Jumat, 29 Oktober 2010

Yang Merajam Pezina

Mereka yang memiliki anggapan tinggi mengenai diri sendiri, tidak senang
jika secara mendadak tampak gambar dirinya sendiri dalam cermin.
Logan Pearsall Smith


Mereka membawa kedua orang itu ke tengah-tengah lapangan—terseret-seret dan telanjang. Mereka membawa sepasang pezina itu dengan kepala tegak ke langit, seolah-olah manusia paling suci. Mereka mencaci-maki dan menyeret sepasang pezina itu dengan semburan ayat-ayat suci, seolah mereka manusia paling terberkati.

Jadi di sanalah kemudian mereka meletakkan sepasang pezina itu—terduduk di tengah lapangan, sementara orang-orang yang merasa dirinya suci mengelilingi keduanya dengan wajah pongah, dan bersiap merajam mereka, agar langit menyaksikan bahwa orang-orang suci itu telah memberikan hukuman setimpal bagi para pendosa.

“Panggil Tuan Guru!” teriak pemimpin mereka—meminta beberapa orang agar memanggil Guru, seorang bijak yang mereka hormati. “Panggil Tuan Guru agar dia menyaksikan bahwa kita telah melakukan tindak terpuji hari ini!”

Sang Guru pun datang dengan diiringi beberapa orang yang memanggilnya. Wajahnya datar, dan dia melangkah dengan tenang mendekati kerumunan orang itu, lalu berdiri tepat di hadapan sepasang pezina yang menggigil ketakutan—di antara teriakan-teriakan orang yang sudah tak sabar ingin merajamnya.

“Jadi, kalian sudah siap merajam mereka?” tanya sang Guru pada orang-orang di sekelilingnya. Dan mereka pun segera bersiap mengambil batu-batu yang telah tertumpuk di pinggir lapangan.

Sang Guru berkata, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Orang-orang diam, tak ada yang bergerak. Tak ada yang merasa layak melemparkan batu rajam yang pertama. Sang Guru mengulangi ucapannya, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Kali ini satu per satu orang yang berkerumun itu mulai meninggalkan lapangan. Satu per satu—dan jumlah kerumunan orang itu semakin berkurang, hingga yang tertinggal para pemimpinnya.

Kepada para pemimpin itu, sang Guru mengulangi ucapannya, “Siapa pun yang di dalam hatinya tidak pernah terbersit pikiran zina, silakan merajam paling dulu.”

Para pemimpin itu menundukkan muka, kemudian perlahan-lahan pergi meninggalkan lapangan.

Kini, hanya ada sang Guru berdiri sendirian, di hadapan sepasang anak manusia yang menangis ketakutan. Kepada mereka sang Guru berkata, “Tuhan memberikan hari esok untuk memperbaiki diri.”

Kemudian dia melangkah pergi. Dengan tenang—sebagaimana ia datang.

 
;