saya inginkan, saya pun membawanya pada ibu muda tadi dan menanyakan, “Bu, berapa nih harganya?”
Ibu muda itu tersenyum, dan menatap saya. “Kamu sudah tak mengenaliku, Da’?”

Saya terbengong campur bingung. Lalu sesopan mungkin saya berkata, “Maafkan aku, apakah kita saling kenal?”

Kali ini ibu muda itu tertawa. “Aku Risti—Ristiani! Ingat? Kawanmu waktu di SMP.”

Oh, ya Tuhan! Tentu saja saya ingat! Saya tentu masih mengingat Ristiani—salah satu kawan sekelas saya waktu di SMP—Ristiani yang dulu begitu kecil, cengeng, pendiam, suka nangis waktu diledek kawan-kawannya.... Dan sosok yang dulu begitu rapuh itu sekarang telah menjadi seorang ibu yang bijaksana, yang mampu meredakan tangis anaknya yang terluka karena berlarian dengan kawan-kawannya.

Maka pertemuan yang tak disengaja itu pun menjadi suatu reuni kecil yang sangat manis. Kami saling bertukar kabar, membicarakan kawan-kawan kami dulu—yang sebagian besar telah menikah dan punya anak-anak.

“Kamu masih tampak seperti remaja, Da’. Berapa anakmu sekarang?” tanyanya kemudian.

Saya tertawa bingung. “Aku belum merid, Ris.”

“Belum? Kapan kamu merid? Anakku aja sudah tiga.”

“Tiga...?”

“Iya, ini yang paling kecil,” ujar Risti sambil membelai rambut anak lelakinya yang kini telah berhenti dari tangisnya. Si anak kecil kini tampak melendot manja pada lengan ibunya.

Ketika saya pergi dari tempat itu sambil membawa tempat sampah baru untuk dapur rumah saya, bayangan wajah Ristiani dan anak lelakinya masih terus menari-nari di pelupuk mata saya. Oh Tuhan... betapa menakjubkannya perempuan! Berapa tahunkah yang telah berjalan semenjak pertama kali saya bertemu dengan Ristiani di SMP dulu? Rasanya baru kemarin.

Dan sekarang, sosok yang dulu begitu rapuh itu kini telah berubah menjadi sosok yang begitu tegar. Perempuan yang dulu cengeng dan suka menangis itu sekarang tahu bagaimana meredakan tangis anaknya. Sosok perempuan pendiam yang dulu saya kenali begitu lemah dan penakut itu kini telah melahirkan tiga orang manusia—anak-anaknya. Alangkah menakjubkannya perempuan....

 
;