Minggu, 03 Oktober 2010

Menyoal Buku Motivasional (1)



Sebenarnya topik ini sudah ada dalam benak saya sejak cukup lama, namun baru sekaranglah saya bisa menuliskannya. Berawal dari beberapa email dari teman pembaca yang menanyakan bagaimana pendapat saya mengenai buku-buku motivasional.

Well, sebagian orang sangat menggemari buku-buku motivasional, sementara sebagian yang lain merasa ilfil dengan buku-buku motivasional. Bagaimana sebenarnya sikap kita seharusnya terhadap hal ini? Atau, yang lebih penting lagi untuk dikaji, mengapa hal semacam ini bisa terjadi?

Saya sendiri pernah mendapati sebuah blog yang “mencaci-maki” buku-buku motivasional yang menurutnya hanya “kumpulan sampah” yang tidak bermanfaat. Sebaliknya, saya juga sudah berkali-kali mendapati blog yang merekomendasikan sederet judul buku motivasional, karena menurutnya buku-buku itu telah membantunya melewati saat-saat sulit dalam hidup.

Siapa yang benar…?

Sebenarnya, buku ditulis dengan tujuan untuk dipelajari. Seseorang menuangkan pengalaman, refleksi, penelitian, ataupun hasil pembelajarannya melalui sebuah buku, dengan tujuan untuk dibaca dan dipelajari orang lain (pembacanya). Kalau si pembaca merasa cocok, silakan ambil ilmu yang tertulis di dalamnya. Sebaliknya, apabila pembaca merasa tidak cocok, abaikan saja.

Setiap kali saya mengambil dan membaca sebuah buku—tak peduli sehebat dan sepopuler apa pun penulisnya—saya tetap menempatkan buku itu pada proporsinya yang benar, yakni bahwa buku hanyalah sarana yang digunakan seseorang untuk menyampaikan pikirannya kepada saya. Karena sifatnya hanya sarana penyampai, maka saya (sebagai pembaca) punya hak sepenuhnya untuk setuju dengan isi buku itu, atau juga untuk menolak.

Saya membaca buku karya Niccolo Machiavelli yang menguraikan teori-teori yang sekarang dikenal dengan istilah Machiavellisme. Sedari awal saya sudah tahu bahwa isi buku itu adalah “ajaran kotor” tentang cara menguasai manusia lain. Tetapi saya membaca buku itu tidak dengan tujuan untuk mempercayai apalagi mengamalkan isinya, melainkan untuk tujuan belajar.

Nah, seharusnya buku motivasional juga dihadapi dengan kerangka pikir semacam itu. Bahwa buku hanya sarana untuk belajar. Setiap kali kau membaca sebuah buku, tidak berarti bahwa kau harus setuju dengan isinya, juga tidak berarti bahwa kau harus mati-matian mempercayainya. Enjoy saja. Ini sebenarnya tidak lebih dari semacam selera—dan selera orang bisa berbeda-beda.

Kalau misalnya kau ngefans dengan Metallica, mungkin kau akan malas jika diajak menonton konser dangdut. Tetapi itu tidak berarti bahwa kau harus mencaci-maki musik dangdut dan merendahkan penyanyi atau penontonnya. Sekali lagi, enjoy saja, wong ini hanya soal selera. Selera orang berbeda-beda, kenapa harus pusing kepala?

Oke, sekarang kita akan masuk pada pembahasan yang lebih penting, yakni menyoal kenapa sampai ada orang yang merasa muak dengan buku-buku motivasional. Saya pikir hal ini perlu dibahas atau bahkan diluruskan, agar “kesalahpahaman” semacam ini bisa sedikit terjernihkan.

Mengapa sampai ada orang yang tidak senang dengan buku-buku motivasional? Jawaban pertama bisa merujuk pada penjelasan di atas, yakni karena soal selera. Nah, hal kedua yang mungkin menjadi penyebab adalah karena orang itu salah memilih buku.

Di pasaran saat ini, tak terhitung banyaknya buku-buku motivasional yang beredar, dari yang kelas ringan sampai yang kelas berat, dari yang ditulis dengan serius sampai yang asal-asalan. Jika seseorang salah memilih buku (dalam hal ini buku motivasional), bisa jadi dia akan sampai pada kesimpulan bahwa buku motivasional adalah “sampah”, padahal dia hanya “salah memilih buku”. Kalau saja dia memilih buku yang benar dan tepat, bisa jadi pula dia akan menyukai isinya.

Penyebab ketiga mengapa orang sampai membenci buku motivasional adalah karena “kesalahpahaman” dalam memahami isinya. Penjelasan selengkapnya akan saya tuliskan di post berikutnya.


 
;