Kamis, 30 September 2010

Meniti Sirath Keraguan

Keraguan adalah peringkat pertama dari keyakinan.
Al Ghazali

Untuk mengetahui kebenaran, kita terlebih dulu harus meragukan
segala sesuatu. Keraguan adalah jalan pertama menuju keyakinan.
Rene Descartes


Ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.

Tentu saja, untuk dapat dengan yakin menyebutkan apakah gelas itu setengah penuh atau setengah kosong, kita harus mengukurnya dengan pasti. Jika jumlah air yang ada dalam gelas itu lebih banyak dibanding ruang yang kosong, maka gelas itu setengah penuh. Tetapi, jika ruangan yang kosong lebih besar dibanding jumlah air yang tertuang, maka berarti gelas itu setengah kosong.

Ketika dihadapkan pada kasus semacam ini, kebanyakan orang malas untuk mencari kepastian, dan biasanya hanya mendasarkan keyakinannya pada asumsi. Mungkin orang akan menatap gelas itu sesaat, menakar dan mengira-ngira apakah gelas itu setengah kosong atau setengah terisi, dan kemudian membangun keyakinannya atas dasar perkiraannya tersebut. Nah, “perkiraan” di dalam hal ini disebut asumsi.

Lalu, apakah asumsi itu? Secara mudah, asumsi didefinisikan sebagai perkiraan—lebih tepatnya lagi, perkiraan kasar. Tetapi, sesungguhnya, makna asumsi lebih dari itu. Di dalam konteks keyakinan, asumsi adalah “kesengajaan untuk memasukkan diri ke dalam ketidaktahuan”. Ketika orang menyandarkan suatu keyakinan hanya kepada asumsi, maka dia sesungguhnya menyandarkan keyakinannya kepada sesuatu yang tidak diketahuinya secara pasti. Asumsi itu bisa saja benar, tetapi juga bisa keliru.

Jangankan asumsi yang hanya berdasarkan perkiraan, bahkan asumsi yang melibatkan penelitian pun tidak menjamin kebenaran pasti. Ingat selalu, di dalam keyakinan, asumsi adalah kesengajaan untuk memasukkan diri di dalam ketidaktahuan. Dan di sini, bahkan upaya yang serius untuk meneliti suatu keyakinan pun terkadang hanya memberikan sebentuk asumsi. Contoh paling nyata dalam hal ini adalah ‘asumsi’ yang diyakini oleh Percival Lowell.

Percival Lowell, dari Amerika, adalah seorang astronom dunia paling top di awal abad 20-an. Menurut pengamatannya di Flagstaff, Arizona, ia telah menguji kebenaran hipotesa yang dikeluarkan oleh Giovanni Virginio Schiaparelli, seorang astronom Italia, yang percaya bahwa di planet Mars pernah ada kanal.

Tidak hanya itu, Percival Lowell juga mengatakan bahwa kanal-kanal itu berwarna merah, dan tampaknya bergerak. Di dalam bukunya, Mars As the Abode of Life, Lowell tidak hanya menggambarkan penemuannya tersebut, tapi juga menggambarkan peta mengenai kanal itu. Ide dan petanya itu pun kemudian muncul di buku-buku pelajaran sekolah di seluruh dunia.

Nah, sebenarnya, bagaimana pun juga, tidak ada kanal di planet Mars. Percival Lowell, seorang terpelajar yang sangat teliti, menderita penyakit mata yang masih langka—yang tidak diketahuinya. Bila ia melihat dari teleskop, ia melihat urat nadi merah di matanya sendiri. Namun karena sangat dihormati di kalangan itu, para astronom lain tidak menentang penemuannya—setidaknya waktu pertama kali penemuan itu muncul.

Keberadaan kanal di planet Mars diyakini oleh Lowell sebagai kenyataan, tetapi sesungguhnya hanya bentuk yang tercipta dari asumsinya—karena penyakit mata yang dideritanya. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan Lowell, karena bagaimana pun juga dia telah berupaya secara maksimal dalam hal itu. Nah, jika orang yang seserius Percival Lowell saja bisa ‘ditipu’ oleh keyakinannya sendiri, apalagi orang lain yang sama sekali tidak melakukan penelitian apa pun atas keyakinannya…?

Kehidupan kita dibentuk oleh keyakinan kita. Apa saja yang kita yakini akan menjadi penentu sekian banyak hal yang kita pilih, kita ambil, dan kita lakukan dalam hidup. Dan keyakinan itu dibentuk oleh lingkungan kita—tempat kita lahir, keluarga tempat kita tumbuh besar, sekolah tempat kita belajar, pergaulan tempat kita bersosialisasi, sampai pada makanan, minuman, buku bacaan, musik, film, dan hal lain yang biasa menyentuh kehidupan kita.

Manusia adalah produk lingkungannya. Lingkungannya adalah pembentuk keyakinannya. Keyakinannya akan mempengaruhi kehidupannya. Kehidupan seseorang akan ditentukan oleh apa yang diyakininya. Pertanyaan pentingnya, bagaimana kalau ternyata keyakinan yang kita yakini itu bukanlah keyakinan yang benar? Bagaimana kalau ternyata sesuatu yang kita yakini mati-matian ternyata keliru dan justru menjerumuskan kita…?

....
....

Ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.

Jika hasil penilaian kita terhadap isi gelas itu sama sekali tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan kita, maka semuanya memang baik-baik saja. Tak peduli perkiraan dan keyakinan kita atas isi gelas itu benar atau tidak, hasilnya tidak masalah. Peduli amat dengan isi gelas!

Tetapi, bagaimana kalau perkiraan dan keyakinan kita terhadap isi gelas itu akan memiliki pengaruh—bahkan pengaruh yang besar—dalam kehidupan kita? Bukankah mengerikan ketika hal semacam itu hanya kita sandarkan di dalam sebuah perkiraan—sebuah asumsi?

Ingat selalu, di dalam keyakinan, asumsi adalah kesengajaan diri untuk masuk ke dalam ketidaktahuan. Tak peduli sekuat dan sehebat apa pun keyakinan seseorang, keyakinan itu hanyalah kegelapan ketidaktahuan jika hanya disandarkan pada asumsi. Dan, yang mengerikan, keyakinan yang hanya berdasarkan pada asumsi ada kalanya membawa bencana.

Ingat tragedi Titanic…? Tragedi yang menimpa kapal Titanic adalah hasil dari keyakinan yang salah, asumsi yang keliru. Ketika Titanic akan mulai berlayar, dan para penumpang telah masuk ke dalam kabinnya masing-masing, seorang wanita bernama Sylvia Caldwell bertanya sehebat apa kapal yang sekarang ditumpanginya itu. “Benarkah Titanic benar-benar aman?”

Mendengar pertanyaan Sylvia Caldwell, seorang pelaut di kapal Titanic menyatakan, “Yes, Lady, God himself could not sink this ship—Ya, Nyonya, bahkan Tuhan pun tidak bisa menenggelamkan kapal ini.”

Suatu keyakinan yang hebat, asumsi yang luar biasa. Dan keyakinan yang ‘hebat’ itu kemudian menewaskan 1.513 orang—jumlah korban yang terlalu besar untuk sebuah asumsi.

Titanic mulai berlayar pada tanggal 10 April 1912. Kapal super besar ini memang dirancang sebagai kapal yang tak mungkin tenggelam—terbuat dari baja, serta memiliki dasar ganda dan 16 kompartemen anti bocor. Hampir semua orang yakin bahwa ini kapal paling aman yang pernah dibuat, dan keyakinan itulah yang dipegang teguh oleh perancangnya, ahli mesinnya, karyawannya, ABK kapal, pemilik, dan penumpang, termasuk pula sebagian besar masyarakat umum. Tetapi, keyakinan bahwa Titanic tidak akan pernah tenggelam itulah yang justru membawa kapal ini ke akhir yang tragis.

Umumnya, kapal yang berlayar di lautan membawa jumlah sekoci untuk menampung semua orang yang ada di kapal. Tapi tidak untuk Titanic. Kapal ini hanya membawa sekoci yang hanya mampu memuat sepertiga dari seluruh penumpang. Selain itu, tidak ada alat yang praktis untuk digunakan evakuasi, karena mereka sudah terlalu yakin bahwa kapal itu tidak mungkin tenggelam—jadi untuk apa mempersiapkan alat-alat penyelamatan?

Pada awalnya, log kapal mencatat peringatan akan adanya gunung es dalam steamer lane dalam waktu tiga hari mendatang. Pesan ini tidak digubris oleh Titanic. Peringatan kedua dikirimkan, namun sang operator radio tidak juga memberi tanggapan. Mereka tetap teguh dalam keyakinan bahwa Titanic yang super besar itu tidak mungkin tenggelam.

Peringatan berikutnya muncul beberapa jam kemudian, namun kapten kapal atau pun manajernya tidak juga khawatir. Titanic sedang melaju penuh dengan kecepatan 22 knot per jam. Menjelang pukul 21:30 malam, Titanic merekam lima peringatan akan kehadiran gunung es, dengan laporan terakhir yang menyebutkan kapal akan mengalami tabrakan. Tapi tindakan waspada yang dilakukan hanyalah menyuruh penjaga malam untuk tetap waspada.

Dua jam kemudian, pada pukul 23:32 malam, pesan berikutnya diudarakan ke Titanic oleh seorang pelaut di sebuah kapal yang kebetulan berada tak jauh dari tempat Titanic melaju, tapi kapten kapal tetap saja tak mempedulikan. Dan Titanic, dengan sebongkah besar keyakinannya akan kapal yang mustahil tenggelam, melaju terus.

Pada pukul 23:40 malam, sebuah gunung es yang luar biasa besar terlihat di depan… namun segalanya sudah terlambat. Titanic menabrak bongkahan gunung es yang tidak bergerak ini, dan bagian dasarnya yang dari baja menerima hantaman yang sangat keras. Pintu yang seharusnya anti bocor dan bulkhead-nya tidak dapat menahan serangan, dan Titanic yang diyakini mustahil tenggelam itu pun mulai merunduk… dan tenggelam.

Sekoci dilempar ke air, namun hanya mampu menampung sedikit penumpang. Sinyal permintaan bantuan dikirimkan, namun tak ada yang terlalu peduli karena dikira Titanic benar-benar tak mungkin tenggelam. Dan Titanic pun akhirnya benar-benar lenyap dari atas perairan dalam waktu tidak lebih dari tiga jam. Tenggelamnya Titanic dan tragedi besarnya adalah hasil dari sebuah keyakinan yang salah—asumsi yang keliru.

....
....

Kita memang tidak sedang berada di kapal Titanic. Tetapi kita sedang menjalani fragmen yang sama di dalam kapal besar yang tengah melaju di atas perairan kehidupan. Dan kapal yang kita tumpangi ini berlayar di atas keyakinan-keyakinan, yang kita yakini akan mengantarkan kita pada tempat tujuan. Dan di sini, pertanyaan yang paling menggelisahkan adalah, “Benarkah apa yang kita yakini itu…?”

Jadi, ambillah sebuah gelas yang kosong. Kemudian, tuangkan air ke dalam gelas itu hingga setengahnya. Sudah…? Nah, sekarang katakan, apakah gelas itu setengah penuh, ataukah setengah kosong.

Jika kita kesulitan untuk memastikannya, atau memang malas membuktikannya, mungkin kita harus meniru filsafat Dian Sastro, “Pecahkan saja gelas itu!”

Jumat, 24 September 2010

Empat Macam Penerbit (4)

Nah, jenis penerbit keempat, adalah penerbit non-komersial. Ini adalah penerbit yang menerbitkan buku dengan tidak menjadikan bisnis atau keuntungan sebagai tujuan utama. Biasanya, penerbit jenis ini hanya menerbitkan buku untuk keperluan-keperluan khusus yang berhubungan dengan visi mereka.

Contoh paling mudah untuk jenis penerbit ini adalah penerbit-penerbit yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Seperti UGM, misalnya. UGM (Universitas Gadjah Mada) memiliki penerbitan sendiri. Tetapi mereka tidak menerbitkan buku untuk tujuan bisnis semata, melainkan untuk mencetak buku-buku ajar yang memang dibutuhkan bagi kebutuhan belajar-mengajar mahasiswa di kampus.

Memang ada kalanya buku terbitan UGM juga beredar di toko-toko buku atau di kampus-kampus lain, tetapi hal itu terjadi karena memang buku tersebut juga dibutuhkan oleh perguruan-perguruan tinggi lain.

Untuk dapat menembus penerbit semacam itu tentu tidak mudah. Hanya orang-orang yang memang dikenal sebagai pakar dalam bidangnya yang berpeluang menerbitkan naskah pada penerbit semacam itu.

Selain penerbitan yang dimiliki kampus atau perguruan tinggi, ada pula penerbit non-komersial yang dimiliki oleh sebuah foundation atau lembaga-lembaga tertentu—baik nasional ataupun internasional. Ini adalah jenis penerbit yang biasanya jarang diketahui para penulis, namun paling diimpikan setiap penulis yang mengetahuinya.

Kalau bukumu diterbitkan oleh penerbit semacam ini, mungkin buku karyamu akan sulit ditemukan di toko buku, tetapi namamu akan dikenal sampai ke luar negeri. Kok bisa? Karena penerbit non-komersial semacam ini memang tidak menerbitkan buku dalam rangka mencari keuntungan atau bertujuan bisnis, melainkan untuk menyebarluaskan visi mereka.

Karenanya, ketika mereka menerbitkan sebuah buku karya seorang penulis, buku itu biasanya akan disebar ke berbagai perguruan tinggi dan perpustakaan, juga institusi-institusi yang berhubungan dengan mereka. Jika lembaga yang menerbitkan bukumu adalah lembaga internasional, maka buku karyamu akan menyebar sampai ke negara-negara lain yang memiliki cabang dari lembaga tersebut. Karenanya, nama seorang penulis di Indonesia, misalnya, bisa saja tercantum dalam daftar katalog perpustakaan di Zimbabwe, atau masuk dalam koleksi sebuah kantor di Paris, Prancis.

Jika misi penerbitan itu tidak komersial, apakah si penulis dibayar atau mendapatkan royalti? Tentu saja—dan ini yang paling menyenangkan. Biasanya, penerbit semacam itu menerbitkan satu judul buku dalam jumlah sangat besar, bahkan lebih besar dibanding jumlah yang dicetak oleh penerbit komersial. Jika penerbit komersial mungkin hanya berani mencetak sepuluh ribu eksemplar, penerbit non-komersial ini bisa mencetak tiga kali lipat dari jumlah itu.

Soal pembayaran penulis, penerbit jenis ini benar-benar sangat menghargai setiap penulisnya. Buku yang mereka terbitkan tetap dihitung berdasarkan royalti, tetapi seluruh jumlah royaltinya langsung dibayarkan pada si penulis begitu bukunya terbit. Jadi, kalau umpama total royalti si penulis mencapai 100 juta, jumlah itu langsung diberikan tanpa menunggu waktu lama. Bahkan mereka terkadang telah memberikan separuh dari jumlah royalti itu pada saat perjanjian penerbitan, dan separuhnya lagi diberikan ketika bukunya terbit.

Lalu bagaimana cara berhubungan dengan penerbit semacam itu, agar karya kita bisa diterbitkan oleh mereka? Saya tidak tahu pasti, tetapi berikut inilah syarat mutlaknya.

Syarat pertama, si penulis memiliki visi yang jelas—dan visi itu sesuai dengan visi lembaga yang memiliki penerbitan itu—dan si penulis benar-benar konsisten dengan visinya. Ketika mereka tertarik dengan seorang penulis, mereka akan mempelajari semua karya tulis yang telah dihasilkan oleh penulis bersangkutan—dari buku-buku karyanya, tulisan di blog, sampai artikel yang ditulis di majalah dan koran-koran (kalau ada).

Jika semua tulisan yang dihasilkannya memang konsisten dengan visinya, (artinya si penulis tidak menulis hanya karena tren semata-mata), mereka akan memasukkan nama si penulis dalam daftar kandidat mereka. Tetapi masih ada syarat mutlak lainnya, yakni si penulis tidak terikat pada sebuah organisasi tertentu yang “sektarian”. Penulis yang berpikiran picik, sempit, dan tidak bisa menoleransi perbedaan, atau cenderung merendahkan sesama manusia, bukanlah orang yang mereka inginkan—tak peduli sehebat apa pun visi yang dimilikinya.

Syarat mutlak ketiga, penulis itu menjalani kehidupan yang relatif bersih. Ketika lembaga semacam itu tertarik dengan seorang penulis yang sekiranya masuk dalam kualifikasi yang mereka tetapkan, mereka akan menyelidiki kehidupan si penulis bersangkutan—tidak usah bayangkan bagaimana caranya. Dan jika mereka mengetahui si penulis ternyata suka nge-drugs, atau pernah ketahuan pingsan karena mabuk di diskotik, atau pernah menghamili anak orang dan semacamnya, mereka akan langsung mencoret nama si penulis—tak peduli sehebat apa pun karyanya.

Mengapa soal moral ikut diperhatikan? Karena nantinya si penulis akan menjadi semacam duta bagi mereka. Buku yang akan ditulis oleh penulis yang mereka tunjuk akan menjadi penyampai visi mereka ke seluruh dunia. Jika mereka salah memilih orang, mereka sama saja bunuh diri. Jadi, yang biasanya terjadi, bukan si penulis yang mengajukan karyanya pada mereka, tetapi merekalah yang akan mencari dan datang “melamar” si penulis.

By the way, saya merasa perlu memaparkan jenis penerbit keempat ini, karena ada cukup banyak penulis yang tetap teguh memegang idealismenya, dan tidak mau berkompromi dengan tren atau selera pasar. Penulis-penulis jenis ini biasanya sulit menembus penerbit komersial, karena mereka tidak menulis untuk kepentingan pasar semata-mata, sehingga kebanyakan dari mereka sulit memperoleh penghasilan dari aktivitas menulisnya.

Karenanya, kalau kita kebetulan termasuk penulis yang seperti itu, tidak perlu berkecil hati. Teruslah menulis—sesuai dengan visi dan idealisme yang kita yakini. Kalau karya kita memang bagus, dan kalau kita memang menjalani hidup dengan sama bagusnya, akan tiba saatnya ketika seseorang mengetuk pintumu, dan membawakan pahala atas kemurnian yang telah kaupilih—kapan pun waktunya.

Jadi, ayo terus belajar, belajar, belajar, dan menulislah! Menulislah sebaik-baiknya, menulislah sebanyak-banyaknya, jauhi nge-drugs, hiduplah dengan lurus, yakinilah visi dan ikutilah hatimu—dan biarkan dunia membaca karya-karyamu.

Kamis, 23 September 2010

Empat Macam Penerbit (3)

Ketiga, penerbit tidak profesional. Dari namanya saja kita tahu penerbit macam apa jenis ketiga ini. Tidak profesional. Artinya, penerbit ini berlawanan sifat dengan penerbit yang profesional. Jika penerbit profesional jujur, penerbit ini tidak jujur. Jika penerbit profesional menjalin hubungan dengan penulis atas dasar saling menguntungkan, penerbit jenis ini menjalin hubungan dengan tidak adil, berat sebelah, dan cenderung merugikan penulis.

Di atas kertas, mereka bisa saja menyatakan hanya mencetak buku sejumlah 5.000 eksemplar, misalnya, tetapi dalam kenyataan bisa saja mereka mencetak dalam jumlah dua kali lipat. Di surat kontrak, mereka jelas-jelas menyatakan akan membayar royalti pada bulan Juni, misalnya, tapi dalam kenyataan, si penulis harus mengejar dan menagih-nagih dulu untuk dapat memperoleh hak royaltinya, dan selisih waktunya bisa sampai berbulan-bulan.

Pada zaman dulu, penerbit nakal semacam itu mungkin akan bisa hidup—meski kehidupannya mematikan dan merugikan pihak lain (penulis). Tetapi di zaman sekarang, penerbit semacam itu hampir bisa dipastikan akan mati muda dan bangkrut dalam waktu singkat.

Saat ini ada puluhan milis penulis yang aktif, dan ribuan penulis bergabung serta aktif di dalamnya—dari penulis pemula sampai penulis yang telah malang-melintang selama puluhan tahun. Di milis-milis ini, masing-masing penulis saling sharing, berbagi pengalaman, saling bertanya dan saling membantu memberikan jawaban. Jika ada satu penulis yang sakit hati dengan sebuah penerbit, maka dapat dipastikan akan ada ribuan anggota milis yang akan tahu, dan langsung mencoret nama si penerbit, dan memasukkannya ke dalam daftar hitam.

Apakah kenyataan semacam ini pernah terjadi? Sejauh yang saya tahu, sudah empat kali hal semacam itu terjadi. Lima tahun yang lalu, seorang penulis merasa kesal dengan sebuah penerbit, dan ratusan orang segera merespon—dan mereka pun akan berpikir seribu kali untuk mengirimkan naskah ke penerbit yang disebut-sebut itu. Kita tahu, berita dari mulut ke mulut cepat menyebar seperti virus ganas. Berawal dari milis, masing-masing orang itu kemudian ada yang menuliskannya di blog, dan beritanya makin menyebar lagi.

Ketika berita semacam itu menyebar, yang sakit hati bukan hanya para penulis, tetapi juga para pembaca atau calon pembeli buku dari penerbit bersangkutan. Ketika calon pembaca menemukan buku dari penerbit itu di toko-toko buku, mereka tidak lagi melihat judul bukunya yang mungkin menarik, tetapi langsung ingat nama penerbitnya yang disebut-sebut telah berlaku curang. Tidak butuh waktu lama untuk hancur—dua tahun setelah itu, nama penerbit itu sudah tak lagi terdengar di negeri ini.

Lalu bagaimana membedakan penerbit yang profesional dan yang tidak profesional? Jawabannya memang sulit, sekaligus relatif. Bahkan, kalau boleh jujur, dibutuhkan pengalaman langsung untuk mengetahui apakah sebuah penerbit jujur dan profesional atau tidak.

Tetapi, ada cara yang cukup mudah untuk menilai hal ini—meski tidak dapat dijadikan jaminan seratus persen. Yaitu, lihatlah sebanyak apa penulis yang bergabung dengan sebuah penerbit. Selain itu, jika seorang penulis sampai menerbitkan buku beberapa kali pada satu penerbit, maka berarti penerbit itu tergolong baik. Akan lebih bagus lagi jika penerbit itu juga terbukti telah menerbitkan karya penulis-penulis terkenal. Artinya, mereka telah dipercaya para penulis yang terkenal untuk menerbitkan karya mereka, dan artinya pula si penulis telah mengetahui reputasi si penerbit bersangkutan.

Sekali lagi, cara ini tidak dapat dijadikan jaminan seratus persen, karena bisa saja sebuah penerbit masih sedikit menerbitkan buku, dan masih sedikit penulis yang bergabung dengan mereka, namun penerbit itu benar-benar jujur dan profesional.

Lanjut ke sini.

Empat Macam Penerbit (2)

Kedua, penerbit rumahan. Penerbit jenis ini biasanya bukan penerbit berskala besar. Namanya juga penerbit rumahan, maka skala mereka juga terbatas. Tapi jangan salah paham. Meskipun penerbit rumahan, banyak dari mereka yang tetap menjalankan organisasinya dengan profesional, dan mereka pun menjalin hubungan kerjasama dengan para penulis dengan standar profesional.

Penerbit rumahan tentu saja memiliki sekretaris, staf redaksi, bagian pemasaran, dan lain-lain. Hanya saja, karena skalanya tidak bisa dibilang besar, maka biasanya kemampuan mereka dalam menerbitkan buku juga tidak besar-besaran. Misalnya, kalau penerbit besar mampu menerbitkan dua puluh judul buku dalam waktu sebulan, maka penerbit rumahan biasanya hanya menerbitkan lima sampai sepuluh judul dalam waktu sebulan.

Begitu pun dalam jumlah eksemplar terbitannya. Kalau misalnya penerbit besar mampu mencetak lima ribu sampai sepuluh ribu eksemplar untuk setiap judul buku, penerbit rumahan hanya mampu mencetak seribu sampai tiga ribu eksemplar untuk tiap judul buku. Penerbit besar memiliki dana penerbitan yang besar, penerbit rumahan (biasanya) memiliki dana yang terbatas.

Selain itu, ada kalanya pula penerbit jenis ini dikelola dengan manajemen keluarga. Artinya, setiap naskah yang masuk bukan dinilai oleh staf redaksi yang bekerja di penerbit itu, melainkan langsung dinilai oleh pemilik atau direktur penerbitnya. Jika si direktur oke dengan suatu naskah, maka staf redaksi pun akan ikut oke—dan naskah itu pun akan terbit. Begitu pun sebaliknya.

Sebenarnya, memilih penerbit rumahan tidak menjadi masalah, selama mereka jujur dan profesional. Penerbit rumahan biasanya dituju oleh para penulis pemula yang mungkin masih kurang pede untuk mengirimkan naskahnya ke penerbit besar atau yang terkenal. Tidak masalah bekerjasama dengan penerbit jenis ini—selama hubungan kerjasama itu saling menguntungkan.

Seperti yang sudah saya singgung di atas, penerbit rumahan pun ada yang bekerja dengan standar profesional. Karenanya, meski mungkin buku kita tidak dicetak dan diterbitkan dalam jumlah besar, tetapi setidaknya kita bisa menjalin hubungan kerjasama dengan perasaan nyaman—tanpa khawatir dicurangi atau dirugikan. Toh, kalau kemudian buku itu laris terjual dan habis, penerbit itu pun akan kembali mencetaknya, hingga jumlah eksemplar yang terbit tetap berjumlah besar.

Jadi, inti yang perlu diingat di sini bukan ukuran atau popularitas penerbitnya semata-mata, melainkan pada kejujuran dan profesionalitasnya. Sekali lagi, memilih penerbit itu tak jauh beda dengan memilih pacar. Dan bagi saya, lebih baik punya pacar yang biasa-biasa saja tetapi baik hati dan penuh pengertian—daripada punya pacar yang tampak hebat dan menawan tapi menyusahkan dan menjengkelkan.

Lanjut ke sini.

Empat Macam Penerbit (1)

Kalau di post tentang menulis terdahulu kita sudah belajar mengenai empat macam naskah yang biasa menumpuk di meja redaksi penerbit, sekarang kita akan mempelajari empat macam penerbit. Pemaparan berikut ini diambil dari pengalaman saya selama sepuluh tahun berhubungan dengan berbagai macam penerbit, dalam hubungannya dengan profesi menulis yang saya jalani.

Meski sama-sama bernama penerbit, dan sama-sama menerbitkan buku dari para penulis, tetapi masing-masing mereka tidak sama. Pemaparan ini saya tuliskan, sebagian karena permintaan teman-teman, sebagian lagi karena saya memang merasa perlu menuliskannya—karena hal ini pasti menjadi sesuatu yang penting bagi teman-teman yang ingin menggeluti tulis-menulis. Penerbit adalah mitra utama bagi setiap penulis. Karenanya, salah memilih mitra akan menjadi kesalahan cukup fatal.

Sebenarnya, kalau mau dijelaskan dengan sangat detail, ada lebih dari empat macam penerbit. Tetapi, agar pemaparan ini tidak bertele-tele, saya akan menyingkatnya dalam empat macam saja. Selain itu, yang saya paparkan di sini adalah hal-hal yang biasanya jarang dijelaskan penulis lain. Karenanya, jika penjelasan di bawah ini dirasa kurang lengkap, kunjungilah blog penulis lain untuk mendapatkan penjelasan mereka atas hal-hal yang tidak saya paparkan di sini.

Langsung saja, berikut ini penjelasannya.

Pertama, penerbit profesional. Ini penerbit dambaan setiap penulis. Berurusan dengan penerbit semacam ini pasti menyenangkan—karena semua urusan akan ditangani secara profesional. Dari urusan penerimaan naskah, pengolahan, hingga penerbitan naskah menjadi buku, bahkan sampai urusan distribusi dan pembayaran royalti—semuanya ditangani dengan profesional. Sepanjang bertahun-tahun berhubungan dengan penerbit semacam ini, saya belum pernah menyesal.

Apakah penerbit profesional itu harus penerbit yang besar? Belum tentu. Penerbit yang tergolong kecil pun ada yang profesional.

Yang jelas, penerbit profesional selalu menjaga hubungan kerja dengan para penulisnya dengan baik. Artinya, mereka menyadari betul bahwa eksistensi mereka ditopang oleh keberadaan para penulis—dan mereka benar-benar menghargai setiap penulisnya. Hal ini akan tampak dengan jelas dalam surat perjanjian yang mereka buat ketika mengadakan kontrak dengan penulis.

Ketika membuat surat perjanjian, isi surat itu benar-benar adil—tidak berat sebelah—dan saling menguntungkan. Artinya, tidak merugikan pihak penerbit, juga tidak merugikan pihak penulis. Lebih dari itu, mereka benar-benar mematuhi isi surat perjanjian itu, sebagaimana mereka berharap pihak penulis juga ikut mematuhinya.

Surat perjanjian antara penulis-penerbit adalah awal yang menunjukkan apakah sebuah penerbit profesional atau tidak. Jika surat perjanjiannya saja terkesan tidak adil dan merugikan salah satu pihak—dalam hal ini pihak penulis—maka bisa dikatakan mereka belum tentu profesional.

Saya pernah berurusan dengan sebuah penerbit yang bisa dibilang tidak profesional. Saya baru tahu hal itu ketika mereka mengirimkan draf surat perjanjian atas rencana penerbitan buku saya. Ketika membaca isinya, kening saya terus-menerus berkerut. Isi surat kontrak itu lebih banyak menguntungkan penerbit, dan sejalan dengan itu merugikan pihak penulis.

Setelah mempelajari isinya, saya mengembalikan draf surat kontrak itu, dan meminta mereka mengubah isinya agar lebih adil. Saya menyertakan catatan yang saya harapkan dimasukkan dalam surat kontrak itu, dan saya pun menjelaskan bagian atau pasal-pasal apa saja yang saya nilai berat sebelah. Saya berharap mereka dapat menerima usul dan pertimbangan saya dengan positif.

Di luar dugaan, mereka menolak. (Catatan: Penerbit profesional selalu terbuka dengan usul atau pertimbangan pihak penulis dalam hal pembuatan surat kontrak, dan mereka menerima usul penulis dengan positif kalau memang dinilai lebih baik). Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penerbit yang satu ini. Mereka menyatakan bahwa surat kontrak itu sudah biasa mereka gunakan untuk berhubungan dengan para penulis yang lain, dan mereka tidak mau mengubah isinya. Karena tidak ada kesepakatan dalam hal penting itu (surat kontrak), maka saya pun menarik kembali naskah saya.

Di negeri ini ada ratusan penerbit. IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) saat ini mencatat ada 660 penerbit yang telah bergabung dengan mereka. Itu baru yang terdaftar di IKAPI, belum lagi penerbit-penerbit yang tidak tergabung dengan IKAPI, yang jumlahnya amat sangat banyak. Perkiraan saya, di Indonesia sekarang ini ada sekitar 1.000 (seribu) penerbit buku.

Coba lihat, ada seribu penerbit yang bersaing di negeri ini. Sungguh konyol jika ada penerbit yang masih merasa tidak butuh penulis, dan kemudian bisa seenaknya memperlakukan penulisnya. Karenanya, jika kita mengirimkan naskah kepada suatu penerbit dan kemudian naskah itu diterima, tetapi kemudian kita menilai isi surat kontrak atas naskah itu terasa berat sebelah (menguntungkan penerbit sekaligus merugikan penulis), jangan takut menanyakan atau mengajukan usul yang lebih baik atau lebih adil.

Kalau kemudian penerbit itu menolak usulmu, dan penjelasan yang mereka berikan terkesan tak masuk akal, tarik saja naskah itu dan batalkan penawaranmu. Masih banyak penerbit lain yang lebih baik, lebih profesional, yang tentunya juga lebih mampu menghargaimu.

Kalau ingin tahu lebih lanjut mengenai penerbit mana yang baik dan penerbit mana yang buruk, bergabunglah dengan milis-milis kepenulisan atau milis para penulis. Di sana, para penulis saling berbagi mengenai pengalaman mereka dalam berhubungan dengan berbagai penerbit, dan mereka pun akan memberitahu penerbit-penerbit mana yang asyik untuk diajak bekerjasama.

Bagi saya, penerbit profesional adalah pilihan terbaik untuk mengirimkan naskah yang kita harapkan dapat terbit menjadi buku—karena nasib karya kita akan tergantung pada profesionalitas mereka. Salah memilih penerbit tak jauh beda dengan salah memilih pacar. Jika orang yang menjadi pacar kita benar-benar tepat, urusan selanjutnya pasti enak. Tetapi jika pacar yang kita pilih keliru, alamat akan lebih banyak perselisihan dan penyesalan, daripada berpelukan dan bergandeng tangan.

Lanjut ke sini.

Tumbuh-tumbuhan



Di antara semua catatan yang pernah kutulis di blog ini, posting inilah yang paling kusukai—karena memiliki judul yang sangat bersahaja, tanpa ironi, tanpa pretensi, tanpa maksud apapun di baliknya.


Minggu, 19 September 2010

Trauma Film Indonesia



Setiap kali menonton film Indonesia, saya lebih sering jengkel dan menyesal, daripada merasa puas dan senang. Sulit sekali menemukan film Indonesia yang benar-benar “bagus”—menurut saya. Bukannya standar saya terlalu tinggi, tapi karena realitasnya memang begitu. Hanya sedikiiiiiiiit sekali film Indonesia yang layak tonton.

Orang menonton film itu kan tujuan utamanya untuk mencari hiburan. Seseorang mau meluangkan waktu sampai dua jam, duduk di hadapan tontonan film, dengan tujuan agar terhibur. Lebih bagus lagi kalau film itu tidak saja menghibur, tetapi juga inspiratif dan menambah wawasan. Lha, faktanya, kebanyakan film Indonesia jauh dari kriteria semacam itu. Bukannya menghibur apalagi inspiratif, film-film itu justru mencederai logika dan menjengkelkan penontonnya!

Coba lihat kebanyakan film Indonesia yang banyak beredar sekarang ini. Tema ceritanya hanya dari itu ke itu—soal hantu-hantu aneh yang tak masuk akal, cinta dan gaya pacaran yang murahan, atau komedi (slapstik ataupun verbal) yang sama sekali tak mampu mengundang tawa. Aneh!

Saat ini, kebanyakan film Indonesia bisa dibilang merupakan kombinasi dari ini: Horor nanggung, dicampur humor nanggung, dicampur adegan panas yang nanggung. Kemudian, campuran yang serba nanggung itu dibuat menjadi sebuah tontonan yang juga nanggung. Hasilnya? Membosankan!

Saya bukan antipati dengan film Indonesia. Saya juga tidak menutup mata akan adanya film Indonesia yang bagus. Seperti “Mendadak Dangdut”, misalnya. Film ini mungkin bertema sederhana—tetapi bagus dan layak ditonton, karena digarap secara serius. Film ini tidak menyuguhkan setan atau hantu atau kuntilanak dan makhluk-makhluk aneh semacamnya, tidak ada pameran paha dan payudara, tidak ada adegan jorok dan dialog yang kasar, tetapi nyatanya film ini bagus dan mendapatkan penghargaan.

Kalau Indonesia memang bisa membuat film yang bagus semacam itu, kenapa masih harus membuat film-film aneh yang asal-asalan…???

Sebagai orang yang suka nonton film, jujur saja saya sedih melihatnya. Setiap kali menyaksikan film Indonesia, selalu yang muncul dalam pikiran saya adalah penyesalan, “Yah, lagi-lagi seperti ini, nyesel banget lihatnya!”

Yang membuat saya tidak habis pikir adalah, kenapa ya, kebanyakan film Indonesia sepertinya sangat hobi membuat adegan-adegan yang tidak relevan. Contohnya seperti berikut:

Suka ngotot: Percakapan atau dialog antar pemain film hampir selalu menggunakan nada tinggi alias ngotot—bahkan ketika membicarakan hal-hal yang sepele dan tidak penting. Kenapa sih harus ngotot jika hanya membicarakan sesuatu yang jelas-jelas remeh-temeh dan tidak penting? Ngomongin hal penting saja bisa dilakukan dengan nada rendah dan suara yang tenang, kenapa harus ngotot saat ngomongin hal-hal sepele dan remeh-temeh…???

Dialog kasar dan kata-kata kotor yang tidak relevan: Silakan saja sebuah film menyelipkan—atau bahkan mengumbar—kata-kata kasar dari para pemainnya. Tapi yang relevan, dong! Kalau suatu kejadian dalam adegan di film tidak mengharuskan dikeluarkannya kata-kata kasar apalagi kotor dan menjijikkan, kenapa harus menyelipkan makian yang kasar? Itu sama sekali tidak menghibur penonton, tetapi justru memuakkan sekaligus menjijikkan!

Adegan di tempat yang jorok: Biasanya ini muncul dalam film-film horor. Entah kenapa, kebanyakan film horor seringkali mempertontonkan adegan di WC yang kumuh, atau di tempat-tempat yang jorok dan kotor. Padahal, kalau mau, adegan di tempat-tempat semacam itu bisa diganti di tempat lain yang lebih baik, sekaligus lebih layak dan lebih beradab untuk disuguhkan pada para penonton. Sah-sah saja sebuah film memperlihatkan adegan di tempat yang jorok dan kotor—tetapi jika kenyataannya memang relevan. Jika tidak, maka adegan semacam itu hanya menjijikkan, sekaligus memualkan perut!

Kostum yang salah kasting: Masak iya anak gelandangan memakai pakaian mahal dan tas bermerek? Masak iya orang berpendidikan tinggi dan bermobil mewah tapi ngomongnya ngaco? Yang relevan, dong! Penonton film tidak hanya membutuhkan tampang dan penampilan yang enak dilihat, tetapi juga relevansi dari tampang dan penampilan itu! Kalau seorang artis lolos kasting untuk peran gelandangan, tapi kuku jarinya terawat menikur, suruh artis itu merusakkan kukunya terlebih dulu!

Lelucon yang tidak lucu: Mungkin karena berpikir bahwa film itu bertujuan untuk menghibur, maka kebanyakan pembuat film Indonesia pun berpikir bahwa cara yang paling mudah untuk itu adalah menyelipkan dialog atau adegan-adegan yang (mereka pikir) lucu dan mampu membuat penonton tertawa. Tetapi, anehnya, selalu saja lelucon yang mereka suguhkan dalam film tidak mampu membuat penonton tertawa, tetapi justru merasa muak!

Adegan yang tidak masuk akal: Dua orang cewek berkata pada teman cowoknya, bahwa mereka ingin buang air kecil di toilet. Tetapi, sesampai di toilet, kedua cewek itu melepaskan kaos dan bra! Halooo…??? Sebenarnya ini film ditujukan untuk orang-orang waras dan normal, ataukah untuk tontonan orang gila dan idiot…??? Saya sih suka-suka aja melihat cewek melepas kaos dan bra, tetapi yang relevan, dong! Menonton cewek yang melepas bra untuk tujuan buang air kecil, membuat penonton jadi meragukan kawarasan otaknya!

Jadi, kalau mau disimpulkan, sepertinya kebanyakan film Indonesia ingin memberikan sebuah tontonan yang (diharapkan) lengkap—ada unsur horornya, ada unsur komedinya, ada pula unsur seksnya. Tetapi, akibatnya, semuanya jadi serba nanggung, serba aneh, juga serba salah!

Saya pikir, kalau tujuannya mau bikin film komedi, ya berikanlah itu secara total. Kalau niatnya mau bikin film seks, mau pameran paha dan payudara, buatlah juga secara total. Jangan nanggung! Logika bodohnya, kalau orang mau menonton adegan seks dan orang telanjang, mereka tidak akan mencarinya di film Indonesia, tetapi akan langsung nyetel film bokep dan menonton Maria Ozawa!

Jujur saja, saya sudah trauma jika menonton film Indonesia. Karena, ya itu tadi, semuanya serba nanggung, serba tidak jelas, dan jauh dari kesan menyenangkan apalagi memuaskan penonton. Jika saya mau meluangkan waktu sampai dua jam untuk menonton film, saya tidak sudi disuguhi film yang murahan, tidak menghibur, juga tidak mendidik! Sebagai pecinta film, setulus hati saya ingin menyatakan bahwa saya sangat sedih menyaksikan film Indonesia.*


*Catatan ini terpaksa saya tulis di sini, karena saya sudah tidak kuat lagi menanggung kesedihan ini.


Syarat Penting untuk Menikah

Setiap kali lebaran datang, dan setiap kali saya bersilaturrahmi ke tempat para famili, setiap kali pula pertanyaan mereka tak pernah berubah, “Jadi, Hoeda sayang, kapan kamu akan menikah?”

Hoho, kapan saya akan menikah? Biasanya, saya akan menjawab dengan senyum kikuk, “Uh, belum nemu orang yang mau diajak nikah.”

Dan, biasanya pula, jawaban saya itu akan segera dijawab dan dibahas dari berbagai sudut pandang—dari sudut pandang moral Pancasila, sampai sudut pandang filsafat zaman bahuela. Padahal, syarat penting bagi saya untuk menikah tidaklah serumit itu, atau tidaklah serumit yang mereka bayangkan. Bagi saya, perempuan yang (sepertinya) asyik untuk diajak nikah adalah perempuan yang memiliki selera yang sama seperti saya—khususnya dalam hal makanan.

Ayo kita ngobrol soal makanan. Khususnya lagi soal makanan sehari-hari. Karena tinggal di Indonesia, maka tentunya nasi menjadi makanan kita sehari-hari, ya? Well, mungkin ada saudara-saudara kita yang menjadikan jagung, sagu, atau makanan lain sebagai makanan sehari-hari. Tetapi saya sendiri biasa makan nasi sebagai makanan pokok sehari-hari.

Menyangkut nasi, apa definisi makanan yang enak atau lezat, menurutmu? Sepertinya, jawabannya bisa sangat relatif ya, tergantung selera masing-masing orang. Juga tergantung pada perspektif orang mengenai arti “makanan enak atau lezat”—yang bisa saja ditinjau dari kecukupan nutrisi, asupan gizi, tingkat kesehatan, dan lain-lain.

Bagi saya pribadi, makanan yang enak dan lezat itu sederhana. Tetapi, entah mengapa, selera saya yang sederhana ini sering jadi masalah. Saya suka nasi yang keras. Yang saya maksud “nasi yang keras” adalah nasi yang tidak menggumpal, atau nasi yang biji-biji nasinya saling terpisah atau tidak lengket. Jujur saja, saya sangat tidak bisa menikmati nasi yang lembek. Semakin lembek nasi, semakin saya tidak doyan. Kalau boleh ngomong ekstrim, saya lebih baik menahan lapar daripada harus makan nasi yang lembek.

Karena kecenderungan seperti ini, saya sering mengalami masalah. Kadang teman-teman saya mengajak makan di gerai ayam goreng impor yang terkenal itu. Ketika mendapatkan ajakan seperti itu, saya jadi serba salah. Kalau mau menolak, saya merasa tidak enak, sementara kalau menerima ajakan itu, saya pasti akan tersiksa.

Well, saya tidak bisa menikmati nasi yang disediakan di gerai ayam goreng itu, karena mereka menyediakan nasi yang (dalam penilaian saya) lembek. Itu bukan jenis nasi yang biasa saya makan. Sudah begitu, gerai itu menyuguhkan nasinya dalam bentuk dicetak. Akibatnya, nasi yang sudah lembek itu jadi tambah menggumpal.

Saya benar-benar sulit menikmati nasi yang seperti itu. Saya oke dengan ayam gorengnya, tapi nasinya… deuh, kenapa gerai itu tak pernah terpikir untuk menyediakan nasi yang lebih keras, atau menyuguhkan nasi yang “ditebarkan” di atas piring saja, sehingga tidak menggumpal?

Jadi, kalau ada teman yang mengajak makan ke tempat semacam itu, saya jadi prihatin. Karenanya, setiap kali akan masuk ke tempat makan (warung, gerai, restoran dan semacamnya), perhatian utama saya selalu terfokus pada nasinya terlebih dulu. Jika nasinya keras, menu masakan apa pun oke buat saya. Tetapi jika nasinya lembek, apalagi jika sampai menggumpal, deuh… saya lebih baik tidak makan.

Tidak ada yang lebih membangkitkan selera makan saya selain nasi yang keras. Apalagi jika di atas nasi yang keras itu ditaburi bawang goreng yang garing. Karenanya, saya selalu memasukkan bawang goreng kering dalam daftar belanjaan sehari-hari. Sepertinya, saya malah sudah “kecanduan” bawang goreng kering. Tidak hanya waktu makan nasi, bahkan ketika makan roti pun saya menaburkan bawang goreng di atasnya.

Lalu bagaimana dengan lauknya? Sebenarnya, saya tidak terlalu mempermasalahkan lauk-pauk—selama nasinya keras, dan ditaburi bawang goreng kering. Hanya saja, saya sangat menyukai masakan atau olahan daun singkong. Ya, ini tidak salah tulis atau salah ketik. Saya benar-benar menyukai daun singkong. Karenanya, setiap kali makan di rumah makan, saya selalu bertanya, “Ada masakan daun singkong?”

Sekadar catatan, saya sangat menggilai segala olahan daun singkong. Di tempat saya tinggal, kadang ada ibu-ibu yang menjajakan gorengan daun singkong. Jadi, daun singkong dicampur atau dibalut dengan tepung, kemudian digoreng (bentuknya mirip bakwan). Kadang pula ada orang yang menjajakan peyek daun singkong. Ini tak jauh beda dengan peyek kacang atau peyek udang, hanya saja kacang atau udangnya diganti daun singkong. Saya suka sekali itu!

Well, well, well, kalau nasinya sudah keras, lalu ditaburi bawang goreng kering, kemudian tersedia masakan daun singkong, saya sudah merasa cukup dan sudah bisa menikmati makan saya. Jika ada tambahan lauk-pauk semisal ikan bakar, ayam goreng, pecel lele, sate kambing, atau yang lainnya, tentu saja lebih bagus. Tetapi kalau pun lauk tambahannya hanya emping, atau tempe goreng yang masih panas, itu pun sudah lezat bagi saya. Di dunia ini, bagi saya, tidak ada yang mengalahkan kenikmatan makan semacam itu.

Lalu bagaimana dengan minumannya? Selera saya juga sederhana. Minuman favorit saya teh—lengkapnya, teh hangat manis, yang diberi perasan air jeruk nipis. Hidup-mati, teh adalah minuman pokok saya. Tambahan catatan, saya tidak suka dengan minuman dingin atau dicampur es, jadi saya juga kurang suka es teh, atau aneka macam jus—kecuali jus apokat. Sehabis bangun tidur, saya memang biasa minum kopi seduhan (instan), tetapi saya lebih suka teh dalam sehari-hari.

Nah, bila saya sudah duduk di depan meja makan, dengan hidangan seperti di atas—nasi yang keras dengan taburan bawang goreng kering, plus masakan daun singkong dan lauk sekadarnya, ditambah teh hangat manis yang diberi perasan air jeruk nipis—saya merasa sedang menghadapi jamuan makan dari surga, dan saya pun sudah menganggap betapa hidup ini indah. (Apalagi jika sambil ditemani Titi Kamal :D).

Karena makan adalah salah satu syarat penting dalam hidup, maka saya pun menjadikan hal itu sebagai prasyarat dalam memilih pasangan hidup—dan inilah hal yang sering kali mendatangkan masalah.

Ada pepatah Belanda yang menyatakan, “De liefde gaat via demaag—Cinta datang melalui perut.” Pepatah itu mungkin tidak seratus persen relevan dalam konteksnya dengan saya, tetapi mungkin ada benarnya juga. Setiap kali saya dekat dengan seorang cewek, dan kami mulai berkencan, dan saya merasa mulai cocok dengannya, hal yang selalu menggagalkan hubungan kami adalah selera makan.

Biasanya, dalam salah satu acara makan malam kami, saya akan mengajak cewek itu ke rumah makan yang saya tahu menyediakan nasi yang keras. Lalu saya akan memperhatikannya makan—apakah dia menikmati makannya atau tidak. Setelah selesai makan, saya akan mengajaknya ngobrol soal makanan tadi, dan melihat reaksinya.

“Jadi, kamu suka nasi yang kayak tadi?” Begitu biasanya saya bertanya.

Dan biasanya pula, yang selalu saja terjadi, cewek itu menjawab, “Hah...? Itu terlalu keras, menurutku. Aku suka nasi yang lembek.”

Maka bubarlah kencan kami.

Memang ada kalanya cewek yang kencan dengan saya sudah mengetahui kecenderungan saya pada nasi yang keras. Dan ketika kami kencan, dia mengaku juga suka nasi yang keras. Tetapi sikapnya ketika makan tak bisa membohongi. Dan saya pun tak percaya ketika dia menjawab, “Uh, yah, aku suka nasi yang keras! Itu hebat!”

Dia bohong—dan kencan kami pun bubar.

Jadi, buat nyokap, famili, saudara, teman-teman, sohib-sohib, handai-taulan, dan siapa pun yang selama ini tak pernah bosan menanyakan kenapa saya masih juga betah melajang, atau belum juga menikah, maka itulah jawabannya. Saya belum menemukan pasangan yang tepat, yang memiliki selera sama pada nasi yang keras. Sederhana, kan...?

Kiss Kirst



Sulit bagiku untuk sungguh-sungguh berhubungan dengan orang.
Jadi, kalau cocok, rasanya menakjubkan.

(Kirsten Dunst)

Benar, Kirst, aku juga merasakan hal itu.


Soal Letak



+ Saya melihat kalau letaknya sekarang sudah berubah, ya?

- Sepertinya, begitu pula yang saya lihat.

+ Nah, ini mengundang pemikiran baru, benar? Kadang-kadang kita memang harus dikagetkan dengan suatu teriakan, karena kita tidak sadar ketika mendengar bisikan.

- Uh, kata-kata Anda sangat bijaksana sekali.

+ Waduh, sampeyan sukanya berlebihan. Tidak, maksud saya, kebanyakan dari kita sesungguhnya memang sering tidak tahu apa-apa, hanya saja ketidaktahuan itu tertutup oleh hal-hal yang kita kira telah kita ketahui, sehingga kita tidak tahu bahwa sesungguhnya kita tidak tahu.

- *Bengong*

+ Jadi, ketika melihat soal letak ini, saya berpikir bahwa kita mungkin sudah mulai tahu kalau ternyata kita tidak tahu—atau memang tidak tahu, pada awalnya. Saya harap begitu. Yeah, membayangkan bahwa kemarin kita begitu penuh tapi kemudian sekarang merasa kering, itu tentu suatu perasaan yang menyiksa. Karenanya, ketika saya melihat adanya perbedaan letak ini, saya pikir ini kesadaran yang diketahui, meski dengan batin tersiksa.

- Uh, maaf… bisakah Anda jelaskan dengan bahasa manusia saja? Soalnya saya belum pernah kursus bahasa malaikat.

+ *Tertawa* Sampeyan ada-ada saja. Maksud saya begini. Baiklah, kita gunakan analogi. Kalau Anda sekarang menatap langit di atas sana, menurut Anda apa warnanya?

- Biru? Benar?

+ Biru, baiklah. Karena Anda melihat langit berwarna biru, atau Anda menganggap biru adalah warna langit, dan Anda bisa mendapatkan bukti-bukti bahwa langit memang berwarna biru, maka Anda pun akan menjalani hidup dengan persepsi dan keyakinan bahwa langit berwarna biru. Seiring waktu yang berjalan, Anda akan terus memegang persepsi itu, atau bahkan keyakinan itu, dan Anda pun—sadar atau tidak—akan mulai memustahilkan warna lain untuk langit. Apa yang Anda jalani itu hukum alam yang manusiawi, atau hukum manusia yang alami—karena memang begitulah manusia, ia dibentuk oleh keyakinannya, ia dibimbing oleh persepsinya. Nah, sampai suatu hari…

- *Menunggu*

+ …

- Sampai suatu hari…?

+ Ya, sampai suatu hari… bum! Tiba-tiba ada sesuatu yang menyadarkan kita bahwa ternyata langit tidak berwarna biru. Kesadaran itu datang dengan seketika, dengan kekuatan yang tak bisa dilawan, dan semua bukti yang ada memang menunjukkan bahwa langit tidaklah biru sebagaimana yang Anda yakini selama ini. Ketika sampai pada kenyataan semacam itu, kira-kira, apa yang Anda rasakan? Atau, lebih tepat lagi, apa yang akan Anda lakukan?

- Tentu saja saya akan mengubah persepsi saya.

+ *Manggut-manggut*

- Jadi…?

+ *Masih manggut-manggut*

- Maaf, mungkin saya tidak paham. Tapi kalau kenyataannya memang tepat seperti yang sampeyan katakan, bahwa ternyata kenyataan yang ada tidak sesuai dengan yang saya bayangkan dan saya yakini, maka saya akan mengubah persepsi dan keyakinan saya.

+ Apakah itu artinya mengubah hidup juga…?

- Uh, mungkin… Saya tidak pernah memikirkannya sampai ke situ. Uh, kalau boleh tahu, apa yang akan sampeyan lakukan, jika menemui kenyataan semacam itu?

+ Mungkin saya akan mengubah letak.

- Maaf…?

+ Mengubah letak.

- Ya, uh… ya, saya mendengar ucapan sampeyan. Tapi saya tidak paham.

+ Jadi, Anda akan mengubah persepsi ketika kenyataan tidak sesuai dengan bayangan, benar?

- Itu yang saya katakan.

+ Anda berpikir seperti itu, karena Anda orang yang bijaksana dan berjiwa besar. Anda tahu harus berubah ketika esensi yang Anda ketahui dan Anda yakini memang berubah. Tetapi, saya harus jujur pada Anda dan pada diri sendiri, saya tidak sebijaksana Anda. Saya tidak memiliki jiwa sebesar Anda. Ketika ternyata kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang saya bayangkan, maka dengan segala kebingungan saya akan mengubah letak—tanpa mau mengubah persepsi.

- Ya…?

+ Jadi saya hanya akan mengubah letak diri saya, mengubahnya sedemikian rupa, dan kemudian mencari cara agar tetap dapat meyakini bahwa langit memang berwarna biru. Dengan begitu, saya akan merasa tenang karena ego saya tidak terluka. Saya masih bisa berkata bahwa langit memang berwarna biru, dan orang tak bisa menyalahkan saya. Kalau mereka mempertanyakan keyakinan saya, atau bahkan menggugat persepsi saya, maka saya bisa bersembunyi di balik alibi letak saya.

- Saya tidak yakin sampeyan akan melakukan hal semacam itu…

+ *Tersenyum* Anda baik sekali. Itulah kenapa, saya tadi menyatakan Anda orang bijaksana dengan jiwa yang besar. Jadi, letaknya sekarang sudah berubah, ya?

- Sepertinya, begitu pula yang saya lihat.


Hei, Tuhan, Aku Di Sini



Semua orang di kota kecil itu tahu laki-laki itu seorang gelandangan. Tanpa keluarga, hidup menggelandang, dan biasa tidur di emper toko atau pinggir-pinggir jalan. Laki-laki itu berusia 50 tahun, atau lebih dari itu—tak seorang pun yang tahu. Dia biasa berjalan perlahan-lahan, seperti menanggung rasa sakit dan beban berat.

Yang tidak semua orang tahu, laki-laki gelandangan itu selalu masuk ke rumah ibadah setiap jam 12 siang. Dia tak pernah berlama-lama di sana. Biasanya, dia masuk ke rumah ibadah, berdiam beberapa menit, lalu keluar lagi. Pengurus rumah ibadah itu sudah berkali-kali melihatnya, namun tidak berbuat apa-apa karena si gelandangan tua tak pernah mengganggu orang lain dengan kehadirannya.

Sampai kemudian, karena penasaran, si penjaga rumah ibadah menegurnya suatu hari, “Kulihat, kau selalu rajin datang ke sini, tapi hanya sebentar. Apa yang kaulakukan?”

“Oh, aku hanya ingin menyapa Tuhan,” jawab si gelandangan. “Aku hanya duduk di dalam sana, kemudian berkata pada Tuhan, ‘Hei, aku di sini’.”

Suatu hari, gelandangan tua itu tertabrak truk saat sedang melangkah sendirian di pinggir jalan. Si sopir truk mengantuk, dan kendaraannya menghantam tubuh si gelandangan. Si gelandangan dibawa ke rumah sakit—dia menderita cukup parah karena kecelakaan itu. Sopir truk bertanggung jawab atas kelalaiannya, namun dia tak pernah menjenguk korbannya di rumah sakit.

Si gelandangan terkapar sendirian di ranjang rumah sakit—tanpa keluarga, tanpa ada seorang pun yang terlihat menjenguknya. Tetapi wajahnya selalu berseri. Ia tampak selalu bahagia menjalani hari-harinya di rumah sakit.

Tidak ada seorang pun di rumah sakit itu yang tahu, bahwa setiap jam 12 siang, sesosok pengunjung mendatangi gelandangan itu di bangsalnya. Pengunjung itu hanya datang sesaat, namun meninggalkan kebahagiaan yang amat besar bagi si gelandangan. Setiap kali datang, pengunjung itu hanya berkata, “Hei, Aku di sini.”


Rabu, 08 September 2010

Putih















































































































































Laila Majnun: A Love Story (5)

Apa yang diperkirakan oleh Laila ternyata benar. Begitu mendengar berita kematian kekasihnya, Qais si Majnun segera berlari ke pusaranya, seperti awan petir yang digerakkan amukan badai.

Awalnya, Qais seolah tak terima dengan kematian kekasihnya. Tetapi kemudian, ketika kematian Laila mulai meresap dan mengendap ke dalam hatinya, Qais pun kehilangan kesadarannya. Untuk beberapa lama, ia terduduk saja di tepi kubur Laila, tidak mampu berbicara... dan akhirnya menangis tersedu-sedu.

“Katakan padaku bagaimana keadaanmu di kegelapan di dalam sana? Apa yang telah terjadi pada kecantikanmu sekarang? Tahi lalat di pipimu, matamu yang bercahaya, harum semerbak rambutmu yang sehitam malam—apa yang telah terjadi pada mereka...?

“Betapa kau telah berubah, Kasihku! Tangan takdir yang kejam telah mengaduk-aduk badai di hatimu, memutarmu hingga kau tak sadarkan diri, dan kebingungan, hingga yang kauinginkan hanyalah sebuah kebebasan. Kini kau tersembunyi dari mataku, tapi hatiku dapat melihatmu dan tidak akan pernah berhenti memandangmu...!”

Selama berhari-hari, Qais hanya menghabiskan waktunya untuk bersimpuh di makam Laila. Kesedihan ditinggal mati sang kekasih benar-benar mengguncang saraf manusianya, dan dia merasa kesedihan itu takkan bisa reda meski waktu terus-menerus mencoba mengikisnya.

Ada kalanya Qais kembali ke tempat pengasingannya, di gurun pasir, tetapi kemudian kembali mengunjungi makam Laila, dan menghabiskan banyak harinya di situ. Akibat diterjang kesedihan demi kesedihan, kesehatan Qais pun melemah dengan sangat cepat. Sampai kemudian, ketika merasa ajal akan segera menjemputnya, Qais meninggalkan padang pasir dengan tertatih-tatih, untuk menuju makam Laila. Dan di sana, tubuhnya semakin melemah dan melemah.

Senja hari itu, langit berwarna lembayung, dan ditaburi bintang-bintang. Bimasakti tampak seperti sungai yang mengalir deras. Tak berapa lama lagi, perahu sang Majnun akan mengangkat jangkar untuk terakhir kalinya, lalu jiwanya akan bergabung dengan sungai itu untuk perjalanan terakhirnya. Qais, sang Majnun, duduk kelelahan di kaki pusara Laila, menegadahkan wajahnya ke arah langit, dan kemudian berbisik...

“Tuhan, aku memohon pada-Mu dengan nama-Mu, lepaskan beban hidupku. Bebaskan aku, dan biarkan aku menemui kekasihku. Hancurkan belenggu yang mengikatku kepada dunia yang kejam ini, dan biarkan aku terbang...”

Qais menutup matanya dan berbaring di sisi makam Laila, mendekapkan tubuhnya kepada tanah dengan segenap tenaganya yang tersisa. Bibirnya yang kering bergerak-gerak dalam bisik lirih. Kemudian, dengan kata-kata, “Laila, Kekasihku...” arwahnya terbebas, dan ia pun telah tiada.

Beberapa riwayat menyatakan bahwa jenazah Majnun tergeletak di makam Laila selama sebulan, sementara riwayat yang lain mengatakan setahun. Beberapa orang di sana yang melihatnya bersumpah bahwa Qais tidak mati, melainkan hanya tidur belaka. Mereka bahkan tidak percaya Qais tidak akan pernah bangkit kembali.

Setelah meyakini Qais telah meninggal dunia, orang-orang pun mulai mengurus jenazahnya. Anggota dari dua kabilah (kabilah Laila dan kabilah Majnun) datang untuk bersimpuh dan menangis pada makam dimana orang kesayangan mereka terbaring. Hanya dalam kematian, mereka diizinkan untuk bersanding. Sebuah nisan pun dibuat, dan di atasnya ditatahkan kata-kata ini:

Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian,
disandingkan di dalam rahim gelap kematian.
Sejati dalam cinta, setia dalam penantian,
satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian.

Beberapa tahun kemudian, seorang sufi bermimpi melihat Qais, si Majnun, berada di samping Tuhan, dan Tuhan berkata pada Majnun dengan penuh kasih sayang, “Tidakkah kau malu memanggil Aku dengan nama Laila, setelah kauteguk anggur cinta-Ku?”

Sufi itu langsung terbangun dengan keringat mengucur di tubuhnya. Ia telah melihat ‘tempat’ Majnun. Tuhan telah memberikan jalan bagi Majnun untuk menuju kepada-Nya. Dan Majnun pun bisa menemui Tuhan dengan menyusuri jalan cinta yang telah diberikan kepadanya. Cinta telah mengantarkan Majnun untuk sampai dalam pelukan kasih Tuhan.

Lalu dimana ‘tempat’ Laila? Tuhan kemudian mengilhamkan ke dalam hati sang sufi itu, bahwa posisi Laila lebih tinggi lagi, karena Laila menyembunyikan kisah cintanya dalam hati. Kaum sufi menganggap Majnun dan Laila adalah kisah kecintaan seorang pecinta dengan Tuhannya, Kekasihnya. Majnun adalah pecinta. Sementara Laila adalah jalan menuju Tuhan, yang cintanya tersembunyi.

Laila Majnun: A Love Story (4)

Waktu terus berlalu, dan tahun terus bertambah. Kedua orangtua Qais meninggal dunia dimakan usia. Mula-mula ayahnya, kemudian ibunya. Ayah Laila pun menjemput ajal dalam tahun-tahun yang terus berjalan. Dan sepanjang waktu yang terus berlalu itu, dua kekasih tak juga bisa bertemu, terpisah jauh dalam bentangan ruang dan jarak yang tak terjangkau.

Sampai kemudian Ibnu Salam, suami Laila, meninggal dunia karena penyakit. Dia meninggal sebelum sempat menyentuh istrinya sedikit pun. Saat Laila menangis di hari kematiannya, dia menangis bukan karena bersedih ditinggal suaminya, melainkan karena bahagia telah terbebas dari belenggu penjara yang telah mengurung hidupnya selama ini.

Sebagaimana kebiasaan di jazirah Arab, janda yang ditinggal mati suaminya harus memasang cadar di wajahnya, dan tidak boleh menemui siapapun. Selama dua tahun penuh Laila harus selalu berada di dalam tendanya, diasingkan dari dunia, sendirian dengan kesedihannya. Ini, tentu saja, persis seperti apa yang ia inginkan; tidak ada yang lebih menyenangkan daripada hal ini! Sendirian, tanpa rasa takut, mempersembahkan hatinya, jiwanya, dan air matanya, untuk satu-satunya orang yang selalu dicintainya.

Ketika menjalani masa pengasingan setelah menjadi janda, Laila merasakan tubuhnya semakin rapuh, karena beratnya beban dalam hati dan pikiran yang harus ditanggungnya selama ini. Penyakit pun menyerang dirinya tanpa ampun. Saat dia merasakan kematian akan segera datang menjemputnya, Laila memanggil ibunya yang telah renta, dan baru saat itulah Laila mengungkapkan rahasia yang selama ini telah ditutupinya dengan sangat rapat tanpa seorang pun tahu.

Rahasia tentang cintanya, kesetiaannya, tentang satu-satunya kekasih yang begitu dirindukannya dalam hidup. Dan ibu beserta anak itu pun kemudian bertangisan dalam batas akhir kehidupan. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Laila sempat berpesan kepada ibunya...

“Ibu, cahayaku telah memudar, dan segera lilin keberadaanku akan padam. Sebelum kegelapan datang dan nyawaku diambil, aku harus menceritakan apa yang ada di dalam hatiku.

“Sungguh, aku tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan bebanku; kesedihan telah menghancurkan kunci di bibirku, dan aku tidak dapat menahannya lagi. Orang yang kucintai, laki-laki yang karenanya aku hidup dan sekarang yang karenanya aku mati, saat ini jauh dan tak dapat mendengarku.

“Tapi kau dapat mendengarku, Ibu. Dan karena kau dapat mendengarku, maka aku mohon kepadamu untuk mendengarkan baik-baik, dan memenuhi permintaan terakhirku...

“Ketika aku mati, pakaikanlah aku baju pengantin, dan buatlah aku secantik mungkin. Baju pengantinku harus berwarna merah. Merah adalah warna perayaan dan upacara. Bukankah kematian adalah perayaanku? Dan apakah ia bukan upacaraku? Kemudian, setelah itu, tutupi aku dengan kerudung dari tanah, kerudung yang tidak akan pernah kulepaskan lagi.

“Kemudian aku akan menunggu. Aku akan menunggu hingga ia datang. Pengelana yang resah, pengembara hati yang abadi itu akan menemukan jalan menuju makamku, dan di sana dia akan bersimpuh dan memohon padaku untuk menampakkan diri. Tapi kerudung dari tanah itu tidak akan terangkat, maka yang bisa ia lakukan hanyalah menangis tersedu-sedu. Tenangkan dia, Ibu, karena dia sahabat sejatiku. Perlakukan dia dengan baik, dan berikan dia kasih sayang...

“Lakukan ini untuk Tuhan, dan karena aku telah mencintainya. Aku mencintainya lebih dari aku mencintai kehidupan, dan keinginanku adalah kau juga mencintainya. Dia satu-satunya milikku...”

Napas Laila terengah-engah, matanya berputar, butir-butir keringat muncul seperti mutiara di dahinya. Suaranya berubah menjadi bisikan lirih, dan dia melanjutkan,

“Ketika dia datang, kau akan segera mengenalinya. Ketika dia datang, sampaikan pesan ini kepadanya. Katakan padanya, ‘Ketika Laila meninggalkan dunia ini, dia meninggal dengan namamu di bibirnya. Kata-kata terakhirnya adalah tentang kau, dan kau seorang. Di dalam kematian, seperti di dalam kehidupan, dia setia tidak kepada siapapun selain kepadamu. Dia telah ikut memikul kesedihanmu di dunia ini, dan sekarang dia telah membawanya pergi sebagai bekal perjalanannya. Cintanya kepadamu tidak mati bersamanya. Dimana pun dia sekarang, dia tetap merindukanmu...’”

Bibir Laila kemudian bergetar. Dan dengan linangan air mata mengalir di pipinya, dia memanggil nama kekasihnya untuk terakhir kalinya. Ketika suaranya melemah, cahaya di matanya meredup, dan arwahnya melayang bebas dari belenggunya.

Lanjut ke sini.

Laila Majnun: A Love Story (3)

Upaya menyembuhkan anaknya ternyata sia-sia, dan Qais tidak juga menjadi waras. Dia semakin ‘gila’, dan Qais pun kemudian kembali hidup mengasingkan diri di padang gurun tandus seperti dulu.

“Setiap hembusan angin membawa harummu untukku. Setiap kicauan burung mendendangkan namamu untukku. Setiap mimpi yang hadir membawa wajahmu untukku. Setiap pandangan menampakkan bayanganmu padaku. Aku milikmu, aku milikmu, jauh maupun dekat. Dukamu adalah dukaku, seluruhnya milikku, di mana pun kau tertambat...”

Tahun demi tahun berlalu, dan takdir tidak juga mempertemukan Qais dengan pujaan hatinya. Sementara itu, seorang lelaki bangsawan, Ibnu Salam, melamar Laila. Kedua orangtua Laila tak mampu menolak, dan daripada anaknya harus jatuh pada Majnun, mereka pun memilih menikahkan putrinya dengan sang bangsawan. Maka hari pernikahan pun kemudian ditentukan, dan acara itu diselenggarakan secara besar-besaran dengan dihadiri seluruh kabilah di jazirah Arab.

Laila merasa dirinya telah menjadi pengkhianat. Sebagai perempuan, dia merasa tidak bisa menentang kehendak orangtuanya. Tetapi sebagai manusia, dia merasa memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya, menentukan arah hati dan cintanya. Dan menikah dengan Ibnu Salam, laki-laki bangsawan yang terhormat itu, benar-benar membuat jiwa Laila merasa terluka. Kemerdekaan cintanya terenggut, napas kasihnya ditenggelamkan, dan setiap kali mengingat Qais, Laila pun tak kuasa menahan air matanya.

Sebagai bukti tulus cintanya kepada sang Kekasih, kepada Qais, Laila pun menolak disentuh oleh suaminya sendiri. Melakukan persentuhan dengan Ibnu Salam benar-benar membuat Laila merasa sangat berdosa dalam pengkhianatannya. Karena itu, meski telah sah menjadi istrinya, Laila mengancam akan bunuh diri jika Ibnu Salam mencoba menyentuhnya.

Dalam hatinya, Laila menjerit, “Cinta berteriak kepadaku di dalam hatiku; 'Larilah selagi kau bisa, terbanglah keluar dari jurang ayahmu ini, dari penjara suamimu ini!' Tapi kemudian akal sehatku memperingatkanku; 'Jangan, terbang jauh hanya akan mengundang aib. Kau harus tinggal dan tunduk kepada takdirmu!'”

Di hamparan padang gurun yang tandus, Qais mendengar kabar pernikahan kekasihnya. Hatinya hancur, dan kehidupan seolah kehilangan cahaya.

“Aku adalah pasir yang kauinjak di bawah kakimu, sementara kau adalah air kehidupan... tapi air kehidupan siapa? Aku bersujud di hatimu sementara tanganmu memeluk... memeluk siapa? Aku bahkan mendapatkan kecelakaan darimu, sementara kau membelai... membelai siapa? Bebanmu ada di pundakku, tapi bagaimana denganmu? Anting siapa yang tergantung di telingamu? Kau adalah tujuanku, kepadamu aku menghadapkan hidupku, tapi apakah aku ini bagimu?

“Kau adalah penyembuh bagi semua yang salah pada diriku, namun pada saat yang sama kau adalah penyakitku! Kau adalah anggur dalam cawanku, namun tidak menjadi milikku...

“Kau adalah surga, kuyakini itu. Namun aku tidak dapat menemukan kunci untuk membuka gerbangnya! Kau adalah milikku, namun bukan milikku. Kau adalah langit, namun begitu jauh, hingga bisa jadi kau adalah neraka beserta seluruh siksanya!

“Demi Tuhan, tahukah kau, apa yang dilakukan nafsu pada jiwa seperti milikku? Kecemburuan membiakkan pikiran jahat dan kecurigaan. Kau tahu betapa aku merindukan untuk dekat denganmu, betapa aku mencemburui bahkan nyamuk terkecil yang hinggap di kulitmu. Namun bagi pikiran seorang pecinta yang kesurupan, nyamuk itu berubah menjadi seekor burung nasar; hingga demam menyelimutiku dan aku tidak dapat beristirahat hingga bayangan nasar itu menghilang dari pikiranku...

“Dalam menantimu usiaku berkurang, bibirku memucat dan mataku terbutakan air mata. Kau tidak dapat membayangkan segila apa, semajnun apa, aku sekarang. Demi dirimu, tidak hanya aku telah kehilangan dunia, aku pun telah kehilangan diriku...”

Lanjut ke sini.

Laila Majnun: A Love Story (2)

Tetapi cinta tak bisa dihancurkan meski jarak yang jauh dibentangkan. Sebagaimana yang dirasakan Qais, Laila juga merasakan api cinta di dalam dadanya semakin berkobar dan bukannya semakin padam ketika jarak mereka dipisahkan. Hanya karena ketaatannya kepada orangtualah yang membuat Laila tetap diam, menyembunyikan rasa cintanya begitu rapat. Dan ketika malam-malam hening menyapanya di dalam kesendirian, dia pun menumpahkannya dalam setiap butir air mata. Laila menghadapi dilema, antara cinta kepada kekasihnya dan ketaatan kepada orangtuanya.

Sementara Qais, yang merasa kehilangan Laila, memilih mengasingkan diri di sebuah padang gurun tandus, yang tak terjangkau orang, agar bisa bebas mengekspresikan ‘kegilaan’nya dalam mencintai Laila. Di hamparan padang pasir yang gersang itulah Qais menikmati kesendiriannya, menikmati rasa cintanya, dan menanti waktu yang akan mempertemukannya dengan sang Cinta, sang Laila. Setiap hari, yang selalu disebutnya hanya Laila. Yang selalu terucap di bibirnya hanya nama Laila.

Bila cinta mampu melahirkan pujangga, maka Qais adalah salah satu yang dilahirkannya. Didorong rasa cinta yang begitu besar, Qais merangkai untaian kata indah setiap hari, setiap waktu, meski hanya untuk dinikmatinya sendiri. Dan orang-orang yang kebetulan menemukannya di padang gurun itu pun terpesona pada setiap kata yang dirangkainya. Orang-orang itu lalu menghafalkannya dengan hati-hati, menyampaikannya kepada orang lain, dan mereka menikmati setiap keindahan kata yang telah didengarnya.

Semua keindahan kata-kata itu bermuara kepada sang Keindahan, kepada Laila. Dan dengan cara seperti itulah kemudian hasrat cinta dalam diri Qais tersampaikan kepada Laila. Orang-orang yang mendengar untaian kata itu selalu berusaha menghafalkannya, kemudian menyampaikannya kepada orang lain, dan terus-menerus seperti itu hingga akhirnya sampai juga ke telinga Laila.

Jarak yang begitu jauh, jarak yang dipisahkan oleh padang pasir gersang, gurun yang tandus, mampu dijangkau oleh kekuatan Cinta. Benteng yang kuat, barisan pengawal yang terus menjaga Laila dalam kemahnya, dapat ditembus oleh kelembutan Cinta.

Dan Laila menikmati cinta kekasihnya dari jarak yang sangat jauh itu, menikmatinya sendiri dalam penjara orangtuanya, dan kerinduan kepada sang kekasih pun semakin besar sebagaimana yang juga dirasakan Qais.

Orangtua Qais yang terhormat jelas merasa malu dengan kelakuan anak laki-lakinya. Orang-orang kini menyebut anak mereka sebagai majnun, orang gila. Dan yang membuat hati sang ayah hancur adalah karena kegilaan anaknya disebabkan oleh seorang perempuan, oleh sebuah cinta. Maka dengan ditemani beberapa pengawalnya, sang Sayid pun pergi mencari anaknya di padang gurun, lalu membawanya kembali ke rumah, berusaha mengobati kegilaannya.

Selama dalam upaya menyembuhkannya itu, sang Sayid membawa Qais ke Makkah untuk dipertemukan kepada Ka’bah, Rumah Tuhan, dengan harapan agar Qais bisa kembali kepada kewarasannya, dan bisa melupakan Laila.

Di Makkah, di pusaran orang-orang yang tengah berthawaf di sekeliling Ka’bah, tiba-tiba Qais berlari menerobos ribuan orang yang tengah berdesak-desakan itu, terus berlari dengan sekuat tenaga untuk menjumpai Ka’bah. Begitu sampai di hadapan Ka’bah, Qais memukuli dinding-dindingnya dengan tangannya. Lalu dengan suara yang bercampur antara tawa dan tangis, ia berteriak, “Inilah aku yang datang mengetuk pintu-Mu hari ini. Akulah Majnun, si orang gila, si sinting yang telah melepaskan jiwanya demi cinta...!

“Tuhan, mereka berkata kepadaku bahwa hanya dengan melepaskan cintaku maka aku dapat memperoleh kembali kewarasanku, namun sesungguhnya cinta adalah satu-satunya hal yang kumiliki! Cinta adalah sumber kekuatanku, batu karangku. Jika cintaku mati, maka aku akan mati bersamanya. Itu bagian takdirku, Engkau tahu itu.

“Tuhan, aku memohon kepada-Mu, demi semua nama dan sifat-Mu, biarkan cintaku tumbuh! Biarkan ia merekah sempurna dan tetap mekar walaupun aku telah layu dan mati. Biarkan aku minum dari air mata cinta sampai dahagaku terpuaskan. Dan jika aku sudah terlanjur mabuk oleh anggur cinta, biarkanlah aku menjadi semakin mabuk...!

“Tuhan, mereka semua menyuruhku untuk menghilangkan Laila dari pikiranku, dan memadamkan hasrat di dalam hatiku padanya. Namun, aku memohon kepada-Mu, Tuhan, pahatlah bayangannya lebih dalam di dalam mata hatiku, dan buatlah hasratku kepadanya semakin kuat!

“Bukankah Kau dapat melihat bagaimana aku terbakar karena dia? Dan meskipun aku mengetahui tidak akan pernah terbebas dari kepedihan ini, aku rela. Karena ini memang takdir pilihanku. Karena itu, Tuhan, demi Engkau dan demi Cinta, biarkan cintaku tumbuh semakin kuat di setiap waktu yang berlalu. Cinta adalah satu-satunya yang kumiliki, cinta adalah diriku apa adanya, dan cinta adalah satu-satunya tujuan akhir dalam hidupku...!”

Lanjut ke sini.

Laila Majnun: A Love Story (1)

Aku tidak takut kematian;
untuk apa aku takut, jika kau adalah algojoku?
Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah
yang akan menebas leherku?

(Majnun)


Ada yang mengatakan bahwa cinta mampu membuat orang paling waras menjadi gila, sekaligus membuat orang yang paling gila menjadi waras. Ada pula yang mengatakan bahwa bukan cinta kalau belum membuat gila. Pernyataan ini tentu saja tak bisa dipahami secara fisikal.

Kaum sufi mengajarkan bahwa cinta adalah manifestasi penyatuan sang Pecinta kepada sang Kekasih. Jadi dalam cinta tidak ada lagi dua wujud atau dua fisik, melainkan satu. Dalam cinta tak ada lagi dua hati, tetapi tunggal. Hanya cinta. Satu.

Para darwis, atau yang biasa disebut sebagai orang yang ‘tergila-gila’ kepada Tuhan, menunjukkan perilaku yang benar-benar ‘gila’ dalam upayanya mencintai Tuhan. Mereka sudah tak ingat apa pun selain Tuhan. Jangankan mengingat hal lain, bahkan dirinya sendiri pun sudah tak diingatnya. Yang ada hanya Tuhan, dan itu terejawantahkan dalam setiap ucapannya, dalam setiap perbuatannya, dalam setiap sudut kehidupannya, dalam setiap detak jantungnya.

Para darwis telah menyatu dengan Tuhan karena di dalam dirinya tak ada dirinya lagi, melainkan hanya ada Tuhan. Inilah yang disebut cinta. Kalau masih ada jarak, artinya masih ada dua kutub. Kalau masih ada jarak, artinya belum menyatu.

Cinta adalah ‘penyatuan’ rasa, manunggaling ati. Dan ‘penyatuan’ ini tentu tidak bisa didefinisikan sebagai penyatuan dua tubuh atau dua wujud fisik, melainkan penyatuan akal, jiwa, dan denyut hidup. Cinta semacam itulah yang membuat orang paling waras menjadi gila, juga sekaligus membuat orang yang paling gila menjadi waras. Dan... kadang saya tergoda untuk berpikir bahwa sebenarnya itulah hakikat cinta yang sesungguhnya, dan karena itu pulalah Tuhan kemudian menciptakan cinta.

Untuk memahami cinta semacam ini memang sulit jika diuraikan dengan kata-kata, karena di sini yang berperan hanya hati—kata-kata tak dibutuhkan lagi. Tetapi, kita mungkin bisa sedikit memahaminya dengan membuka kembali puing-puing sejarah yang telah terkubur, membuka kembali album Laila Majnun....

***

Majnun sebenarnya bukan nama orang. Itu adalah sebutan bagi seorang laki-laki bernama Qais al-Mulawwah, putra Syed Omri, seorang sayid (pemimpin) kabilah Bani Amir di jazirah Arab. Orang-orang menjuluki Qais dengan sebutan Majnun (gila) karena Qais benar-benar menjadi ‘gila’ dalam rasa hatinya mencintai seorang perempuan bernama Laila, juga anak seorang pemimpin kabilah.

Qais pertama kali mengenal Laila di kampusnya. Dan sebagaimana hatinya, hati Laila pun bergetar merasakan debar cinta. Dua hati bertemu di situ, dua jiwa menyatu. Tetapi cinta yang dirasakan dua manusia ini bukan hanya cinta fisikal, bukan hanya cinta yang artifisial, melainkan cinta yang telah mencapai hakikatnya.

Inilah awal mula munculnya ‘kegilaan’ pada diri Qais. Dia tidak lagi menganggap Laila sebagai orang yang dicintainya, melainkan sebagai cinta itu sendiri. Jadi bagi Qais, Laila bukan lagi Laila, tetapi Cinta. Tak ada Laila. Tak ada lagi dirinya. Yang ada hanya Cinta. Dan ketika cinta telah mencapai titik semacam itu, manusia yang paling waras pun menjadi gila. Qais pun lalu menjadi majnun.

Tetapi tidak semua orang bisa memahami cinta seperti ini. Bagi kebanyakan orang, cinta tetaplah cinta—dan itu pula yang terjadi pada keluarga Qais, juga keluarga Laila. Ketika mereka melihat Qais seperti menjadi gila, keluarga Laila pun mengungsikan anaknya agar sejauh mungkin dengan Qais. Laila disembunyikan dalam sebuah perkemahan, dan setiap hari dijaga dengan sangat ketat agar Qais tak bisa menemuinya.

“Jangan sampai si Majnun itu menemui putriku!” perintah ayah Laila kepada para pengawalnya.

Dan Qais, si Majnun, memang benar-benar tak bisa lagi menemui Laila, pujaan hatinya, cintanya satu-satunya. Keadaan itu membuatnya semakin gila, dan orang-orang pun telah menganggapnya benar-benar majnun.

Lanjut ke sini.

Yuk, Belajar



Yuk, belajar, untuk tidak membesar-besarkan persoalan kecil, tetapi juga tidak mengecilkan hal-hal besar.

Yuk, belajar, untuk melihat dan menyaksikan orang lain, tetapi jangan lupa untuk juga memeriksa diri sendiri.

Yuk, belajar, untuk tidak melupakan sejarah dan masa lalu, tetapi juga terus melangkah dan maju.

Yuk, belajar, untuk menikmati keriangan dan kegembiraan, tetapi juga tidak asing dengan keheningan.

Yuk, belajar…


La, Mula



Kadang-kadang begitu,
atau bahkan sering begitu—entahlah.
Aku ingin tahu.
Aku tak ingin tahu.


After Silence

Kurangkai nada lagu indah, kupahat bait puisi cinta. Di sini... tak ada yang tahu kekosongan paling mencekam adalah dalam lagu indah. Di sini... tak ada yang mengerti kehampaan paling hambar adalah dalam bait puisi cinta.

Sendiri menghadapi sunyi yang tak terucap. Kata-kata menjadi mati. Kata-kata tak berarti.

Malam ini indah, manis. Kupeluk kenyataan setelah fatamorgana. Kutepis khayal. Kugenggam api, kuhangatkan pintu hati. Kurangkai nada lagu indah. Kupahatkan bait puisi cinta.

Waktu datang dan berlalu—tak peduli suka, duka.

Sudah kutanyakan pada apa, pada siapa. Pada mula pada pula, pada pelangi, pada mentari. Kepada apa lagi harus kurangkai nada lagu, jika lagu hanyalah not kosong tanpa kata? Di mana lagi harus kupahat bait puisi, jika puisi hanyalah angka tanpa makna?

Malam ini sepi, sunyi...

...dan bait puisi cinta mengabadi.

Seikat Rindu



Seseorang datang kepadaku
Ia datang dari jiwaku

Di tangannya ada seikat rindu
Atau mungkin di tanganku


Conversation with Self (6)



“Laki-laki dan perempuan itu memutuskan untuk menikah. Para penduduk di sana sangat gembira mendengar rencana itu, karena itu berarti jumlah mereka akan bertambah. Dengan adanya perkawinan itu, maka si laki-laki telah benar-benar menjadi bagian dari komunitas mereka. Nah, sesuai dengan adat di perkampungan itu, mereka pun kemudian menemui kepala suku untuk mendapatkan restu.”

“Dan si kepala suku memberi restu?”

“Tentu, bahkan si kepala suku pun ikut gembira dengan adanya rencana perkawinan itu.”

“Happy ending, benar…?”

“Seperti yang kubilang tadi, kau belum mendengar seluruhnya. Eh, sebaiknya kau minum kopimu, daripada keburu dingin.”




“Bro, lanjutkan ceritamu…”

“Nah, para penduduk pun berkumpul di tempat kepala suku, sementara kedua calon mempelai duduk berdampingan dengan senyum gembira. Si kepala suku memberikan kata-kata sambutan pra-peresmian perkawinan itu. Dia memberi tahu si laki-laki, bahwa dia dan seluruh penduduk di sana akan merestui perkawinan mereka, dengan syarat si laki-laki merelakan matanya dicungkil…”

“Merelakan… apa???”

“Merelakan kedua matanya dicungkil.”

“Tapi kenapa…???”

“Bisa tolong ambilkan rokokku?”

“Ini.”

“Dan geretannya.”

“Oh sialan, cepat lanjutkan ceritamu.”

“Rokok ini sepertinya nikmat sekali…”

“Ya, ya, pasti nikmat sekali. Lanjutkan ceritamu.”

“Kau tidak merokok, pal? Sepertinya akan lebih nikmat kalau kau juga merokok. Nyalakan rokokmu.”

“Oh, sialan, oke, oke! Aku merokok sekarang. Lanjutkan ceritamu!”

“Sampai dimana tadi ceritaku?”

“Sampai pada… rencana mencungkil kedua mata laki-laki itu.”

“Oh, yeah. Jadi, laki-laki itu akan direstui untuk menjadi suami si wanita, asalkan laki-laki itu merelakan kedua matanya untuk dicungkil.”

“Tapi kenapa…???”

“Karena begitu si laki-laki menjadi suami si wanita, maka artinya dia telah menjadi bagian dari komunitas masyarakat di sana.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kedua matanya harus dicungkil…?”

“Look, perhatikan faktanya. Kuulangi, begitu si laki-laki menjadi suami si wanita, maka artinya dia telah menjadi bagian dari komunitas masyarakat di sana. Artinya, laki-laki itu juga harus sama dengan masyarakatnya. Selama dia masih memiliki mata, selama itu pula dia masih berbeda. Karena dia telah menyatakan diri untuk bergabung dengan komunitas masyarakat yang buta, maka dia pun harus merelakan kedua matanya dicungkil agar juga sama-sama buta.”

“Oh my God, jadi dia tinggal di dalam komunitas masyarakat yang buta? Kenapa kau tidak menyatakannya dari awal?”

“I did, kau yang tidak memperhatikan. Aku sudah menyatakannya—well, secara tersirat.”

“Lalu… apa yang terjadi? Laki-laki itu mau? Dia merelakan matanya dicungkil?”

“Di sinilah letak keanehan kisah itu. Laki-laki itu bersedia mematuhi persyaratan itu, dan merelakan kedua matanya dicungkil keluar.”

“Oh, bro, jadi sekarang dia tak bisa melihat apa-apa? Sekarang dia buta?”

“Ya, tapi baginya hal itu tidak masalah. Karena sekarang dia telah hidup bersama wanita yang dicintainya, sekarang dia dapat hidup sesuai dengan masyarakatnya, sama seperti mereka.”

“Buta…?”

“Yeah…”

“Itu bukan happy ending seperti yang kubayangkan…”

“Aku tak pernah menyatakan kisah ini berakhir happy ending!”


Conversation with Self (5)



“Bro, kalau tak salah ingat, kau tadi membicarakan soal analogi massa?”

“Senang kau masih mengingatnya.”

“Kau mau menjelaskan lagi untukku? Kau tahu, sepertinya kita sudah nyambung sekarang.”

“Karena konduktor?”

“Hahaha, salah satunya. Tapi, yang lebih penting, sekarang aku tahu alasan kehadiranku di sini.”

“Well, ada sebuah legenda. Tapi aku tak yakin kalau ini legenda—aku lebih yakin ini fabel manusia.”

“Itu pasti istilahmu—selera humormu benar-benar sinting! Nah, ada apa dengan fabel itu…?”

“Sekelompok orang pergi berburu ke hutan. Perhatikan—berburu. Di dalam aktivitas perburuan itu, salah seorang dari mereka terpisah dari rombongan.”

“Lelaki? Perempuan?”

“Sorry, aku lupa menjelaskannya secara detail. Sekelompok pemburu itu semuanya laki-laki. Jadi, salah satu lelaki di antara pemburu itu terpisah dari rombongan. Dia berjalan kesana-kemari di dalam hutan itu, mencari-cari teman-temannya.”

“Ketemu…?”

“Tidak, dia justru tersesat. Semakin jauh laki-laki itu melangkah ke dalam hutan, semakin ia tak yakin dengan jalan yang diambilnya. Tetapi dia terus melangkah, berjalan, terus masuk ke bagian mana pun dalam hutan itu, dengan tujuan untuk menemukan teman-temannya. Sampai kemudian, ketika langkahnya sudah amat jauh masuk di dalam hutan, laki-laki itu menjumpai semacam areal perkampungan. Dia melihat beberapa rumah sederhana yang dibangun di sana, tanaman yang tumbuh dan menghasilkan buah, juga anak-anak yang sedang bermain. Benar-benar sebuah perkampungan penduduk.”

“Dia pasti tak menyangkanya.”

“Benar, laki-laki itu sama sekali tak menyangka akan menemukan areal perkampungan di sana. Karena dalam keadaan tersesat, dia pun mencoba mencari tahu dimana dia berada sekarang. Dia mendekati seseorang yang dilihatnya, dan kemudian menanyakan hal itu. Tapi orang yang ditanyainya sama sekali tidak tahu dan tidak paham apa yang dibicarakan si laki-laki. Mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa yang sama, namun mereka tidak saling memahami.”

“Menarik. Lalu apa yang terjadi?”

“Sampai kemudian dibawalah laki-laki itu ke tempat ketua penduduk di sana. Yeah, semacam kepala suku atau semacam itulah. Di sana, laki-laki itu menceritakan masalahnya, bahwa dia terpisah dengan teman-temannya, dan tersesat, dan dia ingin kembali pulang ke tempatnya. Si kepala suku menjawab, para penduduk di tempat itu tak pernah kemana-mana, jadi mereka tak tahu tempat laki-laki itu, mereka juga tak tahu mana jalan keluar yang bisa diambil laki-laki itu untuk pulang.”

“Jadi, laki-laki itu tak bisa pulang…?”

“Benar, dia tak bisa pulang.”

“Apa yang kemudian dilakukannya?”

“Untunglah, dia ada di perkampungan penduduk yang baik. Si kepala suku tadi kemudian menawarkan pada laki-laki itu untuk bergabung bersama mereka, hidup di sana.”

“Dan laki-laki itu setuju?”

“Dia tak punya pilihan, kan? Dia bahkan bersyukur karena menemukan komunitas penduduk di sana—tempat yang telah ia kira tak terjamah manusia. Maka dia pun menyetujui usul si kepala suku, dan laki-laki itu pun mulai hidup di tempat itu. Para penduduk yang baik di sana saling bergotong-royong membuatkan rumah baru untuk si laki-laki, dan mereka berusaha agar si laki-laki bisa nyaman hidup berdampingan dengan mereka.”

“Sepertinya kisah ini akan berakhir happy ending?”

“Kau belum mendengar seluruhnya, pal. Nah, seiring dengan bergantinya hari, laki-laki tadi semakin merasa betah dan nyaman tinggal di perkampungan itu. Dia hidup rukun dengan sesama penduduk, akrab dengan kepala suku, dan mereka pun bekerja bersama-sama, makan bersama, susah-senang bersama. Sampai kemudian…”

“Sampai kemudian…?”

“Well, sampai kemudian, suatu hari laki-laki itu bertemu seorang perempuan yang belum pernah dilihatnya di perkampungan itu. Dilihat dari usianya, perempuan itu sepertinya belum menikah, dan mereka pun berkenalan. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta… dan kemudian memutuskan untuk menikah.”

“Apa kubilang? Kisah ini pasti akan berakhir happy ending!”

“Tunggu sampai kau mendengar kelanjutannya. Di sinilah inti ceritanya, yang sama sekali tak pernah kubayangkan…”

“Apa yang terjadi…?”


Kamis, 02 September 2010

Apalah Arti Sebuah Shakespeare

Perhatikan arti di setiap kata, perhatikan makna di balik kalimatnya.


Di dunia ini, orang yang paling banyak disalahpahami orang lain mungkin Shakespeare. Pujangga Inggris legendaris ini menjadi legenda, bukan hanya karena kehebatan karya-karyanya, tetapi juga karena ada kalimat ciptaannya yang disalahpahami jutaan manusia.

“Apalah arti sebuah nama?”

Kalimat itu tertulis dalam teks drama yang disusun Shakespeare, ketika ia menciptakan kisah roman "Romeo & Juliet". Sebenarnya, dibandingkan kisah seutuhnya, kalimat itu tidak penting, bahkan masih banyak kalimat lain yang lebih bagus yang terdapat dalam teks drama tersebut. Karenanya, sungguh mengherankan ketika kalimat itulah yang kemudian justru paling terkenal di seluruh dunia. Lebih mengherankan lagi ketika ternyata orang-orang keliru memahaminya.

Setiap kali orang mengutip kalimat itu, hampir bisa dipastikan maksud dan tujuannya adalah untuk menyalahkan Shakespeare, seolah Shakespeare menyatakan bahwa nama tidak penting. Tetapi, apakah memang seperti itu tujuan Shakespeare ketika menulis kalimat itu di dalam kisah yang dibuatnya?

Di sinilah sering kali kelirunya kita dalam menghadapi suatu teks. Tentu saja Shakespeare sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa nama tidak penting. Betapa pun juga, Shakespeare tetap menganggap nama (apalagi nama orang) sebagai sesuatu yang penting. Ketika ia menulis kalimat (teks) semacam itu, kita tidak bisa menghakimi Shakespeare hanya karena teks itu—tanpa melihat konteksnya terlebih dulu.

Sekarang kita lihat konteks di mana teks tersebut berada. Kalimat “Apalah arti sebuah nama?” terdapat dalam drama Romeo & Juliet, di Babak Kedua Bagian Dua. Agar konteks kalimatnya lebih mudah dipahami, berikut ini saya tuliskan seutuhnya teks dan kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia:

Juliet:
"Hanya namamu yang menjadi musuhku. Tetapi kau tetap dirimu
sendiri di mataku, bukan Montague. Apa itu “Montague”?
Ia bukan tangan, bukan kaki, bukan lengan, bukan wajah, atau
apa pun dari tubuh seseorang. Jadilah nama yang lain!
Apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar,
kalau pun mawar berganti dengan nama lain. Ia tetap bernilai
sendiri, sempurna, dan harum tanpa harus bernama mawar.
Romeo, tanggalkanlah namamu. Untuk mengganti nama
yang bukan bagian dari dirimu itu, ambillah diriku seluruhnya.
"

See…? Teks berada di dalam konteks. Untuk menilai secara adil sebuah teks, kita harus melihat konteksnya terlebih dulu secara jernih. Orang tidak bisa dihakimi hanya karena kata-katanya, tetapi juga harus dilihat kenapa dia menyatakan kata-kata itu.

Sekarang, kasusnya dengan Shakespeare, teks “Apalah arti sebuah nama?” terdapat dalam konteks tragedi cinta antara Romeo dan Juliet. Kedua anak manusia itu saling mencintai, tetapi cinta mereka tidak mungkin bersatu karena keduanya dipisahkan oleh dua suku mereka yang saling bermusuhan (suku Montague dan suku Capulet).

Romeo maupun Juliet menyadari bahwa sebesar apa pun cinta mereka, selamanya cinta itu tidak akan memperoleh restu, karena nama “Romeo” tidak bisa diterima dalam suku dan keluarga Juliet. Karenanya, di dalam rasa frustrasi dan keputusasaannya, Juliet pun kemudian membayangkan Romeo tidak bernama Romeo, dan ia menyenandungkan solilokui, “Apalah arti sebuah nama?”

Lihatlah konteksnya.

Yang menjadi inti dari kalimat Juliet bukanlah penting atau tidak pentingnya sebuah nama, tetapi soal penerimaan sebuah identitas. Nama “Romeo” membawa identitas suku Montague—suatu identitas yang tidak bisa diterima suku Juliet. Juliet tidak peduli Romeo berganti nama dengan apa pun, selama sukunya (Capulet) bisa menerimanya. Intinya di sini bukan soal nama, tetapi soal penerimaan identitas. Sekali lagi, lihatlah konteksnya.

Jadi, ketika menulis kalimat itu di dalam kisah drama yang dibuatnya, Shakespeare sama sekali tidak memaksudkan bahwa nama itu tidak penting. Tentu saja ia tetap menganggap nama sebagai sesuatu yang penting. Sungguh naif kalau kita membayangkan orang semacam Shakespeare menganggap nama tidak penting. Shakespeare pasti marah kalau judul “Romeo & Juliet” diganti menjadi “Rhoma & Betet”, misalnya. Jadi, sekali lagi, lihatlah konteks—sebelum menghakimi teks.

Mengapa soal teks dan konteks ini sepertinya menjadi penting? Karena kita sering menjadi naif ketika berhadapan dengan persoalan ini. Ketika ada suatu teks tertentu yang kita anggap tidak beres, kita langsung beramai-ramai mengadili dan menghakiminya, tanpa mau melihat dan mempelajari konteksnya terlebih dulu. Padahal, menghakimi teks tanpa melihat konteks tidak akan pernah menghasilkan keadilan. Itu sama saja memukuli orang yang kita sangka maling, padahal orang itu belum tentu memang maling.

Teks memang penting, tetapi konteks jauh lebih penting. Ketika teks tercipta, ia tercipta bukan tanpa sebab, tetapi karena dikondisikan oleh konteks. Ketika seseorang mengucapkan atau menyatakan sesuatu, jangan hanya menilai ucapan atau perkataannya semata-mata, tetapi juga lihat dan nilailah keadaan yang membuatnya menyatakan atau mengucapkan kata-kata itu.

Jika seseorang menyatakan, misalnya, “Aku akan membunuhmu, keparat!”—itu teks. Kita tidak bisa langsung menuduh orang itu sebagai psikopat atau pembunuh berdarah dingin hanya karena kata-kata itu, sebelum melihat konteksnya terlebih dulu.

Bisa jadi orang yang mengatakan kata-kata itu justru orang yang baik hati, seorang yang berjiwa luhur dan welas asih—hanya saja keadaan (konteks) yang ia hadapi benar-benar suatu kejahatan yang luar biasa, yang amat sangat menyakiti hati dan perasaannya, sehingga dia sampai mengucapkan kata-kata semacam itu.

Begitu pun, kalau pacarmu menyatakan, “Aku benci kamu, dodol!” Kata-kata itu tidak secara otomatis menunjukkan bahwa pacarmu tidak mencintaimu. Jika kata-kata itu diletakkan dalam konteks yang berbeda-beda, bisa jadi itu merupakan ungkapan sayangnya, atau kejengkelan karena terlalu mencintaimu. Dan, tentu saja, kau bukanlah si Dodol.

Jadi, marilah kita berhenti menghakimi Shakespeare, karena Shakespeare sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa nama tidak penting. Lebih penting lagi, marilah kita berhenti menghakimi siapa pun, hanya karena teks. Semua teks selalu dilahirkan oleh konteks.

Jika kita menganggap teks itu penting, marilah kita menerima kenyataan bahwa konteks jauh lebih penting, karena dialah rahim semua kata-kata, semua ucapan—semua teks. Jika kita hanya meributkan teks tanpa mau melihat konteks, mungkin kita terlalu lama gaul dengan ayam yang suka berkoteks. :D

Sudah Ada yang…



Bukan itu yang kumaksudkan. Perhatikan tidak adanya satu tanda baca, dan kurangnya satu huruf besar pada judul di atas.


Empat Macam Naskah (2)



Nah, selain empat macam penilaian seperti yang saya paparkan di post sebelumnya, ada pula empat penilaian lain yang juga dijadikan tolok ukur penerbit dalam memutuskan apakah sebuah naskah akan diterbitkan ataukah tidak. Sebenarnya, intinya sama saja seperti yang di atas, namun kali ini yang dinilai adalah faktor penulisnya. Berikut ini penjelasannya.

Naskah berkualitas, penulisnya terkenal. Ini jelas naskah yang langsung mendapat lampu hijau. Tidak perlu menunggu waktu lama, penerbit pasti akan langsung oke dengan naskah seperti ini. Naskah yang berkualitas, ditunjang nama penulis yang terkenal, dapat membuat penerbit cukup pede untuk memprediksi bukunya nanti bisa masuk best seller.

Naskah berkualitas, penulisnya tidak terkenal. Masih tidak masalah, toh naskahnya berkualitas. Inti sebuah buku tidak semata-mata pada siapa yang menulisnya, tetapi apa yang tertulis di dalamnya. Karenanya, jika kenyataannya naskah itu memang berkualitas, penerbit masih oke meski nama penulisnya belum terkenal. Lebih dari itu, semua penulis terkenal pada mulanya juga penulis yang tidak terkenal. Semua penulis hebat pada mulanya juga penulis pemula.

Naskah tidak berkualitas, penulisnya terkenal. Nah, ini kadang jadi dilema bagi sebuah penerbit. Naskah itu tidak bisa dibilang bagus atau berkualitas, tapi penulisnya terkenal. Kok bisa…? Bisa saja, misal seorang artis terkenal yang mulai mencoba menulis buku. Nama artis itu mungkin sudah sangat terkenal, tetapi ternyata hasil tulisannya tidak bisa dibilang bagus. Ketika menerima naskah semacam ini, penerbit biasanya masih akan menerbitkannya, dengan harapan nama besar penulisnya mampu mendongkrak penjualan buku itu nantinya. Kalau toh isi naskahnya kurang beres, editor akan membereskannya.

Naskah tidak berkualitas, penulisnya tidak terkenal. Haduh, ini sama saja dengan jenis naskah keempat di atas. Penerbit tidak akan menunggu waktu lama untuk memutuskan nasib naskah semacam ini. Sekretaris redaksi akan langsung menyiapkan surat penolakan, pimpinan redaksi akan tanda tangan, dan… naskah itu pun akan segera dikirim untuk dikembalikan.

Well, jika melihat pemaparan di atas, sebenarnya cukup membesarkan hati, kan? Di antara empat macam kuadran sebagaimana yang saya paparkan itu, kemungkinannya adalah tiga banding satu (3:1). Ada tiga kemungkinan naskah kita diterima, dan hanya ada satu kemungkinan naskah kita ditolak. Itu cukup membesarkan hati. Karenanya, ayo… tak perlu ragu mengirimkan naskahmu!


Empat Macam Naskah (1)



Berikut ini adalah empat macam naskah yang biasa menumpuk di meja redaksi penerbit mana pun—dan bagaimana penilaian redaksi terhadap empat macam naskah tersebut. Penilaian ini adalah estimasi rata-rata yang biasa digunakan para penerbit. Karenanya, kalau saat ini kau kebetulan telah memiliki naskah dan berencana untuk mengirimkannya ke sebuah penerbit, kau bisa membaca kembali naskahmu dan mencoba menilai, tergolong seperti apakah naskah karyamu.

Empat macam naskah itu dapat dijelaskan seperti berikut ini:

Berkualitas, sekaligus komersial. Ini jenis naskah yang dicari penerbit mana pun. Believe it or not, tidak ada satu penerbit pun di muka bumi ini yang bisa menjamin apakah sebuah buku dapat menjadi best seller ataukah tidak. Kadang-kadang sebuah buku sudah diprediksi, bahkan diyakini, akan meledak serta menjadi best seller. Tetapi ketika buku itu dilempar ke pasar, responnya sepi atau biasa-biasa saja.

Sebaliknya, ada pula buku yang sama sekali tidak diprediksikan laku apalagi laris. Tetapi ketika buku itu terdisplai di toko-toko buku, penerbitnya takjub luar biasa karena buku itu bisa mencetak angka penjualan yang spektakuler. Saya bisa menyebutkan sejumlah contoh untuk kasus-kasus seperti ini, tapi rasanya kurang etis jika saya tuliskan di sini.

Yang jelas, ketika sebuah naskah sampai di meja redaksi dan kemudian pihak penerbit memutuskan untuk menerbitkannya, mereka sama sekali tak pernah yakin apakah kelak bukunya akan laris ataukah tidak. Tetapi, meski begitu, penerbit memiliki tolok ukur sendiri, yang dari situ mereka akan berupaya untuk menakar sejauh mana kemungkinan penjualan bagi buku tersebut.

Nah, tolak ukur yang paling mudah digunakan dalam hal ini adalah sisi kualitas dan nilai komersial dari naskah tersebut. Jika sebuah naskah dinilai berkualitas, sekaligus memiliki nilai komersial tinggi, maka penerbit pun akan cukup yakin dengan prospek penjualannya. Karenanya, jika naskahmu masuk dalam penilaian semacam ini—berkualitas sekaligus komersial—maka dapat dipastikan penerbit akan segera welcome dengan naskahmu.

Berkualitas, tapi tidak komersial. Ini jenis naskah yang biasanya membahas persoalan-persoalan berat, atau topik-topik asing, atau mengupas sesuatu yang kurang dikenal masyarakat luas. Temanya bisa macam-macam, dan bisa dari berbagai disiplin ilmu. Biasanya pula, naskah jenis ini ditulis dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Maksud saya, penulis naskah semacam ini biasanya melakukan serangkaian riset yang mendalam, melakukan penelitian yang sangat detail, dan biasanya pula memiliki gelar yang macam-macam di antara namanya.

Ketika penerbit menerima naskah semacam ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi.

Pertama, penerbit itu akan menolak naskah tersebut, karena bagaimana pun juga mereka tidak mau berspekulasi dengan naskah yang jelas-jelas tidak komersial. Kedua, penerbit itu akan menerbitkan naskah tersebut, tetapi misinya tidak lagi komersial, melainkan prestise. Tentu merupakan kebanggaan tersendiri bagi sebuah penerbit yang menerbitkan sebuah buku yang benar-benar “intelektual murni”. Karenanya, meski mereka menyadari buku itu tidak akan terlalu laku, tetapi mereka akan bangga menerbitkannya. Nah, kemungkinan ketiga, penerbit itu akan menerbitkan naskah tersebut, namun mereka akan mengemasnya dalam bentuk yang (lebih) populer, sehingga memiliki prospek penjualan yang lebih baik.

Tetapi, yang jelas, naskah yang masuk dalam golongan kedua ini masih tergolong bagus bagi penerbit—karena dasarnya memang naskah itu berkualitas. Karenanya, kemungkinannya juga lebih besar untuk dapat diterbitkan.

Tidak berkualitas, tapi komersial. Jenis naskah ini bisa dibilang tak jauh beda dengan jenis naskah kedua. Kali ini, naskahnya tidak berkualitas, tapi komersial. Kemungkinannya untuk terbit juga tak jauh beda dengan jenis naskah di atas.

Sebagaimana kemungkinan yang terjadi pada jenis naskah kedua di atas, jenis naskah ketiga ini pun akan memiliki kemungkinan yang tak jauh beda. Kemungkinan pertama, penerbit itu akan menolak naskah tersebut, dengan alasan mutlak karena naskah itu tidak memenuhi standar kualifikasi mereka. Tak peduli naskah itu komersial atau tidak, mereka tak mau mengorbankan kualitas produk yang mereka hasilkan.

Kemungkinan kedua, mereka akan menerbitkan naskah itu, hanya saja penulisnya akan diminta untuk merevisi (atau memperbaiki) naskah tersebut agar bisa lebih baik. Kalau ternyata si penulis tidak mampu merevisi atau memperbaiki naskahnya, maka ada kemungkinan ketiga, yakni naskah itu tetap akan diterbitkan, dan editor nantinya yang akan bekerja keras memperbaiki dan menyempurnakan naskahnya agar lebih baik.

Tidak berkualitas, sekaligus tidak komersial. Haduh, ini jenis naskah yang bisa dibilang “parah”—dan penerbit biasanya tidak akan ragu untuk menolaknya. Ditinjau dari segi kualitas, naskah itu sama sekali tidak memenuhi standar kualifikasi yang ditetapkan. Ditinjau dari segi komersial, naskah itu juga tidak memiliki nilai jual. Apa lagi yang bisa diharapkan? Maka ending-nya pun jelas. Naskah itu akan ditolak.

Lanjut ke sini.


 
;