Senin, 01 November 2010

Batik: Sebuah Mozaik (1)



Kereta soedah sediah
Tabeh nonnah tabeh
Saija mahoe pigieh
Tabeh nonnah tabeh
Atie saija sadieh
Pigieh rasa soesah nonnah
Tingal tiada boleh
Djangan sampek atie nonnah
Inget baek-baek
Djikalo saija pigieh
Djangan nonna loepa
Djikalo saija matieh nonnah
Djantoong–atie widhadari
Inget kapada saija
Biar nonnah priksa koeboer
Djangan siram kembang
Siram air mata nonnah
Itoe saija trima nonnah manis

Syair berbahasa Melayu di atas tertera pada selembar kain sarung batik dari Semarang, yang dibuat sekitar tahun 1860. Syair itu dituliskan sebanyak dua kali dengan canting di antara gambar-gambar yang ada pada kain sarung batik tersebut.

Jauh sebelum industri perbatikan dunia (khususnya Indonesia) mengenal teknik sablon atau cap, batik benar-benar digarap tangan—dengan bantuan canting, sebuah alat yang merupakan penemuan kreatif orang Jawa yang tidak ada duanya di dunia. Batik canting atau yang kemudian lebih dikenal sebagai ‘batik halus’ ini telah ada dan telah mulai diproduksi di negeri ini semenjak lebih dari 3,5 abad yang lampau.

Rijcklof van Goens, salah seorang yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Jawa, menuturkan dalam laporannya bahwa pada tahun 1656, di lingkungan keraton Mataram saja diketahui terdapat empat ribu wanita yang melakukan pekerjaan dapur, memintal, menenun, menyulam, menjahit dan melukis. Tentu saja yang disebut ‘melukis’ di sini adalah membatik, hanya saja waktu itu belum dikenal istilah batik atau membatik (pada waktu itu di Jawa belum dikenal bahan cat yang dibubuhkan secara langsung dengan kuas). Itu menunjukkan kalau ‘budaya’ membatik sudah menjadi salah satu budaya tertua di negeri ini.

Chastelein, salah seorang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) adalah orang pertama yang menyebut ‘batex’ (=batik) dalam laporannya tentang daerah-daerah jajahan pada saat akhir karirnya di Hindia (Indonesia) pada tahun 1705.

Lebih dari tiga abad kemudian semenjak negeri ini mengenal batik, sampai sekarang batik tetap menjadi salah satu barang kerajinan sekaligus industri yang tak pernah mati. Ada sekian ribu orang di Indonesia yang saat ini menjalankan usaha batik, dan ada beribu-ribu orang lainnya yang menggantungkan hidupnya pada industri yang satu ini. Batik telah menjadi salah satu ‘jalan hidup’ bagi banyak orang di negeri ini—sekarang, dan kemungkinan besar juga hingga di masa-masa yang akan datang.

Dengan segala keunikan sekaligus kelebihannya, batik merupakan salah satu (untuk tidak menyebut satu-satunya) barang yang bisa menembus ruang dan waktu. Di Indonesia—semenjak dulu—batik sudah menjadi semacam busana nasional, dan di negeri ini, batik biasanya digunakan untuk baju, sarung, ataupun kain panjang yang digunakan kaum perempuan.

Tetapi penggunaan kain batik tidak hanya terbatas di Indonesia saja. Di negeri-negeri lain, bahkan hingga ke benua lain, ada banyak orang yang juga menggunakan batik untuk pakaian atau busana mereka, dan ini dibuktikan dengan banyaknya pengusaha batik Indonesia yang mengekspor batik produksi mereka ke mancanegara. Ini menunjukkan bahwa batik mampu melewati batas negara, bahkan lintas benua.

Selain itu, penggunaan kain batik tidak terbatas hanya untuk pakaian atau busana semata. Di Indonesia sendiri, misalnya, batik terkadang juga digunakan untuk seprai (kain penutup tempat tidur), sarung bantal, maupun untuk hal-hal lain yang bersifat kreatif.

Di Thailand, ada pula suatu ‘budaya’ unik menyangkut kain batik. Orang-orang di Thailand biasa menggunakan kain batik untuk hiasan dinding sebagai penyambut tamu istimewa. Dalam ‘budaya’ mereka, apabila akan hadir tamu istimewa ke rumah, mereka akan memasang kain batik di dinding rumah sebagai salah satu bentuk penyambutan.


 
;