Rabu, 08 September 2010

Laila Majnun: A Love Story (1)

Aku tidak takut kematian;
untuk apa aku takut, jika kau adalah algojoku?
Untuk apa aku gemetar jika pedangmulah
yang akan menebas leherku?

(Majnun)


Ada yang mengatakan bahwa cinta mampu membuat orang paling waras menjadi gila, sekaligus membuat orang yang paling gila menjadi waras. Ada pula yang mengatakan bahwa bukan cinta kalau belum membuat gila. Pernyataan ini tentu saja tak bisa dipahami secara fisikal.

Kaum sufi mengajarkan bahwa cinta adalah manifestasi penyatuan sang Pecinta kepada sang Kekasih. Jadi dalam cinta tidak ada lagi dua wujud atau dua fisik, melainkan satu. Dalam cinta tak ada lagi dua hati, tetapi tunggal. Hanya cinta. Satu.

Para darwis, atau yang biasa disebut sebagai orang yang ‘tergila-gila’ kepada Tuhan, menunjukkan perilaku yang benar-benar ‘gila’ dalam upayanya mencintai Tuhan. Mereka sudah tak ingat apa pun selain Tuhan. Jangankan mengingat hal lain, bahkan dirinya sendiri pun sudah tak diingatnya. Yang ada hanya Tuhan, dan itu terejawantahkan dalam setiap ucapannya, dalam setiap perbuatannya, dalam setiap sudut kehidupannya, dalam setiap detak jantungnya.

Para darwis telah menyatu dengan Tuhan karena di dalam dirinya tak ada dirinya lagi, melainkan hanya ada Tuhan. Inilah yang disebut cinta. Kalau masih ada jarak, artinya masih ada dua kutub. Kalau masih ada jarak, artinya belum menyatu.

Cinta adalah ‘penyatuan’ rasa, manunggaling ati. Dan ‘penyatuan’ ini tentu tidak bisa didefinisikan sebagai penyatuan dua tubuh atau dua wujud fisik, melainkan penyatuan akal, jiwa, dan denyut hidup. Cinta semacam itulah yang membuat orang paling waras menjadi gila, juga sekaligus membuat orang yang paling gila menjadi waras. Dan... kadang saya tergoda untuk berpikir bahwa sebenarnya itulah hakikat cinta yang sesungguhnya, dan karena itu pulalah Tuhan kemudian menciptakan cinta.

Untuk memahami cinta semacam ini memang sulit jika diuraikan dengan kata-kata, karena di sini yang berperan hanya hati—kata-kata tak dibutuhkan lagi. Tetapi, kita mungkin bisa sedikit memahaminya dengan membuka kembali puing-puing sejarah yang telah terkubur, membuka kembali album Laila Majnun....

***

Majnun sebenarnya bukan nama orang. Itu adalah sebutan bagi seorang laki-laki bernama Qais al-Mulawwah, putra Syed Omri, seorang sayid (pemimpin) kabilah Bani Amir di jazirah Arab. Orang-orang menjuluki Qais dengan sebutan Majnun (gila) karena Qais benar-benar menjadi ‘gila’ dalam rasa hatinya mencintai seorang perempuan bernama Laila, juga anak seorang pemimpin kabilah.

Qais pertama kali mengenal Laila di kampusnya. Dan sebagaimana hatinya, hati Laila pun bergetar merasakan debar cinta. Dua hati bertemu di situ, dua jiwa menyatu. Tetapi cinta yang dirasakan dua manusia ini bukan hanya cinta fisikal, bukan hanya cinta yang artifisial, melainkan cinta yang telah mencapai hakikatnya.

Inilah awal mula munculnya ‘kegilaan’ pada diri Qais. Dia tidak lagi menganggap Laila sebagai orang yang dicintainya, melainkan sebagai cinta itu sendiri. Jadi bagi Qais, Laila bukan lagi Laila, tetapi Cinta. Tak ada Laila. Tak ada lagi dirinya. Yang ada hanya Cinta. Dan ketika cinta telah mencapai titik semacam itu, manusia yang paling waras pun menjadi gila. Qais pun lalu menjadi majnun.

Tetapi tidak semua orang bisa memahami cinta seperti ini. Bagi kebanyakan orang, cinta tetaplah cinta—dan itu pula yang terjadi pada keluarga Qais, juga keluarga Laila. Ketika mereka melihat Qais seperti menjadi gila, keluarga Laila pun mengungsikan anaknya agar sejauh mungkin dengan Qais. Laila disembunyikan dalam sebuah perkemahan, dan setiap hari dijaga dengan sangat ketat agar Qais tak bisa menemuinya.

“Jangan sampai si Majnun itu menemui putriku!” perintah ayah Laila kepada para pengawalnya.

Dan Qais, si Majnun, memang benar-benar tak bisa lagi menemui Laila, pujaan hatinya, cintanya satu-satunya. Keadaan itu membuatnya semakin gila, dan orang-orang pun telah menganggapnya benar-benar majnun.

Lanjut ke sini.

 
;