Sabtu, 16 Oktober 2010

Menjaga Mood Menulis (2)



Begitu pula dengan yang saya lakukan sebagaimana yang saya gambarkan di atas. Saya sangat mencintai buku. Dan di dekatnya, saya merasa tenteram—bahkan hanya dengan menatap dan memandanginya saja. Biasanya, setelah duduk beberapa jam seperti itu, saya akan kembali merasa adem, dan perasaan yang kacau akan kembali menjadi tenteram. Setelah itu, saya pun akan merasa siap untuk menulis kembali, dengan mood yang terjaga kembali.

Sekali lagi, cara yang saya gambarkan di atas itu sifatnya sangat personal. Karenanya, kalau kau juga membutuhkan suatu upaya untuk mengembalikan mood yang hilang, mungkin kau bisa meniru cara saya, hanya saja beda dalam mediumnya. Misalnya, kalau kebetulan kau suka berkebun, gunakan saja kebun kesayanganmu untuk kembali menenteramkan perasaanmu. Duduklah di sana, nikmati pemandangan yang ada, pandangi tumbuh-tumbuhan yang pernah kautanam, atau sibukkanlah dirimu dengan mencabuti rumput yang tumbuh liar di sana.

Biasanya, ketika kita menyibukkan diri atau mendekatkan diri dengan sesuatu yang dicintai, biasanya pula rasa ketenangan akan kembali. Setelah itu, mood menulis—atau mood dalam apa pun—juga akan kembali.

Hal kedua yang sering membuat saya kehilangan mood menulis, adalah karena rasa jenuh atau bosan. Sepertinya semua orang pun akan begitu, ya. Kalau setiap hari dan setiap waktu kita melakukan satu hal saja, lama-lama pekerjaan itu pun akan membuat jenuh atau bosan—dan seperti itulah yang (kadang) saya rasakan.

Ada kalanya, saya merasa tak bergairah lagi menulis. Bahkan melihat monitor komputer saja rasanya sudah tak bergairah. Tak perlu disebutkan lagi, penyebab hal itu adalah karena rasa jenuh. Dan seringkali yang membuat saya mengalami kejenuhan semacam itu adalah ketika menggarap naskah buku yang sangat tebal, atau sangat berat.

Biasanya, saya membatasi setiap naskah yang saya tulis tidak sampai melebihi jumlah 300 (tiga ratus) halaman. Itu tebal naskah yang bisa dibilang maksimal bagi saya. Karenanya, ketika kemudian naskah itu membengkak di atas jumlah 300 halaman, saya pun seringkali dilanda kejenuhan. Ada kalanya, saya membayangkan bahwa naskah yang saya tulis hanya akan setebal 200-an halaman. Tetapi, ketika sampai di tengah jalan penulisan, muncul hal-hal baru yang membutuhkan pembahasan tersendiri, sehingga jumlah halaman naskah pun jadi membengkak.

Ketika kenyataan semacam itu terjadi, alamat saya akan mengalami rasa bosan di tengah jalan. Tidak jarang saya juga mengalami rasa frustrasi ketika menggarap naskah semacam itu. Dan saat sampai di titik semacam itu, mood menulis saya pun hilang. Rasanya sudah kesal jika harus memaksa diri meneruskan menghadapi naskah yang membuat bosan itu.

Apa yang biasanya saya lakukan ketika menghadapi kenyataan seperti itu? Karena penyebab hilangnya mood menulis di atas bersifat kasuistis (dalam hal ini karena mengerjakan suatu naskah yang sangat tebal atau sangat berat), maka cara yang saya tempuh agak mudah, yakni dengan menutup naskah tersebut, dan menulis hal lain yang kebetulan sedang ingin saya tulis.

Ketika merasa jenuh saat mengerjakan suatu naskah, saya akan menutupnya untuk beberapa waktu lamanya, dan kemudian menulis hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan naskah itu. Menulis post untuk blog, misalnya. Biasanya cara ini cukup manjur bagi saya. Atau menulis puisi-puisi norak yang akan saya baca sendiri nantinya—itu juga dapat menjadi terapi untuk menyembuhkan rasa bosan. Dan setelah pikiran terasa segar kembali, saya pun akan mengambil naskah tadi, dan meneruskan menggarapnya.


 
;