Kamis, 02 September 2010

Cinta yang Tak Kunjung Usai



Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melakukan apapun. Siapa yang hidup? Dia yang dilahirkan oleh Cinta.
(Jalaluddin Rumi)

Kekuatan apakah yang lebih besar, sekaligus lebih indah, di dunia ini selain cinta? Energi apakah yang lebih kuat kuasanya selain cinta? Daun-daun yang gugur, yang memberikan kesempatan kepada daun-daun yang lebih muda untuk tumbuh, induk ayam yang mengundang anak-anaknya saat menemukan makanan, seorang ayah yang rela membanting tulang dan peras keringat, seorang ibu yang ikhlas bangun di tengah malam saat mendengar bayinya menangis, bukankah semuanya itu disebabkan oleh cinta? Bahkan kumbang-kumbang butuh mendatangi bunga-bunga untuk bertukar fungsi, memberi dan menerima, karena cinta. Sekian milyar planet diikat oleh cinta dalam garis edarnya, dan cinta itu pulalah yang menentukan batas geraknya yang pasti. Meteor langit pun akan terbakar setiap kali menuju bumi karena cinta.

Secara ‘genetika’, alam raya terbentuk oleh unsur-unsur cinta, dan cinta ini mengisi setiap butir atom, setiap helai molekul, setiap wujud partikel. Mata rantai kehidupan, ekosistem alam, semuanya dibangun oleh cinta, dan digerakkan pula oleh energi besar bernama cinta. Di manakah ruang yang kosong tanpa cinta mengisi di dalamnya? Di manakah bagian hampa tanpa cinta yang mengisi setiap ruangnya? Ketika bumi dipersiapkan untuk menyambut kedatangan Adam dan Hawa, bumi pun telah diberi tahu bahwa makhluk pertama yang akan menempatinya adalah sepasang cinta.

Dan fisika kehilangan salah satu bagian terpenting selain gaya gravitasi bumi. Newton terlalu terlena dengan penemuannya saat ia menyaksikan sebutir apel yang terlepas dari dahan pohonnya. Ia terlalu hanyut dalam keterpesonaan menyaksikan gaya tarik-menarik itu, hingga tak pernah terpikir bahwa ada yang lebih indah dan lebih kuat dari gaya gravitasi bumi. Yakni gaya gravitasi hati. Newton terlalu asyik mengurusi daya tarik-menarik yang vertikal, hingga ia lupa bahwa di sekelilingnya juga terjadi daya tarik-menarik oleh sesama makhluk secara horisontal. Yakni getaran nurani. Yakni debar hati. Yakni perasaan cinta.

Cinta mampu menjadikan seorang pemalas menjadi gesit, lincah dan terampil. Cinta membangun kekuatan di dalam diri seorang penakut hingga menjadi pemberani. Cinta menyediakan energi yang begitu besar dalam fisik seorang perempuan rapuh hingga rela terjaga sepanjang malam untuk mengurusi sang buah hati. Cinta menyediakan kesabaran tanpa ujung tanpa batas dalam jiwa seorang lelaki yang menghabiskan setiap hari dan sepanjang malam untuk membesarkan anak-anaknya. Cinta mengubah si kikir menjadi dermawan, mengubah si pemberang menjadi penyabar dan penuh pengertian. Cinta memberikan kekuatan dan energi dalam setiap orang untuk tabah dan sabar menghadapi setiap kesulitan.

Apakah bukan cinta bila seseorang rela menanggung beban untuk tujuan membahagiakan orang yang lainnya? Apakah bukan cinta yang mampu menjadikan jarak yang jauh dan membosankan menjadi jalan yang penuh keindahan? Unsur apakah kalau bukan cinta yang menjadikan waktu terasa begitu panjang di kala rindu, dan menjadi sedemikian singkat ketika telah bertemu?

Cinta memberikan energi yang luar biasa besar dalam diri setiap orang, membebaskan daya kekuatan yang dirantai belenggu, memerdekakan jiwa yang terpenjara oleh ruang dan waktu. Cinta menumbuhkan berjuta bunga di kebun gersang hati manusia.

Bila binatang dan tumbuhan memperagakan cinta mereka dengan insting, maka manusia mengekspresikannya lewat naluri dan akal. Tapi apapun metode dan caranya, semua hanya ingin menyatakan betapa alam terlanjur dikelilingi oleh cinta.

Lalu di manakah cinta ini harus disandarkan untuk memperoleh penopang bagi keberlangsungannya? Pada keindahan fisik? Pada ketampanan dan kecantikan? Kalau itu yang menjadi sandarannya, maka cinta akan menghadapi kekecewaan karena keindahan raga hanya bersifat sementara. Lingkar waktu akan menunjukkan bahwa kecantikan atau ketampanan yang pernah membuat jiwa mabuk kepayang itu akan menjadi sirna seiring dengan makin lebarnya lubang ozon di orbit matahari.

Atau pada harta benda dan pesona duniawi yang fana? Kalau itu yang dijadikan sandaran bagi cinta, maka manusia takkan pernah bahagia, karena bahkan setiap detik semuanya itu bisa musnah dan terenggut dalam kekejaman jagal waktu dan rezim semesta.

Hanya dengan menyandarkannya pada Sang Cinta, pada Sang Pemilik Waktu, kita bisa berharap memperoleh keabadian cinta yang tak luntur oleh waktu, yang tak hancur oleh usia. Di bawah Cinta-Nya pulalah kita bisa berharap menghadirkan mukjizat dalam hidup berbentuk kedamaian hati yang tulus kasih, dalam kebahagiaan terikhlas saat menderita demi melihat orang yang kita cintai berbahagia.

Cinta adalah keajaiban, adalah mukjizat, dan cinta itu pun mampu menghadirkan keajaiban, menghadirkan mukjizat...


 
;