Senin, 18 Oktober 2010

Moralitas James Bond

Bond, kalau kau bisa menahan diri untuk tidak membunuh saksi,
aku akan sangat menghargai.
—M kepada James Bond, dalam Quantum of Solace


Saya suka film-film James Bond, khususnya dua seri terakhir yang dibintangi Daniel Craig—Casino Royal, dan Quantum of Solace. Ketika Daniel Craig dipilih menjadi pemeran Bond, banyak pihak yang meragukannya. Kharisma Pierce Brosnan yang sebelumnya memerankan Bond sepertinya sudah sangat melekat, dan orang-orang mungkin sudah terlanjur mengidentikkan Bond dengan Brosnan.

Tetapi akhirnya terbukti kalau Daniel Craig benar-benar sempurna untuk karakter Bond. Jika Brosnan agak tampak seperti mantan anggota boys band, Daniel Craig benar-benar mengembalikan karakter asli Bond sebagaimana yang dulu diciptakan Ian Fleming dalam novel-novelnya.

Ya, saya suka James Bond—dan saya pikir hampir semua laki-laki juga menyukainya. Bisa dibilang sosok James Bond adalah karakteristik “sempurna” yang diidamkan setiap laki-laki. Dia punya tampang dan penampilan yang enak dilihat, mengendarai mobil-mobil mewah, bermain mainan mahal dan teknologi tinggi, tidur di hotel-hotel kelas satu, dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik.

Lebih dari itu, James Bond juga menjalani hidup yang menyenangkan. Ke belahan dunia mana pun dia pergi, Bond tidak merasa sebagai orang asing. Dia bisa asyik melangkah di jalanan negeri mana pun, dengan sama santainya saat melangkah di kotanya sendiri. Bagi Bond, sepertinya, dunia ini adalah tempatnya biasa bermain-main.

Dan Bond tidak pernah kenal takut. Bagaimana dia bisa takut? Nomor agen yang dimilikinya—007—adalah nomor “sakti” yang telah dikenal di seluruh dunia. Karenanya, setiap kali ada orang yang belum mengenalnya dan menanyakan siapa namanya, Bond dengan penuh percaya diri akan menjawab, “My name is Bond—James Bond.”

Orang-orang tahu siapa 007, siapa James Bond. Dunia tahu, sosok ini bukan lelaki biasa. Di balik setelan jas mahal yang biasa dikenakannya, James Bond adalah sosok berbahaya sekaligus mematikan. Di film-filmnya, sebagaimana yang kita tonton, Bond bisa membunuh orang dengan sangat mudah, semudah dia menyesap martini kesukaannya. Tapi Bond sangat sulit dibunuh. Diberondong tembakan puluhan orang sekali pun, Bond selalu saja selamat. Dijebak dengan cara apa pun, Bond selalu menemukan cara meloloskan diri.

Semua kehebatan Bond yang saya tuliskan sekilas di atas itu belum seberapa. Ada yang lebih hebat lagi di atas semuanya itu, menyangkut James Bond. Yaitu, dia tidak pernah tua! Meski para penggemar dan pemujanya perlahan-lahan menjadi tua seiring dengan bergantinya tahun, tapi James Bond tetap muda! Dan, yang membuat karakter Bond selalu ditunggu-tunggu penggemarnya, adalah karena orang ini memegang sebuah lisensi yang kontroversial, yakni lisensi untuk membunuh.

License to kill—lisensi untuk membunuh—itulah yang membuat karakter James Bond berbeda dengan karakter-karakter superhero lainnya. Tokoh-tokoh superhero biasanya dijauhkan dari tindakan pembunuhan. Tetapi hal semacam itu tidak berlaku bagi superhero bernama James Bond. Bagi Bond, membunuh adalah pekerjaannya. Karenanya, sosok ini pun memiliki kemampuan bertarung di segala medan—darat, laut, udara—dan dibekali senjata-senjata hebat berteknologi tinggi.

Ada sebuah buku yang bagus, yang mengulas sosok James Bond, berjudul “James Bond and Philosophy”. Buku yang disusun Jacob M. Held ini merupakan kumpulan pandangan dan pemikiran para pakar filsafat kontemporer mengenai James Bond, khususnya mengenai lisensi eksklusif yang dimilikinya (lisensi untuk membunuh). Karena yang mengulas adalah para pakar filsafat dalam bidang ilmu moral, maka titik pijakan mereka dalam mempelajari karakter James Bond pun berasal dari sudut pandang moral.

Sejauh dalam menggunakan lisensi yang dimilikinya, kata buku itu, sekuat apa James Bond memegang moralnya?

Maksud buku itu adalah, jika Bond memiliki lisensi yang membuatnya “direstui dan dibenarkan” untuk membunuh, sejauh apa moralnya mampu mengontrol dan mengendalikan haknya atas lisensi itu? Lisensi untuk membunuh itu jelas berbahaya. Jika lisensi semacam itu diberikan kepada orang yang tidak bermoral, atau bermoral rendah, maka lisensi semacam itu hanya akan menciptakan iblis berbentuk manusia.

Jika melihat kisah-kisah dalam filmnya, kita tahu bahwa Bond memang kadang “terlalu bersemangat” dalam membunuh, sampai-sampai M (atasan Bond) sering merasa jengkel karena agennya yang satu itu sangat “rajin” membunuh orang.

Tetapi Bond selalu punya alasan yang kuat setiap kali membunuh, dan kita juga tahu (dalam filmnya) bahwa situasi-situasi yang dihadapi Bond memang memaksanya membunuh atau terbunuh. Karenanya kita pun jadi memaklumi ketika Bond terpaksa membunuh lawan-lawannya.

Yang membuat orang-orang selalu dapat memaklumi sikap, tindakan, dan aksi-aksi James Bond, adalah karena menyadari pekerjaan James Bond yang rentan bahaya. Seperti yang dikatakan Bond sendiri kepada M, ketika ia dimarahi atasannya itu, “Hidup seorang agen 007 tidak pernah lama.” James Bond, atau siapa pun yang menyandang nomor agen 007, selalu berhadapan dengan bahaya-bahaya besar yang mengancam keselamatan hidupnya.

Jadi, ketika kita menyaksikan Bond beraksi membunuh lawan-lawannya, kita pun dapat memaklumi tindakannya, karena ia memang dituntut seperti itu. Yang dihadapi James Bond adalah orang-orang berbahaya—teroris internasional, penjahat kelas dunia, bajingan-bajingan pemerintah di negeri yang fasis, sampai para pembunuh bayaran yang paling mematikan. Dalam dunia Bond, membunuh atau dibunuh adalah pilihan mutlak, tak ada kompromi, tak ada tawar-menawar.

Karena hidup dalam profesi—atau dunia—semacam itu, kita pun jadi tahu bahwa Bond memang tak punya banyak pilihan. Yang dihadapinya adalah para bandit besar kelas internasional, sosok-sosok iblis yang memang menjadi musuh kemanusiaan. Karenanya, ketika Bond akhirnya berhadapan face to face dengan mereka, lalu bertarung menyabung nyawa, kita pun berharap semoga Bond dapat memenangkan pertarungan itu. Ketika akhirnya Bond mengambil senjatanya, kita pun diam-diam berharap, “Bunuh! Bunuh dia, Bond!”

Kita memaklumi tindakan kekerasan, atau bahkan pembunuhan, yang dilakukan James Bond, karena kita memahami bahwa Bond memang dituntut seperti itu. Kita bahkan diam-diam berharap Bond segera menarik picu senjatanya dan meledakkan kepala musuh-musuhnya, karena kita tahu bahwa jika Bond tidak membunuh, maka dialah yang akan terbunuh. Jadi ketika Bond membunuh, kita pun bersyukur, dan sama sekali tidak menyalahkannya.

Di dalam dunia James Bond, kita melihat anomali atas moralitas. Kita tahu bahwa tindakan kekerasan apalagi pembunuhan adalah sesuatu yang melanggar nilai moral, tetapi kita pun tahu bahwa tindak kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Bond adalah sesuatu yang dapat dibenarkan, atau setidaknya sulit untuk disalahkan. Sekali lagi, yang dihadapi James Bond adalah para pembunuh. Jika dia tidak membunuh, maka dialah yang akan terbunuh. Sesederhana itu. Dalam perspektif dunia Bond, moral adalah definisi yang dapat diredefinisikan.

Nah, omong-omong soal moral dan James Bond, saya jadi ingat dengan Satpol PP. Mereka itu, menurut saya, tak jauh beda dengan James Bond—baik gayanya, ataupun cara mereka dalam bekerja—dingin, dan tanpa kompromi. Tetapi, meski kita dapat memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan James Bond, kita sulit memaklumi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP. Kenapa? Jawabannya kembali pada persoalan moral itu tadi.

Dalam dunia Bond, moral bisa diredefinisikan. Tetapi dunia Bond adalah dunia yang eksklusif, tempat para pembunuh menjadikan aktivitas pembunuhan sebagai pekerjaan atau bahkan permainan. Dalam dunia Bond, membunuh atau dibunuh adalah pilihan mutlak. Nah, hal semacam itu tak bisa diterapkan pada dunia kita. Di dunia kita, moral—atau ukuran dan definisi moral—adalah sesuatu yang tak bisa diredefinisikan secara ekstrim seperti itu, karena ia merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh masyarakat secara umum.

Karena kita hidup dalam alam masyarakat, maka yang menjadi ukuran moral adalah ukuran tingkat kepantasan yang disepakati oleh masyarakat. Dalam masyarakat kita, kekerasan dalam bentuk apa pun, adalah sesuatu yang melanggar moral. Bahkan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap penjahat pun sudah dianggap sebagai pelanggaran moral dan HAM—apalagi kekerasan Satpol PP kepada masyarakat sesamanya…?

Tindak kekerasan yang biasa dilakukan Satpol PP sudah menjadi “cap buruk” yang telah dilekatkan oleh masyarakat kepada mereka—karena mereka dianggap telah melanggar moral. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan di atas, Satpol PP memang mirip dengan James Bond. Bedanya, jika James Bond bersabung nyawa dengan teroris internasional, Satpol PP bersabung nyawa dengan para pedagang kaki lima dan masyarakat sesamanya. Tetapi intinya saja sama—bersabung nyawa.

Dan, mungkin, karena urusan “bersabung nyawa” itu pulalah kemudian ada rencana untuk memberikan senjata api kepada Satpol PP. Itu sungguh hebat—jika yang mereka hadapi bukanlah masyarakat yang bisa diajak bicara baik-baik. Tetapi, pemberian senjata api kepada petugas ketertiban masyarakat adalah langkah yang terlalu besar. Kalau meminjam istilah Goenawan Mohamad, itu tak ubahnya membunuh nyamuk dengan celana dalam yang kotor. Mubazir—sekaligus menjijikkan.

 
;